แชร์

Bab 5

ผู้เขียน: pachirawidi
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2024-12-06 10:26:58

Hidupku tak pernah sempurna, tapi setidaknya aku pernah merasakan kebahagiaan sederhana. Rumah ini, meskipun tak besar, adalah tempat di mana aku dibesarkan dengan penuh cinta. Namun, malam ini, semua kenangan indah itu dihancurkan dalam sekejap. Dalam hitungan detik, aku menyaksikan dunia kecilku runtuh, menyisakan luka dan kepedihan yang terlalu sulit untuk disembuhkan.

Namun, pria itu hanya tertawa kasar dan melanjutkan serangannya pada ayah dan paman. “Kalian harus belajar untuk membayar hutang kalian. Kalau tidak, kami ambil semuanya!”

Paman Dante, yang sebelumnya terjatuh, berusaha bangkit meskipun tubuhnya gemetar. “Kami akan bayar, tolong beri kami waktu.”

Namun, waktu sudah habis. Pria itu menatapku dengan tatapan tajam. “Kalian cuma punya satu minggu. Kalau dalam waktu itu hutang ini tidak dilunasi, rumah ini milik kami. Dan kalau masih berani melawan, kami tak segan-segan menghancurkan lebih banyak hal di sini.”

Setelah mengucapkan ancaman itu, pria tersebut dan anak buahnya pergi meninggalkan kami. Mereka tidak hanya meninggalkan luka fisik, tetapi juga kehancuran mental yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Aku memandangi ruangan yang berantakan, benda-benda yang sebelumnya menjadi saksi kebahagiaan kecil keluarga kami kini berserakan di lantai.

Aku terdiam beberapa saat, tubuhku lemas, tak tahu harus berbuat apa. Rumah yang dulu penuh dengan kenangan indah kini hancur, dan ayah serta paman masih terbaring lemah. Aku mencoba melangkah, tapi lututku terasa lemah. Rasanya seperti aku sedang terjebak dalam mimpi buruk yang tak berujung.

Aku mendekatkan tubuhku pada ayah yang berusaha bangkit dengan susah payah. “Ayah, kita harus ke rumah sakit. Kita harus perbaiki semuanya,” kataku dengan suara bergetar, mencoba menyembunyikan ketakutanku.

Ayah menatapku, lalu menggelengkan kepala dengan lemah. “Tidak, Savannah. Maafkan Ayah. Ini semua salah Ayah.”

Aku menggenggam tangan ayah erat, berusaha memberikan kekuatan. “Tidak, ini bukan salah Ayah. Kita akan melalui semua ini bersama. Aku akan cari cara untuk melunasi hutangnya.”

Paman Dante yang terjatuh mencoba duduk dengan susah payah. Wajahnya terlihat suram, penuh rasa bersalah. “Savannah, ini sudah sangat parah. Kita harus segera mencari jalan keluar. Mereka tidak akan berhenti sampai hutang itu lunas.”

Aku hanya mengangguk pelan. Sejujurnya, aku tidak punya solusi apa pun. Tetapi satu hal yang aku tahu, aku tidak akan membiarkan mereka merebut semuanya dari kami. Aku harus menemukan cara. Entah bagaimana caranya, aku akan melindungi keluargaku.

Aku menjadi cemas, kejadian tadi tidak bisa dianggap remeh. Ancaman pria itu terus terngiang di kepalaku, membuat dadaku sesak setiap kali mengingatnya. Rumah yang hancur, ayah dan paman yang terluka, serta hutang yang menggunung—semuanya terasa seperti beban yang terlalu berat untuk kutanggung. Tapi aku tak punya pilihan. Aku harus melakukan sesuatu.

Aku mengotak-atik ponselku dengan tangan gemetar, mencoba menghubungi Andrew, satu-satunya orang yang mungkin bisa memberiku solusi. Nada sambung terdengar, tapi panggilanku tak juga dijawab. Berkali-kali aku mencoba, namun hasilnya tetap nihil. Pesanku juga hanya menunjukkan centang satu, tak ada balasan sama sekali.

