Share

(UN)REMEMBER (Indonesia)
(UN)REMEMBER (Indonesia)
Author: Nhana

BAB 1

Suasana pagi kembali datang dan menyapa sebuah kota besar yang mulai sesak oleh jutaan manusia. Setiap hari saat pagi menjelang, orang-orang mulai lalu lalang dan memenuhi beberapa titik di kota tersebut. Diantaranya sekolah, perkantoran hingga pasar. Semua orang mulai sibuk menjalani aktivitas hidup masing-masing.

Berbeda dengan kebanyakan orang yang sudah sibuk beraktivitas di luar, seorang perempuan berusia awal tiga puluhan justru tengah melamun di atas tempat tidur dengan pandangan kosong.

Lagi, untuk kesekian kalinya Ara terbangun di tempat yang menurutnya sangat asing. Ini bukan kamarnya, dan juga bukan rumahnya tapi tempat ini terlihat familiar untuknya hanya saja dia tidak pernah bisa mengingat dimana dia berada sekarang, kapan dia berada di sini dan kenapa dia bisa berakhir tidur ditempat ini.

Sudah empat puluh menit sejak dirinya membuka mata dan sejak itu pula dia masih duduk di tempat tidur dan tidak melakukan apapun. Bukan karena Ara tidak penasaran dengan keberadaannya sekarang, hanya saja dia tidak tahu harus melakukan apa. Jauh dalam hatinya Ara juga sempat berpikir tentang kemungkinan bahwa pemilik rumah bisa saja orang jahat.

Seisi kamar tersebut terlihat cukup sederhana hanya ada tempat tidur, sofa dan juga meja rias, terlihat seperti kamar pada umumnya. Namun kamar ini tampak kosong karena dinding nya sangat polos, tidak ada foto sama sekali yang tergantung di dinding maupun yang di pajang di meja, hal tersebut membuat Ara tidak tahu identitas sang pemilik.

Ara menghela nafas berat, dengan malas dia menggerakkan kakinya untuk turun dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi. Ara merasa harus membersihkan diri sebelum menghadapi segala kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi.

Selesai dengan kegiatan mandinya, Ara melihat jam yang ada di meja samping tempat tidur. Waktu sudah menunjukan pukul 06.20 pagi, Ara pun memutuskan untuk keluar kamar. Dengan langkah pelan, dia mengamati seisi rumah tersebut yang terlihat seperti kebanyakan rumah mewah pada umumnya tetapi sekali lagi Ara mengernyit karena di rumah ini dia belum menemukan foto sama sekali.

Samar-samar Ara mendengar suara ribut di arah belakang yang dia yakini adalah dapur. Karena penasaran, dia pergi menuju sumber suara untuk memastikan jika ada orang lain di rumah ini yang mungkin saja bisa memberikan keterangan dan jawaban atas kebingungan nya.

Tebakannya benar, di sana memang ada orang lain. Lebih tepatnya seorang anak remaja yang mengenakan seragam sekolah dan tengah sibuk membuat sarapan. Posisinya membelakangi pintu dapur sehingga anak itu tidak menyadari kehadiran Ara.

"Ekhm, permisi," Ara membuat suara dekheman untuk memberitahu anak tersebut tentang keberadaanya.

Sesuai dengan yang diharapakan, anak tersebut berbalik dan tersenyum kerah Ara. Namun beberapa saat setelahnya senyum itu menghilang dan raut wajah anak itu tampak berubah seketika.

"Duduklah, sarapan sebentar lagi siap." ucap anak tersebut dengan datar.

Ara yang memang masih kebingungan hanya menurut dan duduk dengan tenang sampai anak tersebut memberikannya sepiring roti lengkap dengan omlete dan selai coklat.

"Terima kasih."

"Makanlah. Aku tahu tante ingin bertanya banyak hal padaku." kembali anak tersebut berkata dengan datar.

"Aku masih bingung kenapa aku bisa berada disini? Dan hei kau tinggal sendiri?" Ara baru menyadari jika dia tidak menemukan siapapun selain anak itu di rumah ini dan anak dihadapannya bahkan membuat sarapan sendiri.

Anak tersebut memutar bola matanya dan menatap Ara sekilas. "Tante kemari dengan ayahku. Tapi dia tidak disini sekarang karena sedang bekerja."

Ara mengangguk paham. "Apa kau tahu kenapa ayahmu membawaku kemari? Dan dimana ibumu?" Tanya Ara yang semakin penasaran.

Anak tersebut mengangkat bahunya acuh. "Aku tidak tahu, mungkin saja papa menemukan tante pingsan di jalan atau sejenisnya. Papaku sering melakukan hal yang sama." dia menjawab pertanyaan Ara namun mengabaikan pertanyaan yang terakhir.

"Jika memang begitu, ayahmu pasti orang yang sangat baik," Ara mencoba tersenyum. Meski tidak ingat, setidaknya dia bersyukur karena orang yang membawanya kemari adalah orang baik.

"Papaku seorang dokter, jadi jangan terlalu tersanjung."

Menurut Ara, anak ini terkesan sangat datar dan dingin, dia juga selalu menghindari tatapan darinya seperti membangun dinding agar Ara tidak terkesan dengan sang ayah. Dari sini Ara menyimpulkan jika anak ini sangat overprotective dan mungkin dia melakukannya untuk ibunya.

"Baiklah, aku hanya ingin mengucapkan terima kasih untuk mu dan ayahmu."

"Tidak perlu," jawabnya masih dengan nada yang sama. "Aku sudah selesai dan akan segera berangkat sekolah. Tante masih bisa tinggal di sini, papaku akan pulang sekitar jam 11 pagi. Bicaralah nanti dengannya."

"B-bolehkah aku ikut denganmu?" tanya Ara ragu.

Anak tersebut mengernyit bingung.

"Dari seragam yang kau gunakan sepertinya kau siswa dari sekolah menengah pertama Play M. Kebetulan aku salah satu pengajar di sana." Ara tersenyum.

"Aku tahu."

Ara mengusap belakang lehernya. "Dia tahu tapi dia bersikap sangat dan dingin kepada gurunya. Dia terlalu kasar." Ara mengeluhkan sikap anak tersebut dalam hatinya.

"Baiklah aku akan memberi tante tumpangan."

"Kau tahu aku gurumu tapi masih memanggilku tante?" Ara tampak keberatan dengan sikap anak tersebut setelah dia tahu kebenarannya.

"Ini rumahku, dan bukan sekolah. Jadi kurasa tidak masalah. Ibuku juga guru, dan tidak pernah keberatan saat aku panggil mama di rumah."

Ara semakin mengernyit bingung. Anak ini sungguh keras kepala.

"Baiklah. Siapa namamu? Aku belum tahu."

"Kenapa? Tante ingin mengingat namaku? Agar nanti bisa menghukum ku di sekolah?" Anak itu tersenyum miring. Senyum yang membuat Ara kesal.

"Namaku Mahesa Arsalan. Aku ragu jika tante akan mengingatnya."

"Apa maksudmu?" tiba-tiba saja Ara merasa kesal.

"Sudahlah, sebaiknya tante bersiap jika ingin ikut denganku." anak yang bernama Mahesa Arsalan itupun memilih untuk meninggalkan Ara di meja makan.

✿✿✿✿✿

Alan baru saja menyelesaikan operasi terakhirnya untuk hari ini. Dia meregangkan kedua tangannya karena sangat pegal akibat terjaga semalaman di ruang operasi.

Alan Gibran adalah seorang dokter spesialis saraf. Dia menjadi salah satu dokter muda yang kompeten sehingga jadwalnya sangat padat. Beberapa jam yang lalu Alan bersama salah satu rekannya yang merupakan dokter bedah baru saja melakukan operasi pada pasien penderita tumor otak.

"Esa pasti sudah berangkat sekolah," gumam Alan saat melihat jam dinding yang hampir menunjukkan pukul 7 pagi.

Alan merebahkan dirinya di tempat tidur pribadi yang berada di ruangannya. Rencananya dia akan tidur selama satu jam sebelum memeriksa keadaan pasien dan pulang. Namun niatnya dia urungkan saat membaca sebuah pesan dari putranya.

