Hidup tidak selalu berpihak padanya, terutama setelah apa yang terjadi dengan Lina. Dulu, ia dan Lina pernah saling mencintai.
Lina adalah gadis yang membuatnya bermimpi, namun impian itu hancur ketika Lina jatuh ke dalam pelukan seorang pemuda kaya raya. Pemuda itu datang dengan mobil mewah, jam tangan mahal, dan segala hal yang tak pernah bisa Ghenadie tawarkan. Cinta mereka kalah oleh harta.
Momen paling menyakitkan bagi Ghenadie bukan hanya ketika Lina pergi, tapi juga saat ia mendengar hinaan yang tak terlupakan. Lina, yang pernah menjadi kekasihnya, kini telah berubah, ikut merendahkan dirinya.
"Sudahlah, Ghenadie. Kau hanya tukang bakso. Apa yang bisa kau tawarkan?" kata-kata Lina masih terngiang di telinganya.
Tak hanya Lina, tapi juga kekasih barunya dan teman-temannya seringkali mengejek Ghenadie. "Penjaja bakso yang tidak akan pernah maju. Kau tak cocok untuk Lina, dia layak mendapatkan yang lebih baik."
Penghinaan itu melukai hati Ghenadie lebih dalam dari yang ia kira. Namun, ia tidak pernah melawan. Ia hanya tersenyum, berpura-pura tak mendengar saat mereka mengejeknya.
Hari berikutnya Ia tetap kembali ke gerobak baksonya, melayani pelanggan dengan senyum. Meski hatinya terluka, ia memilih untuk tak memperlihatkannya. Di balik semua itu, ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya, sebuah tekad baru yang diam-diam terbentuk.
Karena hanya itu yang bisa dia lakukan untuk menopang hidupnya, kuliahnya dan orang tuanya serta adiknya. Dia bertekat harus berhasil.
Setiap hari, Ghenadie menghabiskan waktunya di gerobak bakso yang telah menemaninya selama bertahun-tahun. Di sana, ia melayani pelanggan yang datang silih berganti.
Meski kesedihan masih sering menyapa, ia tetap berusaha kuat. Baginya, hidup harus terus berjalan, dan bakso yang ia jajakan adalah sumber penghidupannya.
Ia selalu bekerja keras, meracik bakso dengan penuh hati-hati, memastikan rasa yang sempurna. Senyum ramahnya selalu menyambut para pelanggan, seolah tak ada beban di pundaknya.
Tapi di dalam hatinya, Ghenadie tahu ada luka yang belum sembuh. Luka itu tak terlihat, tapi selalu terasa.
Malam itu seperti malam-malam lainnya. Ghenadie baru saja selesai melayani pelanggan terakhir. Angin malam yang sejuk membuat suasana sedikit tenang.
Sambil membersihkan gerobaknya, ia berpikir tentang hidupnya, tentang bagaimana ia bisa bangkit dari segala luka ini.
Sebuah mobil yang dari jauh lama berhenti memperhatikannya, tiba-tiba mobil itu berjalan dan perlahan berhenti di depan gerobaknya. Ghenadie menoleh dan memperhatikan.
Dari dalam mobil, keluarlah seorang pria dengan penampilan sederhana, namun wajahnya tampak berwibawa. Ghenadie sedikit heran, tidak banyak orang berpenampilan seperti itu yang mampir di gerobaknya.
"Baksonya sudah habis," ujar Ghenadie, biar orang itu bisa mencari di tempat lain.
Pria itu tersenyum ramah. "Kamu Ghenadie, kan?" tanyanya dengan suara tenang.
Ghenadie mengangguk, sedikit heran dengan pertanyaan itu. "Iya, benar. Ada yang bisa saya bantu?"
Pria itu memandangnya dengan tatapan yang penuh keyakinan. "Apakah kamu berasal dari desa Koromue?" tanyanya lagi.
Ghenadie semakin heran, tapi ia tetap menjawab, “Ya, benar. Saya berasal dari sana.”
