Dalam kegelapan dunia bawah tanah, Alden Leon Ransen dikenal sebagai sosok tak terkalahkan. Namun, tragedi memisahkannya dari cinta sejatinya, mengubahnya menjadi pria biasa yang menyembunyikan masa lalunya. Namun, takdir berkata lain. Petunjuk muncul, mengisyaratkan bahwa sang istri mungkin masih hidup, namun juga mengungkapkan pengkhianatan yang mengoyak wilayahnya. Dengan hati yang terbakar amarah, Alden kembali memimpin kelompok mafianya untuk membalas dendam dan merebut kembali yang telah dicuri. Di dalam labirin intrik dan kekuasaan, ia berpapasan dengan seorang detektif wanita yang memegang rahasia gelap tentang David Durant, otak di balik segala penderitaannya.
Lihat lebih banyak“Tuan, mau sampai kapan anda menjalani hari-hari terhina seperti ini?” tanya Frey dengan nada prihatin terhadap sosok pria yang ada di hadapannya.
Wajahnya tampak cemas mengkhawatirkan kondisi tuannya yang terus merosot seperti orang yang tidak punya gairah hidup lagi.
Ya, di sanalah sosok Alden Leon Ransen duduk sendirian. Di meja sudut sebuah restoran yang gelap, tempat dia seakan menyembunyikan diri dari dunia luar yang dulu pernah dikuasainya.
Tatapannya kosong, beban dan kesedihan yang tak terungkap tercetak jelas dalam garis wajahnya yang tegas. Dengan pakaian pelayan yang digunakannya, ia terlihat seperti pria biasa.
Namun, semua orang yang mengenalnya tahu bahwa Alden bukanlah pria biasa. Ia adalah seorang mafia terkenal yang telah menjalani hidupnya di dunia bawah tanah yang gelap dan berbahaya.
Alden membuang napas kasar, mengindahkan ucapan Frey yang mencemaskannya itu. “Pergilah, Frey,” katanya dengan pelan.
“Oh, ayolah, Tuan. Kau juga berhak bahagia!”
Frey, seorang sahabat lama dan anggota kelompok mafia yang pernah bekerja bersama Alden, terus mencoba untuk membujuknya kembali ke dunia mereka. Namun, lagi-lagi Alden menolaknya dengan mantap.
Alden menggeleng lemah, “Tidak lagi, Frey!”
"Sudah cukup banyak darah yang tertumpah, Frey. Aku tidak ingin lagi berada di tengah-tengah perang antar kelompok. Aku takut kehilangan lebih banyak orang yang aku cintai,” sambung Alden sembari menghela napas lemah.
Kenangan masa lalu kembali menghantui pikiran Alden. Dia mengingat bagaimana Vivian yang merupakan sang istri yang sangat dicintainya telah tiada karena musuhnya sendiri selama dia bekerja di dunia yang gelap itu.
Rasa bersalah dan penyesalan terus menghantui setiap langkahnya. Bagi Alden, dunia mafia adalah balasan atas ketidakmampuannya menjaga dan melindungi sang istri. Dia merasa pantas menerima perlakuan hina yang selama ini diterimanya sebagai seorang pelayan.
“Tapi Tuan, mereka membutuhkanmu. Kelompok kita hancur tanpamu. Kamu adalah satu-satunya yang bisa menyatukan kami kembali!” Frey masih tetap pada pendiriannya untuk terus membujuk Alden.
Alden merenung sejenak sebelum menjawab dengan hati-hati.
“Aku tahu kamu ingin membantu, tapi kamu tak bisa mengerti betapa sakitnya kehilangan Vivian. Aku tidak ingin ada lagi korban dari hidupku yang kelam ini.”
Sudut bibir Frey terangkat, hendak mengatakan sesuatu. Namun, ucapannya kembali ditelan ketikan tiba-tiba kepala staf restoran datang dan langsung menyiramkan air di kepala Alden.
“Enak sekali hidupmu, heh! Dasar pria miskin, kau hanya tahu bermalas-malasan di sini!” Kepala staf restoran itu marah dan memaki Alden.
