"Wow, ternyata bermain piano sangat menyenangkan!" Alsen bertepuk tangan setelah mempelajari kunci dasar piano. Ini hari pertama ia belajar bersama guru les.
"Akan lebih menyenangkan jika kau sudah mahir memainkannya," ucap Queen sembari membereskan lembaran kertas materi.
"Terima kasih, Nona Queen. Oh ya, kata Mama setelah selesai mengajar, jangan buru-buru pulang. Mama mengundang Nona untuk minum teh dan makan malam bersama kami."
Queen melirik jam Tiffani & Co di pergelangan tangan, tepat pukul 17.30. "Oke, Alsen. Kebetulan malam ini aku tidak ada acara. Kalau begitu, aku akan bermain piano sambil menunggu ibumu datang."
"Oke, Nona. Selamat sore." Alsen tersenyum lebar, menunjukkan gigi putih yang tersusun rapi. Kemudian, hanya dalam hitungan detik, bocah itu sudah melesat pergi.
Queen mengawasi tubuh mungil itu hingga menghilang di balik pintu. Ia menghela napas kasar, dadanya terasa sesak. Selalu begini, ketika berinteraksi dengan anak
"Masih ingat teori yang kita pelajari tadi tentang tangga nada mol dan kres?" tanya Queen."Hehem ...." Kaneesha mengangguk singkat.Kedua perempuan berbeda generasi itu duduk bersisian di hadapan sebuah piano. Sejak dua hari yang lalu, Queen menjadi guru les piano untuk Kaneesha. Tidak terlalu sulit mengajari gadis kecil itu. Kaneesha anak yang pintar dan cepat menyerap setiap materi dari gurunya.Dari semua murid yang pernah diajar oleh Queen, sepertinya Kaneesha akan menjadi murid kesayangan Queen. Meski masih kecil, tetapi Kaneesha begitu antusias mempelajari seluk beluk piano.Bahkan, jari-jari mungil itu terlihat begitu luwes menekan tuts piano, lantas matanya berbinar indah saat mendengar nada-nada yang dihasilkan oleh tekanan jari-jarinya. Seolah, Kaneesha dan piano adalah pasangan yang tidak terpisahkan."Tangga nada mol yang disimbolkan seperti huruf b kecil, artinya not turun setengah dari nada asli. Kita ambil contoh D mol.
Queen pikir masa lalu sudah tertinggal jauh di belakang. Ternyata ia salah. Hanya dalam hitungan detik, ia kembali terlempar ke masa lima tahun yang lalu. Di mana terakhir kali ia bertemu dengan lelaki ini?Di kamar rawat inap, tempat Queen menghabiskan seluruh air mata. Dan lelaki di hadapannya, tanpa perasaan merayakan kebebasannya. Menganggap bayi itu tidak pantas hidup karena hanya sebuah kesalahan. Sesimple itu. Memilih bayi lain yang menurutnya pantas mendapatkan kehidupan.Dan bayi itu tak lain adalah … Kaneesha. Anak perempuan yang membuat Queen jatuh cinta pada pandangan pertama. Ah, kenapa harus Kaneesha?Queen menunduk, menghindari tatapan tajam Rafael. Menarik napas dalam-dalam, lantas rahangnya terkatup rapat. Jangan menangis, Queen! Air matamu terlalu berharga untuk menangis di depan Rafael! Jangan terlihat lemah atau lelaki ini akan leluasa menginjak-injakmu!“Lucu sekali.“ Queen tertawa hambar. “Berhati-hatilah jika tidak ingin terjeb
Cukup lama Rafael berdiri di depan pintu apartemen milik Queen. Malam itu, setelah ia tidak memiliki cara lain untuk mengatasi putrinya yang merajuk, Rafael terpaksa meminta alamat tempat tinggal Queen pada Aldric.Dan di sinilah ia berdiri sekarang. Demi Tuhan, kalau bukan karena permintaan putri kesayangannya, Rafael tidak sudi datang pada masa lalunya. Ya, tidak ada kata memohon dalam kamus hidup Rafael.Rafael mengusap wajah kasar. Setelah menarik napas panjang, ia memberanikan diri menekan bel pintu. Berharap Queen segera membukanya dan mengiyakan permohonan Rafael. Sesimple itu. Lagipula, jam pelajaran piano Kaneesha hanya satu jam, itu pun di saat Rafael pergi ke kantor. Setidaknya, Rafael tidak akan bertemu dengan Queen.Ah ya, mungkin dia perlu menambah CCTV di seluruh sudut rumah. Atau ia perlu menambah security khusus untuk menjaga Kaneesha saat Queen sedang mengajar les piano. Rafael pikir, keselamatan Kaneesha adalah yang nomor satu.
