Mungkin karena terlalu sedih, ditambah lagi belum menemukan sosok pemberi air minum itu hingga mengakibatkan kematian istrinya, kebanyakan mikir akhirnya Ray jadi pingsan. Pria yang sedikit bercambang tersebut terlentang di lantai. Dinginnya keramik tak ia rasa.
Marina berusaha menyadarkannya dengan mempercikkan air di wajah. Akan tetapi, Ray tak juga kunjung sadar. Matanya tertutup rapat.
"Kasih ini Mbak siapa tahu Pak Ray-nya cepat sadar." Sebuah botol minyak kayu putih Bi Jumi sodorkan. Langsung diterima Marina dan selanjutnya membuka tutupan minyak kayu putih tersebut. Mendekatkan ke hidung Ray, bermaksud supaya Ray bisa sadar ketika menghidu aroma minyak tersebut.
"Bangun, dong Pak. Ya Allah ...," keluh Marina, khawatir.
Akhir-akhir ini ada banyak masalah yang dihadapi keluarga Ray dan Marina merasa bahwa semua itu terjadi karena dirinya. Seketika jatuh air mata Marina.
Mail terus mendekat. Bekas pukulan Ray kemarin di wajahnya sangat kentara. Itu pasti sangat sakit, tapi tetap datang ke pengadilan."Lepaskan tanganmu!" teriak Mail sambil menarik paksa Marina untuk menjauh dari Ray. Nyaris saja Marina terjatuh, tapi Mail tampak tak peduli. Ia fokus menatap Ray. Matanya melotot tajam seperti ingin menerkam.Bruk!Tanpa berpikir panjang, Mail langsung melayangkan satu pukulan di wajah Ray hingga Ray sedikit terhuyung ke belakang sambil memegang bekas pukulan itu."Marina masih istriku. Berani kamu menyentuhnya?!" sergah Mail. Dadanya tampak jelas naik turun saking marahnya.Saat hendak kembali memukul, seketika Marina maju ke depan Mail."Enggak usah menyia-nyiakan tenaga Abang, karena sampai kapanpun aku enggak akan pernah kembali. Hari ini adalah penentuan bagi kita berdua. Kita akan berstatus sebagai 'ma
Puspa mundur tatkala Mail semakin mendekat. Akan tetapi, tangannya berhasil diraih, lalu ditarik hingga ia rapat dengan Mail."Mau apa kamu Mas?" Puspa marah, ia meronta-ronta."Santai aja kenapa, sih?" Mail mendorong tubuh Puspa hingga terjatuh di atas kasur dan pada saat itu juga Mail tidak memberi ruang pada Puspa untuk melawan.Ia berhasil membalas dendam dengan cara merenggut mahkota Puspa yang sama sekali belum tersentuh. Kini Puspa hanya mampu menangis meratapi nasibnya."Kamu jahat Mas, jahat!" Di balik selimut warna putih itu, Puspa terduduk masih gemetar."Udah, jangan banyak ngomong, terima aja kenyataan bahwa kamu sudah enggak perawan lagi," kata Mail santai sambil memakai pakaiannya. "By the way, kamu mau tahu kenapa aku lakukan ini?" lanjutnya.Mail berjalan ke depan cermin. Mengacak rambutnya yang sedikit basah oleh keringat
Mata Ibu Rosma beralih kepada Puspa. Kembali mengulang pertanyaan yang belum mendapatkan jawaban. Sedangan Puspa masih terdiam sambil memikirkan jawaban yang tepat dan masuk akal untuk ibunya."Puspa, kamu enggak apa-apa 'kan? Ditanya, kok enggak menjawab?" Merasa ada sesuatu, Ibu Rosma kembali bertanya."Ya Allah, Bu ... aku enggak apa-apa lagi. Darah yang Ibu lihat itu darah kemarin. Aku tembus, lupa ganti sprei," jelas Puspa, masih tetap betah dalam selimut.Ia tidak ingin membukanya karena tidak memakai baju. Apa kata Ibu Rosma kalau melihat anaknya tidur tanpa sehelai benang pun? Pasti pikirannya mengarah pada yang aneh-aneh. Toh, tidak biasanya Puspa seperti itu."Jorok, ih ... cepetan bangun suruh pembantu menggantinya," pinta Ibu Rosma kemudian berlalu.Ketika sudah memastikan ibunya benar-benar sudah pergi, Puspa bangun. Berjalan pelan men