Pria itu melirik catatan kecil di tangannya, lalu bertanya lagi, “Sekarang umurmu sekitar 22 tahun?”
Ghenadie semakin penasaran dengan maksud pria ini. "Iya, benar," jawabnya, meski pikirannya mulai dipenuhi pertanyaan.
Pria itu tersenyum tipis dan memasukkan catatannya ke dalam saku. "Aku sudah lama mencarimu," katanya sambil menatap Ghenadie dengan serius.
"Mencariku? Untuk apa?" tanya Ghenadie, kini semakin penasaran.
Pria itu tampak sederhana, tapi gerak-geriknya terkesan berwibawa. Tanpa basa-basi, pria tersebut tersenyum lembut sambil berkata, "Terima kasih, akhirnya kami menemukanmu."
Ghenadie menatapnya dengan bingung. "Maksud Anda?"
Pria itu tetap tersenyum, kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam saku jasnya. “Kamu adalah putra sulung direktur kami yang selama ini hilang,” ucapnya tenang.
Ghenadie terdiam, hatinya dipenuhi kebingungan. "Direktur? Apa hubungannya denganku?" tanyanya, merasa seolah ia baru saja mendengar sesuatu yang tak masuk akal.
Pria itu membuka dompetnya, mengeluarkan sebuah foto, lalu menyerahkannya kepada Ghenadie. “Ini adalah direktur kami,” katanya sambil menunjuk foto itu. “Pengusaha yang sangat terkenal di Konoha, salah satu yang terkaya.”
Ghenadie menatap foto itu. Benar, sosok di foto tersebut memang tidak asing. Wajah pria yang kini dikenalnya sebagai direktur itu sering kali muncul di televisi dan koran-koran sebagai salah satu tokoh paling sukses di Konoha.
Namun, ada sesuatu yang tidak masuk akal bagi Ghenadie. Memangnya ada hubungan apa dengan dirinya?
"Apa hubungannya denganku?" pikir Ghenadie dalam hati, sambil terus menatap foto itu.
Ia hanyalah seorang penjaja bakso, orang biasa yang hidup sederhana. Bagaimana mungkin ia bisa memiliki hubungan dengan seorang pria kaya raya dan berpengaruh seperti itu?
Sementara kata ibunya ayahnya sudah lama meninggal ketika dia masih bayi, sekarang ibu dan adiknya berada di kampung. Tinggal dirinya yang kuliah dan berjualan bakso untuk membayar kosnya, membayar kuliah dan juga mengirimi ibunya.
Melihat ekspresi bingung Ghenadie, pria tersebut tersenyum lagi, lalu berkata dengan lembut,
"Saya mengerti ini semua pasti sangat membingungkan bagimu, tapi dengarkanlah penjelasanku. Saya telah mencari putra sulung direktur selama bertahun-tahun. Kamu adalah dia."
Ghenadie menggelengkan kepalanya, tidak bisa mempercayai apa yang ia dengar. "Tapi, saya dibesarkan di desa Koromue. Orang tua saya hanyalah petani. Ayahku sudah lama meninggal, bahkan ketika aku masih kecil. Tidak mungkin saya adalah anak dari direktur terkenal."
Pria itu tampak mengerti keraguan Ghenadie.
"Saya sudah menduga akan keraguan ini. Tapi biarkan saya jelaskan lebih lanjut. Ketika kau masih sangat kecil, ada sebuah insiden yang menyebabkan keluargamu terpisah.”
“Direktur kami kehilangan putra sulungnya dalam kecelakaan yang membuat seluruh keluarganya berantakan.”
“Sejak saat itu, kami mencarimu. Kami menemukan beberapa petunjuk yang mengarah ke Koromue, dan setelah bertahun-tahun pencarian, kami akhirnya menemukanmu."
Ghenadie menatap pria itu dengan perasaan campur aduk. Kenangan masa kecilnya mulai bermunculan, tentang bagaimana orang ibunya selalu mengatakan bahwa ayahnya sudah meninggal, tetapi mereka tak pernah memberitahunya siapa orang tua kandungnya.
