Share

BAB 3

Ara menendang-nendang udara di sekitar trotoar jalan, tepat di depan sebuah cafe klasik yang tengah ramai oleh pengunjung. Dia tidak peduli jika orang-orang menatapnya aneh dan mulai berbicara yang tidak-tidak tentangnya, Ara hanya ingin melampiaskan kekesalannya dengan menggerutu sepanjang jalan.

Pada dasarnya Ara memang bukan orang yang sabar, emosinya mudah sekali tersulut. Hal-hal kecil saja bisa membuat dia badmood seharian atau bahkan membuatnya memaki orang yang lalu lalang tanpa alasan.

Menurut Ara, pertemuannya dengan bocah yang bernama Mahesa Arsalan tadi pagi sukses membuat harinya berantakan. Bagaimana tidak, bocah berumur sekitar 13-14 tahun tersebut sudah membuatnya jengkel bahkan sejak dirinya baru saja bangun.

Kekesalannya semakin bertambah, karena Ara harus kembali berhadapan dengan sikap keras kepala anak itu, dan juga ayahnya yang menurutnya seolah menjadi budak cinta dari sang anak. Entah kenapa Ara kesal melihat interaksi Esa dengan Alan.

Tidak berhenti di sana, Ara pulang ke rumahnya dan mendapati rumah tersebut dalam keadaan kosong. Pembantu di rumahnya mengatakan jika ibunya sedang pergi ke luar kota, dan anehnya dia tidak tahu sama sekali. Oke, tingkat kekesalannya semakin bertambah. Dan puncaknya adalah ketika kekasihnya, Yoga tidak bisa di hubungi sama sekali.

"Brengsek!" umpatnya keras.

Seorang perempuan tinggi dan anggun, keluar dari cafe saat melihat Ara berteriak-teriak tidak jelas dan menarik perhatian pengunjung cafe.

Tanpa basa-basi perempuan tersebut menarik kerah baju bagian belakang leher Ara dan menyeretnya untuk memasuki cafe. Hal tersebut jelas mendapat penolakan dan protes keras dari Ara.

"Yakk! Lepaskan! Apa yang kau lakukan?" Ara berteriak dan mencoba berontak agar terlepas dari tarikan perempuan di belakangnya.

"Diam kau!" desis perempuan tersebut. "Kau perempuan gila yang sudah mengganggu ketenangan di cafe ku."

"Oke-oke, aku akan pergi! Lepaskan aku sekarang," pinta Ara dengan sedikit memohon.

"Tidak akan, kau harus bertanggung jawab!" perempuan tersebut terus menyeret Ara melewati para pengunjung cafe yang menatap mereka penuh tanya dan membawanya ke lantai dua.

"Kakak!" teriak Ara tidak terima setelah mereka sampai di lantai atas tempat perempuan yang di panggil kakak oleh Ara.

"Apa?" balas perempuan tersebut dengan pelototan tajam.

"M-mata kakak mengerikan." Ara memalingkan wajahnya. Sekeras-kerasnya sifat Ara, tapi di hadapan perempuan ini dia tidak akan bisa berbuat apa-apa. Baginya, perempuan yang dia panggil dengan sebutan kakak sangat mengerikan saat marah.

"Diam lah! Sedang apa kau disini? Kau seharusnya berada di sekolah dan bukan disini membuat keributan dan berteriak seperti orang gila, dimana otakmu!"

"Kak, kenapa ibu pergi tidak memberitahuku?" bukannya menjawab, Ara malah bertanya balik kepada perempuan tersebut.

"Kau pulang ke rumah?"

Ara mendengus kesal, yang dia dapatkan sama-sama pertanyaan lagi. "Memangnya aku harus pulang ke mana jika bukan ke rumah?" dia membanting tubuhnya ke atas sofa.

Perempuan tersebut kemudian mendesah pelan. "Sudah kuduga, pantes saja kau berkeliaran tidak jelas ternyata kau tidak ingat lagi."

Ara menolehkan kepalanya. "Apa maksud dengan tidak ingat lagi?"

"Tidak ada," sangkal perempuan tersebut dengan cepat. "Kau istirahatlah, aku harus pergi sebentar."

"Kau akan meninggalkanku juga? Kenapa kalian sangat menyebalkan. Ibu, Yoga dan sekarang kau Mira," protes Ara dengan keras.

"Aku harus menjemput Jelo. Dan apa tadi kau bilang, Yoga? Kau bertemu Yoga?" Mira tampak melebarkan matanya, terkejut.

