23.15 WIB.
Setelah jam kerjanya selesai, Amara segera berganti pakaian dan bergegas pulang, akan tetapi, saat dirinya berjalan melewati pintu kafe dikejutkan oleh kehadiran Bintang yang berdiri di luar kafe dan sedang menunggunya. Kejadian ini terasa sedikit familiar baginya, sehingga menimbulkan gejolak perasaan berserta kenangan kecil yang muncul. Namun, ia menekan perasaannya, sebab tidak ingin kembali merasakan sakit yang sama seperti di masa lalu. Amara kemudian berjalan menuju tempat sepeda motornya terparkir, mengabaikan laki-laki itu dan berpura-pura tak melihatnya.
Di sisi lain, Bintang sedari tadi menunggu Amara selesai bekerja. Senyum di bibirnya seketika mengembang tatkala mengetahui mantan kekasihnya keluar dari kafe serta bersiap pulang, maka tanpa membuang waktu segera memanggilnya.
"Amara!"
Mendengar namanya dipanggil, si empu nama segera mempercepat langkah kaki, sama sekali tidak ingin berbicara dengan mantan kekasihnya. Berbeda dengan Bintang yang tak ingin usahanya kembali gagal, lantas berlari kecil menghampiri Amara.
"Amara, tunggu!" ucapnya saat berdiri di hadapan gadis itu.
"Jangan ganggu aku!" seru Amara dengan nada tinggi.
"Aku ingin berbicara sebentar denganmu." Bintang bersikukuh dan tak membiarkan Amara pergi, bahkan secara nekat memegangi pergelangan tangan gadis tersebut.
"Apa maumu?!" pekik Amara seraya melepaskan pegangan tangannya dari Bintang.
"Aku hanya ingin berbicara sedikit saja."
"Tidak ada yang perlu kita bicarakan, semua kisah kita sudah selesai saat kamu memutuskan untuk pergi!" tolak gadis itu. Selanjutnya, naik ke atas sepeda motor dan melenggang pergi.
Sedangkan pemuda itu hanya dapat melihat Amara menjauh, kedua tangannya lalu bergerak meremas kepala karena usahanya untuk berbicara dengan Amara kembali gagal. Bintang merasa frustasi, bingung memikirkan cara agar dapat melunakkan hati cinta lamanya.
Sial!
#
Sepanjang perjalanan pulang Amara berderai air mata, memang tidak ada suara tangis yang keluar dari mulutnya, tapi wajahnya basah oleh derasnya aliran air mata. Semua kenangan lama yang telah dikubur jauh di lubuk hati ini menyeruak keluar, membuat hatinya terasa sangat sakit seperti dihujani pisau secara bertubi-tubi.
Gadis yang tengah bersedih hati itu mendadak merasakan sesuatu yang tidak beres dengan sepeda motornya, lalu menepi dan turun dari sepeda motor. Ia memeriksa ban depan sepeda motornya, dan melihat bahwa baik-baik saja, akan tetapi, saat melihat ban belakang yang kempes membuat dirinya mendesah lemah. "Huftt ...." Amara kemudian berdiri, menengok kanan dan kiri seraya berharap ada bengkel sepeda motor atau tempat tambal ban yang masih buka, tapi ia kembali mendesah kecewa ketika harapannya hanya angan-angan.
"Malam yang sial! Udah ketemu mantan dan sekarang ban bocor, mana gak ada tambal ban!" Amara mengeluh dalam hati.
Tubuhnya yang lelah kini bertambah lelah setelah harus mendorong sepeda motor sambil mencari bengkel. Hingga gadis itu berubah terkejut tatkala ada sepeda motor yang tiba-tiba berhenti di depannya, Amara yang mencium bau bahaya langsung berhenti mendorong sepeda motor, memandang takut dua pria yang turun dari motor serta berjalan menghampirinya.
"Kenapa motornya?" tanya satu dari dua orang misterius itu. Lalu, bertukar pandangan dengan temannya sambil tersenyum aneh.
Detak jantung Amara sangat keras karena mendapatkan sinyal bahaya, wajahnya yang kelelahan kini nampak pucat sebab ketakutan. Dia bahkan tidak menjawab pertanyaan dua pria asing itu, hanya menggelengkan kepala sambil melangkah mundur, menjaga jarak aman sebelum berlari pergi apabila situasi tambah berbahaya. Sampai tiba-tiba ada sepeda motor lain yang berhenti tepat di sampingnya, yang menjadikan Amara lebih terkejut ialah ketika pengemudi itu turun dari sepeda motor sembari menyapanya.
"Kamu aku cari dari tadi Sayang, kan sudah kubilang untuk menunggu." Laki-laki itu berbicara sambil melepas helm dan masker. Selanjutnya, melambaikan tangan pada dua pria yang berniat buruk kepada Amara. "Tidak apa-apa Mas, dia pacar saya."
