Hari ini, wajah Lily terus tersenyum sepanjang hari. Tak lagi ada galau ataupun rasa sedih seperti beberapa bulan yang lalu saat ia bercerai. Bagas yang baru tiba di Jakarta kemarin, sengaja meluangkan waktunya untuk mengantar Lily periksa ke dokter kandungan. Ah, ini jadi salah satu penyebab Lily amat bahagia hari ini.
Sepanjang jalan Lily terus mengoceh. Ia bercerita setiap harinya ia punya banyak pelanggan di kafenya Tya yang terus mengajaknya berkenalan. Katanya, tak hanya pria bahkan wanita dan anak kecil pun ada.
"Seru dong. Kamu suka?" tanya Bagas. Lily mengangguk senang. Ia menyebutkan satu persatu nama pelanggannya dan anehnya ia pun hapal.
"Bagas, terima kasih ya."
"Terima kasih untuk apa?" tanya Bagas. Ia berpura tak tahu. Ia yakin, ini menyangkut kehadirannya menemani Lily untuk periksa kandungan.
"Sudah mau jadi seseorang yang sayang sama aku," ujarnya dengan senyum manis yang menguar dari bibirnya.
Bagas mengangguk, tapi aura yang terpancar bukan menunjukkan rasa bahagia. Ia malah terlihat sedih. Ah, bukan sedih karena mengantar Lily tapi sedih karena sesuatu yang belum sempat ia katakan.
Tak berapa lama, akhirnya mereka pun tiba di parkiran sebuah rumah sakit terkenal di Jakarta. Bagas membuka sabuk pengaman miliknya dan juga Lily. Napasnya tercekat saat tangannya tak sengaja menyenggol tangan Lily. Jantungnya berdegup kencang.
"Kita sampai. Yuk, turun."
Tangan Lily menarik tangan Bagas, si empunya pun menoleh. Alisnya saling bertaut seolah mengatakan ada apa?
"Kamu kenapa?" tanya Lily. Ia sedikit sensitif atas perubahan sikap Bagas tadi. Walau Bagas tak menyinggungnya, bisa ia rasakan kalau pria itu mengubah raut wajahnya.
"Lily, maaf kalau aku membuatmu tak tenang tadi. Aku tak ingin pengakuanku jadi beban untukmu. Sekarang, fokus pada anakmu dulu ya. Nanti, aku akan cerita perlahan." Bagas kembali tersenyum dan mengusak rambut Lily. Ia keluar dari pintu sebelah kanan dan membuka pintu sebelah kiri.
Lily pun turun. Tangannya digandeng mesra oleh Bagas menuju ke poli khusus dokter kandungan. Ternyata disana sudah banyak antrian para ibu hamil yang diantar oleh suaminya.
Lily duduk di salah satu bangku, Bagas pergi mendaftar terlebih dulu. Mata Lily terpaku pada pemandangan yang membuat airmatanya kembali jatuh. Pemandangan yang membuat hati rapuhnya kembali rapuh dan hancur. Tak sadar tangannya mengusap perutnya yang masih datar namun terasa menggunduk.
"Lily, kita dapat nomor 40. Sabar ya." Bagas memperlihatkan nomor antriannya, Lily mengangguk sedih. "Kamu kenapa?"
"Enggak apa-apa kok."
Bohong. Lily terlihat tidak baik-baik saja saat melihat pemandangan di depannya. Banyak pasangan datang dan saling bercanda mesra menunggu dokter datang. Mungkin itulah yang sedang Lily pikirkan. Karena, Bagas melihat Lily terus mengusap perutnya dengan tatapan datar dan wajah sedihnya.
Bagas pun duduk di bangku sebelah Lily. Ia ikut mengusap perutnya lalu mendekatkan telinganya kesana. Ia bersikap seolah ayah dari anak yang dikandung oleh Lily.
"Lily, bolehkah aku jadi ayah dari anakmu?" pertanyaan Bagas membuat Lily terdiam. Usapannya berhenti, Bagas pun sama. Mata Lily berkaca-kaca dan satu tangannya terulur mengusap wajah Bagas.