"Memangnya kemana kak Jae? Ya, Yoga pria menyebalkan yang tidak ada kabar sama sekali hari ini."

"Oh astaga, kau membuatku gila Ara!" Mira memijat keningnya, entah kenapa dia merasa frustasi.

"Kak, kepalaku pusing," keluh Ara tiba-tiba.

"Kau apa? Pusing? Hey Ara jangan bercanda!" seketika Mira menjadi panik.

"Aku tidak tahu, tiba-tiba saja kepalaku menjadi berat. Kak aku-- " detik berikutnya Ara sudah tidak sadarkan diri di sofa.

"Ra, hey Ara. Oh tidak, aku harus apa sekarang?" Mira semakin panik. "Aku harus membawanya ke rumah sakit sekarang juga."

✿✿✿✿✿

Alan baru saja bangun dari tidur siangnya. Sepulang menjemput putranya, dia dan Esa memang sepakat untuk tidur siang, Alan butuh tidur karena dia memang belum tidur sejak semalam sedangkan Esa butuh tidur untuk menenangkan emosi dan pikirannya.

"Sudah hampir jam makan malam," gumam Alan saat menatap jam dinding di ruang tengah.

Setelah mencuci wajah di wastafel, Alan bergegas ke dapur untuk membuat makan malam, dia dan putranya pasti sudah kelaparan karena sejak tadi siang mereka tidak memakan apapun.

"Esa sepertinya masih belum bangun," Alan mengamati seisi dapur yang masih tampak bersih dan rapi.

"Kau sedang apa?" tiba-tiba suara sebuah suara mengejutkan Alan.

"Oh astaga ibu, kenapa ibu berada di sini?" tanya Alan dengan ekspresi sedikit terkejut.

"Aku sudah di sini sejak sejam yang lalu, tapi kalian masih tidur," jawab perempuan yang di panggil ibu oleh Alan.

"Kenapa ibu kesini? Apa ada sesuatu?"

Ibunya Alan hanya melirik sekilas ke arah putranya. "Ayahmu bilang kau hari ini pulang cepat karena Esa bermasalah. Dan aku khawatir tentang perut kalian," ucapnya datar sambil menata makanan yang sebelumnya dia tenteng dalam kantong.

Alan mendesah pelan. "Ibu tidak perlu datang kemari, aku bisa mengurus keluargaku sendiri."

"Sekarang panggil Esa, kalian harus segera makan." Nyonya Hanna mengabaikan ucapan Alan dan memilih untuk duduk di meja makan. Alan sendiri menuruti ucapan sang ibu dan bergegas untuk membangunkan putranya.

Beberapa menit kemudian, Esa dan Alan sudah ikut bergabung di meja makan. Tidak lama untuk memanggil Esa, karena ternyata anak itu sudah bangun dan tidak melakukan apapun di kamarnya.

"Kalian tampak mengerikan," sindir Hanna saat melihat cucu dan putranya hanya berpakaian santai dengan wajah kusut khas bngun tidur.

Alan dan Esa memilih untuk diam dan menikmati makanannya. Mereka berdua sudah paham dengan sifat Nyonya Hanna yang seperti ini.

"Apa gunanya punya istri dan ibu jika untuk makan saja kalian masih kesusahan," kembali Nyonya Hanna berkomentar.

"Ibu ," tegur Alan dengan sopan.

"Apa? Kau tidak lihat? Putramu sedang dalam masa pertumbuhan dan seharusnya dia mendapatkan asupan gizi yang baik dan juga kasih sayang yang cukup."

"Berhenti bu, kita sedang makan." Alan masih berbicara dengan tenang meskipun tatapannya sudah berkilat tajam.

"Ini semua salahmu, kau seharusnya tidak menikahi orang sakit," Sindirnya.

Brak

"Aku sudah selesai. Terima kasih untuk makanannya." Setelah meletakkan sendok dengan kasar, Esa bergegas kembali masuk ke kamarnya lagi.

"Aku sudah memperingatkan ibu untuk berhenti. Kenapa ibu harus berbicara seperti itu di depan Esa?" Alan menyesalkan ucapan ibunya yang merusak suasana dan mood putranya yang baru saja membaik.

"Apa? Kau mau menyalahkan ibu? Aku berbicara fakta."

"Sebaiknya ibu pulang saja sekarang," Alan meletakkan sendok nya dan segera berdiri untuk pergi.

"Kau dan Bunga sama saja! Sama-sama sakit!" teriak Hanna dengan keras.

