Wajah pria itu tampak tenang, tetapi ada ketegasan dalam suaranya ketika ia berbicara.
“Siapa kamu sekarang tidak mengubah fakta tentang siapa kamu sebenarnya,” kata pria itu dengan nada bijak. “Kamu adalah putra sulung dari direktur kami, dan keluargamu telah mencarimu selama ini.”
Ghenadie mencoba memahami kata-kata itu, tapi pikirannya terasa buntu. Hidupnya yang begitu sederhana, tiba-tiba berubah dalam hitungan detik.
Setiap harinya, ia hanya seorang penjual bakso keliling yang hidup dalam rutinitas. Bagaimana mungkin ia sekarang dikaitkan dengan seorang direktur kaya raya?
"Putra sulung dari direktur"?
Rasanya tidak masuk akal.
"Aku... Aku tidak mengerti," gumam Ghenadie, suaranya terdengar lemah.
Pria itu mengangguk, seolah sudah mengantisipasi kebingungan yang terpancar dari Ghenadie.
“Kami tidak sedang menipumu. Kami tahu ini bukan hal yang mudah. Tapi direktur kami sangat ingin bertemu denganmu. Setidaknya, berikan kesempatan bagi dirimu untuk mendengar lebih banyak.”
Ghenadie memandang pria itu dengan tatapan bingung. "Apa yang diinginkan direktur dariku? Apakah hanya karena aku putra yang hilang?"
Pria itu tersenyum tipis. “Bukan hanya karena itu. Ada hal-hal besar yang menunggu di depanmu, Ghenadie. Warisan yang telah ditinggalkan untukmu, dan tanggung jawab besar, dan kesempatan untuk mengubah hidupmu, mungkin hidup banyak orang lainnya. Direktur kami ingin kau mengambil alih perusahaan, sebagai penerus yang sah.”
Ghenadie terdiam, pandangannya terpaku pada gerobak bakso yang berdiri di belakangnya. Ia memikirkan kehidupannya yang sederhana, para pelanggan setia yang selalu datang setiap malam untuk menikmati baksonya, dan Lina... Lina yang dulu ia cintai, yang kini telah berpaling pada Joko.
Hinaan dan cemoohan yang ia terima setiap kali bertemu mereka terasa masih segar di ingatannya. Mereka semua memandang rendah dirinya, menganggapnya sebagai pria tak berguna.
"Bagaimana jika itu hanya harapan kosong saja? Pengalihan dari situasi yang aku alami" tanyanya pelan.
Suaranya nyaris tenggelam di antara bisingnya kendaraan yang lewat, tetapi pria di depannya tetap mendengar dengan jelas.
Pria itu menarik napas dalam-dalam, lalu menatap Ghenadie dengan pandangan penuh pengertian.
“Ayahmu memang mengharapkanmu, apa lagi dia sekarang dia dalam keadaan yang kurang sehat. Datanglah bersamaku, Ghenadie. Ini bukan tipuan atau jebakan. Semua yang kubicarakan ini benar adanya. Kamu adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar dari yang pernah kamu bayangkan.”
Ghenadie masih meragukan segala sesuatunya. Rasanya sulit dipercaya. Sejak Lina meninggalkannya untuk Joko, hidupnya seolah terpuruk tanpa jalan keluar. Dan sekarang? Tiba-tiba ada seseorang yang datang dan mengatakan bahwa ia adalah pewaris perusahaan besar? Tidak masuk akal.
“Aku tidak percaya,” jawab Ghenadie dingin. “Tidak masuk akal. Ini pasti tipuan. Kalian hanya ingin mempermainkanku. Kalian pasti sindikat.”
Pria itu menghela napas, tampak sedih. “Aku tidak berbohong, Ghenadie. Semua ini nyata.”
Tetapi sebelum Ghenadie sempat merespons lebih lanjut, terdengar suara gaduh dari arah lain. Sekelompok pemuda mendekat, wajah-wajah mereka terlihat garang, dan salah satu dari mereka mengacungkan sebuah foto.