"Aku sudah melukaimu dulu," jawab Lily.
"Aku tak merasa terluka. Itu bukan salahmu, itu takdir. Aku bertahan sendiri karena masih mencintai kamu. Maukah kamu kembali padaku, Lily?" Bagas memohon. Lily terdiam kembali. Matanya tak berani menatap Bagas satu kali pun. Ia takut.
"Maaf. Aku belum bisa. Prioritasku sekarang adalah anak ini," ucapnya pelan.
"Tak apa. Perlahan tapi pasti, kamu akan kembali padaku."
Tak lama kemudian, nama Lily dipanggil oleh salah satu suster. Lily berjalan pelan diikuti oleh Bagas yang setia menggandeng tangannya. Tak hanya itu, Bagas bahkan mengaitkan tangannya pada pinggang Lily agar ia mendekat. Lily terhenyak namun ia merasa nyaman.
Lily dan Bagas pun masuk kedalam ruangan. Ini pertama kalinya ia periksa kandungan bersama Bagas. Biasanya, ia sering datang bersama Tya. Dokter kandungan yang sudah hapal dengan dirinya pun berdecak kagum melihat Bagas yang begitu telaten membantu Lily. Ia bahkan berpikir bahwa mereka adalah sepasang suami istri
"Wah, datang sama suaminya ya? Mbaknya tidak ikut?" tanya dokter berbasa-basi. Lily menoleh ke arah Bagas lalu mengangguk. Ia tak mau ambil pusing menjelaskan siapa Bagas sebenarnya.
"Iya dok."
"Ibu Lily naik ke atas, tiduran dulu. Saya mau ke luar sebentar, ada perlu." dokter tadi berjalan keluar ruangan namun tak lama ia masuk lagi sambil membawa benda di tangannya beserta suster yang biasa membantunya.
"Bajunya dibuka tidak dok?" wajah polos Bagas membuat dokter terkekeh lalu mengangguk. Tangannya memberi kode pada Bagas untuk menaikkan pakaian Lily hingga sebatas perut.
Dokter memeriksa denyut jantung dan perut Lily, lalu mengacungkan jarinya karena hasilnya bagus. Dan karena ini sudah masuk trimester pertama, dokter menyarankan untuk test USG supaya terlihat perkembangan janinnya.
Setelah ada persetujuan, dokter pun mengoleskan gel ke seluruh perut Lily dan menempelkan alat USG sambil sesekali melihat layar. Ia tersenyum. Tangannya menunjuk ke arah dua bongkahan kecil sebesar kacang yang terpampang di layar. Bentuknya cantik, persis memang seperti kacang.
"Saya melihat ada dua titik. Semoga saya tidak salah ya, anak ibu Lily kembar. Tapi, untuk lebih pastinya setelah lewat 5 bulan bisa kesini lagi kita USG dan lihat perkembangannya," ujar dokter. Ia menaruh alat dan membersihkannya dibantu oleh suster yang bertugas.
Lily masih tak percaya. Ia akan mendapat dua anak yang lucu. Matanya berbinar, Bagas tergerak duduk di sebelahnya dan menggenggam erat tangan Lily.
"Anak kamu dua, Lily. Pasti lucu, kembar."
"Pastinya. Aku membayangkan mereka main bersama terus saling rebutan. Ah, pasti ramai sekali." Lily seperti akan berjingkrak kegirangan kalau saja ia tak ingat sedang mengandung.
"Aku turut bahagia. Apalagi, kalau aku jadi papanya," ujar Bagas. Lily melepaskan tangan Bagas. Senyumannya sedikit memudar. "Tapi, aku tidak memaksa."
Lily turun perlahan dari atas tempat tidur dan kembali duduk berhadapan dengan dokter. Lalu ia pun bertanya," Dok, apakah perkembangan janinnya sehat?"
