"Cantik, ya?” kata Yandi. "Andai bisa jadi pacarnya,” ujar Uzy. "Kalau mau jalan dengannya nggak perlu jadi pacar, kok,” tambah Yandi. "Maksud kamu apa, Yan?” tanya Uzy dengan tatapan kebingungan, sementara alisnya terangkat sebelah. Yandi tersenyum tipis. "Kamu hanya perlu ...” Yandi menggantung ucapannya. === Uzy, pemuda dari kota kecil yang datang ke Yogyakarta untuk kuliah. Ibunya berpesan agar ia serius kuliah demi segera bekerja dan membantu kehidupan keluarga. Namun, di kampus ia bertemu senior cantik yang memikat hati. Uzy jatuh cinta ... meski tahu bahwa gadis itu seorang sugar baby. Bagaimana akhir kisah Uzy?
View More“Selama kuliah di kota, jangan macam-macam ya, Zy. Ingat, belajar yang serius agar cepat lulus dan cepat kerja,” pesan Ibu dengan penekanan suara pada Uzy.
“Iya, Bu,” jawab Uzy takzim.
“Kamu beruntung Paman Ali mau membiayai kuliah di kota, jadi kamu bisa cari kerja yang lebih baik. Jangan sekadar jadi buruh pabrik macam teman-temanmu,” Ibu mengingatkan kembali.
Uzy mengangguk-angguk paham. Sambil memberi petuah, tangan Ibu cekatan memasukkan hasil panen kebun kecil mereka ke dalam kotak kardus bekas air mineral. Ada pisang, sawi, dan salak. Semua itu oleh-oleh yang akan dibawa Uzy untuk Paman Ali di kota.
Lilis, adik Uzy yang berumur empat belas tahun, dengan cekatan membantu Ibu memasukkan barang-barang ke dalam kardus. Gadis remaja tanggung itu adik Uzy satu-satunya. Ayah Uzy meninggal ketika Lilis berusia dua tahun.
“Ingat, selama tinggal dengan Paman kamu harus tahu diri, Zy. Jangan banyak menuntut, membantu sebisa mungkin, dan ikuti aturan dari Paman,” tambah Ibu lagi.
“Baik, Bu,” sahut Uzy untuk kesekian kali.
Hasil bumi selesai dikemas. Uzy membantu Ibu menutup dan mengikat kardus itu dengan tali rafia. Di sebelah kotak kardus, teronggok satu tas ransel lusuh dengan isi yang tidak terlalu penuh. Tas ransel itulah yang akan dibawa Uzy ke kota, isinya barang-barang keperluan sehari-hari. Baju dan celana beberapa helai, lengkap dengan pakaian dalam, peralatan mandi, dan sepasang sepatu baru.
Persiapan selesai. Uzy meraih tas ransel di lantai dan menyandangnya di punggung.
“Uzy berangkat dulu, Bu. Doakan Uzy selalu,” ujar Uzy seraya mengambil tangan Ibu untuk dicium.
“Tentu, Nak. Ibu selalu mendoakanmu. Ibu berharap besar padamu. Setelah lulus, kamu segera cari kerja dan bantu Ibu membiayai sekolah Lilis,” sahut Ibu.
“Ya, Bu. Uzy janji akan belajar baik-baik agar bisa segera membantu Ibu membesarkan Lilis,” kata Uzy sambil mengacak rambut Lilis yang berdiri di sebelah Ibu.
Gadis itu tersenyum dan mencium tangan kakaknya.
“Hati-hati di jalan, Mas,” kata Lilis lirih.
“Uzy berangkat, Bu. Assalamu’alaikum,” pamit Uzy sambil berbalik pergi ke luar rumah.
Uzy berangkat dengan iringan pandangan mata Ibu dan Lilis. Dengan tas ransel tersandang di punggung dan kotak kardus ditenteng, Uzy berjalan menuju terminal bus antar kota yang berjarak lima ratus meter dari rumah kecil ibunya.
Setibanya di terminal, Uzy menaiki bus tujuan kota Yogyakarta. Ketika bus yang sudah penuh penumpang mulai melaju, Uzy mengucapkan selamat tinggal pada kota kecil tempat ia tumbuh besar. Kota yang berada di perbatasan antara kota Yogya-Solo.