Kedua pria itu hanya diam disertai menampilkan ekspresi kesal dan kecewa. Kemudian, berbalik arah dan pergi dari lokasi. Sementara Amara hanya menatap bingung laki-laki yang ada di hadapannya serta mengaku sebagai pacarnya, tetapi ia pernah bertemu dengan lelaki tersebut tempo hari.
"Maaf Mbak, tadi saya ngaku-ngaku sebagai pacar." Orang itu tersenyum kikuk sambil tangannya bergerak menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Amara tersadar dan merespon cowok itu. "Iya gak papa." Lalu lanjut bertanya. "Mas Owen ya?"
Kini giliran pemuda itu terkejut serta bertanya balik. "Kok mbak tahu nama saya?"
Amara pun menjelaskan singkat bahwa dirinya adalah pembeli helm beberapa hari yang lalu, baru setelah itu Owen ingat tentang gadis tersebut. Kemudian, bertanya tentang keadaan sepeda motor Amara.
"Ohh iya, sepeda motornya kenapa?"
"Ban belakang kayaknya bocor deh."
Selepas mendengar jawaban itu, Owen langsung mengambil alih sepeda motor Amara dan mulai mendorongnya. "Mbak naik motor saya aja, biar saya yang dorong motornya sampai tempat tambal ban."
"Tapi Mas ...?" Amara hendak menolak karena merasa tak enak hati, tapi lelaki itu sudah mulai berjalan mendorong sepeda motor. Ia bingung selama beberapa detik, sebelum memutuskan naik sepeda motor dan mengekor Owen.
#
00.30 WIB.
Lebih dari dua kilometer Owen berjalan sambil mendorong sepeda motor serta mencari tambal ban, tapi sejauh ini belum menemukan bengkel atau tempat tambal ban yang buka. Dia dan Amara memang melihat beberapa tempat tambal ban, tetapi tempat tersebut telah tutup karena sudah jam malam. Dinginnya udara malam pun berpacu dengan hembusan napasnya, apalagi sekujur tubuh dan pakaiannya sudah basah oleh keringat. Pemuda itu berhenti mendorong sesaat guna mengatur napas, lalu kembali melanjutkan mendorong sepeda motor.
Di belakangnya, Amara yang mengekor dengan sepeda motor Owen merasa prihatin, pasalnya melihat wajah lelaki itu kelelahan dengan badan yang bermandikan keringat. Sebenarnya ia sempat meminta Owen untuk bergantian mendorong sepeda motor, tetapi cowok itu menolaknya dengan banyak alasan. Namun, hal tersebut membuat Amara merasa kagum pada Owen, diiringi perasaan aneh yang ada di hatinya.
Owen tiba-tiba berhenti mendorong sepeda motor dan menoleh ke belakang sambil bertanya. "Apakah rumahmu masih jauh?"
"Kira-kira tujuh ratus meter lagi," jawab Amara polos. Owen yang mengetahui hal itu langsung terduduk lemas di aspal sambil membuang napas.
Ya Allah berikanlah hamba kekuatan
#
01.12 WIB.
Setelah tiga kilometer lebih berjalan sambil mendorong sepeda motor, akhirnya Owen sampai di kediaman Amara. Cowok itu langsung terduduk lemas dan bersandar pada pagar besi Amara sembari mengatur napas yang berantakan. Sedangkan Amara segera turun dari motor Owen lalu menghampiri pemuda yang kelelahan. Dia memandang Owen dengan perasaan iba juga kagum, kemudian membuka mulut untuk berterima kasih.
"Maaf dan terima kasih sudah mau menolongku."
Ucapan itu hanya dibalas anggukan kepala oleh Owen sebab terlalu lelah untuk bersuara. Selanjutnya, Amara masuk ke dalam rumah sambil mendorong sepeda motor miliknya, beberapa menit berikutnya ia kembali keluar sambil membawa segelas minuman. Namun Amara dilanda kecewa, dikarenakan lelaki penolongnya sudah pergi tanpa berpamitan. Walau begitu, dia merasa bahwa akan bertemu lagi dengan Owen.
#
Di tempat lain, Owen mengendarai sepeda motornya dengan pelan, tenaganya sudah terkuras habis untuk mendorong sepeda motor milik Amara. Namun, ia malah merasa senang, ditambah ada perasaan aneh di dalam hatinya. Owen juga mempunyai firasat kalau akan kembali berjumpa dengan gadis tersebut.