Rafael membuka pintu kamar Kaneesha dengan hati-hati, sebisa mungkin tidak menimbulkan suara. Ia melongokkan kepala, matanya tertuju pada ranjang di tengah ruangan. Di sana, Queen tertidur dengan posisi menghadap pada Kaneesha. Handuk basah masih menempel di kening bocah perempuan itu.Tanpa sadar, Rafael tersenyum melihat pemandangan manis di depannya. Akhirnya, setelah berbulan-bulan tidak merasakan kasih sayang ibunya, malam ini Kaneesha bisa merasakan hangatnya dekapan sosok seorang ibu.Rafael melangkah perlahan, ingin melihat mereka dari dekat. Kaneesha tidak lagi mengigau seperti beberapa jam yang lalu. Mata itu terpejam rapat dengan jari-jari mungilnya memegang tangan Queen.Rafael mendesah. Mau tak mau, ia harus mengakui jika Queen seorang wanita yang tulus. See, bahkan setelah Rafael dan Selly melukai Queen, wanita itu menyingkirkan ego untuk merawat Kaneesha, bahkan menemani tidurnya.Melihat ini, Queen tidak mungkin menyakiti Kaneesha ata
“Guru les piano Alsen dan Kaneesha adalah Queen yang sama dengan wanita masa laluku.”Refleks, Aldric menginjak pedal rem, mobil berhenti mendadak. Beruntung saat itu mereka masih berada di jalanan kompleks perumahan, sehingga tidak terlalu banyak kendaraan yang melintas di sana.Aldric menoleh pada Rafael, shock. “Kau bercanda?”“Awalnya, aku sendiri tidak percaya.” Rafael memijit pelipisnya. “Aku sudah cukup pusing memikirkan keadaan Selly, dan sekarang kehadiran wanita itu semakin membuatku sakit kepala.”“Hum? Sakit kepala? Kau sudah memastikan jika dia tidak membawa bayi, bukan? Itu artinya tidak akan ada Joshua kedua dalam hidupmu. Lalu apa yang kau takutkan?”“Bagaimana jika dia membalas dendam dengan menyakiti putriku?”“Aku belum lama mengenal Queen, tapi aku rasa dia tidak sejahat itu.”“Tapi aku tidak bisa berhenti memikirkannya!”“Really?” Aldric memicingkan mata, mengintimidasi lelaki yang duduk di sampin
Queen menatap lelaki yang tengah menyeruput cappuccino di hadapannya. Joshua, tidak jauh berbeda dengan lima tahun yang lalu. Hanya saja, wajah beralis tebal itu semakin terlihat dewasa. Style rambut kecokelatannya terlihat berantakan, tetapi justru itu salah satu hal yang menjadi daya tarik tersendiri.“Kenapa menatapku seperti itu?” Joshua meletakkan cangkir di sisi kanan piring berisi steak daging. Malam itu, mereka membuat janji temu di salah satu restoran Italia.Queen tertawa. “Kau masih Joshua yang dulu.”“Kau pun masih sama dengan Queen yang aku kenal. Hanya saja, emmm … wajahmu terlihat lebih tirus. Sepertinya kau terlalu banyak menanggung beban hidup.”“Yah … seperti yang kau tahu.”“Jangan hanya ditanggung sendiri, Queen. Kau harus berbagi dengan orang lain.”“Sudahlah, Jo. Tolong jangan bahas itu.”“Oke, tapi aku hanya ingin mengingatkanmu, aku akan selalu ada untukmu kapanpun kau membutuhkanku.”
“Raf, aku punya kabar buruk untukmu!” seru Aldric setelah masuk ke ruangan Rafael. “Joshua kembali dari Swiss!”“Aku sudah tahu itu.”“Really?” Aldric duduk di depan Rafael.“Kaneesha bahkan sudah mendapatkan tanda tangannya.”“Jadi Neesha menjadi penggemar pamannya sendiri?” Aldric tertawa terbahak-bahak. “Bagaimana bisa Neesha mendapatkannya?”“Dari Queen, memangnya siapa lagi? Entah rencana apa yang sedang mereka buat.”“Sepertinya aku tahu apa yang membuat Joshua kembali, setelah Queen lebih dulu datang ke kota ini.” Aldric menjeda kalimatnya. Setelah dilihatnya Rafael memasang wajah ingin tahu, Aldric berucap, “Joshua ingin mengejar Queen lagi.”“Beraninya dia melakukan itu?” Rafael menggebrak meja.“What’s wrong with you?” Aldric memicingkan mata. “Kau cemburu?”“Cemburu apanya?” Rafael mengacak rambutnya kesal. “Aku hanya tidak habis pikir, si bodoh itu tidak berhenti mengejar bahkan setelah Queen b
Pertunjukan kesenian itu digelar di salah satu gedung besar di ibukota. Di depan gedung, pengunjung disambut oleh deretan tulisan di LED running text berwarna-warni. Kaneesha nampak antusias saat mereka tiba di sana.“Woaaah … ramainyaaaaaa.” Mata Kaneesha berbinar, sibuk mengawasi orang-orang yang berlalu lalang di gedung pagelaran seni.“Kau suka?” Queen menggandeng tangan Kaneesha.“Apa Uncle pianis sudah datang?”Rafael yang berjalan di belakang mereka, mendengus kesal. Bahkan saat mereka baru menginjak pintu masuk saja, yang pertama kali ditanyakan Kaneesha adalah Joshua. Damn! Apa istimewanya seniman brengsek itu?“Kita tunggu di sini sebentar. Uncle Joshua sebentar lagi datang.” Queen mengajak Kaneesha berdiri di sisi kanan ruangan, tepat di sisi pot bonsai adenium. “Khusus untukmu.”“Menyebalkan. Kita bisa menunggu pianis itu di dalam,” gerutu Rafael, tetapi toh dia tetap mengikuti kehendak Queen.“Sabar sebentar, k