***
Dua jam saja bus antar kota sudah tiba di kota Yogya. Turun dari bus kota, Uzy sempat celingukan karena bingung dengan suasana terminal yang hiruk pikuk karena ramai. Inilah pertama kalinya Uzy datang ke Yogya.
Satu hal yang ada di kepala Uzy saat ini, di mana Paman Ali? Bagaimana ia bisa menemukannya diantara puluhan orang ini?
“Zy! Uzyyy! Wah, ngelamnun kamu, ya?” Tiba-tiba seorang lelaki paruh baya berkacamata hitam dan bertopi menghampiri Uzy.
Uzy sempat terbengong saat lelaki itu mendekatinya sambil tersenyum ramah, hingga terlihat gigi depannya semua. Ketika lelaki itu melepas kacamata hitamnya, barulah Uzy mengenali wajah Paman Ali.
“Eh, Paman? Assalamu’alaikum. Uzy pangling, Paman,” cetus Uzy terperangah.
Gaya Paman Ali saat ini sangat berbeda dengan Paman Ali yang dikenalnya dua tahun yang lalu, ketika bertemu di rumah Ibu sewaktu mudik lebaran.
“Wa’alaikumussalam. Pangling karena ini, ya? Hahahaaa,” Paman Ali tertawa keras, tangannya memasukkan kacamata hitam ke saku depan kemejanya.
Paman Ali merangkul Uzy dengan akrab.
“Tambah dewasa aja, kamu. Tapi kok masih lugu, hahahaaa,” Paman Ali tertawa lagi.
Uzy tersenyum-senyum saja, ia tak marah disebut lugu oleh Paman Ali.
“Ayo pulang ke rumah Paman,” ajak Paman Ali.
Uzy mengikuti langkah Paman Ali yang bergegas menuju tempat parkir kendaraan terminal. Sambil berjalan, mereka mengobrol.
“Paman kok bisa tiba-tiba muncul di dekatku? Dari mana Paman tahu aku menumpang bus yang mana?” selidik Uzy penasaran.
“Kan seminggu yang lalu ibumu sudah telepon aku, mengabarkan bahwa hari ini kamu akan datang sekitar jam sepuluh pagi. Jadi aku tinggal perhatikan saja penumpang yang turun dari bus arah timur yang tiba pukul sepuluh pagi,” jawab Paman Ali enteng.
Uzy baru ingat bahwa memang seminggu sebelumnya, Ibu pamit ke rumah tetangga untuk menumpang menelepon. Mereka memang tidak punya telepon rumah apalagi ponsel.
Sampai tiba di lokasi parkir, mereka tidak mengobrol lagi. Paman Ali mengajak Uzy naik ke atas sepeda motornya yang masih tampak baru. Uzy menebak hidup Paman Ali sudah lumayan mapan di kota ini.
Berbeda dengan kebanyakan orang yang sudah sukses di kota lalu lupa tempat asal, Paman Ali tidak pernah berubah sikap kepada keluarganya. Semenjak pergi dari kampung halaman lima tahun yang lalu, beliau tetap ramah dan perhatian. Buktinya Paman mau menampung Uzy di rumah dan menyanggupi membantu biaya kuliahnya.
“Sudah tahu mau kuliah jurusan apa?” tanya Paman Ali saat melajukan sepeda motor membelah keramaian kota.
“Belum, Paman. Aku terserah Paman saja,” jawab Uzy pasrah.
Paman Ali tertawa.
“Besok aku antar kamu buat daftar kuliah,” janji Paman Ali.
“Oya, Paman. Paman sudah punya rumah sendiri? Hebat, jadi ingin kerja seperti Paman,” ujar Uzy mengalihkan obrolan.
“Oh, jangan! Aku ini kerjanya hanya satpam di pabrik susu. Alhamdulillah, aku dapat kerja di pabrik susu terbesar di kota ini, jadi gajinya ya cukup lah,” tukas Paman Ali.
“Rumah yang aku tempati sekarang warisan dari orangtua istriku, jadi bukan milikku,” jelas Paman lagi.
Uzy manggut-manggut dari balik punggung Paman Ali yang menyetir.
