Pada malam hari, Victor sulit tidur. Ini adalah malam pertama yang harus ia habiskan sendirian di rumah sejak ia tinggal bersama Emma. Rumah itu begitu tenang dan sunyi, tapi tidak dengan hatinya. Ia masih merasa sedih karena kehilangan wanita yang pernah dicintainya. Tentu saja bukan menangisi si mantan istri seperti yang baru ia ketahui belakangan ini. Melainkan Emma yang dulu yang telah menemaninya selama lima tahun. Dia masih percaya, tidak salah mencintai Emma yang dulu, tapi hanya berpikir kalau wanita itu sudah berubah karena keadaan. Namun entah kenapa, dia merasa puas dengan apa yang terjadi di toko Johnson’s Pleasantry sebelumnya. Dia tidak pernah merencanakan untuk membalaskan dendamnya seperti itu. Dia bahkan tidak memikirkan balas dendam sama sekali. Namun… “Biar tahu rasa dia! Bagaimana dia bisa begitu buta tanpa menyadari bahwa cincin yang kuberikan padanya itu asli.” Sekarang Victor sedang berbaring di sana, di tempat tidur, memandangi cincin emas berkilauan yang
Dia bergegas ke jendela dan mengintip kondisi di halaman depan lebih lanjut. Mobilnya masih di sana, dan segala sesuatunya tampak begitu normal. “Mungkinkah kedua perampok itu berubah pikiran dan meninggalkan semuanya di sini? Mana mungkin!” Dia benar-benar tidak dapat memahami apa yang terjadi dan bagaimana uang dan cincin itu berada di depan pintu. Dia memeriksa segala sesuatu di sekitar rumah, memastikan tidak ada tempat bagi pencuri untuk masuk. Ia pun memeriksa setiap sudut rumah, untuk memastikan tidak ada orang yang bersembunyi di dalam. Baru setelah itu, dia kembali ke kamarnya, mengunci diri di dalam, lalu duduk di balik pintu dengan ekspresi ketakutan di wajahnya. Pada akhirnya, dia kesulitan untuk tidur lagi. *** Dan saat ini, di tempat lain, kondisi Emma tak jauh berbeda. Dia masih tidak punya tempat tujuan, dan Lucas belum menawarkan apa pun padanya. Sebaliknya, perhatian Lucas tertuju pada TV di salah satu sudut bar, menonton wawancara seorang aktris Hollywood baru
Sesampainya di kamar hotel, Lucas melemparkannya ke atas kasur, dan segera melucuti pakaiannya satu-persatu. Nafasnya berburu berkejaran tampak tak sabaran.Dia juga melepaskan pakaiannya. Namun, saat dia telanjang bulat, tiba-tiba teleponnya berdering.Dia mengangkat telepon dengan wajah kesal. Namun panggilan itu tak dapat ditolak karena itu adalah panggilan dari ayahnya.[Ada di mana kamu sekarang? Sudah jam berapa ini?!]“Aku ada urusan dengan seorang teman. Recananya aku tidak akan pulang malam ini.”[Tidak bisa! Kau harus pulang sekarang. Ibumu tidak bisa tidur kecuali kamu sampai di rumah!]“Ayolah! Aku bukan anak kecil lagi.”[Hei, Lukas! Kau itu masih tinggal bersama kami. Katakan itu padaku nanti setelah kamu menikah, atau setidaknya, setelah kamu bisa mengumpulkan uang sendiri]“Cih!”Tidak mungkin dia memperkenalkan Emma kepada ayahnya ketika Emma berpenampilan seperti ini. Dan tidak mungkin juga baginya untuk menahan apa yang baru saja akan dia lepaskan. Dia sudah telanja
Dia meninggalkan ponsel mereka di sana. Begitu pula dengan pistol milik salah satu dari mereka. Setelah membuang semua peluru di dalamnya, dia meletakkan pistolnya ke dada pria itu.Dan kemudian, dia kembali ke mobil. Setelah berada di dalam mobil, baru dia melepas topengnya.“Sial, harusnya aku biarkan saja dia mempekerjakanku sebagai sopir pribadinya,” keluh pria itu, yang tak lain dan tak bukan adalah si sopir yang sebelumnya mengantar Victor pulang.Setelah bersantai di sana selama beberapa waktu dengan sebatang rokok, dia menyalakan mobil dan kembali ke kota.Sementara itu, Victor masih terlihat waspada di rumahnya. Dia kadang-kadang keluar dari kamarnya, untuk memastikan semuanya baik-baik saja. Kemudian kembali ke kamarnya lagi dan mengunci diri di dalam.Victor sudah melakukan itu beberapa kali, meski sebenarnya ia merasa sangat lelah dan mengantuk. Tak peduli seberapa buruk dia perlu tidur, tetap saja dia berjaga semalaman suntuk.Hingga kemudian...“Drrrrtt! Drrrtt!!”Ponsel