✿✿✿✿✿

Alan menghampiri putranya yang tengah duduk termenung di pinggir tempat tidur, Esa tidak bereaksi apapun bahkan saat Alan berjalan di hadapannya. Anak itu memilih untuk diam dan membuang pandangan ke atas langit-langit yang tidak berhiaskan apapun kecuali lampu.

Alan menatap putranya ibu, di usia yang masih sangat muda putranya sudah merasakan persoalan pelik kehidupan yang dirinya ciptakan. Sebagai ayah, Alan merasa sangat bersalah telah menyeret putranya kedalam jurang prahara, dan sayangnya dia tidak bisa berbuat apa-apa.

Alan mendudukkan dirinya di lantai tepat di hadapan sang putra. Ia gerakan tangannya untuk menggenggam erat kedua tangan putranya yang sudah tidak mungil tapi juga tidak besar.

"Hey, lihat ayah nak," ucap Alan pelan.

Esa menurunkan pandangannya dan menatap sang ayah yang juga menatapnya penuh kelembutan.

"Ayah harap, Esa tidak mendengarkan apa yang nenek katakan."

"Aku rindu mama," bisik Esa pelan kemudian dia menunduk dalam.

Alan tersenyum getir. "Ayah juga. Tapi kita harus sabar nak, dengan begitu mama akan segera kembali bersama kita," Alan membawa dirinya semakin merapat dengan putranya, kemudian dia mengelus punggungnya lembut.

"Berapa lama?" tanya Esa di balik punggung Alan.

Alan menggeleng pelan. "Semoga secepatnya. Esa tahu kan apa yang harus dilakukan?"

Eunsang mengangguk. "Ya, kita harus sabar dan mengerti mama supaya mama tidak stress dan marah."

Alan melepaskan pelukannya dan mengelus kepala sang putra. "Anak pintar. Ayah sayang padamu nak," ucap Alan tulus, tapi meski begitu hatinya tetap sakit dan meminta maaf pada putranya berkali-kali.

"Ayah, handphone mu berbunyi." Esa memberikan handphone sang ayah yang sebelumnya terletak di samping ranjang.

Alan mengambil benda persegi tersebut dan segera membacanya. Dahinya berubah mengkerut, sepertinya ada sesuatu yang kurang dia pahami.

"Ada apa?" tanya Esa khawatir.

"Maafkan ayah, ayah harus pergi sekarang," sesal Alan.

"Apa ada pasien yang mendesak?"

Alan mengangguk. "Iya, ayah harus segera menolongnya. Kau tidak apa kan di tinggal sendiri?" tanya Alan dengan perasaan bersalah. Lagi-lagi dia harus meninggalkan sang putra.

"Tidak apa-apa. Aku akan mengerjakan PR ku," Esa tersenyum maklum. Dia tahu pekerjaan ayahnya jadi dia berusaha mengerti.

"Sekali lagi ayah minta maaf. Kalau begitu ayah berangkat dulu," Alan mencium kening Esa.

✿✿✿✿✿

Ara bangun dan menggerakkan tubuhnya yang terasa pegal. Matanya perlahan terbuka dan mencari penyebab tubuhnya susah di gerakkan, karena dia merasa ada yang menindih tubuhnya.

Mata Ara kembali menyipit saat melihat tangan dan kaki milik orang lain tepat berada di atas tubuhnya, memeluk tubuh miliknya dengan erat.

Belum sempat Ara berteriak, gumaman pelan orang yang berada di sampingnya membuat dia mengurungkan niatnya.

"Oh astaga kak, kau membuatku hampir melompat ketakutan," ucap Ara yang kini justru memandang wajah datar pria di sampingnya. Tidak hanya itu, Ara juga merapihkan poni sang pria yang terlihat semakin panjang dan menutupi sebagian matanya.

"Kau harusnya segera bercukur rambut," Ara terkekeh pelan.

Merasakan sebuah pergerakan di area wajahnya, pria tersebut pun merasa terusik dan bangun membuka matanya perlahan. Tepat setelah ia membuka mata, sebuah senyuman indah menyambutnya.

"Selamat pagi," sapa Ara.

"Selamat pagi sayang," balasnya dengan suara berat khas bangun tidur.

"Apa kau tidur larut malam? Kakak tampak sangat lelah."

Bukannya menjawab, pria tersebut malah mengeratkan pelukannya dan mencium dahi Ara. "Kau oke?" tanyanya dengan nada khawatir.