“Kamu jangan sampai mengecewakan ibumu, Zy. Kakakku itu sudah banyak berkorban buat kamu. Buat daftar ulang kuliah saja ibumu utang dulu,” ujar Paman Ali tiba-tiba.
Meskipun cuaca cerah dan terasa terik, tapi Uzy merasa seperti disambar petir mendengar perkataan Paman Ali barusan. Uzy terperangah. Ia telah salah sangka, ternyata pikirannya bahwa Paman Ali lah yang membiayai dirinya untuk masuk kuliah telah keliru.
“A-aku pikir, Paman yang membayariku,” cetus Uzy setelah rasa terkejutnya mereda.
“Oh, bukan! Ibumu yang bayar. Paman hanya sanggup membantu biaya kuliah setiap semester saja,” jelas Paman Ali, meluruskan kesalahpahaman di pikiran Uzy.
“Nah, kita sudah sampai,” kata Paman Ali.
Uzy mengamati sekeliling. Jalan kecil beraspal tipis yang mereka lalui, khas perkampungan di pinggiran kota. Rumah-rumah yang dibangun tak beraturan arah depannya menambah keyakinan Uzy, bahwa tempat tinggal Paman Ali berada di tepi kota.
Sepeda motor Paman Ali berhenti di depan sebuah rumah dengan halaman yang cukup besar. Beberapa pohon besar tumbuh di depan rumah. Ditilik dari gaya bangunannya, memang itu rumah tua.
“Ayo masuk,” ajak Paman setelah melepaskan helm dan jaketnya.
Uzy mengikuti langkah Paman Ali mendekati pintu rumah.
“Bu! Bu! Assalamu’alaikum,” seru Paman Ali sambil mengetuk pintu keras-keras.
Setelah menunggu sejenak, ada langkah-langkah kaki yang berlari ke arah pintu depan. Bunyi anak kunci diputar menyusul setelahnya. Pintu terbuka, seorang wanita paruh baya bertubuh gemuk muncul di hadapan. Senyumnya terkembang saat melihat Uzy dan Paman Ali.
“Wa’alaikumussalam. Sudah pulang, Pak? Tadi Ibu sedang mengambil jemuran pakaian di belakang,” ocehnya dengan suara ramah.
“Uzy, ini bibimu,” kata Paman Ali seraya menoleh ke arah Uzy.
“Assalamu’alaikum, Bi. Apa kabar?” sapa Uzy sopan.
Secara refleks Uzy mengambil tangan Bibi lalu menciumnya sekilas, seperti yang biasa dilakukannya terhadap Ibu di rumah.
“Sopannya anak ini,” cetus Bibi dengan nada suara senang yang tak disembunyikan.
“Ayo, ayo. Bibi sudah siapkan makanan dan kamar buat istirahatmu. Kamu pasti lapar dan lelah, kan?” tambah Bibi ceriwis.
Dengan malu-malu, Uzy mengikuti langkah Bibi dan Paman Ali yang sudah masuk ke ruang dalam lebih dulu.
Di ruang makan, Uzy melihat ada seorang remaja lelaki tanggung seusia Lilis. Dia menghentikan suapan ke mulut saat melihat Uzy masuk ke ruang makan.
“Kamu masih ingat Zeo, Zy?” tanya Paman Ali.
“Ingat, Paman. Dulu Zeo masih anak-anak, sekarang sudah besar, ya,” celetuk Uzy yang tak dapat menahan rasa heran di hatinya.
Terakhir kali bertemu, Zeo masih suka bermain kejar-kejaran bersama Lilis. Sekarang sudah tampak jakun yang tumbuh di lehernya.
“Ayo, Zeo. Salim dulu sama Mas Uzy,” titah Paman.
Zeo bangkit dari duduk, lalu melangkah mendekati Uzy. Tangan kanannya terulur ke arah Uzy. Sikapnya tidak malu-malu, bahkan sangat percaya diri. Ia dengan berani menatap mata Uzy dengan sorot mata yang ramah.
“Halo, Mas,” katanya singkat, ketika Uzy menyambut jabatan tangannya.
“Halo,” balas Uzy singkat.
“Ayo, sudah basa-basinya. Uzy bisa mandi dulu lalu makan masakan Bibi, ya,” potong Bibi dengan tak sabar.