“Sepertinya dia sangat sibuk dengan pemotretan,” pikirku, mencoba memahami meskipun hatiku mulai dipenuhi rasa frustrasi. Aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri, tapi setiap tarikan napas hanya membuatku semakin sadar bahwa waktu terus berjalan, dan aku masih belum menemukan jalan keluar.

Aku meletakkan ponselku di atas meja dengan kasar, lalu menjatuhkan diriku ke sofa yang penuh debu akibat kekacauan tadi. Kepalaku terasa berat, pikiranku penuh dengan berbagai kemungkinan buruk yang bisa terjadi jika kami tidak melunasi hutang dalam waktu seminggu.

“Mungkin aku harus mencoba menghubungi orang lain,” gumamku pelan. Tapi siapa? Kami tidak punya banyak kenalan yang bisa dimintai bantuan. Keluarga besar Ayah sudah lama memutuskan hubungan dengan kami. Teman-temanku? Tidak mungkin mereka memiliki uang sebanyak itu.

Aku meraih ponselku lagi, membuka daftar kontak, berharap menemukan nama lain yang mungkin bisa membantu. Tapi setiap nama yang kulihat hanya menambah rasa putus asaku. Tidak ada yang cukup dekat, tidak ada yang bisa kumintai pertolongan sebesar ini.

Kepalaku bersandar ke sandaran sofa. Air mataku mulai mengalir tanpa bisa kutahan. “Kenapa semuanya jadi seperti ini?” bisikku pelan. Rasanya aku ingin menyerah, ingin berhenti melawan. Tapi, di balik semua itu, bayangan wajah Ayah yang penuh penyesalan dan rasa sakit membuatku tidak bisa menyerah. Aku harus kuat, untuk Ayah dan Paman Dante.

Aku memejamkan mata sejenak, mencoba mengatur napas. “Baiklah, Savannah. Kalau Andrew tidak bisa dihubungi, aku harus mencari cara lain,” kataku pada diriku sendiri. Aku bangkit perlahan, mengambil secarik kertas dan pena dari meja. Aku harus membuat daftar apa saja yang bisa kulakukan, siapa saja yang bisa kumintai bantuan, dan apa yang bisa kujual untuk mendapatkan uang. Tidak peduli seberapa kecil kemungkinannya, aku tidak akan berhenti mencoba.

Namun, semakin lama aku menatap kertas kosong itu, semakin besar rasa putus asa yang melingkupiku. Tidak ada ide yang terlintas. Tidak ada jalan keluar yang terlihat jelas. Waktu terus berjalan, dan aku masih terjebak di tempat yang sama, tenggelam dalam ketidakpastian. Aku menggigit bibirku, para sepupuku yang lain juga menghilang entah kemana. Aku keluar dari kamar, langkahku berat meskipun rumah sudah terlihat rapi kembali. Bekas-bekas kekacauan tadi sudah dibersihkan, tetapi suasana suram masih terasa menghantui setiap sudut. Di ruang tengah, aku melihat ayah dan Paman Dante sedang duduk di sofa, mengompres luka-luka mereka sendiri dengan kain basah. Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikiranku yang masih penuh amarah.

“Di mana Paman Nicholas, Aurora, Laeticia, dan sepupu-sepupu yang lain?” tanyaku akhirnya, suara penuh nada tajam. Aku tidak bisa menyembunyikan kegeramanku. Bagaimana bisa mereka tidak terlihat saat kejadian sebesar tadi?

Paman Dante tersenyum kecil, tapi senyum itu jelas dipaksakan. “Mereka sudah kami suruh pergi mengamankan diri. Kamu lihat sendiri bagaimana kacaunya tadi, Savannah,” jawabnya sambil menatapku dengan sorot mata lelah.

Aku hanya mengangguk kecil, meskipun dalam hati aku masih merasa kesal. “Sepertinya hutang kalian lebih banyak dari yang kukira, dan ini pasti sudah terjadi sejak lama. Jadi pantas saja kalau semua ini sampai terjadi,” ujarku dengan nada malas, lebih kepada melampiaskan rasa frustrasi.