*****
Bintang mengamuk ketika berada di rumah, melempar dan menghancurkan segala benda yang ada di ruang tamu. Pikiran pemuda itu tengah kacau, pasalnya semua rencana yang tersusun rapi kini berubah berantakan. "Biadab! Bajingan! Brengsek!' Dia terus mengumpat sambil menghancurkan ruang tamu. Selanjutnya, terduduk lemas seraya tangan meremas kepala, saat itulah bibirnya menyeringai lebar tatkala muncul ide di benaknya. "Benar ...," gumam Bintang, "aku harus membunuh orang itu agar berhasil mendapatkan Amara kembali." Disusul mengeluarkan handphone serta menelepon seseorang."Halo ....""Iya, ini siapa?""Gak perlu basa-basi, gue ada kerjaan buat lu," terang Bintang."Baik, bisa bertemu di mana untuk kesepakatan kontrak?""Besok malam di Diskotek Cemara."****13.10 WIB.
22.45 WIB. Bambang duduk di pinggir jalan sambil merokok juga melepas penat bersama tiga rekannya. Pria berusia empat puluh empat tahun itu sedang dirundung bingung akibat gagal melaksanakan tugas dari Nicholas. Dia menghisap rokok dengan penuh khidmat, lalu mengembuskan asapnya sembari berharap mendapat pencerahan."Ketua," lirih salah satu rekan Bambang yang membuka suara. Si empu nama melirik ke sumber suara seraya bertanya. "Ada apa?""Apa orang-orang yang kita cari melarikan diri ke luar kota, ya?" sambung orang itu."Benar, mereka menghilang tanpa jejak sama sekali," tambah pria lainnya. Sedangkan Bambang hanya duduk merenung dengan merokok serta mendengarkan setiap pendapat dari rekan kerjanya. Ia tidak bisa membantah pendapat mereka, pasalnya hal tersebut mungkin benar, akan tetapi, dirinya memiliki pemikiran tersendiri."Ini sangat aneh dan tidak wajar."
Raut muka Bintang dipenuhi keterkejutan diikuti iris mata melebar saat melihat kehadiran Nadia di depan rumah Owen. Laki-laki yang sedang berada di dalam mobil itu penasaran dengan kedatangan calon tunangannya. "Untuk apa Nadia ke sana?" tanyanya dalam hati. Ia lalu berusaha menghubungi lagi anak buahnya, tetapi hasilnya masih seperti sebelumnya.****Di dalam rumah, suasana menjadi sangat canggung, khususnya bagi Owen yang bingung menghadapi kedua tamunya. Di depannya, sudah tersedia dua makanan yang dibawa oleh Alyssa juga Amara, tapi, dirinya bingung harus mencicipi yang mana terlebih dulu. Pemuda berparas tampan itu mendesah kecil sambil memandang kedua tamunya secara bergantian."Ayo makan!" suruh Alyssa serta Amara secara serempak. Dua gadis berparas cantik itu bertukar pandang, sebelum kembali beralih menatap Owen.Di sisi lain, Owen menelan paksa ludahnya, merasa takut dan
Bunyi ketukan pintu dari luar ruangan membuat Nicholas yang tengah sibuk bekerja secara terpaksa menatap ke asal suara. "Masuk," titahnya, diikuti pintu terbuka dan pria bernama Bambang melangkah ke dalam ruangan. "Siang, Bos," sapa lelaki bertubuh tegap juga kekar."Gimana hasil penyelidikan?" Nicholas segera bertanya ke inti masalah tanpa ingin berbasa-basi.Pria yang berdiri itu sedikit mengembuskan napas, diikuti perubahan raut muka yang terlihat kecewa. "Maaf, Bos," tuturnya, kemudian memberikan alasan. "Saya dan teman-teman sudah mencari orang-orang itu, tapi, kami sama sekali tidak menemukan jejak mereka. Seolah orang-orang tersebut tidak pernah ada.""Maksudmu?" Nicholas bertanya dengan satu alis terangkat naik. Ia bingung akan penjelasan dari anak buahnya."Kami sudah memeriksa CCTV di sekitar lokasi kecelakaan, anehnya, tidak ada satu pun CCTV yang merekam kejadian," tambah Bambang.