Selama ini, Ghenadie tidak pernah memedulikan hal itu, karena ia merasa keluarganya sudah cukup baginya. Namun, kini kenyataan yang baru saja diungkapkan pria asing itu membuat segalanya terasa berbeda.
"Saya tidak tahu harus berkata apa," ucap Ghenadie akhirnya. "Saya bukan siapa-siapa. Hanya seorang penjaja bakso di jalanan. Bagaimana mungkin saya bisa memiliki hubungan dengan seorang direktur terkenal?"
***
Langit di atas markas bawah tanah perlahan kehilangan warnanya.Biru berganti putih, lalu transparan, dan akhirnya... hanya kilatan lembut, seolah realitas memilih untuk menjadi hambar agar bisa dimulai ulang.Symon berdiri di pusat simpul dimensi. Tubuhnya tak lagi anak-anak, tapi juga belum sepenuhnya dewasa. Ia bukan manusia, bukan ayam kuno, bukan mesin. Ia adalah titik tengah.“Apa yang akan kau lakukan sekarang?” tanya Razak, yang kini duduk di ambang ruang pelindung waktu.Symon menatap ayahnya. Sorot matanya tenang, tapi jauh. “Aku bisa membuka segalanya. Tapi jika kulakukan... waktu akan kehilangan makna. Tidak akan ada lagi 'sekarang'. Tidak akan ada masa lalu untuk belajar, atau masa depan untuk berharap. Semua... menjadi satu.”Ena-4 bicara pelan, “Itu... bisa jadi akhir dari semua konflik. Atau awal dari kehampaan abadi.”Kembalinya DindaSinar keemasan menyembur dari belakang simpul.Dan dari dalam celah dimensi, Dinda melangkah keluar—masih dengan gaun lapuk dari Dimens
Pagi itu, Symon berdiri di tengah panggung gravitasi nol, membentuk simpul dimensi pertama, suatu titik pusat yang menyatukan tujuh arah waktu, sembilan lapisan realita, dan dua jenis kesadaran.Dari luar, markas bawah tanah berubah menjadi seperti bunga tak kasat mata: memekarkan kelopak-kelopak cahaya ke berbagai penjuru galaksi.Ena-4 berkata dengan suara gemetar, “Jika simpul ini berhasil stabil selama 72 jam… maka tidak akan ada lagi monopoli waktu. Konsorsium akan runtuh… karena dimensi tak bisa mereka kunci lagi.”Kaenra memperingatkan, “Tapi itulah yang membuat mereka nekat. Mereka akan mengerahkan apa pun untuk menghentikan ini… termasuk mengaktifkan sang pendiri yang mereka kubur sendiri.”Mereka akan berupaya dengan segala cara dan kemungkinan, tak peduli seberapa besar rintangan yang menghadang. Dalam diam, tekad itu tumbuh, menguat setiap kali harapan nyaris padam.Mereka sadar, jalan di depan tak mudah—penuh risiko, penuh tantangan. Namun, menyerah bukan pilihan. Mereka
Suasana markas kembali senyap.Tapi bukan damai.Telur kristal yang diberikan Dinda kini diletakkan di dalam kubah waktu-biologis, ruangan berbentuk setengah bola yang mampu mempercepat pertumbuhan sambil menjaga stabilitas energi. Namun apa yang terjadi justru di luar ekspektasi siapapun.Telur itu... tidak statis.Warnanya berubah-ubah setiap detik: biru seperti langit prasejarah, merah seperti plasma dimensi, ungu seperti tinta pemikiran. Dan setiap perubahan warna, seluruh sistem sensorik di markas berkedip.Ena-4 memutar alat pemindai.“Makhluk di dalam telur ini... tidak memiliki bentuk yang tetap. Ia beradaptasi dengan pikiran kita. Jika kita takut, ia akan menjadi bentuk yang kita takuti.”Dia bukan makhluk biasa. Ia seperti bayangan yang bisa mencium rasa takut dan membaca isi pikiranmu. Semakin kau berpikir tentangnya, semakin jelas wujudnya terbentuk.Bila kau takut, ia akan menjelma sebagai horor tergelap dari mimpimu. Tapi jika kau berharap, ia akan menampakkan diri sebag