Frey melotot tidak terima melihat tuannya dimaki di depan matanya sendiri dan di hadapan orang banyak. Ia hendak memberi pelajaran, namun dengan cepat Alden berdiri menahannya dengan memberi kode untuk tetap diam.
Alden menatap sejenak lantai di hadapannya yang telah kotor dengan pecahan gelas yang berserakan. Ia menarik napas pelan dan berkata, “Maafkan aku, ini tidak akan terulang lagi.”
Alden tertunduk, tapi dia juga harus mempertahankan harga dirinya di depan orang lain, meskipun hatinya masih hancur karena kehilangan sang istri.
Frey mencoba mengerti keputusan Alden yang tidak ingin ketenanganya terganggu. Dia hanya diam menahan emosinya pada kepala staf yang sombong itu.
“Kau pikir kata maaf akan menyelesaikan semuanya? Aku akan mengadukanmu pada atasan! Tapi sebelum itu, kau bersihkan lantai ini dengan lidahmu dan menggongonglah seperti anjing memohon ampun padaku!”
Alden mengeram, menahan emosinya yang sudah ingin mencuat. Dia tahu kalau kepala staff itu memiliki kekuasaan karena keponakan dari pemilik restoran tempatnya bekerja.
“Kau sudah keterlaluan, aku tidak akan melakukannya,” sahut Alden menolak dengan sabar.
“Heh, ini adalah balasan untukmu atas semua pujian yang kamu dapat dari pelangan. Kau bukan siapa-siapa di sini! Cepat jilat lantai itu!” perintah kepala staff itu dengan matanya yang melotot marah.
Alden hanya tersenyum tipis tanpa menunjukkan emosi yang meluap dalam dirinya sebagai jawaban. Sayangnya, kepala staff itu tak terima, dan melepar gelas ke arah Alden.
Dengan sigap, Alden menangkap gelas itu untuk melindungi alat vitalnya. Kepala staff itu terkejut, namun dengan cepat menganti ekspresi wajahnya menjadi kesal.
“Kau berani melawanku? Kau pikir siapa dirimu, hah?” Kepala pelayan ini berteriak hingga mereka menjadi pusat perhatian.
“Kau hanya pelayan rendahan, miskin dan tidak berguna!” lanjutnya lagi.
Frey yang sudah geram pun angkat bicara. Sejak tadi dia sudah panas dingin menyaksikan bagaimana Alden ditertawakan dan direndahkan.
“Tuan, Vivian masih hidup. Dia telah mengkhianati kita, bekerja sama dengan kelompok David Durant untuk menghancurkan kelompok kita,” ucap Frey dengan berapi-api.
Alden tertegun, bagai disambar oleh petir mendengar kabar dari asistennya itu. Tangannya mengepal dengan kuat, dan perasaannya menjadi tidak karuan.
Alden tidak tahu apakah dia harus percaya pada kata-kata Frey atau tidak. Rasa curiga dan ketidakpercayaan masih menghantui pikirannya. Jika itu benar, mengapa Frey tidak memberitahunya sejak dulu?
“Apa itu cerita dongeng dari dunia kriminal kalian? Kau sangat pandai merangkai cerita, heh.”
Kepala staff restoran itu menertawakan cerita Frey. Dia mencibir, menatap dengan jijik sosok Alden dengan pakaian pelayannya yang lusuh, ditambah seorang pria berjas hitam berdiri di samping Alden dengan cerita konyolnya.
Alden mengangkat pandangan matanya yang tajam. Gelas dalam tangannya digenggam hingga pecah, darah mengalir dari sela-sela jarinya. Orang-orang yang berada di sana terkejut, tak terkecuali kepala staff itu.
Dalam sekejap suasana berubah. Alden yang biasa terdiam dan mengalah, mulai menunjukkan sisi kejamnya yang telah lama ditahan. Wajah kepala staff memucat, dia berjalan mundur mencoba menghindari Alden yang terus melangkah pelan menuju ke arahnya.
“Ayo pergi!” ajak Alden pada Frey.
“Kau mau kemana pelayan murahan? Aku bisa melaporkanmu ke polisi jika kau berani meninggalkan restoran ini!” ancam kepala staff itu pada Alden yang hendak pergi.