Ray dapat mengerti dari ekspresi Marina yang terkejut. Ia sangat yakin kertas tersebut bukan tulisan Marina. Sejak pertama membacanya saja, sudah tidak percaya Marina setega itu menulis kalimat-kalimat yang sangat menyakiti.Saat ini Marina menatap Ray sambil berkata, "Kertas ini dari Jihan, Pak?""Kamu menitipnya sama Jihan bukan? Tentu saja ini dari Jihan, sahabatmu," tekan Ray di akhir kalimat.'Sahabatku, Jihan sahabatku, Jihan sahabatku,' batin Marina berulang-ulang menyebut Jihan sahabatnya.Marina tidak ingin berprasangka buruk, tapi juga tidak punya alasan untuk memiliki prasangka baik. Kertas itu bukan dirinya yang tulis. Marina tidak menyangka tulisannya akan diganti dengan tulisan seperti itu.Marina ingat betul tulisannya hanya beberapa baris saja.Pak Ray aku pergi.Maaf bila langsung pergi tanpa izin. Sepertinya
"Berhasil Bos," ucap pria tinggi yang sedang memegang kayu balok. Senang melihat keadaan Ray terkapar tak sadarkan diri."Dasar lemah!"Pria yang berjongkok tadi berdiri membelakangi Ray sambil memperbaiki penutup kepala. Ia tersenyum sinis. Selanjutnya berjalan ke dalam sambil berkata, "Bawa dia masuk!""Baik, Bos." Dua anak buahnya mengangkat Ray masuk. Sedangkan yang satunya memarkirkan motornya di samping rumah.Pria yang dipanggil bos itu melenggang ke dalam sambil bersiul-siul. Kunci motor di sela-sela jari telunjuknya ia mainkan begitu lincah.&n
Bahkan menelan ludah saja susah. Marina terlihat takut melihat kejahatan yang dilakukan Puspa di depannya. Sedangkan Mail, pria yang menariknya barusan terkapar di depan mata sebab pukulan dari anak buah sendiri atas suruhan Puspa. Iya, tepat sekali. Puspa membayarnya untuk memukul Mail.Dan ternyata Mail dalang dari penculikan Aura. Jadi ciri-ciri yang disebutkan satpam pada Ray itu benar ciri-cirinya Mail. Mail yang menjemput Aura di sekolah dan Mail juga yang meludah di dekat kepala Ray."Puspa, apa yang kamu lakukan? Bagaimana kalau Mail sampai meninggal?" ujar Ray, takut bila yang dibayangkannya akan menjadi nyata.Bukan cuma Ray saja yang takut, tapi Marina. Meski merasa benci karena telah dikhianati, Marina tetaplah manusia biasa yang punya rasa. Ia sangat kasihan melihat Mail terkapar tak sadarkan diri."Biarin aja lagi. Memang itu yang aku mau," balas Puspa, t
Marina langsung diseret ke mobil pick up. Diangkat naik, lalu diikat kedua tangan dan kakinya. Selanjutnya ditutupi terpal berwarna biru.Di teras kantor, Anton yang juga hendak pulang melihat semua itu. Ia berusaha menghalangi kepergian kendaraan itu, tetapi terlambat sebab pick up tersebut sudah jalan."Ini enggak boleh dibiarkan. Siapa mereka?" Anton tidak ingin menyerah begitu saja. Ia segera naik di mobilnya, kemudian mengejar.Selama dalam perjalanan, Anton bertanya-tanya. Kemana Marina akan dibawa dan kenapa orang itu menjahatinya?Anton menambah kecepatan mobilnya, tidak ingin kehilangan jejak. Bagaimana pun caranya Marina harus ditemukan malam ini juga. Ia takut sekretaris sekaligus wanita yang diidamkannya itu berada dalam bahaya."Itu dia mobilnya," gumam Anton sambil terus fokus menyetir. Matanya tidak berkedip menatap pick up yang berada sekitar d
"Bisa diam enggak?!" sergah orang yang berjenis kelamin perempuan yang tidak lain adalah Puspa.Selama ini Puspa selamat. Mail ditipu anak buahnya sendiri. Kedua anak buahnya meminta uang tebusan pada Ibu Rosma lalu setelah mendapatkannya, mereka pun menyerahkan Puspa."Pu–Puspa?" gumam Mail, sambil memegang perut.Tidak menyangka Puspa masih hidup. Padahal waktu itu ia mencekiknya sampai benar-benar jatuh. Seluruh badannya lemah, pasti sudah mati. Mail yakin hal itu. Akan tetapi, kenyataannya tidak seperti yang ia pikirkan. Puspa tidak meninggal. Kini ia datang untuk membalas dendam.