Ayah dan Paman Dante saling berpandangan sejenak, seolah berbicara tanpa kata-kata. Ayah akhirnya menghela napas berat dan menundukkan kepalanya. “Kami memang menyembunyikan ini darimu. Kami tidak ingin kamu khawatir,” katanya dengan suara pelan, hampir seperti bisikan.

“Tapi lihatlah sekarang,” potongku cepat, suara meninggi tanpa sadar. “Kalian pikir aku tidak khawatir sekarang? Ancaman mereka bukan main-main, Ayah! Kita punya waktu satu minggu, dan aku bahkan tidak tahu dari mana harus memulai untuk menyelesaikan semua ini.”

“Kami sedang mencari cara, Savannah. Percayalah,” jawab Paman Dante, berusaha menenangkanku. Tapi kata-katanya terdengar hampa, seperti janji yang tidak akan pernah terpenuhi.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 58

    Suara bel pintu yang berdering keras membangunkan Savannah dari tidurnya yang nyenyak. Matanya terasa berat, dan tubuhnya enggan beranjak dari kasur yang hangat. Dia mengerang pelan, menarik selimutnya lebih erat, berharap suara itu hanya bagian dari mimpinya. Namun, dering bel itu terdengar lagi, kali ini lebih panjang dan mendesak. Setelah menelpon theo dan marah-marah, Savannah kembali tidur dan melupakan jika pagi ini dia harus berangkat ke Jakarta. Cahaya pagi menyelinap melalui celah tirai, menerangi kamar yang masih berantakan dengan pakaian yang tergeletak di kursi dan beberapa buku yang berserakan di lantai. Savannah mengusap wajahnya, mencoba menghilangkan kantuk. Rambut panjangnya kusut, dan piyama satin yang dikenakannya tampak kusut setelah semalaman berguling di tempat tidur.Dengan langkah malas, dia berjalan menuju pintu, matanya masih setengah terbuka. Begitu membuka pintu, dia terkejut melihat Arthur, sopir keluarga, berdiri di ambang pintu dengan senyum ramah.“Sel

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 57

    Theo melirik Savannah sekilas sebelum mengalihkan pandangannya ke jalanan yang mulai sepi. Langkahnya melambat, seolah pikirannya sibuk menimbang sesuatu yang cukup serius. “Aku belum memutuskan,” katanya akhirnya, suaranya tetap tenang tetapi mengandung nada ragu. “Kalau kita pergi bareng, aku harus memastikan dulu jadwalku. Tapi kalau sendiri-sendiri…”Ia membiarkan kalimatnya menggantung, seakan sengaja memberi ruang bagi Savannah untuk menerka maksudnya. Savannah, yang berjalan setengah langkah di depannya, menoleh dengan alis sedikit terangkat. “Kalau sendiri-sendiri, kenapa?” tanyanya, menunggu jawaban Theo. Theo tersenyum tipis, hampir seperti ejekan halus pada dirinya sendiri. “Aku harus tahan menghadapi perjalanan yang membosankan tanpa seseorang yang bisa diajak ngobrol." Savannah mendengus pelan, lalu berpura-pura berpikir dengan ekspresi serius. “Jadi maksudmu… kamu ingin kita pergi bareng?” Theo akhirnya menatapnya langsung. Mata hitamnya tenang, tapi ada sesu

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   bab 56

    Setelah Moana pergi, Savannah berjalan kembali ke dalam rumah dengan langkah malas. Kaki-kakinya terasa berat, seolah-olah setiap langkahnya menyeret beban yang tak terlihat. Begitu tubuhnya menyentuh sofa empuk di ruang tamu, ia langsung menjatuhkan diri, membiarkan kepalanya bersandar di sandaran tangan. Matanya baru saja hendak terpejam ketika suara getaran ponsel di meja kaca mengusik ketenangannya. Getarannya yang berulang-ulang seperti memaksa Savannah untuk membuka matanya kembali. Savannah mengumpat dengan tidak sabaran, siapa lagi yang mengganggu diwaktu seperti ini? Savannah melirik layar dengan setengah hati. Nama Theo terpampang di sana, disertai dengan foto profilnya yang selalu terlihat rapi dan tersenyum. Ia menghela napas panjang, jari telunjuknya mengetuk-ngetuk permukaan meja kaca yang dingin, menimbang apakah ia harus mengangkatnya atau tidak. Setelah beberapa detik yang terasa lama, ia akhirnya menyerah dan menekan tombol hijau. "Halo?" suaranya terdengar datar,