21.30 WIB.Danu Prasetyo bergegas masuk ke dalam mobil dan melenggang pergi menuju ke suatu tempat. Lelaki berumur dua puluh lima tahun itu memacu mobilnya dengan kecepatan normal, pasalnya sedang tidak terburu-buru untuk sampai ke tempat tujuan. Dua puluh menit berselang, dirinya sudah berada di Diskotik Purnama, lantas selepas memarkir mobil, segera berjalan masuk ke dalam diskotik untuk bertemu seseorang. Ia mengedarkan pandangan, lalu mengulas senyum saat melihat seorang gadis sedang melambaikan tangan padanya, kemudian melangkah menuju ke tempat gadis itu berada."Hai," sapa Danu pada perempuan yang sedang duduk sambil meminum alkohol serta menikmati alunan musik."Duduklah," pintanya.Danu kemudian duduk, kepalanya bergerak ke kiri juga kanan sesuai alunan musik yang sedang bergema keras. Ia memanggil pelayan untuk memesan alkohol dan beberapa makanan ringan, sesudah itu mulai mengaj
Amara duduk santai di ruang tamu, melepas lelah setelah hampir dua jam bersih-bersih rumah. Ia yang hari ini masih shift siang memilih menghabiskan waktu pagi dengan merapikan beberapa bagian sudut rumahnya yang terlihat kotor. Gadis itu tiba-tiba mengabaikan acara pada televisi saat mengingat pembicaraan dengan Alyssa tempo hari, jujur, dia tidak tahu maksud kawan barunya dengan berkata seperti itu, tetapi hal tersebut membuatnya resah."Aku menyukai Owen." Kalimat dari Alyssa itu seperti terukir pada benak Amara.Huft ....Gadis yang memilki senyum manis itu mengembuskan napas dan mencoba membuang pikiran tersebut, walau begitu, di lubuk hatinya terdapat ketakutan kalau Owen akan lebih memilih Alyssa dibanding dirinya. Tiba-tiba terdengar bunyi bel pada pintu rumah yang membuatnya tersadar dari lamunan, Amara segera beranjak dari bangku serta berjalan ke arah pintu."Pagi, Amar
Nicholas Right Kiehl duduk di ruang kerja dengan resah sesudah mendengar hal buruk yang menimpa teman dari putrinya. Ayah satu orang anak itu takut kalau nanti Alyssa akan menuduh dirinya yang melakukan hal tersebut. Ia lalu mengembuskan napas secara berat, diiringi iris mata menatap bingkai foto keluarga yang ada di atas meja. "Sekarang, apa yang harus aku lakukan, Sayang?" Nicholas bermonolog dalam hati seraya berharap mendapat jawaban dari masalah yang akan datang, apalagi takut jika putri semata wayangnya akan terseret arus permasalahan berbahaya. Sekali lagi dirinya membuang napas berat, kemudian berteriak memanggil satu anak buahnya yang ada di luar ruangan. "Bambang!" Tanpa menunggu lama si empu nama berjalan masuk dengan tergesa-gesa serta mimik wajah ketakutan. "I ... iyyaaa, Bos," jawabnya gugup. "Cari tahu penyebab kecelakaan yang dialami Owen!" tegas pria yang tengah duduk gelisah. "Aku tidak ingin
"Amara!" panggil Alyssa sembari berjalan menghampiri. Sedangkan si empu nama berhenti melangkah seraya menoleh ke belakang. "Ada apa?" tanyanya.Gadis berambut sebahu itu tersenyum sejenak sambil memandang lekat-lekat wajah temannya. "Bisa kita bicara sebentar?" terang Alyssa. Diikuti gerakan kepala menoleh ke kanan juga kiri, memastikan tidak ada yang menguping pembicaraan.Amara mengerutkan kening sambil menatap bingung, merasa ada hal penting yang ingin dibicarakan temannya. "Ada apa?" sahut perempuan berambut panjang."Bisa kita bicara di tempat lain," imbuh Alyssa. Lalu, mengajak pergi ke tempat yang nyaman untuk mengobrol. Amara setuju dengan ajakan Alyssa, kemudian melangkah bersama menuju kantin rumah sakit.***Walau sedikit merasa bersalah karena membuat dua teman gadisnya marah, tapi pemuda itu merasa nyaman juga damai. Jujur, dia tertekan dengan kehadiran Amara
Owen membuka mata dan melihat Alyysa tertidur di sampingnya dalam posisi duduk,tangan kanannya lalu bergerak menyentuh kepala gadis itu sambil berkata pelan. "Alyssa." Membuat si pemilik nama terkejut sekaligus terbangun, kemudian segera melayangkan pertanyaan dengan nada panik."Owen, bagian mana yang sakit? Aku panggil Dokter sekarang!""Jangan," lirih pemuda itu, "aku baik-baik saja." Ia berbohong, padahal merasakan sakit pada kaki kiri juga tulang rusuk sebelah kanan. Saat memandang paras Alyssa, melihat kedua mata temannya itu bengkak seperti habis menangis. Owen menghela napas panjang, lalu meminta temannya kembali duduk."Alyssa, duduklah."Gadis berwajah cantik itu menurut, kembali duduk tenang sembari menatap sedih. Bibirnya menyimpulkan senyum manis sebelum bertanya tentang kronologis kecelakaan. Sedangkan Owen membuang napas panjang serta memejamkan mata mencoba mengingat kecelakaan yang dialami