***
Keesokan hari, seperti janji Paman Ali kemarin, beliau mengantarkan Uzy mendaftarkan diri ke sebuah kampus swasta yang kata Paman Ali tak jauh dari rumahnya.
“Sekarang biaya kuliah itu mahal-mahal, Zy. Mau kampus swasta, kampus negeri, semua sama mahalnya. Susah cari kampus yang murah sekarang,” kata Paman Ali di atas motor.
Saat ini, Uzy dibonceng oleh Paman Ali menuju suatu tempat yang masih samar dalam bayangan Uzy. Di sepanjang jalan, Uzy melihat banyak sekali bangunan-bangunan besar, bahkan beberapa diantaranya terlihat megah. Pada bagian depannya tertulis nama-nama dengan awalan kata “Universitas”.
Uzy terpesona. Dalam hatinya terbayang dirinya yang memasuki bangunan besar seperti yang dilihatnya barusan.
“Untung di dekat sini ada kampus yang masih terjangkau. Kalau dibandingkan kampus-kampus lain, biayanya sudah paling murah,” tambah Paman Ali.
“Paman sudah sempat survei dulu sebelumnya, ya?” celetuk Uzy, tak tahan bertanya karena ia memang penasaran.
“Jelas, dong! Buat keponakan aku nggak main-main. Sebelum kamu datang, aku sudah datangi semua kampus swasta di sekitar sini,” kata Paman Ali seolah bangga.
“Tapi kamu jangan kecewa, ya. Kampusnya nanti agak kecil, nggak seterkenal kampus lain. Pengelolanya sebuah yayasan yang mendirikan kampus untuk orang yang uangnya hanya sedikit,” tambah Paman Ali halus.
***
Kedatangan Uzy disambut suka cita oleh ibunya dan Lilis.“Alhamdulillah, Ibu senang kamu sudah sampai, Zy.” Ibu memeluk Uzy dengan penuh rasa syukur.Setelah saling melepas rindu dengan bertanya kabar, Uzy pun dituntun ibunya untuk duduk di ruang keluarga sekaligus ruang tamu rumah.“Cepat ambilkan jajan pasar yang sudah Ibu siapkan, Lis. Jangan lupa suguhkan tehnya,” titah Ibu kepada Lilis.Lilis patuh. Ia masuk ke dalam untuk melaksanakan semua perintah ibunya. Berdua saja duduk bersama ibunya, Uzy memutuskan untuk langsung mengungkapkan maksud kepulangannya.“Ibu, aku mau memberitahukan sesuatu yang penting. Begini, Bu … aku akan melamar seorang gadis bernama Naura.”Mata Ibu membulat lantaran tak menduga kabar penting yang disampaikan secara mendadak. Namun, Uzy menangkap nada senang ketika ibunya bertanya, &ldqu
Semuanya terjadi begitu cepat. Bahkan Uzy saja belum sempat untuk berpikir matang. Tahu-tahu saja, ia sudah dipaksa untuk menikahi gadis secantik Naura. Kalau mau jujur, sebetulnya Uzy tidak merasa terpaksa. Gadis secantik Naura, siapa yang bisa menolak? Paling-paling Uzy hanya bisa berlari ke pelukan gadis itu.“Jadi, kapan kamu mau mengajak keluargamu melamar Naura, Mas Uzy?” desak ibunya Naura, Sofia.Saat ini, Uzy dan Pak Chandra sudah berada di rumah Naura. Selepas kejadian memalukan di pantai itu, Uzy dan Pak Chandra terpaksa pulang mendahului teman-temannya. Mereka berdua memutuskan buat tidak ikut acara menyaksikan matahari terbenam. Keluarga Naura mendesak Uzy untuk ikut pulang bersama mereka.“Secepatnya, Bu. Saya harus mengabari ibu saya dulu di Klaten.” Uzy menjawab takzim, seperti dia apa adanya.“Coba ceritakan tentang keluarga Nak Uzy,” pinta Sofia p