Dokter menoleh, kembali ia tersenyum dan menjawab," Janinnya sehat. Semoga saja pemeriksaan selanjutnya lebih bagus ya. Ini saya resepkan vitamin dan penambah darah untuk ibu Lily. Selalu makan makanan yang bergizi." dokter menjeda kalimatnya, lalu melirik Bagas yang terlihat kebingungan karena lirikan itu. " Jangan ada aktivitas ranjang dulu selama trimester pertama."
Wajah Bagas memerah malu. Ia dan Lily sempat saling melirik pula satu sama lain. Keduanya pun menunduk dan terdiam.
"B-baik, dok."
Setelah selesai memeriksakan kandungan, mereka pun segera pulang. Selama di perjalanan, mereka nampak tak bersemangat seperti saat berangkat. Tak ada lagi celotehan Lily ataupun suara musik mengalun.
Lily menoleh pelan. Ia memperhatikan Bagas yang sedang fokus pada setirnya.
"Bagas..." Lily memulai percakapan. Bagas menoleh dan menaikkan alisnya.
"Kenapa? Kamu mau apa? Lapar?" tanya Bagas tanpa jeda. Lily menggeleng. "Lalu apa?"
Lily masih terdiam, tak berani menjawab. Lima detik kemudian ia menarik napas perlahan. Bibirnya bergetar, ada sesuatu yang ia tahan.
"Maaf. Maaf membuat kamu merasa tak nyaman tadi. Omongan dokter jangan diambil hati."
"Oh, masalah itu? Aku tidak apa-apa. Wajar, karena dia tidak tahu." Bagas berusaha tak membahas lebih dalam. Ia tahu jika Lily pasti tak ingin membahas masalah ini sekarang.
"Bagas. Kamu ada waktu makan siang di rumah?" ajak Lily. Bagas tanpa banyak pikir menganggukkan kepalanya. Ini kesempatan ia kembali dekat pada mantan kekasihnya.
"Iya, aku mau. Kita makan siang di rumah."
Bagas menoleh melihat senyuman manis itu kembali menguar di bibir manis Lily. Sadar akan tatapan Bagas, Lily pun bertanya padanya," Kamu kenapa?"
"Aku senang lihat senyuman kamu. Aku pernah bilang kan, kalau senyuman kamu itu candu bagi siapapun," puji Bagas. Wajah Lily memerah, pujian Bagas membuatnya malu.
"Apa kabar dengan ibu? Beliau masih aktif buat pesanan kue?" tanya Lily tiba-tiba.
"Masih. Oh iya kapan hari aku ke Bandung beliau titip pesan. Katanya, salam untuk Lily."
"Benarkah?" Lily melonjak kegirangan. Tak sadar ia memegang bahu Bagas dan menggoyangnya.
"Iya, katanya dia kangen. Nanti aku ajak dia ke Jakarta." Lily mengangguk. Tapi detik berikutnya ia terlihat muram. "Kenapa?"
"Aku malu bertemu beliau."
"Kenapa malu?"
"Karena aku mengecewakan anaknya."
Bagas mengerti maksud kecewa yang dikatakan oleh Lily. Lima tahun mereka menjalin kasih, tiba-tiba saja Lily memutuskan hubungan tanpa pemberitahuan. Siapa yang tidak kecewa? Terlebih ibunya yang sudah terlanjur sayang pada Lily. Bahkan menganggap Lily bukan hanya sekedar kekasih Bagas, tapi juga calon menantu.
Ibunya memang kecewa, tapi tidak terlalu lama. Karena ia yakin, Bagas akan menemukan seorang perempuan yang akan menggantikan Lily suatu saat nanti. Tapi, dalam hatinya ia masih berharap Lily adalah calon istri untuk anak semata wayangnya.
"Ibu tidak seperti itu, Lily. Dia masih anggap kamu seperti dulu," ujar Bagas menenangkan Lily. Tangan Bagas meraih tangan Lily lalu menggenggamnya erat. Lily terkesiap, ia ingin melepasnya namun genggaman Bagas begitu nyaman.