Tiga hari telah berlalu sejak kejadian di Node Detonasi Sistemik.Seluruh kapsul klon telah mendarat dengan selamat di titik-titik penyamaran. Di antara puing sistem jaringan Konsorsium yang kini mulai kacau, kode empati buatan Razak terus menyebar, menginfeksi pikiran-pikiran dingin yang selama ini hanya mengenal perintah dan data.Namun ketenangan itu retak ketika frekuensi anomali ditangkap oleh Kaenra.“Ini... bukan interferensi biasa,” katanya malam itu. Suara monitornya bergema di ruangan pusat observasi. “Sinyalnya sangat kuno. Seperti berasal dari dimensi yang sudah dikunci 19 tahun lalu.”Itu adalah dunia antah berantah, bukan sekadar asing, tapi tak terlukiskan oleh logika maupun imajinasi. Tak ada peta, tak ada arah mata angin, hanya kabut misteri yang melayang tanpa ujung.Segalanya terasa seperti mimpi buruk yang disembunyikan semesta. Tapi mereka tak punya pilihan. Untuk menemukan kebenaran, mereka harus masuk ke sana. Menembus kekacauan, menantang absurditas.Karena ter
Ruang kendali pusat markas bawah tanah berkedip merah.Ena-4 menjatuhkan stylus logamnya. “Waktunya tinggal dua menit lima belas detik. Jika detonasi dimulai, setiap kapsul klon akan hancur dalam atmosfer. Tidak akan ada bukti yang tersisa... seolah mereka tak pernah ada.”Razak tak bicara. Ia hanya menatap layar hologram yang menampilkan posisi lima belas kapsul pengangkut klon yang meluncur ke berbagai titik dimensi. Salah satu di antaranya membawa Mina-7.Ia menatap dengan senyum damai saat mengirim transmisi terakhirnya. Di balik sinyal cahaya yang merambat di angkasa hampa, tersembunyi perpisahan yang tak terucapkan.Keenam klone lainnya, yang selama ini berbagi kesadaran dan misi dengannya, juga melakukan hal yang sama — saling menatap, saling memahami, saling mengucap selamat tinggal tanpa kata. Mereka tahu, ini akhir dari kebersamaan mereka sebagai satu kesatuan pikiran.Tapi tidak ada ratapan, hanya keheningan agung dan senyum tulus yang menyiratkan penerimaan. Dalam kedamaia
Di tengah malam yang sunyi, di bawah gua berlapis obsidian transdimensional, Razak berdiri seorang diri.RZK-V tidak ikut.Ena-4 dan Kaenra pun menunggu dari jarak jauh.Malam itu bukan untuk para strategis. Bukan untuk para algoritma. Tapi untuk jiwa-jiwa rusak yang telah dibuang sejarah.Di sekeliling Razak, perlahan mulai bermunculan siluet tubuh-tubuh cacat: ada yang memiliki tangan tambahan, sayap yang sobek, mata yang tak bisa fokus, kulit yang terbakar akibat percobaan dimensi.Mereka adalah klon gagal.Dan dulu, di masa eksperimen Konsorsium... mereka dianggap sampah biologis.Namun malam ini, satu suara menggema:“Kalian pernah dilahirkan... bukan karena pilihan. Tapi sekarang, aku ingin menawarkan pilihan yang bahkan mereka tak bisa bayangkan: kebebasan dengan harga kehormatan.”Para Klon yang HilangKlon bernama KZ-011, separuh wajahnya berkulit ayam, separuhnya terbakar asam, berdiri dan bertanya:“Kenapa kau di sini, Razak? Bukankah kau sempurna? Bukankah kau anak sang pa