Dia hanya berdiri saja di sana, di seberang toko apotek tempat dia seharusnya bekerja. Ia merasa agak enggan untuk kembali bekerja, karena apotek tersebut masih milik keluarga Lucas.“Eh? Emma?!” salah satu mantan rekan kerja menyapanya dari belakang.“Oh? Stephanie! Hi!” jawab Emma.“Mereka bilang kamu tidak lagi bekerja dengan kami. Apakah kamu mendapatkan pekerjaan di tempat lain?”“Ah, benar!” Jawab Emma singkat dengan raut wajah tak pasti.Lalu, mantan rekan kerjanya itu meninggalkannya, mengatakan pada Emma kalau dia tidak ingin terlambat.Sementara itu, Emma berusaha menegaskan diri untuk menolak niatnya kembali bekerja di tempat itu.Perhatiannya beralih ke kunci rumah yang dia pegang. Sesaat kemudian, dia pun memanggil taksi, berniat untuk kembali ke rumah Victor.Meski mereka bukan lagi pasangan suami istri, dia yakin kalau dirinya masih punya hak untuk tinggal di rumah itu, karena sengketa pembagian harta kekayaan itu belum selesai.Sesampainya di rumah itu, ternyata Ny. Gr
Saat mereka memaksa masuk dan berdiri di belakang Victor, lift membunyikan alarm tanda kelebihan beban. Mereka pun mulai saling pandang, menunggu seseorang keluar dari lift.Namun kedua karyawan perempuan itu, Abigail dan Sarah, bersikap cuek dengan apa yang terjadi.“Hei, kita tidak akan kemana-mana jika tidak ada satu pun yang keluar dari lift ini,” kata seorang pria dari belakang.“Oh, bagus! Sepertinya kau punya cukup IQ yang lebih baik daripada yang lain. Tapi kenapa kau masih di sini?” jawab Abigail. “Keluarlah, jika kau pikir memang harus ada yang keluar.”Pria itu tidak berani menjawab, karena posisinya di perusahaan lebih rendah dari Abigial. Begitu juga semua orang di dalam lift itu.Tak satu pun dari mereka yang berani membalas perkataannya. Namun, tak satu pun dari mereka yang berniat meninggalkan lift, karena semuanya buru-buru untuk rapat di lantai atas.Tiba-tiba, secara diam-diam, Sarah memukul siku Nancy dari belakang, tepat mengincar saraf ulnarisnya di bagian siku i
Tapi Nancy masih terlihat enggan. Lagi pula, dia punya sesuatu yang perlu dia lakukan dengan dokumen yang dia pegang saat ini. “Aku ingin membantumu. Tapi aku harus menyerahkan dokumen ini kepada supervisorku. Dia memerlukan dokumen-dokumen ini karena dia akan menghadiri pertemuan itu juga,” jawab Nancy menolak dengan sopan. “Kalau begitu, kenapa kamu tidak bawa saja dokumen itu langsung ke pertemuan itu dan menemui atasanmu di sana?” tawar Victor. “Tidak, aku khawatir dia akan memarahiku nanti di depan orang-orang,” kembali Nancy menolak. “Tidak apa-apa, aku akan mencoba menjelaskan situasimu kepada supervisormu itu nanti,” Victor memegang tangannya dan membawanya ke arah lift. Sekarang Nancy menjadi semakin grogi. Ia begitu yakin Victor pasti punya jabatan yang lebih tinggi dari supervisornya, mengingat betapa mudahnya Victor berjanji bisa menjelaskan semuanya kepada supervisornya itu. “Um, kenapa kamu tidak ikut saja denganku untuk membawa dokumen ini dulu ke supervisorku, lal
Sementara itu, ruang pertemuan agak riuh karena mereka sudah menunggu cukup lama. Apalagi Oliver yang semakin tidak sabar karena Nancy belum juga menyerahkan dokumen yang dimintanya. Oliver sudah tahu kalau bos barunya adalah rekan kuliahnya. Namun dia telah meninggalkan kesan buruk sejak pertemuan pertamanya dengan Victor di kamar kecil kemarin. Dia tidak mampu menanggung risiko untuk meninggalkan kesan buruk lagi di depan bos barunya itu dua hari berturut-turut. Menjadi begitu serba salah, dia tahu betul bahwa hanya dengan satu kesalahan akan berakhir dengan pengunduran dirinya. Kenyataannya, dia juga telah mendengar tentang pengunduran diri beberapa pejabat tinggi perusahaan tepat setelah penunjukan Victor sebagai Presiden baru. “Dasar perempuan tidak berguna. Kenapa dia lama sekali mengantarkan dokumennya?” gerutu Oliver menahan kekesalan. Wajahnya yang serba salah menarik perhatian Abigail, atasannya yang kebetulan duduk tepat di sampingnya. Tentu saja Abigail tahu apa yang ad