POV Author
"Seorang mayat pria ditemukan mengambang di sebuah parit besar di desa Tandan Hilir ....""Sat! Satriaa! Sini!" Hanin yang baru saja mendengar berita yang dibawakan oleh seorang Reporter di TV itu langsung berteriak memanggil anaknya.Ia tak tahu, padahal sejak tadi Satria sudah memandanginya dengan gelisah di balik pintu kamar.Beberapa saat lalu, Satria baru saja menerima telepon dari Seno. Ia juga bertanya-tanya, bagaimana Seno bisa memiliki nomor teleponnya yang baru. Namun, setelah ia tanya lebih lanjut, ternyata nomor tersebut didapat Seno dari Aini--bibinya.Seno menghubunginya untuk memberi kabar duka bahwa ayahnya telah meninggal. Aswin ditemukan mengambang tak bernyawa di sebuah parit besar. Ada dugaan Aswin bunuh diri karena begitu frustasi melihat warung keduanya terbakar.Remuk hati Satria mendengar kabar itu. Walaupun ayahnya sudah begitu jahat karena sudah menumbalkan kakaknya, namun tetap saja ia masi"Sudah-sudah! Dari pada bergunjing seperti itu, lebih baik kita bantu sekalian untuk menguburkan jasad Airin ini," ujar Ustadz Arif yang akhirnya bisa menenangkan para warga itu.Jadilah kini dua jasad diurus sekaligus dalam rumah Satria itu.Hanin yang tadinya begitu sedih, langsung berubah sikap dan raut wajahnya.Air matanya berhenti seketika. Matanya nanar melihat ke jasad anaknya tersebut. Lalu dengan cepat ia masuk ke kamar.Satria yang melihat perubahan pada sikap ibunya itu lantas langsung mengejarnya.Walau dalam hati ia sudah bisa menebak, bahwa ibunya turut andil dengan masalah Airin ini. Tapi setidaknya ibunya sudah mau berubah dan menyesali perbuatannya."Bu ...." Satria ikut masuk ke kamar ibunya dan mengunci pintunya rapat-rapat."A--aku jahat! Aku orang yang jahat!" Kembali ibunya terlihat kacau dan frustasi, ia melepas kerudung yang sejak tadi digunakannya dan mengacak rambutnya kasar."Bu, suda
"Haah! Akhirnya sampai juga," desisku begitu melihat gapura selamat datang menuju kampungku.Segera kupercepat laju motor. Tak sabar rasanya ingin segera sampai di rumah setelah beberapa bulan tak pulang. Rindu pada rumah pun sudah menumpuk dalam dada.Namun di tengah perjalanan fokusku teralih saat melihat ada keramaian di salah satu rumah warga. Dari bendera yang disematkan di depan rumah tersebut dapat ditebak bahwa ada yang meninggal dunia."Ada yang meninggal, Sat," ujar Fatih dari belakangku. Ternyata ia juga sama, sedang memperhatikan ke titik yang sama denganku."Iya. Tapi bukannya itu rumah Roni ya?" Tanyaku yang baru sadar jika itu adalah rumah Roni, teman sekelas kami semasa sekolah dasar."Iya, bener. Siapa yang meninggal ya? Apa jangan-jangan orang tua Roni?" Fatih balik bertanya."Ya mana aku tahu sih, Tih. Kan kita sama-sama baru dateng."Fatih terdengar terkekeh di belakangku."Mau mampir dulu?" Tawar Fatih akhirnya.Jujur aku sudah penat sekali setelah menempuh tiga j
Kenapa lagi ini? Kenapa tiba-tiba Ibu melarang aku sholat di rumah? Padahal selama ini Ibu tak pernah berkomentar aku mau sholat di mana pun."Kamu itu laki-laki, sholat itu di mesjid, bukan di rumah! Masa sudah bertahun-tahun di pesantren gak ngerti juga!" Ujar Ibu begitu sinis.Kuhela napas kasar begitu mendengar alasan Ibu. Kenapa aku merasa Ibu sekarang berubah? Padahal belum terlalu lama aku tinggal di kost. Tapi perubahan Ibu dan kampung ini sudah begitu kentara."Di luar kan hujan, Bu. Gimana aku mau pergi ke masjid?" Ujarku lembut namun penuh penekanan."Ibu gak mau tahu! Apapun alasannya dan bagaimanapun keadaannya, kamu harus tetap sholat di masjid!" Tegas Ibu lagi seraya mendorongku keluar dari rumah."Kalau kamu gak nuruti perintah Ibu, lebih baik kamu gak usah sholat sekalian!" Aku tersentak demi mendengar perkataan Ibu itu. Sampai sebegitunya Ibu ingin aku sholat di Masjid. Ya, memang bagus sih. Tapi kan lihat situasi dan kondisi juga. Sesaat kupandangi rintik hujan y
Namun tiba-tiba keadaan kembali seperti semula. Bau anyir darah perlahan menghilang, bersamaan dengan itu sebuah tepukan di pundak sukses mengagetkanku."Aaaaa ... Setaaan!" Pekikku masih dengan menutup mata."Hei, Satria! Apa-apaan kau ini? Ini aku Ibnu."Spontan aku membuka mata saat mendengar suara anak Ustadz Arif yang sepantaran denganku itu."I--ibnu? Kau benar Ibnu?" Tanyaku ragu-ragu sembari menyentuh lengannya. Sekadar mengecek ia benar manusia atau setan yang sedang menyamar."Kau ini kenapa sih?" Ibnu bertanya balik dengan wajah heran menatapku."Kok lama sekali, Nu?" Tiba-tiba salah seorang jamaah muncul dari luar membuat aku bisa bernapas lega karena yakin sosok Ibnu di hadapanku ini benar-benar manusia."Ta--tadi aku mau wudhu, tapi tiba-tiba ada--." Aku langsung terdiam tak melanjutkan perkataanku saat Ibnu memberi isyarat agar aku diam."Kalau sudah wudhu, cepat sholat, Sat. Sebelum waktu Maghrib habis," titah Ibnu seraya hendak melangkah keluar dari kamar mandi."Tung
"Maksud Ayah apa?" Tanyaku pura-pura bodoh."Tak ada. Cepatlah masuk kamar, dan besok pagi cepat-cepatlah kembali ke kost-anmu," tukas Ayah begitu tegas, lalu pergi begitu saja tanpa memberi kesempatan aku untuk membantahnya.***Kupikir perintah Ayah tadi malam hanya sekedar candaan saja. Tapi ternyata aku salah, pagi-pagi sekali Ibu sudah sibuk terus mendesakku untuk berkemas dan kembali ke kost. Benar-benar aneh. Akibat terlalu percaya mitos di bulan Suro ini mereka sampai tega mengusirku yang baru saja datang."Bu, bukannya Ibu pernah bilang tak boleh bepergian jauh saat bulan suro? Kenapa sekarang malah memintaku pergi? Apa Ibu tak takut aku bernasib sama dengan Roni?" Tanyaku sedikit bergidik saat menyebutkan nama Roni.Ibu yang sedang sibuk mengemas bekal untukku langsung menghentikan gerakannya."Sudahlah! Kali ini patuhi saja semua permintaan Ayah dan Ibu. Ini semua juga demi kebaikanmu," tegas Ibu.Aku yang tak lagi dapat membantah, lantas kembali masuk ke kamar. Kuraih pon
Tanpa banyak berpikir, aku langsung bangkit dari pembaringan, membuat Ibu yang sedari tadi menatap sendu langsung menahanku."Kamu mau kemana?""Aku mau ke rumah Mas Seno."Mendengar jawabanku, Ibu makin kuat menahan tubuhku."Jangan! Lebih baik kamu istirahat saja dulu, Nak. Kamu juga baru kecelakaan.""Enggak, Bu! Aku udah baikan. Jadi Ibu jangan coba-coba menahanku. Lagi pula Mas Evan meninggal juga gara-gara nyelamatin aku. Gak etis saja rasanya kalau aku tak hadir di pemakamannya," tegasku sembari menepis pelan lengan Ibu."Ayahmu sudah ada di sana, Satria. Tolonglah turuti Ibu kali ini." Ibu kembali memohon saat aku berusaha melepaskan selang infus.Namun tetap saja aku tak bisa menuruti perkataannya lagi kali ini. Karena penting untukku menyaksikan langsung pemakaman Mas Evan. Kalau bukan karena dia, mungkin kini aku hanya tinggal nama.***Dengan diikuti Ibu yang masih terus melarangku, akhirnya aku tiba di kediaman Mas Seno yang sudah ramai oleh pelayat itu. Mas Seno dan Mas
"Bapakmu tahu siapa orangnya?"Fatih menggeleng."Bapak hanya tahu hal tersebut dari gosip mulut ke mulut."Aku langsung membuang napas kasar mendengar itu."Berarti belum tentu juga kebenarannya kan? Lalu kenapa harus takut?" Ujarku kembali tak percaya."Aku awalnya juga begitu, Sat. Untuk apa juga percaya dengan gosip yang gak jelas. Tapi setelah kejadian seperti ini menimpamu, aku jadi mulai percaya.""Tih, percayalah. Semua yang terjadi itu hanya kebetulan. Jangan semua kemalangan dikaitkan dengan mitos. Kalau pun harus meninggal di bulan suro, mungkin sudah takdirnya begitu," ucapku berusaha meyakinkan Fatih, walau sebenarnya hatiku sendiri pun tak yakin.Sepertinya lebih baik untuk saat ini aku urungkan saja bercerita tentang keanehan yang kualami. Daripada Fatih jadi semakin ketakutan tak karuan."Tapi tetap berhati-hatilah, Sat. Kalau memang semua itu benar. Karena manusia yang biasanya sudah terpengaruh iblis akan buta mata hatinya hingga bisa saja melakukan perbuatan keji ap
"Jadi tadi kamu sholat Maghrib di rumah, Nak?" Tanya Ibu masih menatapku dengan tegang.Aku berusaha sesantai mungkin menanggapi mereka."Iya, kenapa, Bu? Apa karena hal itu Ibu melarangku sholat di rumah?""Karena hal apa?"Kali ini aku yang dibuat heran dengan pertanyaan Ayah. Harusnya Ayah peka apa maksudku jika ia pun mengalami hal yang serupa."Lho memangnya Ayah atau Ibu tak pernah mengalami keganjilan saat sholat di rumah?"Terlihat kedua orang tuaku saling bertukar pandang. "Ya sama, Sat. Tapi kan keganjilan yang didapat itu berbeda-beda," sahut Ayah setelahnya. Tapi entah mengapa aku merasa Ayah tak sepenuhnya berkata jujur."Memangnya tadi kamu mengalami keganjilan yang bagaimana, Nak?" Ibu kembali bertanya dengan nada khawatir."Oh cuma sekedar dengar suara-suara aneh saat sholat saja kok, Bu."Terdengar Ibu menghela napas berat mendengar jawabanku."Sekarang kamu tahu kan alasan kenapa ibumu melarang kamu sholat di rumah?" Ayah kembali bersuara."Memangnya sejak kapan rum