Mata lelah Alan kembali terbuka dan sebuah helaan nafas berat mengiringi tubuhnya yang segera ia bawa duduk kembali.

"Lagi?" pertanyaan yang berupa gumaman itu keluar dari mulutnya.

"Esa pasti sangat tertekan." Alan merasa bersalah telah meninggalkan putranya sendiri dia rumah, walaupun sebenarnya Esa tidak benar-benar sendiri.

Pada akhirnya acara tidur Alan pun tidak jadi karena dia memilih untuk segera menyelesaikan semua pekerjaannya agar bisa segera pulang.

✿✿✿✿✿

Esa memilih untuk menatap jalanan melalui jendela mobil dan mengabaikan Ara yang duduk di sampingnya.

"Mahesa, boleh aku bertanya sesuatu?" tanya Ara hati-hati. Dia sebenarnya ragu hanya saja dia penasaran akan sesuatu.

"Hmm" jawab Esa yang hanya berupa gumaman tidak jelas.

"Kenapa di rumahmu tidak ada foto sama sekali?"

"Ada."

"Aku tidak melihatnya, hanya ada foto dirimu sendiri di samping televisi yang berada di ruang tengah." jelas Ara.

"Bukankah itu juga foto?" Esa mendengus kesal.

"Ah kau benar," Ara mendesah pelan, Esa sepertinya memang tidak ingin di ajak bicara. "Aku hanya penasaran kenapa tidak ada foto keluarga atau foto orang tuamu."

"Karena aku malas menjelaskan sesuatu kepada seseorang secara berulang. Maka dari itu semua foto nya di simpan di gudang."

Ara mengernyit, aneh sekali. Menurutnya perkataan Esa sangat sulit di pahami, anak itu sering sekali berbicara dan menjawab pertanyaan yang menimbulkan pertanyaan lain.

"Aku benar-benar tidak mengerti," Ara memilih menyerah.

"Sebaiknya Mrs. turun disini, aku tidak mau orang-orang bergosip karena kita berangkat bersama."

Supir pribadi Esa benar-benar berhenti dan mempersilahkan Ara untuk turun sendiri.

Ara hanya pasrah dan menuruti perkataan anak itu. Setelah turun dari mobil, Ara menatap mobil tersebut dari tempatnya berdiri.

"Ada apa dengannya? Dia seperti memiliki dendam padaku. Apakah aku berbuat salah?" Ara bertanya kepada dirinya sendiri yang mulai kebingungan.

"Tidak mungkin dia salah paham kan?" Ara tampak terkejut. "Oh tidak, jangan-jangan dia benar-benar salah paham dan mengira aku adalah selingkuhan ayahnya?" Ara tampak bodoh karena memikirkan hal yang tidak masuk akal seperti itu.

"Aku bahkan tidak tahu siapa ayahnya dan bagaimana wajahnya. Itu benar-benar menggelikan." berusaha mengenyahkan pikirannya, Ara pun akhirnya memilih berjalan memasuki halaman sekolah tempatnya mengajar yang sama dengan tempat Esa sekolah.

"Selamat pagi mrs." sapa beberapa siswa yang berjalan disekitar Ara.

Ara tersenyum dan membalas sapaan mereka, anehnya Ara mengingat beberapa wajah dari siswa tersebut meski tidak tahu namanya.

Dengan wajah ceria dan senyuman manisnya Ara memasuki ruang guru yang terletak tidak jauh dari parkiran.

"Selamat pagi mrs. Ara," sapa rekan guru yang sudah berada di ruangan.

"Pagi juga mrs. Yola, oh kau tampak segar sekali pagi ini." ucap Ara kepada Yola, rekan kerja sekaligus teman masa kuliahnya dulu.

"Benarkah? Itu karena suamiku baru saja memberiku tiket liburan." Yola memamerkan 2 buah tiket penerbangan ke Barcelona miliknya.

"Woahhh, aku baru tahu jika Yujin sangat perhatian." Mata Ara berbinar saat melihat tiket tersebut, dia ikut merasakan kebahagian sahabatnya.