"B-bagas..."
"Izinkan aku menutup luka hatimu." Bagas menoleh. "Aku akan jadi pengganti Rayyan."
Untuk kesekian kalinya Bagas mengatakan hal ini. Ada rasa bahagia dan ada rasa sedih yang bergelayut di dalam hati Lily. Tak tahu harus menjawab iya atau tidak.
"Hmm.."
Dughh!! Mobil yang ditumpangi oleh Rayyan menabrak pinggir jembatan. Lampu depan pecah dan bunyi alarmnya terdengar cukup keras. Rayyan tersadar dari lamunannya lalu memutuskan untuk keluar dari dalam mobil. Ia butuh udara segar. Rayyan berdiri di sisian jembatan. Matanya tertuju pada ramainya lalu lintas di bawah sana. Terbersit pikiran kotor untuk mengakhiri hidupnya. Namun lagi-lagi ingatannya tentang Lily kembali membawanya pada kewarasan. "Aku harus hidup demi kedua buah hatiku," bisiknya dalam diam. Rayyan belum pernah bertemu kedua anaknya dan ia tak mau mati konyol hanya karena kebodohan. Ia pun segera ke dalam mobil dan melanjutkan perjalanannya. Sementara itu, Nayya yang sejak sore tadi sudah berada di rumah menjadi sedikit cemas karena sosok Rayyan yang belum juga kembali. Ponselnya pun tidak aktif. Nayya mencoba menghubungi beberapa rekannya tapi hasilnya nihil. Rayyan tak ada dimana-mana. "Kemana perginya Rayyan?" Nayya terus mencari cara agar bisa tahu dimana suam
Mengerikan. Rayyan mendapati sang ayah tersenyum sendiri saat duduk satu ruangan dengannya. Ia terus menerus mengecek ponselnya lalu kembali tersenyum tanpa tahu apa sebabnya. Sebagai anak yang baik, Rayyan tentunya sangat penasaran mengapa ayahnya terlihat bahagia hari ini. Tak seperti biasanya. "Papa sedang merencanakan apa?" ujar Rayyan yang kini sudah risih dengan tingkah Ardiwira. "Oh, papa sedang melihat beberapa koleksi perhiasan. Sepertinya cocok untuk mama," jawab Ardiwira sembari memperlihatkan isi ponselnya. "Papa tidak sedang merencanakan sesuatu yang berhubungan dengan Lily kan?" tanyanya lagi. Ardiwira mengangguk pelan. Namun Rayyan tak langsung percaya padanya. "Papa mau kamu datang ke rumah besok Sabtu. Ada sesuatu yang akan papa bicarakan," perintah Ardiwira dengan mata tertuju pada Rayyan. Ia menutup ponselnya lalu menopang satu kakinya dengan santai. "Ini serius dan kamu bawa juga Nayya kesana." "Untuk apa? Bukankah papa tidak suka padanya?" "Apa dia selamany
Mata Lily terlihat kosong. Sejak Bagas pulang kerja sore tadi, ia hanya berdiam diri di kamar sambil memandangi kedua anaknya. Sesekali Lily beranjak ke dapur untuk makan lalu kembali lagi ke kamar. Bagas mengerutkan dahinya. Ia pun akhirnya memberanikan diri untuk bertanya padanya. "Kamu kenapa, sayang? Ada yang mengganjal hati?" "Tadi siang dia datang. Entah dari mana dia mengetahui alamat rumah ini." Lily mengembuskan napasnya yang terasa sesak di dada. "Dia mengajakku menemui Ardiwira. Mrnurutmu, aku harus menurutinya atau tidak?" "Apa yang diinginkan Ardiwira darimu?" Bagas mengubah posisinya. Matanya ia fokuskan pada Lily. "Dia meminta si kembar? Kumohon jangan." "Sampai mereka nangis darah pun tidak akan aku berikan." "Tidak salah kalau aku mengajukan status si kembar ke pengadilan," ujar Bagas. Ia berdiri mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah amplop berwarna coklat yang terlihat tebal dari luar. "Minggu depan kita sidang. Si kembar akan sah jadi anak kandungku." Ma
Nayya tak sabar menunggu informasi yang diberikan oleh orang suruhannya. Sejak tadi ia gelisah melirik arloji di tangannya menunggu kedatangan si pemberi pesan. Tak lama kemudian, datanglah sang informan menghadap padanya. Mata Nayya berbinar saat melihatnya. Ini hari yang sangat ia tunggu. "Lama sekali," sindir Nayya. "Sabar, bos." Nayya tersenyum melihat hasil yang didapatkan dari informan yang ditunjuknya. Ada dua foto yang membuatnya yakin jika itu adalah Lily yang tengah ia cari keberadaannya. "Kerja bagus. Mereka ada di Bandung?" informan itu mengangguk. "Sisa bayaran saya transfer langsung." "Terima kasih, bos." Setelah menyelesaikan tugasnya, informan itu segera pergi meninggalkan Nayya. Istri Rayyan itu menghitung-hitung seberapa banyak uang yang bisa ia dapatkan dari Ardiwira setelah rencananya berhasil. "Apa aku akan dapat satu miliar? Ah, terlalu kecil. Lima miliar cukup? Ah, bisa foya-foya seumur hidup." Nayya yang sudah mengantongi alamat Lily segera melajukan
"Hai, sayang." Nayya menyapa dari balik meja dapur. Rayyan hanya melihatnya sekilas dan berlalu masuk ke dalam kamar. Nayya mengikutinya dari belakang. Tanpa diduga, Nayya dengan sigap mengambil pakaian Rayyan dan menaruhnya di atas tempat tidur. Lalu ia juga menyiapkan bak mandi untuk suaminya yang biasa berendam. "Aku sudah siapkan semuanya. Aku siapkan makan malam dulu," ujar Nayya yang bersiap pergi dari kamar. Tangan Rayyan menarik pelan lengan Nayya disertai dengan tujukan tajam alis yang membuat Nayya terdiam. "Kenapa tiba-tiba seperti ini?" tanya Rayyan. Genggaman tangan Rayyan semakin mengeras dan itu membuat Nayya sedikit kesakitan. "Mas, jangan gini. Aku bisa jelaskan semuanya." Nayya berusaha melepas genggaman tangan Rayyan namun tak berhasil. "Katakan, siapa yang telah mencuci otakmu hingga kamu berubah secepat ini!" teriak Rayyan lepas. Nayya ketakutan. Ia menunduk menutupi wajahnya yang gemetar menahan tangis. "Katakan! Bukan tangisan yang aku inginkan!" Rayyan me
"Kamu menyembunyikan sesuatu dari papa?" Rayyan tak bisa berkutik. Matanya yang gelisah berpendar ke segala arah memastikan rasa gugupnya hilang. Ia menggeleng kemudian. "Tidak, Pa." Rayyan merasa jawabannya salah. Ayahnya masih terus mengintimidasinya dengan tatapan penuh tanda tanya. "Yakin? Kamu tidak mau bercerita?" Rayyan menggeleng ringan. "Rayyan tidak tahu apa yang harus diceritakan. Apa ini menyangkut kinerja?" tanya Rayyan penasaran. "Bukan. Ini semua tentang mantan istrimu." "Kenapa dengan Nayya?" Ardiwira terkekeh. Tangannya pelan menepuk bahu sang anak yang terlihat menegang. "Papa dengar, dia sudah berhasil ditemukan. Kamu tahu?" tanyanya yang lagi-lagi dengan tatapan intimidasi. "Aku tidak tahu," jawab Rayyan. "Benarkah? Lalu apa yang kamu lakukan di toko perlengkapan bayi beberapa waktu lalu?" mata Rayyan membola. Ia tak bisa menyembunyikan kegugupannya. "Oh, aku membelinya untuk teman." "Benarkah?" Rayyan mengangguk. "Mata-mata papa banyak loh." Rayyan me