Alden tersenyum dingin, dia berbalik dan mencekik kepala staff itu.
“Aku mungkin akan mematahkan lehermu sebelum polisi bisa datang!”
Wajah kepala staff itu semakin memucat. Dia berontak, mencoba melepaskan cengkraman tangan Alden yang kuat di lehernya. Dia bahkan tak sadar telah kencing di celana karena ketakutannya terhadap perubahan Alden.
“Jangan menghalangi jalanku!” kata Alden melempar kepala staff itu ke lantai.
Semua orang di tempat tersebut tertegun melihat perubahan drastis yang terjadi pada Alden. Sisi anggun dari seorang pelayan rendahan berubah menjadi sosok yang menakutkan. Kegelapan di masa lalunya, pengkhianatan istrinya, dan penderitaannya telah membuat Alden melampaui batas dan kembali menjadi sosok yang ditakuti.
Alden berdiri dengan wajah dinginnya. Tatapan matanya yang dulu terlihat tidak bergairah, kini berubah menjadi sangat tajam. Seolah-olah, tatapan matanya bisa menusuk siapa saja yang melihatnya.
“K-kau... siapa kau sebenarnya?” Kepala staff mencoba bertanya dengan sisa keberaniannya.
Alden terdiam sejenak, meresapi kata-kata Zane dengan serius. Tidak hanya Zane yang mengingatkannya pada tanggung jawabnya terhadap Alana, tetapi juga hatinya yang penuh dengan keraguan dan kebingungan."Aku tidak akan mengecewakannya," ujar Alden dengan mantap, meskipun terasa seperti dia lebih mencoba meyakinkan dirinya sendiri daripada Zane.Zane hanya mengangguk sekali lagi, ekspresinya tetap serius dan agak ragu. Keduanya saling bertukar pandang sebentar, sebelum akhirnya Zane berbalik dan meninggalkan ruangan.Alden duduk kembali di tempatnya, membiarkan kata-kata Zane meresap dalam pikirannya. Dia merasa bertanggung jawab atas keselamatan dan kesejahteraan Alana saat ini.Dengan perasaan yang membara, Alden bangkit dari kursinya dengan langkah-langkah mantap. Wajahnya memancarkan kemarahan yang mendalam. Dia tidak bisa membiarkan orang yang telah menyentuh Alana dengan kasar itu lepas begitu saja.Langkah Alden yang cepat menuntunnya keluar dari ruangan. Dengan pandangan tajam,
Frey mengangguk patuh pada perintah Alden, menyeret pria tua itu menjauh dari kerumunan. Sedangkan Alden, dengan Alana yang masih tidak berdaya di pelukannya, bergerak cepat menuju kendaraannya.Saat mereka menjauhi tempat itu, Alden merasa beban yang mengendap di dadanya semakin berat. Dia tak bisa menerima bahwa Alana telah menjadi target musuh-musuhnya. Namun, dalam keadaan genting seperti ini, dia harus memprioritaskan keselamatan Alana di atas segalanya.Setelah meletakkan Alana di dalam mobilnya, Alden segera memacu kendaraannya menjauh dari tempat itu. Pikirannya dipenuhi dengan kekhawatiran dan pertanyaan tentang siapa di balik serangan itu, dan bagaimana mereka bisa menemukan solusinya.Sementara itu, Frey beserta orang-orangnya mulai melakukan penyerangan balik. Dia memang sudah mendapatkan informasi terkait mobil Alden yang dikejar oleh orang hingga berakhir di sebuah desa itu.Suara pukulan dan tembakan salih sahut di tengah kesunyian malam. Entah sudah berapa banyak korba
Namun, sebelum Alden bisa bereaksi, seseorang menarik tangannya dari belakang. Frey telah tiba di tempat kejadian dengan ekspresi serius di wajahnya."Tuan, kita harus pergi sekarang!" seru Frey sambil menarik Alden menjauh dari kerumunan. Alden mengangguk singkat, masih terkejut dengan kejadian yang baru saja terjadi.Dia segera mengikuti Frey, meninggalkan keributan di belakang. "Ada apa, Frey? Siapa mereka semua?" tanya Alden begitu mereka jauh dari kerumunan.Frey menghela napas. "Aku akan jelaskan semuanya di perjalanan. Tapi sekarang, kita harus cepat pergi dari sini."“Baiklah, kita jemput Alana dulu,” ucap Alden yang kemudian berlari menuju ke gubuk tua tempat mereka singgah di sana.Frey juga mengikutinya dari belakang sambil sesekali dia memerhatikan sekitarnya, memastikan tidak ada yang mengikuti mereka. Dia juga menatap kepergian pria bertopeng itu mulai menjauh dari keributan yang telah terjadi.“Sial!”Frey sedikit terkejut saat Alden keluar dengan marah-marah. Raut waja
Alana berbaring di atas tempat tidur yang beralaskan tikar. Sementara Alden tidur di lantai yang juga beralaskan tikar.Dibandingkan kata rumah, ini lebih disebut sebagai gubuk yang sudah terbengkalai. Tapi, apa boleh buat. Mereka berdua tidak punya pilihan selain beristirahat di sana.Hari semakin gelap, dan mereka belum bisa menghubungi orang lain termasuk Frey. Alden masih memikirkan cara untuk segera keluar dari desa itu, agar tidak mengganggu warga jika mereka ketahuan berada di sana.“Alden,” panggil Alana dengan suara yang pelan.Gadis itu sama sekali tidak bisa menutup matanya. Dia memandangi langit-langit kamar yang sudah reyot itu.“Ada apa?” tanya Alden.“Aku penasaran dengan temanmu itu. Kenapa dia memakai topeng aneh?” tanya Alana tanpa basa-basi.Ya, sejak tadi Alana terus kepikiran tentang teman Alden itu. Terlihat pria itu tak berbicara dengannya, dia juga memakai topeng yang membuatnya terlihat mencurigakan.“Kenapa kau bertanya tentang dia, hem?” Alden kembali bertan
Alden merasakan adrenalinnya meningkat saat situasi semakin tegang. Meskipun ia cemas dengan tindakan Alana yang terlalu berani, namun juga mengagumi keberaniannya.“Baiklah, tapi sebaiknya kau cepat,” ujar Alden sambil menekan tombol untuk membuka atap mobilnya. Suara peluru semakin keras saat menembus bodi mobil.Alana tidak membuang waktu. Begitu atap mobil terbuka, ia segera menarik pelatuk senjata api yang dipegangnya.Dor!“Cepat, kita harus keluar dari sini!” seru Alana, mata Alden memandanginya dengan campuran kekaguman dan ketegangan. Tanpa ragu, Alden menuruti perintahnya, memacu mobil dengan cepat meninggalkan tempat kejadian.Mobil mereka melaju dengan cepat, melewati jalanan yang semakin sepi dan sunyi. Sementara Alana masih berpegang teguh pada senjatanya, siap menghadapi segala kemungkinan di sepanjang perjalanan.Alden, sementara itu, berusaha mempertahankan ketenangannya meskipun hatinya berdegup kencang. Dia merenung tentang keberanian Alana, bagaimana wanita itu tib
Dia melangkah keluar dari ruangannya dengan langkah yang tegas. Pikirannya dipenuhi dengan keputusan untuk menegaskan batas-batas pribadinya, tanpa campur tangan dari siapapun, termasuk Sophia.Dalam perjalanan keluar dari kantor, Alden memikirkan rencana untuk menyelesaikan masalah ini. Dia tidak akan membiarkan campur tangan dari luar mengganggu hubungannya dengan Alana. Kepercayaan dan kebebasan adalah harga yang mahal baginya, dan dia tidak akan membiarkan siapapun mengambilnya.Alden pergi ingin menemui Alana. Dia juga tak sempat memberitahu gadis itu karena perasaannya yang benar-benar dibuat kesal oleh ucapan Sophia.Saat Alden tiba di kafe, dia melihat Alana masih duduk di sana dengan Zane. Dia menemui mereka dengan langkah mantap, wajahnya terlihat serius namun terkontrol."Alana," panggil Alden, membuat Alana dan Zane menoleh ke arahnya.Alana merasa kaget melihat Alden datang, terutama setelah percakapan singkat dengan Sophia yang masih membekas di pikirannya. Namun, dia me
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen