Alvaro duduk di ujung sofa panjang, mengenakan kemeja biru tua berlengan pendek yang membentuk tubuh atletisnya, dipadukan dengan celana jeans gelap yang sederhana namun elegan. Penampilannya tampak segar, seolah ia hendak pergi ke suatu tempat penting. Namun matanya, justru memancarkan kegelisahan yang sulit disembunyikan.Di tangannya, ponsel menyala. Sorot mata Alvaro tajam menatap layar, wajahnya serius, rahangnya mengeras. Di layar itu, terpampang pesan dari Dion, orang kepercayaannya."Mereka bilang kondisi Dewi belum stabil. Tapi ada sesuatu yang aneh. Ada seseorang yang terus memantau ruang ICU tempat ibu Dewi di rawat. Wanita yang memakai seragam perawat itu tampaknya menyembunyikan sesuatu."Namun lamunannya buyar saat suara ceria menyentaknya kembali ke dunia nyata.“Daddy, kenapa tampan sekali?” tanya Zolin polos, sambil memandang ayahnya dengan tatapan kagum dan pipi yang sedikit menggembung.Alvaro menoleh, senyum terbit di wajahnya. “Karena Daddy mau pergi sama Oma. Men
"Maaf, Nyonya. Misi gagal."Suara wanita itu terdengar getir di seberang telepon. Ia berusaha tenang, tapi nada ketakutan tidak bisa disembunyikan.Miranda sontak berdiri dari duduknya. Tangannya mengepal, dan giginya mengatup rapat menahan amarah yang tiba-tiba meledak."Apa maksudmu gagal?!" bentaknya."Bukankah aku sudah katakan, kau hanya perlu menyuntikkan racun itu ke infus! Apa susahnya?! Tidak sampai satu menit, selesai! KERJA SEORANG PEMULA!"Matanya melotot. Nafasnya memburu seperti binatang buas yang lapar darah. Kemarahannya hampir tak terkendali.Namun suara wanita itu kini meninggi, tak lagi takut."Jangan seenaknya bicara, Miranda!" katanya keras. "Aku tidak punya kesempatan! Ruangan itu dijaga ketat! Kalau aku tetap memaksa, sama saja aku bunuh diri dan menyerahkan diriku ke polisi! Aku tidak mau dipenjara karena kamu! Dan satu lagi, uangmu TIDAK SEBANDING dengan resikonya!"Miranda membisu sejenak. Giginya bergemelutuk menahan gejolak yang kini mendidih dalam dadanya.
Di lorong sunyi menuju ruang ICU, suara mesin monitor detak jantung terdengar samar. Lampu-lampu neon di atas kepala menyala putih pucat, menciptakan suasana yang sunyi, dingin, dan mencekam.Seorang wanita berdiri tenang di balik bayangan dekat dispenser air. Seragam putih yang ia kenakan, lengkap dengan ID palsu dan masker medis, membuatnya tampak seperti perawat sungguhan. Namun wajah di balik masker itu menyimpan niat busuk yang tidak diketahui siapa pun.Tangannya menggenggam erat sebuah suntikan kecil berisi cairan bening tak berlabel. Cairan itu cukup untuk membuat seseorang kehilangan kesadaran permanen, atau lebih buruk.Matanya tajam, mengawasi ruang ICU tempat Dewi dirawat. Jantungnya berdegup cepat, tapi bukan karena panik, melainkan karena perhitungan. Ia tahu, waktu dan ketepatan adalah segalanya.Namun jalannya tidak semudah yang dia rencanakan.Di dalam ruangan, seorang perawat sungguhan sedang berdiri di sisi ranjang Dewi, mencatat sesuatu di clipboard. Di sisi lain,
Sore ini angin berhembus dengan lembut. Alvaro dengan sengaja mematikan AC di dalam ruangan dan membuka kaca besar di dalam ruangan itu. Ia ingin merasakan angin alami. Hembusan angin yang seperti ini dapat memberikan rasa tenang untuk dirinya.Setelah puas menikmati hembusan angin, ia menarik nafas panjang dan kemudian duduk di kursi kerjanya. Map itu baru saja diberikan oleh Dion, orang kepercayaannya yang ia tugaskan secara rahasia untuk menyelidiki masa lalu seorang Amora.Dengan napas tertahan, Alvaro membuka map tersebut. Satu per satu lembaran kertas dibacanya dengan saksama. Dan setiap kalimat di dalamnya terasa seperti pisau yang perlahan mengiris dadanya.Nama: Amora IkariTempat & Tanggal Lahir: Jakarta, 23 April 2005Anak dari pasangan: Hiroto Ikari dan Aisyah SifaAlvaro mengerutkan dahi. “Ikari…” bisiknya lirih. Nama itu menyalakan sumbu dalam ingatannya. Seakan sesuatu yang lama terkubur mulai menggeliat.Dan ketika ia membaca laporan selanjutnya, tragedi yang menimpa
Malam itu, hujan belum berhenti. Lampu-lampu jalan berpendar redup di balik kabut tipis yang turun bersama rinai. Mobil Randy berhenti tepat di depan rumah.Ia turun perlahan. Langkah kakinya tak tergesa, namun menyimpan tekanan yang berbeda. Bukan lagi langkah suami yang pulang dengan rindu, melainkan pria yang membawa badai dalam diamnya.Begitu pintu utama terbuka, aroma parfum Miranda langsung menyambutnya. Aroma yang dulu ia suka, kini justru membuat dadanya sesak.Miranda sedang duduk di ruang tamu. Tubuhnya berselonjor santai di sofa, mengenakan daster tidur sutra berwarna merah muda. Wajahnya terlihat lelah, tapi masih berusaha tampil manis ketika melihat suaminya datang."Sayang... kamu baru pulang?" tanyanya dengan senyum tipis, seolah tak terjadi apa-apa.Miranda akan memanfaatkan momen seperti ini. Ada dua keuntungan yang pasti akan langsung didapatkan. Yang pertama, orang suruhannya bisa langsung bergerak ke rumah sakit berhubung Randy tidak berada di sana dan menjaga Dew
Alvaro duduk termangu, menatap kosong ke arah jendela. Hujan tipis mengetuk-ngetuk kaca, seolah turut menyuarakan kekalutan pikirannya.Ucapan Eliza terus menggema di kepalanya, tentang Amora, tentang perjuangan Amora yang datang ke rumah sakit sendirian untuk melahirkan. Membayangkan seorang perempuan hamil yang harus bertarung antara hidup dan mati tanpa seorang pun mendampingi, membuat dadanya terasa sesak. Bahkan membayangkan bagaimana ketika Amora disuru latihan miring setelah paskah operasi. Pasti sangat sulit sekali karena melakukannya sendiri.Belum lagi ketika belajar berjalan. Dimana ia harus berjuang sendiri tanpa berpegang dengan siapapun. dalam kondisi lemah, menggendong bayi sendirian. Membayangkan hal ini saja sudah membuat hatinya ngilu.Ia tak pernah membayangkan, bahkan dalam mimpi terburuknya, bahwa seorang wanita seperti Amora akan melalui kehidupan sekeras itu. Tak terbayangkan olehnya jika Amora harus bertarung sendiri, di saat semua orang yang seharusnya ada, j