Uzy terus berteriak-teriak, namun anehnya sosok wanita di depannya seperti tidak mendengar. Sosok itu mengenakan gaun putih panjang hingga sebetis. Sebuah topi anyaman menutupi kepala dan menyisakan rambut hitam panjang sepunggung pemiliknya.Jarak Uzy dan wanita itu hanya lima meter lagi. Wanita itu terus berjalan pelan menuju ke kedalaman lautan di depannya. Ombak memecah pantai, membuat air laut menyapu tubuh wanita itu hingga selutut.“Mbak, jangaaan!” Uzy tak mengurangi kecepatan, ia terus berlari cepat demi dapat mencapai wanita itu.Setelah dekat, dengan penuh rasa heroik, Uzy melompat dan menangkap tubuh si wanita, mencegahnya untuk terus melarungkan diri ke laut dalam.“Aaah!” jerit melengking terdengar membelah langit siang. Suara si wanita bergema hingga ke sudut pantai yang kebetulan sepi.Uzy dan wanita itu terjatuh ke atas pasir basah, tepat
"Well, itu tadi sedikit cerita tentang pengalamanku naik ojek online. Seperti yang kalian tahu, hidup ini seperti lelucon, dan setiap perjalanan selalu penuh dengan kejutan. Jadi, mari kita nikmati perjalanan ini dengan senyum dan tawa. Terima kasih, semuanya!" Rudi melayangkan cium jauh buat semua orang di dalam bus, membuat sebagian besar rekan-rekannya tertawa melihat tingkahnya.“Ikut stand up comedy aja kamu, Rud. Dijamin, kamu pasti kalah!” teriak Ratih dari kursi paling belakang sambil mengacungkan jempol terbalik. Beberapa teman wanita Ratih terkikik mendengar ejekan Ratih.Rudi yang hendak duduk di kursinya, menoleh mendengar perkataan Ratih.“Apa sih, Rat? Dari kemarin kamu kok sentimen banget sama aku? Ah, pasti kamu naksir berat sama aku, deh!” balas Rudi santai.Tawa menggema di dalam bus, sementara wajah Ratih merah padam mendapatkan balasan telak dari R
Uzy berusaha untuk menolak posisi ketua panitia, namun sepertinya semua rekannya justru menganggap dirinya pilihan terbaik. Wajah Uzy mulai terlihat panik. Di tengah kebingungan Uzy, tiba-tiba sebuah suara mengatasi semua suara yang berdengung di sekitar Uzy.“Mendingan jangan Pak Uzy, deh!”Serentak, seluruh pasang mata yang ada di dalam ruangan menoleh ke arah sumber suara. Pendapat anti mainstreamitu dianggap aneh dan mencengangkan oleh kebanyakan para karyawan. Suasana mendadak senyap.“Memangnya kenapa, Rud?” tanya Rani, akhirnya ada yang angkat suara.“Yaaa, Pak Uzy kan atasan kita. Masak sih kalian mau ngerjain atasan sendiri? Namanya acara, panitia-panitiaan itu ya dari kita-kita para staf biasa atau SPG,” dalih Rudi, meyakinkan.Semua karyawan tampak mengangguk-angguk. Mereka mulai termakan oleh persuasi yang Rudi lakuka
Uzy meneruskan perjalanannya ke kantor. Sepanjang jalan, Uzy sekuat tenaga menahan rasa sesak di dada. Uzy melajukan motornya dengan kecepatan pelan, khawatir terjadi kecelakaan seperti yang baru dialaminya. Akhirnya, Uzy sampai di kantornya dengan fisik yang selamat meskipun hatinya remuk redam. Uzy duduk di belakang mejanya dengan tatapan kosong. Dia tampak terlihat melamun dan sedih. Ia tak sanggup mengerjakan apapun selama setengah jam setelahnya. Uzy mematung, sibuk dengan kecamuk di dalam dadanya. Pada akhirnya, bunyi ketukan di pintu yang berhasil membawa Uzy kembali pada kenyataan. Uzy mengangkat kepala, lalu menyahut, “Masuk!” Pintu terbuka dan Rudi masuk ke dalam ruangan Uzy. “Saya bawa laporan penjualan kemarin, Pak,” lapor Rudi sambil melangkah mendekati meja Uzy. “Oh, iya. Letakkan saja di meja.” Uzy menanggapi tanpa nada antusias sama sekali. Rudi meletakkan sebuah map pada meja di hadapan Uzy. Ia bermaksud untuk pergi, namun raut wajah sedih Uzy mengusiknya. Walaup
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments