"Ih, bibirnya itu lho ... ngegemesin. Nantangin kayaknya!" terlihat tangannya mencengkeram menggenggam gemas ke arahku.
"Nantangin apa?" selidikku.
"Nantangin buat dicium tahu!" ucapnya lalu menutup mulut, sepertinya refleks.
"Mulai, ya ... aku tinggal pergi, nih! Aku lagi males buat bercanda tau!"
"Sorry, gak deh ... silakan Nona Manis buat bercerita! Jangan ngambek, dong!
"Dengerin baik-baik sebelum aku berubah pikiran!"
***
Dulu saat masih berusia 16 tahun setelah lulus SMP, kuputuskan pergi merantau ke kota untuk mencari pekerjaan. Ibu dan ayahku memang orang miskin yang tinggal di desa dan tak sanggup membiayaiku sekolah SMA. Mereka hanya bekerja sebagai buruh di sawah tetangga dengan upah sangat minim.
Hingga aku bertekad ingin merubah nasib, menjadi anak semata wayang yang merasa punya kewajiban untuk membahagiakan mereka. Walau berat hati akhirnya aku diijinkan pergi bekerja sebagai pelayan toko pakaian. Dengan pe
Beruntung ada Arfa yang memberi semangat dan menguatkanku.Beberapa saat kemudian, Arfa pamit untuk pulang. tiba-tiba Dio datang dengan muka merah padam. Namun, belum sempat mendekat ke arahku. Arfa terlihat sudah mencekal lengan suamiku, lalu mengajaknya keluar.Terdengar suara keributan di luar, sepertinya mereka sedang adu debat. Aku hanya bisa mencuri dengar dengan cemas, takut terjadi sesuatu pada mereka. Tapi syukurlah, beberapa saat kemudian akhirnya Dio masuk bersama Arfa. Lalu tersenyum dan meminta maaf karena tak bisa menemaniku.Dio terlihat lebih sumringah tatkala melihat putri kecilnya yang juga nyaris mirip dengannya. Entah apa yang mereka debatkan tadi, tapi aku bahagia melihat suamiku akhirnya mau peduli pada kami.Setelah keadaanku benar-benar pulih akhirnya aku diperbolehkan pulang, Dio terlihat antusias menggendong dan menunggui putri kami yang terlelap tidur.Namun, ibu mertuaku seperti tidak menyukai kedekatan dan kebahagiaan k
"Hingga akhirnya kami bertemu denganmu. Matahari menyengat dengan teriknya dan saat itu kami sudah sangat lelah setelah berjalan beberapa kilo meter untuk mencari kost-an. Kamu masih ingat, kan, awal perjumpaan kita? Kamu yang aku sangka tukang ojek waktu itu?" Kupandangi wajah serius Reyhan yang sejak tadi fokus mendengarkan cerita hidupku."Tentu, aku masih ingat betul. Ria, betapa menderitanya kamu sejak dulu sampai sekarang. Maafkan aku!" jawab Reyhan kemudian menarikku dalam pelukannya setelah sempat menghapus air mata yang menganak sungai di pipiku."Maaf untuk apa? Aku memang menyedihkan, iya 'kan?" Karena terbawa suasana kubalas pelukannya. Rasanya nyaman dan lega setelah bisa mengeluarkan isi hati yang menyesakkan ini.Rasanya damai bisa mendapatkan tempat untuk sesaat bisa bersandar melepaskan kesedihan setelah bertahun-tahun menyimpannya sendiri."Kamu itu kuat, Ria, bahkan sangat kuat. Aku salut akan perjuangan juga kesabaranmu itu." Rey
"Dan kamu pula yang kasih ide aku, akibat kamu nyangka aku ini tukang ojek ya sekalian aja aku ngaku jadi orang bawahan biasa biar kamu tetap mau berteman denganku," lanjutnya."Terus, gimana bisa kamu punya ide jadi HRD di kantor? Gimana caramu mengurus perusahaan di balik ruang HRD? Pantas saja aku selama kerja disitu belum pernah sekalipun ketemu sama big bos," selidikku pula penuh ingin tahu.Aku memang belum pernah bertemu dengan big bos di tempatku bekerja, walau kadang iseng bertanya pada karyawan lain, mereka hanya menjawab bahwa bos sedang di luar negeri mengurus bisnis yang lain."Mau gimana lagi? Itu juga karena kamu, mana mungkin aku ngaku jadi bos? Kebetulan posisi HRD waktu itu lagi kosong, jadi aku pakai saja posisi itu dan terpaksa secara diam-diam menghandle perusahaan di balik kursi jabatan itu. Semua pegawai juga sudah kusuruh tutup mulut jika kamu bertanya tentang bos disitu, untungnya semua gak ada yang bocor," jelas Reyhan."Kenapa s
Aku seperti seorang terdakwa yang sedang diinterogasi."Aku 'kan sudah sering bilang kalau tak akan mau jatuh kembali kedalam lubang yang sama, sekalipun keadaannya sudah jauh berbeda," jawabku datar."Apa rasa cintamu padanya sudah hilang begitu saja? Apa kamu sudah lupa saat-saat bahagia dengannya? Pengorbanan kalian untuk bersama dulu tentunya!""Sudah kukubur dalam-dalam, Mas. sakit hati dan kekecewaanku lebih besar dari rasa itu. Aku sudah melupakan semuanya dan sudah terbiasa tanpanya." Aku menoleh ke arah lain untuk menghindari tatapan Reyhan yang sulit kuartikan itu."Tapi jangan lupa, Dio itu juga berhak atas Dhea. Berikanlah waktu untuk mereka bersama agar bisa menebus waktu yang dia sia-siakan untuk memberikan kasih sayang pada putrinya." Reyhan menggenggam erat tanganku."Mas Dio apa juga pernah bilang seperti itu padamu?" Aku tersentak mendengar ucapan Reyhan, kulepaskan genggaman tangannya kemudian menghadap ke arahnya dan menatap mat
Kami pun melepas rindu dengan saling bertukar cerita selama berpisah, lalu kujelaskan akar permasalahan keluargaku yang sebenarnya pada bapak dan ibu. Kedua orang tuaku sedikit banyak memang sudah tahu dari mas Dio. Namun, perlu kuluruskan karena masih ada beberapa hal penting yang disembunyikan mas Dio. Terlihat ekspresi keduanya ikut geram dan marah menanggapi ceritaku, tapi kemudian mereka tersenyum lega dan bahagia setelah mendengar bahwa kami baik-baik saja, karena beruntung ada seorang pemuda yang menolong di kota pelarian. "Ya sudah, Nduk, jangan diingat-ingat lagi kejadian itu. Semoga keputusan yang akan kamu ambil benar-benar tepat dan lancar terlaksana nantinya." Bapak tersenyum, seperti mengisyaratkan memberi kekuatan dan dukungan. "Terima kasih Bapak dan Ibu sudah mau mengerti juga mendukung keputusan Ria." Aku pun merasa lega serasa mendapat kekuatan tambahan. Tak terasa sudah sebulan aku dan Dhea tinggal di rumah orang tuak
Mas Dio tiba-tiba menubruk dan memelukku sangat erat. Membuatku reflek meronta sekuat tenaga melepaskan pelukan yang sangat tidak kuinginkan itu."Ria, aku mohon jangan tinggalkan aku! Aku teramat mencintaimu, hatiku sangat sakit melihatmu bersama Reyhan!" Mas Dio menangis, merengek dan tetap memeluk erat hingga aku sulit bernapas."Lepaskan aku, Mas! Aku susah bernapas!" Dengan napas tersengal, kucoba mendorong badan kekarnya.Dan akhirnya sedikit terlepas, lalu ....PLAK ....Kutampar pipi mas Dio sekuat tenagaku hingga tangan terasa panas."Ma ... maaf, Mas, bukan maksudku berbuat demikian. Aku tak sengaja, aku hanya reflek karena mendapat perlakuan tak pantas." Aku benar-benar menyesal dan tak sengaja menamparnya, bahkan tak menyangka bisa melakukan hal itu padanya."Tidak apa-apa Ria, memang aku pantas mendapatkannya. Maaf, telah berani menjamahmu, lagi. Aku terlalu cemburu melihatmu dengan Reyhan. Tapi, benarkah semudah itu kau
"Masa Om Reyhan lupa, sih? Inget gak Om, yang kemarin pas kita di taman sebelum Dhea pulang kesini?""Yang mana, Dhea? Om lupa!""Itu loh, yang Om ngajakin Dhea ganggu cewek yang duduk di kursi pinggir taman, Om bilang gini ke kakaknya ... 'hai, Cantik, mau gak jadi ibu dari anak aku yang lucu ini?' Nah, terus pacarnya dateng bilang gini, 'maaf, Pak Poh, dia pacar saya!' Inget gak, Om?""Hahaha ... iya, om inget, itu yang kamu bohongin om 'kan? Kamu bilang pak poh itu artinya kakak ganteng di bahasa Jawa, tapi ternyata artinya bapak sepuh alias bapak tua! Akhirnya, om malah diledekin juga diketawain sama mereka, gara-gara kamu kerjain, jadi salah mengerti kata pak poh itu!""Hihihihi .... " Aku dan Dhea cekikikan mendengar cerita Reyhan."Padahal om udah seneng banget dipanggil kakak ganteng sama duo abg itu, eh endingnya dikata bapak-bapak juga!""Hahahaha .... " Aku tak bisa menahan tawaku lagi."Dhea, Dhea ... kamu itu pintar. Pint
"Aku tak mau Dhea kehilangan sosok papanya lagi, dari itulah aku ingin mendekatkan diriku padanya. Aku menyesal telah kehilangan masa kecilnya," tambahnya lagi."Iya, Mas, aku mengerti."Akhirnya kami terus berbincang menceritakan tentang Dhea dan Diego.Kemudian berjanji akan menjadi orang tua yang baik untuk putri kami, meski tidak bisa bersama sebagai orang tua lengkap yang tinggal satu atap.Tak terasa waktu beranjak malam, kuputuskan untuk meminta diantar pulang. Saat akan bangkit dari duduk tiba-tiba kepalaku terasa sangat pusing dan kantuk hebat menyerangku."Aduh, Mas, kok aku pusing banget ini. Buminya kok bergoyang ya, rasannya?" Kupegangi pelipisku yang terasa teramat pening."Kamu kenapa, Ria? Kamu sakit, ya?" tanyanya sambil mendekat."Gak tau nih, tiba-tiba pusing" Kukedip-kedipan mataku agar kelopak yang terasa berat bisa terbuka. Namun, tetap saja berat, malah mas Dio terlihat ada dua."Kamu ga