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 55

    Savannah duduk di tepi pantai di belakang rumahnya, mencoba menenangkan diri dari pusaran pikiran yang semakin kacau. Seharusnya, semilir angin sore bisa membantunya berpikir lebih jernih, tetapi hari ini, semuanya terasa salah. Tidak ada satu pun yang berjalan sesuai harapannya. Kehancuran finansial keluarganya terasa seperti pusaran air yang menyeretnya semakin dalam. Semua berubah begitu cepat, begitu drastis, dan Savannah merasa tak berdaya. Ayahnya dan keluarganya yang lain tidak pernah berubah mereka masih saja sama, selalu membuatnya muak.Suara tawa riang tiba-tiba memecah kesunyian. Savannah menoleh dan menemukan Moana, sepupunya, melangkah mendekat dengan gaya khasnya—angkuh, percaya diri, dan selalu tampak tak tersentuh oleh masalah. Gaun mahal yang membalut tubuhnya tampak sempurna, tas desainer terbaru tergantung di lengannya, dan sepatu hak tinggi yang seakan membuatnya melayang di atas dunia sendiri.Savannah mengerutkan dahi. Bagaimana mungkin Moana masih bisa bersikap

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 54

    Aku baru saja menghela napas lega setelah kepergian Adit. Kepergian yang cukup mendadak itu memberiku sedikit ruang untuk menenangkan diri. Namun, baru saja aku hendak menikmati ketenangan di rumah, suara bel pintu kembali berdering. Aku mengerutkan kening. Siapa lagi? Jangan bilang Adit kembali. Tapi, begitu aku membuka pintu, aku langsung merasa kepalaku ingin meledak. Theo. Pria itu berdiri di ambang pintu dengan senyum percaya dirinya yang menyebalkan. Rambutnya tertata rapi, mengenakan kemeja hitam dengan jas yang tampak mahal. Dan yang lebih membuatku sebal adalah tangan kanannya yang memegang satu buket bunga mawar merah besar, sementara tangan kirinya menggenggam beberapa kantong belanja dari brand-brand mewah. "Untukmu, Savannah," ucapnya ringan sambil menyodorkan bunga dan kantong belanja itu ke arahku. Aku melipat tangan di dada, tidak berniat menerima apa pun darinya. "Aku tidak butuh semua ini." Theo tertawa pelan, seolah sudah menduga responsku. "Jangan begitu,

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 53

    Wilson berdiri di sudut ruangan, memperhatikan tuannya yang tampak larut dalam pikirannya. Theodore Wiratama atau yang lebih akrab ia panggil dengan "Rama"duduk di kursinya dengan sikap penuh kuasa, tetapi ada sesuatu di sorot matanya yang sulit diartikan. Wilson menghela napas pelan sebelum akhirnya melangkah mendekat. Bagaimanapun juga, sebagai asisten pribadi yang telah lama bekerja untuk pria itu, ia merasa memiliki sedikit keberanian untuk berbicara. "Tuan, kenapa Anda tidak mendekati Nyonya Savannah dengan cara yang lebih normal? Seorang gadis pasti akan membencimu dengan semua yang Anda lakukan." Rama menoleh perlahan. Bibirnya melengkung dalam senyum tipis, tetapi bukan senyum hangat senyum itu justru terasa dingin, nyaris tanpa emosi. Ia menghela napas panjang, lalu bersandar ke kursinya, menatap langit-langit dengan tatapan kosong. Ia menarik nafas. "Tapi tidak ada cara lain," suaranya pelan, hampir seperti gumaman. Namun, dalam nada itu, Wilson bisa menangkap sesuatu, s

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status