"Dia memang begitu setelah punya anak." Yola tersenyum malu-malu. Putranya baru saja berusia 8 tahun.

"Anak? Kau sedang hamil La?" Ara terlihat terkejut dengan perkataan Yola dan tentu saja itu membuat Yola bingung.

"Ra, apa yang kau pikirkan?" Yola mencoba memastikan sesuatu dengan bertanya.

"Apa maksudmu? Aku hanya terkejut karena kamu hamil mendahuluiku." Ara terkekeh pelan. "Aku bahkan belum menikah dan kau sudah mau punya anak. Tapi selamat La, aku senang mendengarnya." Ara memeluk Yla yang masih mematung kebingungan.

"Lagi?" tanya Yola dalam hatinya.

"Ara, kau tadi berangkat dengan siapa?" Yola melepaskan diri dari pelukan Ara.

"Kenapa?" Ara balik bertanya. "Aku menumpang di mobil salah satu siswa disini." Jawabnya dengan acuh.

"Siapa?"

"Ah aku lupa namanya. Dia anak yang sangat tampan, tapi sayang dia tidak punya sopan santun. Perangainya cukup dingin dan sepertinya dia memang pembuat onar. Aku bisa menembak sepertinya dia anak broken home." Ara mendeskripsikan anak yang dia temui tadi pagi dengan penilaian yang cukup buruk.

"A-apa dia Mahesa Arsalan?" tebak Yola.

"Woah, bagaimana bisa kau tahu?" Ara tampak terkejut sekaligus takjub, itu berarti dia tidak salah mendeskripsikan anak tersebut. Buktinya Yola langsung tahu.

"Sudah kuduga," Yola tersenyum getir.

"Sepertinya dia benar-benar anak yang bermasalah ya."

"Tidak seperti itu Ra, Esa justru anak yang luar biasa. Dia anak yang kuat." Yola berkata dengan lirih.

"Kamu sepertinya sangat mengenal dia sampai-sampai bisa terbawa perasaan saat membicarakannya."

"Aku wali kelasnya."

Ara manggut-manggut mengerti. "Oh pantas saja, semoga kamu sabar ya menghadapi anak seperti itu karena aku berkali-kali di buat emosi olehnya padahal kita baru bertemu tadi pagi." oh Ara sepertinya tidak menyukai Esa.

"Ara, kau harus memaklumi Esa dan jangan beradu argumen dengannya. Jika dia mengatakan sesuatu, turuti saja atau jika itu menyakitkan tolong abaikan saja dan jangan mendebatnya."

Ara mengernyit bingung. Yola tampak sangat melindungi anak itu. "Ada hubungan apa kau dengannya?"

Yola mendesah pelan. "Ibunya adalah temanku, dan dia menitipkan putranya padaku."

"Yasudah lah, aku tidak mau membahas itu. Lagipula hari ini aku tidak akan lama di sekolah." Ara mendudukkan dirinya di kursi miliknya, kemudian mencoba merapihkan mejanya yang sedikit berantakan.

"Kau mau kemana memangnya Ra?" tanya Yola penasaran karena Ara tampak senang dengan senyam-senyum sendiri.

"Aku mau pergi ke cafe nya kak Mira."

"Untuk?"

Ara memutar bola matanya. "Kau ini kepo sekali Yola. Tentu saja aku ke sana untuk bertemu kekasihku--

kak Yoga."

Yola meneguk ludahnya kasar. "Kau serius?"

Ara memandang Yola aneh. "Ada apa denganmu? Tentu saja aku yakin kenapa harus kebingungan seperti itu, kau kan tahu sendiri jika aku dan kak Yoga sudah lama pacaran."

Yola menatap Ara iba, iya dia tahu jika Ara dan Yoga sudah pacaran sangat lama, 7 tahun. Tapi itu dulu, iya dulu sebelum semuanya berubah.

Yola merasa dia harus menghubungi seseorang. Seseorang yang bertanggung jawab terhadap Ara sekarang.

*

*

*

- T B C -

With Love : Nhana

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status