Share

Talent Show & Interview

Jadwal pertunjukan bakat dan wawancara untuk audisi terakhir Pemilihan Puteri Nusantara sejatinya dimulai pukul sebelas pagi. Namun, Vika sudah berdiri di salah satu ruang studio padahal jarum jam belum berpindah dari angka sembilan. Dia belajar dari pengalaman sebelumnya di mana ruang studio sangat penuh dan takut tidak kebagian tempat. Soalnya, Vika memerlukan meja rias untuk mengerjakan proyek bakatnya.

“Beneran ini teh nggak apa-apa, Vik. Sepi banget, lho.”

“Nggak apa-apa, Teh. Kemarin aku udah izin,” jawab Vika sembari menuntun Teh Euis ke tempat duduk. Berhadapan dengan cermin, dia memerhatikan sudut-sudut wajah tetangganya itu dan meneliti bagian mana yang perlu dia tambahkan busa, lateks, ataupun silikon.

“Harus pakai itu, Vik?”

Vika meletakkan bungkusan halus serupa tepung berwarna putih. “Kalau perlu aja,” jujur dia menjawab karena memang sudah menyiapkan kerangka kepala untuk model proyek bakatnya.  Itu yang dimaksud oleh Teh Euis adalah semen gipsum, bahan untuk menambahkan daging atau kulit pada proyek bakatnya. Ya, setelah berdiskusi dan mencari bahan ke sana ke mari, Vika memutuskan menunjukkan bakatnya sebagai makeup artist dan prostetik menjadi fokus keahliannya.

“Kenapa bukan Arman modelnya?”

Arman juga menyarankan hal yang sama. Sahabatnya itu pasrah diubah menjadi apa saja. Akan tetapi, Vika berpikiran berbeda. Dia ingin perubahan riasan yang benar-benar ekstrem. Apalagi coba yang lebih mencengangkan dari mengubah jenis kelamin modelnya? Namun, dia tidak dapat melakukan itu kepada Arman. Tidak adil rasanya setelah mendengar penuturan laki-laki itu yang terpaksa menjadi pria kemayu demi mendapatkan pekerjaan.

“Karena lebih sulit mengubah perempuan menjadi laki-laki. Aku mau mereka terkesan, Teh.”

“Teteh harap Dedek nggak ngerepotin Arman ya, di rumah.”

Sambil mengoleskan pelembab di wajah Teh Euis, Vika menenangkan tetangganya itu. “Arman gampang dekat kok sama orang.”

“Teteh khawatir karena tahu sendiri, kan? Dedek lagi kurang sehat. Harusnya Bapaknya yang jagain, eh dia kabur,” kata Teh Euis seraya tertawa.

Vika kaget mendapati reaksi Teh Euis yang di luar dugaan.

“Ini bukan pertama kali, Vik,” cerita Teh Euis santai. “Waktu Dedek lahir, dia malah lagi di terminal. Mau ke Jakarta niatnya. Tapi, keburu ketahuan. Terus, kami pindah dari kontrakan lama juga karena ulahnya, Vik. Kabur meninggalkan utang. Yaah, mana sanggup Teteh bayarnya, Teteh juga pindah, dong.”

“Lho, tapi bisa ketemu lagi?” tanyanya bersamaan dengan aksinya mengikat rambut Teh Euis lebih ketat dan membentuknya dengan sanggul cepol.

“Teteh kan kadang-kadang kasih kabar ke kampung. Dia cari tahu dari sana.”

Vika gregetan mendengar kisah asmara tetangganya itu. Mana bisa mengandalkan ayah yang bahkan tidak mau menjemput kehadiran anaknya di dunia ini? “Teteh mau dia balik lagi?” tanya Vika dengan hati-hati.

“Sejak Dedek lahir, Teteh nggak pernah mikirin apa maunya Teteh, Vik.”

Vika mengerti. Begitu memang harusnya seorang ibu mengungkapkan cinta terbesar kepada anaknya. Menihilkan keinginan sendiri dan menjadikan kebutuhan anaknya sebagai yang terpenting dalam hidupnya.

“Teh, kita coba kerangkanya, ya.” Dengan hati-hati, Vika mengeluarkan kepala prostetik yang tersimpan di kardus tebal.

***

“Halo, halo… siapa aja ini?”

Pertanyaan dari salah satu juri yang duduk berjejer di hadapannya menggema begitu Vika memasuki ruangan penjurian.

Vika memperkenalkan namanya, lalu menerangkan bahwa dia membawa Teh Euis untuk menjadi model dalam pertunjukan bakatnya. “Keahlian saya mengubah sosok seseorang lewat riasan wajah.”

“Itu memang sengaja baru sebagian mukanya di-makeup?”

Vika mengenal siapa pengaju pertanyaan itu. Pak Revat. “Ya, karena saya ingin tunjukkan prosesnya juga di sini. Dengan teknik prostetik, model wanita akan saya ubah menjadi laki-laki. Jadi tokoh pelawak terkenal, Dono.”

“Oh, dari Warkop DKI. Dono Kasino Indro,” celetuk salah satu juri.

“Oke, lanjutkan. Kalau sambil tanya-tanya, boleh ya?”

Dengan gugup, dia membuka tas makeup-nya dan mengambil alas bedak.

“Mirah Delima Foundation, tuh,” kata Pak Revat lagi.

“Iya, dari Beauty Queen series, shade Nude Beige,” jelasnya.

“Pinter nih anak, walaupun agak-agak menjilat,” celetuk salah satu juri perempuan dan disambung dengan suara tertawa yang lain.

“Tapi kayaknya koleksinya lengkap juga. Sudah lama pakai MD?”

“Sejak belajar makeup pertama kali pas 9 tahun, sampai sekarang karena perlu untuk pekerjaan,” jawabnya yang telah selesai meratakan alas bedak ke seluruh permukaan wajah Teh Euis.

Makeup artist?”

“Bisa dibilang begitu, tapi untuk jenazah.”

“Hah, apa?” teriak kaget salah satu juri yang duduk di sebelah kursi kosong. Vika menyempatkan membaca papan nama yang bertengger di depan juri itu: Nata Martin. Dia pun menjelaskan deskripsi tugasnya sehari-hari sambil memulas wajah Teh Euis. Dalam hati dia bersyukur karena telah memilih bakat yang berhubungan dengan pekerjaannya dan membawa prosesnya ke ruangan ini. Vika jadi tidak perlu bertatap muka dengan para juri dengan dalih berkonsentrasi menyelesaikan riasan wajah.

Vika sedang memasang gigi palsu demi menyempurnakan penampilan Teh Euis sewaktu pintu ruang penjurian terbuka.

“Maaf, para juri. Perwakilan dari Elang Mas Media sudah datang,” beritahu salah satu panitia.

Refleks, Vika menoleh. Di sana, tepat di pintu masuk, berdiri cowok berambut ombak seleher dengan mata cekung yang dalam dan melayang ke seluruh penjuru ruangan. Bersirobok dengan Vika, gadis gendut itu membatin, “Bhari,” dalam hati.

***

“Mati gue, Man,” bisik Vika sewaktu mereka mengantri kartu pengunjung. Baru saja dia menceritakan apa yang terjadi pada saat penjurian bakat dan sesi wawancara peserta audisi Puteri Nusantara. Dia dan sahabatnya itu sedang berada di Wisma BNI 46. Mereka berniat menuju lantai 25 demi ke kantor sebuah rumah produksi untuk mengikuti tes makeup.

“Kayak dia bisa membunuh lo aja.”

Kalimat Arman itu seperti bersayap. Apakah laki-laki itu tahu pergulatan batin yang pernah dia alami? Bahwa pernyataan Arman itu salah besar. Dia sudah membuktikannya sendiri. Pergelangan tangannya memang sudah tidak sakit lagi, sedangkan bekasnya bisa dipastikan hanya berupa titik-titik samar belaka. Vika yakin, jika dia mengoleskan losion zaitun dari Mirah Delima, lama-lama bekas itu akan hilang.

“Juri kan bukan dia aja,” sambung Arman lagi. Antrian mereka sudah berada di paling depan. Vika menyerahkan KTP-nya untuk ditukar dengan kartu visitor.

Vika mengingat-ingat kembali suasana penjurian minggu lalu. Kepalanya menghitung jumlah kursi yang berderet sewaktu dia menjalani proses interview. Ada tujuh. Salah satunya Bhari, kencan buta yang mencampakkannya begitu berjumpa. Vika meringis.

“Betul, tapi….” Bagaimana Vika harus menjelaskan kalau dia tidak mau Bhari melihatnya dalam keadaan begini? Dia harus berubah terlebih dahulu. Dia harus lebih kurus dan lebih cantik sehingga jadi lebih berharga. “Aaargh,” geramnya pelan tertahan di tenggorokan.

“Lo itu ya, Vik! Selalu mikirin orang lain dulu. Over-thinking. Suka menganalisa yang belum kejadian,” cerewet Arman. Sembari mengalungkan lanyard ke leher, sahabatnya itu membimbingnya berjalan menuju lift. “Fokus aja kalau lo udah melalui interview dan tes bakat dengan baik.”

Dia pikir-pikir lagi, Arman ada benarnya. Vika benar-benar mempersiapkannya dengan baik. Pada hari penjurian, dia datang lebih pagi, menjawab semua pertanyaan juri dengan tegas dan lancar. “Untung gue nggak jadi balet, ya?”

Sambil cemberut, Arman menggeleng-gelengkan kepalanya, “No, no, no. Arabesque lo nggak sempurna.”

Senyum Vika semakin melebar mendengar lelucon internal mereka. Sepulang latihan balet dulu, dia memang menceritakan trauma masa kecilnya yang berhubungan dengan tari yang sejatinya berasal dari Italia itu.

