Share

Bersembunyilah!

Renata memeluk sang paman dan membuka telinganya selebar mungkin untuk mendengar wasiat apa yang harus ia lakukan.

“Kamu bersembunyilah beberapa waktu sampai ayahmu tiba. Ia akan menghabisi semua pengkhianat itu. Kamu paham maksud Paman bukan?” tanya Pamannya.

Renata mengangguk “Iya Paman, Renata mengerti. Tapi ayah masih akan lama berada di luar negerinya. Ia akan kembali setelah situasi kondusif, mungkin empat sampai lima bulan ke depan. Paman siapa yang telah melakukan semua ini?” 

“Ada ular yang menyamar menjadi tikus dalam sarang kita Renata. Saat ayahmu tidak ada, ular itu mulai melancarkan serangannya. Bisa dan taringnya sangat berbahaya karena ekornya dipegang oleh banyak pihak yang tidak menyukai keluarga kita. Kita semua dalam bahaya termasuk kamu, karena itu bersembunyilah dan jangan sampai mereka tahu siapa dirimu yang sebenarnya.” Jelas sang Paman.

“Renata mengerti paman, kalau begitu sekarang lebih baik kita segera ke rumah sakit untuk merawat luka paman ini!” sahut Renata mencoba membujuk sang paman.

Pamannya sekali lagi menggeleng “Tidak usah Renata, kalau paman ke rumah sakit itu sama saja dengan membiarkan mereka tahu keberadaan dirimu. Kau adalah orang yang sebenarnya mereka incar. Jangan biarkan mereka mendapatkan dirimu, karena kalau kau berada dalam genggaman tangan mereka, maka nyawa ayahmu akan terancam.”

Itu benar, Renata paham tentang siapa dirinya dan kenapa banyak orang yang dendam kepada keluarganya terutama kepada ayahnya dan sekarang dia pun menerima getahnya meski ia tak pernah mau ikut campur dengan bisnis sang ayah dan keluarganya.

“Siapa dia?” tanya Paman Renata menunjuk ke arah Jono.

“Mas Jono, dia ini yang mengantarkan Renata ke sini.” Jelas Renata.

“Apa dia salah seorang pengawal atau pegawai di rumahmu?” tanya sang paman lagi.

“Bukan, Mas Jono ini merupakan tukang paket yang kebetulan sedang mengantar paket tadi, mereka juga telah melakukan pengkhianatan di rumah. Beruntung Renata bisa melarikan diri dan dibantu oleh Mas Jono ini.” Renata memaparkan.

Sang paman manggut-manggut kemudian melambaikan tangan ke arah Mas Jono.

“Kamu kemarilah!” ujarnya memanggil.

Jono mendekat dan sedikit berjongkok di sebelah Renata.

“Kamu, jaga Renata baik-baik. Jaga dia bahkan kalau kamu harus mengorbankan nyawamu, kamu mengerti anak muda?!” Paman Renata menatap ke arah Jono.

Jono sebenarnya tidak terlalu paham apa yang sudah terjadi tapi melihat darah yang terus mengalir dari dada pria separuh baya ini. Jono tahu kalau nafas dari paman Renata ini sudah naik ke dadanya, waktunya telah tiba untuk mengucapkan perpisahan kepada dunia. Demi menghargai wasiat terakhir orang tua ini, Jono mengangguk.

“Iya, Pak. Saya akan menjaga Renata dengan baik.” Sahut Jono berjanji.

Renata menatap ke arah Jono, ia melihat kesungguhan dari mata Jono.

“Terima kasih, kini aku tenang mengetahui kamu Renata ada seseorang yang akan menjagamu.” Ucap sang paman ia menghela nafas panjang dan mengeluarkannya.

Seiring dengan hembusan nafas itu, paman Renata melepaskan nyawanya, ia meninggal dalam pelukan Renata keponakannya dan juga disaksikan oleh Jono sang tukang paket.

Jono menutupkan mata paman Renata yang masih mendelik, ia lalu menoleh ke arah Renata.

“Bagaimana sekarang? Kita harus mengurus jenazah pamanmu kan?’ tanya Jono.

Renata menggeleng “Kita tidak punya waktu untuk itu. Aku yakin dalam satu atau dua jam polisi akan datang ke rumah ini. Mereka yang akan membereskannya, sekarang lebih baik kita segera pergi dari sini sebelum ada yang datang lagi!”

Jono sebenarnya merasa heran dengan ketegaran yang ditunjukkan oleh Renata, tapi gadis berambut panjang ini benar. Mereka tidak boleh terlihat berada di dalam tempat kejadian perkara saat petugas datang memeriksa dan pasti akan mengadakan olah TKP.

Renata melangkah menuju keluar kamar sang paman, ia berbalik dan menatap pria setengah baya yang sudah meninggal dunia tersebut. Renata menghela nafas dan melanjutkan langkahnya, Jono berada di sebelahnya. Ia juga merasa sedih dan kehilangan pria setengah baya tersebut meski Jono dan paman Renata baru berjumpa kurang dari lima belas menit lalu.

Mereka kembali melewati dua penjaga rumah yang mati mengenaskan di ruang tamu, Jono berdoa dalam hati, semoga mereka semua tenang di alam sana.

Jono hendak memutar tuas pintu tapi Renata mencekal lengannya.

“Apa?” tanya Jono.

“Lihat itu, seperti yang kuduga mereka kembali!” Renata menunjuk ke arah halaman depan rumah.

Benar saja apa yang dikatakan oleh Renata, ketiga pria berjas serba hitam itu meloncat turun dari dalam mobilnya.

“Benar dugaanmu, motor tukang paket itu ada di sini. Mereka pasti datang setelah kita pergi tadi!” ucap salah seorang diantara mereka.

“Kali ini jangan sampai mereka lolos! Habisi tukang paket itu dan lukai Renata sampai dia tidak bisa melawan. Tapi jangan sampai dia mati, wanita itu harus diserahkan kepada si Bos hidup-hidup!” jelas pria berjas serba hitam yang berdiri di tengah.

Ketiga pria berjas hitam itu mengeluarkan pistol masing-masing dan melangkah dengan tenang tapi waspada menuju ke arah rumah.

Jono yang urung membuka pintu menoleh ke arah Renata.

Renata tampak berpikir sejenak, ia lalu berbalik lagi menuju ke dalam rumah.

“Ikuti aku!” perintah Renata.

Jono mengangguk, ia mengkuti langkah cepat dan bahkan kini keduanya sedang berlari.

“Itu mereka!” pekik salah seorang pria berjas hitam itu ketika membuka pintu dan melihat Jono serta Renata yang berlari di ujung ruangan, mereka berdua berbelok ke sebuah ruangan lain yang ada di kiri.

‘Dor! Dor!’ dua kali pria berjas hitam itu melepaskan tembakan diarahkan kepada Jono, tapi meleset dan hanya mengenai tembok.

“Kejar mereka!” perintah salah seorang diantara mereka kepada kedua rekannya.

Renata dan Jono sampai di dapur, Renata tahu ada jalan samping di rumah pamannya ini, ia berencana kabur melalui jalan samping tersebut. Untungnya pintu samping di dapur itu tidak dikunci, kini mereka berlari sekencang mungkin di halaman belakang, menuju ke gerbang belakang.

Renata menendang gerbang kecil di halaman belakang yang menuju keluar tersebut, tapi tiba-tiba ia mendapatkan sebuah ide cemerlang.

“Kita kembali ke dalam!” ucap Renata.

“Tapi mereka bakalan segera menyusul kita?!’ sahut Jono panik.

“Ikuti aku dan diam, tutup mulutmu!” perintah Renata.

Jono mengangguk dan membekap mulut dengan kedua tangan, ia mengikuti Renata berbalik masuk kembali ke halaman belakang itu.

Renata tahu ada sebuah celah kecil di dekat pilar, ia mengajak Jono kesana, berhimpitan berdua mereka sembunyi. Tak lama ketiga pria berjas serba hitam itu datang dan terus berlari.

“Sial! Mereka pasti sudah lari keluar, lihat pintu pagar itu terbuka! Cepat kejar!” suruh salah seorang dari mereka.

Jono sebenarnya ingin berteriak karena kakinya sakit keinjak sama Renata, tapi beruntung dia sedang membekap mulut dengan kedua tangan sehingga teriakannya teredam. Renata sengaja menunggu sejenak sampai ia yakin ketiga orang berjas serba hitam itu sudah berada di luar.

“Ayo cepat, kita harus segera kabur dari sini!” ujar Renata, Ia lalu mengajak Jono kembali ke dalam melaui pintu dapur.

Jono mengangguk dan kali ini ia tidak banyak bicara, rasa takut telah menimbulkan kesigapan di dalam diri Jono. Ia melesat mengikuti lari Renata. Masuk kembali ke dapur, melewati ruang tengah yang masih berdarah dan dua mayat penjaga tergeletak begitu saja. 

“Cepat Mas Jono!” Perintah Renata.

Jono setengah meloncat naik ke atas motor, Renata naik ke boncengan dan mereka kemudian bergegas sekencang mungkin melaju meninggalkan kediaman rumah paman Renata yang berdarah tersebut.

“Sial! Kita kena tipu! Cepat kembali ke mobil dan kejar mereka!” perintah salah seorang pria berjas hitam itu ketika mendegar deru motor dari depan rumah.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status