"Benar, dialah orangnya," kata seorang pemuda yang tampak sebagai pemimpin kelompok itu. “Lihat fotonya, memang sesuai.”
Dalam sekejap, mereka menyerang Ghenadie tanpa peringatan. Tinju pertama menghantam perutnya, membuatnya terhuyung ke belakang. Ghenadie berusaha bertahan, tapi jumlah mereka terlalu banyak.
Sepuluh, dua puluh orang? Ia bahkan tidak sempat menghitung. Serangan datang bertubi-tubi, meninju dan menendangnya dari berbagai arah. Tubuhnya seperti sansak hidup.
Pria yang sebelumnya berbicara dengannya juga tidak luput dari serangan. Dia berusaha melawan, tapi jumlah musuh terlalu banyak.
Sebuah pukulan keras mengenai kepala pria itu, membuatnya jatuh tersungkur ke tanah. Darah mengalir dari pelipisnya, dan ia terkapar di samping gerobak bakso yang hancur.
Gerobak bakso Ghenadie, satu-satunya sumber penghidupannya, dihancurkan tanpa ampun. Roda-roda gerobak itu dipukul hingga terlepas, mangkuk-mangkuk berhamburan, dan piring bakso masih kotor tumpah berserakan di tanah.
Ghenadie jatuh ke tanah, tubuhnya sakit luar biasa. Nafasnya tersengal-sengal, tapi yang paling menyakitkan bukanlah pukulan-pukulan itu. Dari sudut matanya, berada di kejauhan ia melihat sosok yang sangat ia kenal.
Joko. Pria yang merebut Lina darinya. Dan Lina, berdiri di samping Joko, tertawa kecil sambil menatapnya dengan pandangan merendahkan.
“Lina…” bisik Ghenadie, sakit di hatinya melampaui rasa sakit di tubuhnya.
Joko melangkah maju, melemparkan senyum sinis ke arah Ghenadie.
“Kau pantas mendapatkan ini, Ghenadie. Kau pikir bisa kembali berdiri setelah aku mengambil Lina darimu? Kau salah besar. Kau hanyalah pecundang, penjual bakso yang bahkan tidak bisa melindungi dirinya sendiri.”
Lina tidak berkata apa-apa, hanya tertawa kecil sambil memeluk lengan Joko. Hatinya terasa hancur melihat cinta yang pernah ia miliki begitu tega menyaksikannya disiksa tanpa sedikitpun rasa belas kasihan.
"Kau sudah mengambil Lina... Mengapa kau harus menyiksaku lagi?" gumam Ghenadie lemah.
Tapi Joko tidak peduli. Ia hanya memandang Ghenadie dengan tatapan jijik, lalu membalikkan badannya, menggandeng Lina pergi dari tempat itu. Karena keadaan cukup gelap, Joko dan pak Andri, tidak saling mengenal...
Sementara para pemuda itu setelah puas menyiksa, pada meludahi Ghenadie dan pria yang tadi memberikan informasi tentang dirinya. Para pemuda berandalan itu lalu pergi sambil tertawa. Puas.
Rasa sakit itu perlahan memudar menjadi sesuatu yang lain. Ghenadie merasa marah, bukan hanya pada Joko dan Lina, tetapi pada dirinya sendiri. Selama ini ia menerima begitu saja hinaan dan penghinaan orang-orang di sekitarnya.
Selama ini ia hanya menganggap dirinya tak berharga. Namun, sekarang, di tengah rasa sakit dan pengkhianatan, sebuah nyala kecil tumbuh di dalam dirinya.
Pria yang terluka di sampingnya bergerak perlahan, mencoba bangkit meski tubuhnya penuh luka. “Ghenadie…” panggilnya dengan suara serak. “Datanglah menghadap Direktur kami, agar hidupmu tidak selalu di hina orang?”
Ghenadie menatap pria itu. Matanya masih berkaca-kaca, tapi di balik tatapan itu, ada sesuatu yang berbeda.
Ia mulai menyadari bahwa dunia yang baru saja ditawarkan kepadanya mungkin adalah kesempatan untuk melarikan diri dari keterpurukan ini. Mungkin... hanya mungkin... ini adalah jalan keluar.
"Jika kau ingin hidup yang lebih baik, Ghenadie," kata pria itu perlahan. "Ini saatnya kau mengambil kendali atas takdir hidupmu."
Ghenadie terdiam sejenak, merenung. Lalu, dengan sisa tenaga yang masih ia miliki, ia lalu mengambil keputusan besar dan berbisik, "Aku akan melakukannya."
***
Di ruang bawah tanah Biogenetics yang kini disegel, tim penyelidik khusus dari Koalisi Siber Internasional bekerja diam-diam. Salah satunya, Haruto, adalah mantan analis kriptografi Jepang yang kini bekerja untuk Tim Ghenadie.“Ini... bukan kerja Arix sepenuhnya,” katanya pelan sambil menunjuk jejak digital yang tersisa.Claria mendekat. “Bagaimana bisa kau tahu?”Haruto menunjuk fragmen kode yang tampak menyala di layar.“Lihat ini. Teknik enkripsi digunakan dengan algoritma ‘Tsubaki-7’, sistem eksklusif milik Badan Intelijen Jepang. Tapi di dalamnya... ada celah manipulasi memakai protokol ‘Haedong-2’ milik Korea Selatan.”Dinda menoleh. “Jadi ini... operasi gabungan?”Haruto mengangguk perlahan. “Atau, setidaknya, seseorang ingin kita mengira begitu.”Beberapa jam kemudian, Ghenadie mendapat pesan terenkripsi di perangkat lamanya—model yang hanya digunakan saat Perang Data Timur dulu. Pesan itu hanya berisi satu baris: "Kita tahu siapa yang sebenarnya menciptakan Alpha. Dan kam
Langit di atas Libtar masih tampak mendung seperti hari sidang terakhir itu. Tapi di bawah awan-awan kelabu, dunia telah berubah. Tidak lagi sekadar menyoal daging ayam atau genetika, tetapi menyoal apa arti menjadi hidup.Pagi itu, suasana kantor pusat Biogenetics International Corporation di Libtar terasa ganjil. Lorong-lorong yang biasa dipenuhi lalu-lalang ilmuwan dan teknisi kini hening. Ketika Ghenadie sebagai CEO memasuki lobby, langkahnya terhenti.Seseorang berlari dari ruang kontrol, wajahnya pucat pasi.“Pak Ghenadie!” teriaknya. “Para security... mereka... mereka diikat!”Ghenadie bergegas. Di ruang pengawas, lima petugas keamanan tergeletak di lantai, tangan dan kaki mereka terikat dengan kabel serat optik. Salah satu dari mereka masih sadar.“Kami... tak sempat bereaksi. Mereka tahu semua protokol,” gumamnya dengan suara lemah.“Siapa ‘mereka’?” tanya Ghenadie tajam.“Tak tahu... Tapi mereka tahu kode utama... dan masuk langsung ke ruang isolasi unggas.”Detak jantung Gh
Langit di atas Libtar masih tampak mendung seperti hari sidang terakhir itu. Tapi di bawah awan-awan kelabu, dunia telah berubah. Tidak lagi sekadar menyoal daging ayam atau genetika, tetapi menyoal apa arti menjadi hidup.Di sebuah ruangan kaca di tengah hutan yang kini dinamai Sanctuary Gallius, dua sosok berdiri menghadap jendela besar. Yang satu, bersayap, berjubah panjang berwarna abu gelap, matanya menatap lembah hijau yang kini menjadi rumah bagi ratusan ayam mutan.Yang satu lagi, manusia yang dulu menciptakannya, Ghenadie.“Indah, bukan?” kata Gallius, suaranya tenang tapi dalam.“Ya,” jawab Ghenadie lirih. “Lebih indah dari laboratorium mana pun yang pernah kupunya.”Gallius tak menoleh, hanya mengepakkan sayapnya perlahan, “Terkadang, keindahan hanya muncul setelah kehancuran.”Ghenadie menunduk. Ia masih ingat hari-hari terakhir di ruang pengadilan. Betapa rasa bersalah dan kekaguman pada ciptaannya bertempur dalam dadanya.Satu minggu setelah keputusan hakim, suasana duni
Hari itu langit di atas pusat kota mendung. Gedung Pengadilan Internasional Etika Bioteknologi dipenuhi kamera, wartawan, aktivis, ilmuwan, dan warga sipil dari berbagai negara. Di antara kerumunan itu, seekor ayam setinggi manusia dewasa, berjubah hitam, melangkah masuk ke ruang sidang. Di sebelahnya, pengacara manusia bertubuh kecil dan berkacamata tebal membawa berkas setebal kamus ensiklopedia. Di kursi terdakwa duduk Ghenadie, CEO perusahaan bio-genetika terbesar di Asia Tenggara. Wajahnya tenang, tetapi jantungnya berdebar. Ia tidak menyangka, eksperimen yang dulu dianggap sebagai lompatan teknologi akan menyeretnya ke ruang sidang dengan lawan tak terduga. Ayam mutan itu meluruskan lehernya, menatap para juri dengan mata kuning menyala dan berkata dalam suara serak namun jelas: "Nama saya: Gallius Maximus. Saya di sini untuk menuntut hak saya sebagai makhluk hidup yang sadar, yang lahir bukan karena cinta... tapi karena keserakahan." Segalanya bermula tiga tahun
Langit sore menggantung lembut di atas balai pertemuan Kecamatan Sumberjati—bangunan tua yang biasanya digunakan untuk rapat Pemda dan KPU. Hari itu, tidak ada politik. Tidak ada kampanye. Hanya cinta, dan sebuah pernikahan yang lebih dari sekadar dua hati yang bersatu.Ghenadie berdiri di balik tirai jendela kecil di ruang tunggu. Ia menarik napas dalam-dalam, matanya menyisir halaman yang dijaga ketat oleh petugas berseragam sipil.“Berapa banyak yang kamu kerahkan hari ini?” tanya Panji, yang masuk sambil membawa botol air.“Dua ratus,” jawab Ghenadie. “Mereka menyamar sebagai tukang parkir, kru katering, bahkan pemandu tamu. Semuanya dilatih. Kita tidak bisa ambil risiko.”Panji mengangguk. “Didik tidak akan tinggal diam. Kau benar mengantisipasi ini.”Dinda duduk di ruang rias. Gaun putih sederhana membalut tubuhnya. Tak ada hiasan mewah, hanya bunga melati kecil di sisi kepala.“Sudah siap, Nona Dinda?” tanya Lastri yang hari itu bertugas sebagai pendamping pengantin.Dinda ters
Langit pagi menggantung kelabu di atas desa Sumberjati. Embun belum kering, tapi halaman balai desa sudah ramai. Warga berkumpul, sebagian membawa poster buatan tangan, sebagian lagi menggenggam ponsel untuk merekam. Di tengah kerumunan, seorang lelaki paruh baya bernama Pak Wiryo berdiri mematung. Matanya berkaca-kaca, bukan karena sedih, tapi karena harapan yang belum padam."Apa kita benar-benar mau lakukan ini, Pak?" tanya Lastri, guru SD yang jadi penyuluh internet desa.Pak Wiryo mengangguk pelan. "Kalau bukan kita yang bersuara, siapa lagi?"Di tengah lahan luas yang dulunya ladang jagung, kini berdiri tiang-tiang pancang milik proyek Ghenadie. Tapi pembangunan itu baru saja dibekukan oleh pemerintah daerah, akibat sengketa yang diwarnai manipulasi oleh PT. Rekarsa.“Yang saya tahu,” lanjut Pak Wiryo, suaranya mulai lantang, “anak-anak muda kota itu datang bukan untuk menindas, tapi membangun. Dinda, Ghenadie, dan Pak Panji... mereka hormat pada tanah ini. Tapi karena merek
Langit senja di atas kota menguning kusam, seolah ikut menyimpan rahasia yang tak sanggup diungkapkan. Ghenadie berdiri di jendela ruang kerjanya, memandangi gedung-gedung tinggi yang bagai benteng menahan badai. Ia baru saja mengambil keputusan besar—mendirikan perusahaan baru, jauh dari hiruk-pikuk pusat kota, tempat di mana ia berharap Dinda bisa memulai segalanya dari awal. Tanpa bayang-bayang masa lalu. Tanpa tekanan.Ia menggenggam ponselnya, menatap layar kosong.“Saatnya kau punya panggungmu sendiri, Dinda,” bisiknya.Di sisi lain kota, Dinda menatap Didik yang kini berdiri di depannya dengan mata merah dan rahang mengeras. Udara di antara mereka terasa sesak, seolah marah bisa meledak kapan saja.“Jadi begitu ya, Din?” Didik mendesis. “Kau pikir kau bisa semudah itu mutusin gue?”Dinda mengangkat dagunya, matanya tidak gentar. “Ini bukan soal mudah atau sulit, Didik. Ini soal sadar. Aku sadar siapa dirimu sebenarnya dan tidak pernah lupa tentang apa yg kamu lakukan.”“Apa? Ka
Pagi itu, mereka berdua mendatangi kantor polisi. Dinda melaporkan kasusnya dengan suara gemetar tapi mantap. Dokter dari rumah sakit sudah menyerahkan hasil visum, dan Ghenadie mengumpulkan saksi serta bukti rekaman lokasi.Kabar laporan Dinda menyebar cepat. Media mulai menyorot kasus pelecehan yang melibatkan nama keluarga pejabat. Didik mencoba menghubungi Dinda, tapi semua pesannya tak dibalas. Bahkan nomor ponselnya sudah diblokir.Di ruang kerja Pak Santo, suasana memanas."Dia sudah lapor polisi?" bentak Pak Santo.Didik mengangguk. "Dan media mulai mencium. Mereka tulis aku pelaku percobaan pemerkosaan.""Kita harus redam ini! Suruh orang-orang di dewan direksi, cari cara. Jangan sampai hubungan keluarga kita dengan PT Rekarsa kebongkar gara-gara kamu!"Sementara itu, Dinda kembali ke rumah dan mengemasi semua barang-barang yang mengingatkannya pada Didik. Foto, boneka hadiah, surat, semuanya masuk ke dalam kotak besar yang langsung ia buang."Aku nggak percaya pernah mencint
Pagi itu, Ghenadie belum sempat menyesap kopinya ketika Panji muncul dengan wajah muram."Aku butuh bantuanmu, Nad," katanya lirih. "Tanahku... yang di timur laut taman bermain... ada yang klaim."Ghenadie menyandarkan tubuhnya di kursi. "Klaim bagaimana maksudmu?""Katanya itu sudah dijual. Padahal aku, bahkan ayahku, nggak pernah jual. Aku punya dokumen lengkap, termasuk surat dari tahun 1960. Diketahui kepala kampung dan Wedana."Mata Ghenadie menyipit. "Mereka pakai nama siapa buat klaim itu?""PT Rekarsa."Nama itu lagi.Mata Ghenadie langsung menangkap pola. Perusahaan cangkang itu disebut-sebut dalam laporan Panama. Didaftarkan atas nama samaran, digerakkan oleh bayangan-bayangan di balik politik dan properti."Aku harus lihat sendiri," katanya tegas.Dua jam kemudian, mereka sudah berdiri di depan pagar kawat berduri yang baru dipasang. Di baliknya, bangunan kecil mulai berdiri. Di tanah milik Panji."Siapa yang membangun ini?" tanya Panji pada pria tua yang berjaga."Ini proy