Mendadak, denting notifikasi pertanda pintu lift terbuka terdengar nyaring di udara. Orang-orang di depan mereka beriringan masuk. Dalam hati, Vika menghitung-hitung berapa orang yang telah masuk ke dalam lift. Dia dan Arman berada di barisan terakhir.

“Man, kita pakai lift yang lain aja.”

“Hei, kita kan ngejar waktu.” Arman menarik tangannya.

Deg-degan dia mengikuti langkah Arman, lalu berhenti. “Lo ke atas. Gue nunggu di sini.”

Nonsense! Lo kan udah janji kita ikut tes sama-sama kalau gue menemani Dedek.”

Gerutuan dari dalam lift sudah bergaung menanyakan mereka ikut naik atau tidak. Penghuni transportasi vertikal itu sudah terisi dengan menyisakan hanya sedikit tempat di ujung pintu. Vika tidak ingin alarm kelebihan beban berbunyi nyaring sewaktu dia memindahkan bobotnya ke dalam sana. Apalagi, bukan hanya tubuh, kali ini dia memanggul tas berisi perintilan makeup. Kemudian, tidak disangka-sangka Arman mengempit tangannya agak memaksa agar dia berpindah ke dalam lift. Dia memejamkan mata dan banyak-banyak berdoa. Pintu lift menutup lembut tanpa berkoar-koar. Diam-diam, Vika tersenyum lega.

***

Pintu lift terbuka di lantai 25. Kaki Arman yang pertama menjejakkan kaki di tempat tujuan mereka itu. Vika mengikuti dari belakang sampai mereka memasuki ruang resepsionis.

“Tuh, kan. Sepi. Semua orang pasti udah di meja masing-masing. Kita telat.”

Vika tidak membantah meskipun jarum jam di dinding kantor itu masih bertengger di angka tiga. Tepat sesuai jadwal. Tapi dia mengerti. Seorang makeup artist wajib tiba terlebih dahulu ketimbang klien. Gunanya adalah agar dapat mempersiapkan semua alat-alat rias, memastikan mereka dapat bergerak dengan nyaman sewaktu merias wajah konsumen, dan mencari pantulan cahaya yang memudahkannya dalam mengaplikasikan makeup.

“Kalian bisa ke studio 5. Jadi, keluar dulu terus langsung ke kanan. Letaknya persis di sebelah kiri.”

Arman yang tergopoh-gopoh mendorong pintu. Vika tahu itu karena sudah tidak sabar menjemput mimpinya. Pria itu sudah lama ingin menyicipi bekerja dalam satu produksi film. Dan, ini adalah kesempatannya.

“Aduh,” kata sebentuk suara.

Sebelum pintu tertutup, Vika menyaksikan wajah Arman yang memucat. Samar-samar dari pintu kaca yang buram, dia mendapati laki-laki itu membungkuk berulang kali sembari menyebutkan, “Maaf.”

Vika menarik pintu sebelahnya demi mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Lalu, wajahnya ikut memucat begitu sosok pemilik suara itu terpantul di bola matanya.

“Tidak apa-apa, Mas. Tidak ada yang terluka,” kata sosok itu menenangkan.

“Ah, makasih Kak Divya.”

Vika yakin, kelegaanlah yang dia tangkap dari nada suara Arman. Ekor matanya melirik perempuan yang dipanggil Divya itu. Rambut panjangnya bergaya poni lurus yang mengesankan penampilan muda dan ceria. Bibirnya mungil dan terpoles pink muda. Mata besarnya seolah-olah menghipnotis semua orang yang memandangnya. Tingginya memang lebih pendek dibandingkan Vika tapi tetap saja termasuk jangkung untuk ukuran rata-rata perempuan Indonesia.

Tiba-tiba, mata Divya berpapasan dengannya. Buru-buru, Vika menundukkan kepala.

“Kalian mau ikut tes makeup?” tanya Divya.

“Iya, Kak,” Arman yang mewakili menjawab. “Arman,” bilang laki-laki itu. “Ini –

“Vika,” potong perempuan bernama Divya itu.

Vika mendongakkan kepala. Dia memberanikan diri menantang mata Divya sehingga alpa mengetahui kekagetan Arman yang membuat mulut laki-laki itu melongo.

“Ayo kalian cepat-cepat ke studio 5!” seru seseorang yang sedari tadi ada di samping Divya. Kalau tidak manajer pasti bos perusahaan film yang bekerja sama dengan Divya, begitu Vika menduga-duga peran orang berjas rapi tersebut.

“Pak, nggak adil kayaknya kalau Vika dibiarkan ikut seleksi. Nanti orang-orang akan menyangka prosesnya curang,” kata Divya.

Jantung Vika berdetak lebih kencang mendengar kalimat-kalimat itu. Tolong, jangan di sini, begitu dia membatin dalam hati.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status