Ara mengernyit. "Aku? Tentu saja aku baik. Memangnya aku kenapa?"

"Kemarin kau pingsan sayang."

Ara segera melepaskan pelukannya. "Benarkah? Pantas saja aku tidak ingat kenapa kita berada disini." Ara tampak berpikir serius.

"Dan kita sebenarnya berada dimana? Ini bukan rumah kita. Sepertinya ini juga bukan hotel atau rumah sakit?" mata Ara mengedar ke seluruh penjuru kamar.

"Kita berada di kantor kak Mira."

"Eh?" Ara tampak terkejut. "Bagaimana bisa? Dan kenapa kita berdua tidur disini? Lalu bagaimana dengan Esa?" Ara memborong banyak pertanyaan untuk lawan bicaranya.

"Kau berisik sayang. Ini masih jam 5 pagi," protes pria tersebut yang tak lain adalah Alan.

"Jawab pertanyaan ku dulu."

"Ya ampun, kau ini memang tidak pernah bisa sabar. Kemarin kita berkunjung ke kantor kak Mira, tapi kau pingsan dan karena sudah malam, kak Mira menyarankan kita untuk menginap," jelas Alan setengah mengantuk.

"Lalu bagaimana dengan Esa? Jangan bilang kita meninggalkan Esa di rumah sendirian?" Ara mulai heboh.

Alan hanya mengangguk dengan mata setengah terbuka.

"Yak! Kau ayah macam apa yang meninggalkan anaknya sendirian di rumah?" Ara memukul lengan Alan dengan kuat.

"Akhh, sakit sayang," protes Alan.

"Kita pulang sekarang! Bagaimana bisa kau membuat my prince kesepian di rumah," gerutu Ara yang segera membenahi pakaiannya dan menarik Alan.

"Masih gelap sayang, Esa juga pasti masih tidur," ucap Alan, sungguh matanya masih berat karena mengantuk.

"Tidak ada penolakan. Awas saja jika putraku sampai menangis karena takut sendirian, kau tidak akan aku biarkan lolos begitu saja."

Alan meneguk ludahnya kasar dah segera bangkit dari tempat tidur. Ara dan ancamannya bukan sesuatu yang bisa diabaikan begitu saja.

✿✿✿✿✿

Setelah satu jam menempuh perjalanan, mereka pun tiba di rumah. Ara tanpa banyak bicara segera berlari menuju lantai dua dan menerobos masuk kamar putranya diikuti olehAlan yang berjalan malas-malasan dari belakang.

Ara melihat Esa masih tidur dengan nyaman. Pelan-pelan dia mendekati ranjang dan mendudukkan diri dengan nyaman. Setelah itu dia menyerang wajah Esa dan menghujani nya dengan banyak ciuman.

Esa mengerang dari tidurnya karena terganggu oleh ulah Ara. Perlahan dia membuka mata, dan sontak kedua matanya langsung membola saat melihat wajah Ara yang tengah tersenyum padanya.

"Morning my Prince," sapa Ara ceria.

Esa mengerjap kan matanya beberapa kali, dia masih mengira-ngira apakah yang ada dihadapannya mimpi atau nyata.

"M-mama," bisik Esapelan. Esa sebenarnya bisa membedakan Ara dari tatapan matanya, dia tidak perlu menebak-nebak lagi siapa ibunya.

"Iya sayang ini mama," Ara membawa Esa kedalam pelukannya. "Kenapa rasanya mama begitu merindukanmu, padahal kita hanya tidak bertemu beberapa jam saja."

Esa melirik Alan yang tengah berdiri dengan senyuman hangat di depan pintu. Kemudian dia menganggukkan kepala tanda bahwa apa yang ingin ditanyakan Esa sudah mendapat jawaban.

"Mama," ucap Esa lagi, kali ini dia menangis di pelukan Ara. Tangisan bahagia karena ibunya kembali, kembali mengingatnya.

"Cup-cup, jangan menangis sayang. Mama sudah pulang, maaf membuatmu sendirian semua karena ayah mu." Ara mendelik tajam kearah suaminya. Sedangkan Alan hanya mendesah pelan dan tidak protes sama sekali.

Esa tertawa bahagia. "Ayah memang selalu salah."

Sekali lagi, Alan hanya mendesah pasrah. Tapi itu tak masalah, setidaknya keluarganya kali ini sempurna. Alan bersyukur meskipun besok atau lusa Ara bisa saja kembali melupakannya bersama sang putra.

*

*

*

- T B C -

With Love : Nhana

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status