Seorang penulis bernama Ivan bertemu Agnia, wanita cantik yang datang di malam hujan, melarikan diri dari perjodohan paksa. Mereka berbagi malam yang intim, namun keesokan harinya Agnia menghilang, membuat Ivan ragu. Ketika Agnia kembali, ia menjelaskan semua. Ivan pun menyadari, cinta mereka adalah kenyataan yang jauh lebih indah dari fiksi mana pun.
view moreIvan menemukan cinta yang sempurna di tengah badai hujan, hanya untuk menyadari bahwa cinta itu tak pernah nyata.
Malam itu, rintik hujan turun membasahi kaca jendela. Di rumahnya yang sunyi, Ivan berdiri di depan cermin. Matanya menatap bayangannya sendiri, seolah sedang berdiskusi dengan orang lain, mencari kedalaman untuk novel yang sedang ia garap.
“Jadi, tokoh utama kita harus rapuh, tapi bukan karena trauma masa lalu,” gumamnya pada bayangannya. “Kerapuhannya berasal dari ketidakmampuannya berinteraksi dengan dunia luar. Dia hidup di dunianya sendiri, menciptakan narasi yang berbeda dari kenyataan.”
Ivan memejamkan mata, membayangkan karakternya. “Kita beri ia nama... Rafka. Ya, Rafka. Dia seorang seniman, pelukis. Dunianya penuh warna, tetapi jiwanya hitam putih. Dia melukis kebahagiaan yang tidak pernah ia rasakan. Kontradiksi ini akan menjadi jantung ceritanya. Namun, apa yang akan mengeluarkannya dari dunianya?”
Ia kembali menatap cermin, dahinya berkerut. “Harus ada sesuatu yang mengguncangnya. Sebuah pertemuan tak terduga. Sesuatu yang memaksanya menghadapi kenyataan. Mungkin... seseorang yang membutuhkan bantuannya, yang masuk ke dunianya secara paksa.”
Tiba-tiba, suara bel pintu terdengar nyaring, memecah kesunyian malam. Lamunan Ivan buyar. Ia menoleh ke arah pintu dengan heran. “Siapa yang datang malam-malam begini?”
Ivan berjalan perlahan menuju pintu dan mengintip dari jendela kecil di sampingnya. Rintik hujan terlihat jelas di kaca. Di luar, seorang wanita berdiri membelakangi pintu, tersembunyi di bawah kanopi kecil. Rambutnya basah, gaun merahnya tampak menempel di tubuh. Wanita itu terlihat menggigil.
Ivan berbisik pada dirinya sendiri, “Gaun merah di malam hujan? Seperti adegan dalam film.” Setelah ragu sejenak, ia memutuskan membuka pintu. Bunyi klik dari kunci terdengar. Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok wanita itu dengan lebih jelas. Wajahnya yang cantik dan pucat tampak kedinginan.
“Maaf, Anda siapa?” tanya Ivan, bingung. “Ada keperluan apa datang malam-malam begini?”
Wanita itu menatapnya dengan mata yang basah dan memohon. Wajahnya, meskipun pucat, memiliki kecantikan yang seolah hanya ada dalam imajinasi Ivan selama ini. Rambutnya yang sedikit bergelombang menempel di dahi, dan tetesan air jatuh dari ujungnya.
“Maaf mengganggu, Tuan,” suaranya terdengar lembut dan agak serak. “Saya kehujanan. Apakah saya boleh berteduh sebentar?”
Ivan seolah tersadar dari lamunannya. Ia mengangguk cepat. “Ah, iya, tentu. Silakan masuk. Anda pasti kedinginan.”
Wanita itu tersenyum tipis dan melangkah masuk, meninggalkan jejak air di lantai. Aroma parfumnya yang lembut bercampur dengan bau hujan. Ivan menutup pintu, lalu menunjuk ke arah sofa. “Silakan duduk. Saya akan buatkan teh hangat.”
Wanita itu duduk dengan canggung. Ivan bergegas ke dapur, menyiapkan teh dengan terburu-buru. Pikirannya dipenuhi oleh wajah wanita itu. Begitu teh siap, ia membawanya kembali dan meletakkannya di meja.
“Ini, silakan. Minumlah agar badan Anda hangat,” kata Ivan.
Wanita itu mengangkat pandangannya, tersenyum tulus. Ia menerima cangkir teh dengan kedua tangan, menghirup uapnya yang mengepul. “Terima kasih banyak.”
Ivan duduk di kursi seberang sofa, menatapnya dengan penasaran. “Boleh saya tahu nama Anda?”
Wanita itu menyeruput tehnya sedikit, lalu menatap Ivan. “Nama saya Agnia.”
“Ivan,” balasnya singkat. “Agnia, Anda dari mana? Kenapa bisa sampai kehujanan seperti ini? Dan, hendak ke mana Anda sebenarnya?”
Agnia meletakkan cangkir tehnya, wajahnya tampak lebih hangat. “Saya... tidak tahu harus mulai dari mana. Sejujurnya, saya sendiri tidak tahu sedang di mana dan akan ke mana.”
Ivan mengerutkan dahi, bingung. “Maksud Anda?”
“Saya baru saja melarikan diri dari sebuah acara,” jawab Agnia, suaranya terdengar lebih jelas. “Seseorang yang sangat penting bagi saya... dia mencoba memaksa saya melakukan sesuatu yang tidak saya inginkan. Saya panik, lalu lari begitu saja tanpa tujuan.”
Agnia mengambil napas dalam-dalam, memejamkan mata seolah mengingat kembali kejadian itu. “Saya keluar dari mobil, lalu berjalan kaki sejauh mungkin, menghindari lampu-lampu jalan. Saya tidak memedulikan hujan, yang saya pikirkan hanya bagaimana cara menghilang. Sampai akhirnya, saya melihat cahaya dari jendela rumah Anda. Saya pikir, mungkin di sini saya bisa bersembunyi.”
Ia membuka matanya, menatap Ivan dengan sorot penuh terima kasih. “Jadi, untuk menjawab pertanyaan Anda, saya tidak tahu dari mana dan tidak tahu akan ke mana. Saya hanya... berusaha untuk tetap aman.”
Agnia menatap Ivan dengan sorot mata penuh harap, seolah menaruh seluruh kepercayaannya pada sosok di depannya.
“Ivan,” Agnia berucap, suaranya pelan dan ragu. Ia menunduk, memainkan ujung gaunnya yang mulai mengering. “Maaf, saya tahu ini sangat lancang, tetapi... apakah saya boleh bermalam di sini? Saya tidak tahu harus pergi ke mana lagi.”
Pertanyaan itu meluncur begitu saja, seolah Agnia tak punya pilihan lain. Ivan terdiam sejenak.
Ivan kembali ke rumah sakit. Di tangannya, Ivan membawa buku gambar dan sekotak pensil warna. Ia berharap, dengan menggambar, Sarah bisa menuangkan pikirannya. Ia berharap, dengan menggambar, Sarah bisa menemukan dirinya yang hilang.Ivan melangkah di koridor yang sama, jantungnya berdebar. Ia tidak tahu apa yang harus ia rasakan. Ia hanya ingin Sarah mengingat, agar ia bisa kembali normal. Namun, ia juga tidak ingin Sarah mengingat, karena ia takut, Sarah akan meninggalkannya.Ia membuka pintu ruangan Sarah. Di sana, Sarah duduk di ranjangnya, menatap kosong ke luar jendela. Wajahnya terlihat murung.“Selamat siang, Sarah,” sapa Ivan lembut, berusaha menarik perhatiannya.Sarah menoleh. Senyum tipis terukir di bibirnya. “Ivan. Kau datang lagi.”Ivan melangkah mendekat, lalu duduk di kursi di samping ranjang. Ia menaruh buku gambar dan sekotak pensil warna di atas meja.“Ini untukmu,” ucap Ivan, suaranya pelan. “Aku pikir, kau bisa menuangkan pikiranmu di sini. Mungkin… kau bisa menem
Siang itu, Ivan kembali ke rumah sakit. Di tangannya, bukan bingkisan buah, melainkan sebuah buku bersampul lusuh. Itu adalah novel pertamanya, sebuah karya yang ia tulis di masa-masa paling sepi dalam hidupnya. Buku itu adalah saksi bisu dari dirinya yang dulu—pria yang hanya hidup dalam imajinasi.Ivan melangkah di koridor yang sama, jantungnya berdebar dengan perasaan yang berbeda. Kali ini, bukan hanya rasa bersalah, melainkan juga rasa ingin tahu. Pintu kamar rawat Sarah terbuka, dan Ivan melihatnya duduk di ranjang, menatap kosong ke luar jendela.“Selamat siang, Sarah,” sapa Ivan lembut, berusaha menarik perhatiannya.Sarah menoleh. Wajahnya terlihat jauh lebih segar, dan senyum kecil tersungging di bibirnya. “Ivan, kau datang lagi.”Ivan melangkah mendekat, lalu duduk di kursi di samping ranjang. Ia meletakkan buku yang ia bawa di atas meja kecil, di samping bingkisan buah yang sudah terbuka.“Ini untukmu,” ucap Ivan, suaranya pelan. “Novel pertamaku.”Sarah menatap buku itu,
Dokter melepaskan stetoskop dari telinganya. Ia tersenyum lembut, tangannya memegang sampel darah Ivan. Ivan, yang masih terdiam, merasakan kehangatan di lengannya.“Baik, Tuan Ivan,” ucap dokter itu, suaranya tenang. “Kami sudah selesai. Anda tidak perlu khawatir. Kami hanya perlu melakukan beberapa tes lagi.”Ivan mengangguk, namun ia tidak bertanya apa-apa. Pikirannya kosong. Ia hanya ingin kembali ke rumah. Ia hanya ingin kembali ke Agnia.Dokter itu kemudian mengeluarkan selembar kertas kecil, lalu memberikannya kepada Ivan. “Ini resep, Tuan. Anda harus menebusnya di apotek terdekat. Obat-obat ini akan membantu Anda merasa lebih baik.”Ivan mengambil resep itu, tangannya gemetar. Ia membaca nama-nama obat di dalamnya. Chlorpromazine, Paliperidone, Chlordiazepoxide. Ia tidak tahu apa itu, tetapi ia tahu, ia harus meminumnya.“Minumlah secara rutin, Tuan Ivan,” ucap dokter itu lagi. “Ini akan membantu Anda untuk kembali normal.”Ivan mengangguk. Ia tidak tahu apa yang normal. Ia ti
Pertanyaan polisi itu terasa seperti palu yang menghantam kepala Ivan. Bagaimana bisa ia tidak punya foto Agnia? Ia tidak bisa menjawab. Pikirannya kosong. Ia hanya bisa menatap jalan yang kosong, tempat Agnia menghilang."AARRRRGGGGGGGHHHHHHHHHH!"Ivan tiba-tiba berteriak. Sebuah teriakan yang keras, dipenuhi rasa sakit, frustasi, dan keputusasaan. Ivan tidak bisa menahan dirinya lagi. Ia membiarkan semua emosinya keluar. Ia berteriak, suaranya bergetar, seolah ia sedang mencoba merobek langit.Kedua polisi itu terkejut. Mereka saling bertukar pandang, lalu menatap Ivan. Kali ini, tatapan mereka bukan lagi tatapan rasa prihatin, melainkan tatapan kebingungan. Mereka tidak mengerti. Mereka tidak tahu apa yang terjadi pada Ivan. Mereka hanya tahu, mereka harus membawanya pergi.Teriakan Ivan begitu keras, mengoyak kesunyian malam. Ia berteriak dan berteriak lagi, seolah mencoba mengeluarkan semua rasa sakit yang ada di dalam dirinya. Namun, teriakan itu tidak berlangsung lama. Tiba-tib
Makan malam itu terasa begitu sempurna, seolah semua keraguan Ivan telah lenyap. Setelah membereskan meja, Ivan kembali ke laptopnya. Agnia duduk di sampingnya, membaca novel yang belum selesai. Ivan tidak bisa berhenti memikirkan nama Sarah Cruz. Ia harus mencari tahu.Ivan membuka mesin pencari, tangannya gemetar. Ia mengetik nama Sarah Cruz, berharap menemukan sesuatu. Namun, yang ia temukan hanyalah keheningan. Tidak ada satu pun berita, tidak ada satu pun media sosial, tidak ada satu pun artikel yang membahas nama itu. Ivan merasa bingung, dan juga sedikit takut. Apakah Sarah adalah nama yang ia ciptakan? Apakah ia hanya berhalusinasi?Namun, Ivan tidak menyerah. Ia terus mencari, hingga akhirnya ia menemukan sebuah blog kecil yang membahas real estat. Blog itu membahas tentang properti-properti mewah di negara bagian itu, dan salah satu artikelnya membahas tentang keluarga paling kaya di sana. Di dalam artikel itu, sebuah nama muncul: Sarah Cruz.Ivan membaca artikel itu, matany
“Agnia,” ucap Ivan, suaranya pelan. “Aku… aku ingin menjenguk Sarah.”Agnia menoleh, senyumnya tidak pudar. Ia menutup novel Ivan, lalu meletakkannya di atas meja. “Baiklah,” jawabnya. “Kau ingin aku menemanimu?”“Tidak, sayang,” balas Ivan. “Aku ingin kau di sini saja. Aku… aku ingin memastikan kau aman.”Agnia mengangguk. “Baiklah. Kau ingin aku siapkan apa? Roti? Kopi?”“Tidak,” jawab Ivan. “Aku ingin memberikannya buah. Buah apa yang harus kubawa untuknya?”Agnia berpikir sejenak. “Aku tidak tahu,” jawabnya, nadanya terdengar bingung. “Aku… aku tidak tahu buah apa yang ia suka.”“Aku tahu kau tidak tahu,” balas Ivan. “Tapi… aku hanya ingin mendengar pendapatmu. Aku ingin kau memilihkan untukku.”Agnia tersenyum, lalu memegang tangan Ivan. “Kalau begitu, bawakan saja buah delima,” jawabnya, matanya menatap Ivan dengan penuh arti. “Delima melambangkan kebangkitan. Kebangkitan dari kegelapan.”Ivan tersenyum. Ia tidak tahu mengapa Agnia memilih delima, tetapi ia yakin, itu adalah pil
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments