Home / Romansa / WANITA SIMPANAN / 8. DINAS DI LUAR KOTA

Share

8. DINAS DI LUAR KOTA

Author: Zee Zee
last update Last Updated: 2021-10-18 11:30:00

Suasana rumah begitu nyaman, tak ada wanita itu, tak ada keributan dan pastinya tak ada wanita penggoda. Aku menikmati suasana seperti ini. Dan aku berharap, wanita itu tidak muncul lagi di depanku.

Bunyi bel membuyarkan lamunanku. Aku segera bangkit lalu berlalu meninggalkan Naura yang sedang tertidur pulas. Begitu pintu kubuka, tampaklah wajah lelah suamiku. Aku berhambur memeluknya. Sangat erat. 

"Eh, tumben," tegurnya. Aku tersenyum.

"Pelukannya jangan di sini, nanti dilihat sama Nayla," bisiknya. Senyumku yang sedari tadi mengembang, memudar seketika. 

"Nayla?" tanyaku setelah melepas pelukan. 

"Iya, Sayang. Kan nggak enak," jawabnya. 

Ekor matanya menelisik.setia sudut ruangan. "Eh, yang lain sudah tidur?" tanyanya seraya malangkah masuk.

"Iya, Mas." Ekor matanya melirik ke pintu kamar yang sudah tertutup rapat.

"Kenapa, Mas, segitu banget lihat ke pintu kamar dia," tegurku cemburu. 

"Eh, enggak, Sayang."

"Dia sudah nggak ada di rumah ini," jawabku. 

Mas Rasha menoleh ke arahku, raut wajahnya begitu berubah. 

"Kamu usir?" Aku memilih diam. "Kenapa?" lanjutnya lagi. 

"Aku tidak ingin ada wanita lain di rumah ini, Mas."

"Kenapa nggak bilang sama Mas?" tanyanya sedikir frustrasi. Aku merasakan perubahan dari suamiku. 

"Kenapa?" tanyaku sambil menyelidik. 

Mas Rasha mendadak tergagap, bola matanya bergerak kiri lalu ke kanan, khas saat dia menyemnunyikan sesuatu. Mataku menyipit. 

"Kenapa, Mas?" tanyaku kembali. 

"Kasihan loh, dia, Dek. Di kota ini dia nggak punya siapa-siapa."

"Lalu salah siapa? Ini semua salah kamu, Mas. Sudah lama adek bilang untuk membawa pergi, tapi mas tidak pernah peduli."

Mas Rasha mengusap kasar wajahnya, "Dek–"

"Sepertinya mas tidak suka jauh dari dia," sindirku. 

"Bukan begitu."

"Atau bisa jadi mas menikmati tubuh yang dia pajang selama ini," sinisku seraya berlalu meninggalkan suamiku dengan rasa kecewa. 

Aku membanting tubuh di atas kasur, menangis sejadi-jadinya. Apa mungkin Mas Rasha sudah....

Aku membuang semua pikiran burukku. Aku berusaha untuk tetap memepercayai suamiku. Lupakan tentang wanita itu, nyatanya dia sudah tidak ada di antara kami. 

Lama aku menunggu, akan tetapi Mas Rasha juga belum masuk ke dalam kamar. Kemana dia? Padahal dia baru pulang lembur, harusnya dia memintaku untuk menyiapkannya makanan. Atau dia sekarang sedang makan?

Aku berusaha bangkit lalu memyusulnya ke luar. Di dalam hati aku berharap Mas Rasha sedang makan. Namun, kenyataan berkata lain, aku mendapatinya sedang menelpon. 

Aku berjalan ke arahnya hendak mengajaknya untuk makan malam. Namun, pembicaraan Mas Rasha membuatku menghentikan langkah. 

"Aku juga nggak tahu, Nay, Ainun bakal senekat itu."

"Iya, aku janji. Kamu bertahan di sana saja dulu, ya!"

"Iya, aku ingat janjiku kok, kamu tenang aja, ya!"

"Janji?" ucapku. Sontak Mas Rasha membalikkan badan. Wajahnya pucat pasi. 

"E-eh, belum tidur?" tanyanya. 

"Janji apa, Mas? Tadi siapa?" tanyaku. Padahal aku sudah tahu dengan siapa dia menelfon. 

"A-anu, itu, ada janji buat ketemu klien besok," jawabnya bohong. Aku memilih pura-pura percaya.

"Ya sudah, adek mau bobo dulu," pamitku. 

Mas Rasha mengangguk seraya tersenyum kikuk. "Nanti mas nyusul, ya."  

Aku melangkahkan kaki kembali ke kamar dengan perasaan yang sulit aku gambarkan. Sepertinya alarm untuk menjadi istri siaga sudah menyala. Aku harus berhati-hati dari sekarang. 

Tubuhku lelah, pikiranku kalut. Akankah Mas Rasha berkhianat? Atau .... hanya perasaanku saja? Segera kutepis pikiran burukku. Sungguh tak mungkin suamiku akan berkhianat. 

*

Pagi berlanjut, setelah berkutat di dalam dapur untuk menyiapkan sarapan sekaligus bekal untuk suamiku, aku pun merapikan pakaian yang akan dibawanya dinas di luar kota hari ini. 

"Mas, emang dinasnya berapa hari?" tanyaku.

"Tiga hari, Dek, seperti biasa," jawabnya seraya  memasang kancing kemejanya satu persatu.

Aku sama sekali tak menaruh curiga, karena memang suamiku sering dinas di luar kota selama itu bahkan biasa sampai satu minggu. 

Tentang kejadian semalam, aku hanya berharap mas Rasha tidak berhianat. Meskipun perasaanku mengatakan sesuatu akan terjadi. Semoga saja bukan. 

Aku menutup perlahan koper yang sudah berisi keperluan mas Rasha selama dinas kemudian menepikannya di dekat pintu kamar. Dasi berwarna biru navi kuraih lalu mulai memasangkannya pada leher suamiku. Dasi kusimpul serapih mungkin agar penampilan suamiku selalu terkesan rapi. 

"Mas, jaga hati, ya, di sana."

"Iya, Sayang," jawabnya seraya mengecup pucuk kepalaku. 

Mas Rasha memelukku sangat erat lalu mengelus punggungku dengan lembut. 

"Jaga diri ya, Dek, selama mas pergi." Aku mengangguk seraya terus menghirup aroma parfum suamiku. 

"Jaga buah hati kita juga. Mas nggak bisa menunggunya untuk bangun, soalnya perjalanannya begitu jauh."

Mas Rasha melonggarkan pelukannya lalu berjalan menuju tempat tidur Naura. Diuciumnya berkali-kali pipi gembul anaknya. Aku yang melihat pemandangan itu merasa sangat bahagia sekaligus terharu. 

"Sayang, ayah pergi dulu. Maaf, ayah nggak bisa nunggu kamu bangun. Jangan marah ya, princess."

Mas Rasha meraih tanganku membawanya keluar dari kamar. Tangan satunya menenteng koper kecilnya. 

"Mas sarapan dulu!" pintaku saat Mas Rasha hendak memasang sepatu. Suamiku memurut, dia duduk di depanku setelah mencuci bersih tangannya. Kami berdua pun akhirnya menikmati sarapan bersama. 

*

"Mas berangkat dulu, ya, Sayang," pamitnya. Aku meraih punggung tangannya lalu menciumnya. 

"Hati-hati, Mas, jangan lupa berkabar." Mas Rasha mengecup keningku lalu mencubit gemas hidung ini. 

Aku mengantarnya hingga suamiku masuk ke dalam mobil kemudian perlahan mobil itu melaju pergi. 

Kembali aku melanjutkan rutinitasku sebagai ibu rumah tangga sekaligus memiliki bisnis online di bidang fashion. Itulah yang kukerjakan selama ini, dan tentunya suamiku sudah mengetahuinya lebih dahulu. 

Alhamdulillah meskipun aku berprofesi sebagai ibu rumah tangga, tapi aku bisa juga menjalankan tugas yang lain, yaitu menjadi seorang ibu dan pebisnis. 

Hasil jualan onlineku bisa aku gunakan untuk menutupi kekurangan di dalam rumah tangga kami. Meskipun gaji nas Rasha sangat cukup untuk menghidupi kami, tapi semua aku sisihkan untuk masa depan Naura hingga selesai kuliah. Aku menabungnya dari sekarang agar kelak suamiku bisa menikmati masa tuanya tanpa harus pusing memikirkan kebutuhan anaknya nanti. 

Mas Rasha awalnya menetang keras aku melakukannya. Menurutnya itu adalah kewajibannya dan gajinya lebuh dari cukup. Hanya saja, aku tak ingin terlalu membebani suamiku. Setelah membujuknya cukup lama dan meyakinkan bahwa aku bisa menjalani semua, akhirnya mas Rasha menyetujui dengan catatan, aku todak boleh kecapean. 

"Unda, yaya mana?" Arumi membuyarkan lamunanku. Rupanya dia sudah terbangun. 

Aku mengangkat tubuh kecilnya lalu menggendongnya. 

"Ayah sudah berangkat kerja," jawabku seraya menurunkan tubuh kecilnya. Beruntung aku sudah membersihkan rumah setelah shalat subuh agar aku leluasa sebelum Naura terbangun. 

"Yaya nggak bangunkan Naula?" protesnya. 

"Kan Naura bobok." Bibirnya mengerucut dan itu sangat menggemaskan. 

Aku memeluknya dengan erat. Nauraku meskipun baru berusia dua tahun lebih, tapi daya tangkap dan pertumbuhannya bisa dibilang cepat. Di usianya sekarang dia sudah mengerti dan bisa bicara meskipun kadang belum jelas pengucapannya. 

"Naura kita mandi, yuk!" ajakku. 

"Hole .... Naula mau, Unda!" pekikny dengan semangat. Aku menggendong tubuhnya ke dalam kamar mandi. 

Kami berdua bermain air bersama dan aku sangat menikmatinya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
Ainun kmu terlalu polos dn terlalu percaya sama suami mu menjadikan kmu bege .nanti dh kejafian tinggal nangis bombay g akan kembali lagi klo ufah terjadi ...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • WANITA SIMPANAN   133. Akhir Cerita

    Waktu berlalu begitu cepat. Hingga tak terasa Naura mengandung anak keduanya. Anak pertama diberi nama Muhammad Abhyzar Wicaksono. Kini, kandungan Naura memasuki usia tujuh bulan. Seperti sebelumnya, kedua belah pihak keluarga mengadakan acara tujuh bulanan. Awalnya semua berjalan dengan baik, hingga Nayla yangbsedang sibuk di dapur terjatuh begitu saja. Mwreka yang sedang berada di dalam rumah, gegas menghampiri Nayla lalu mengangkatnya. "Ibu Nayla pingsang!" pekik mereka. Suasana menjadi semakin gaduh. Arkan langsung memanggil Fariz untuk memberitahunya. "Papa, Mama Nayla pingsang!"Fariz segera berdiri lalu berbisik di telinga Rasha. Prosesi masih berjalan. Fariz langsung menggantikan posisi Rasha. Rasha berlari sekuat yang dia mampu kemudian mencari istrinya di antara kerumunan. "Nay!" pekiknya begjtu melihat istrinya lemah tak berdaya. "Arkan, hubungi ambu

  • WANITA SIMPANAN   132. Hari Peenikahan

    "Naura, aku ingin bertemu sebentar," ucap Nino melalui sambungan telepon. Naura yang baru saja lepas dinas hanya bisa mengembuskan napas pelan. Dia begitu tahu bagaimana perasaan Nino saat ini. Namun, bagaimanapun, Naura sudah menerima cinta Arif. Sosok lelaki yang selama ini diam-diam menaruh hati padanya. "Naura, bisa kan?" "Kita ketemu di rumah saja.""Tidak. Aku sudah ada di rumah sakit untuk menjemputmu."Naura memijit pelipisnya. Dia tahu bahwa Nino itu orang yang sangat nekat. Seperti saat ini. Nino sudah tahu Naura telah memantapkan hati untuk siapa."Naura, please! Untuk kali terakhir."Naura menerawang. Dia.dilanda kecemasan. Dia begitu menjaga perasaan Arif calon suaminya. "Arif harus tahu.""Tidak pelu. Aku kan sahabatmu."Naura mengalah. Akhirnya dia memilih untuk mengikuti keinginan Nino. "Baiklah, tunggu aku di sana!"Naura bergegas menu

  • WANITA SIMPANAN   131. Naura dan Arif

    Pagi ini Naura disibukkan oleh pasien yang tiba-tiba membludak di poli umum.Suster Lisa yang membantu ikut kerepotan hingga dia berinisiatif memanggil Manda-rekan profesinya. Waktu berlalu begitu cepat hingga akhirnya pasien terakhir masuk. Naura yang sedang meluruskan tangannya tiba-tiba berhenti sejenak saat menyadari siapa yang tengah duduk di depannya. "Nino?" ucapnya sedikit ragu. Sosok yang ada di depannya mengulas senyum tipis tanpa membalas ucapan Naura. Naura berusaha bersikap normal. Matanya mulai berkaca. Ingin sekali dia menumpahkan segala kekesalan yang ada pada dirinya. Namun, Naura urung melakukannya. Selain karena masih di lingkungan kerja, dia juga tak ingin terlihat lemah di depan orang yang masih mengisi hatinya. "Pagi, Dokter Naura!" sapa Nino yang menyadarkan Naura dari lamunannya. "Hai, Nin!"Hanya itu yang bisa diucapkan saat ini. Naira sedang berperang dengan ak

  • WANITA SIMPANAN   126. Sesurga Bersamamu

    Setahun sudah pernikahan kami. Suatu kesyukuran dari pernikahan kami lahirlah seorang putra yang kami beri nama Muhamma Arkan Hafiz. Berharap kelak Arkan akan menjadi anak sholeh dan penghafal Al Qur'an. Aa Fariz melantunkan adzan di telinga bayi kami. Suara merdunya membuatku menitikkan air mata. "Pa, ini adek Naura kan?" tanya putri kami. "Iya, Sayang. Nanti dia yang akan menjaga Naura dari orang jahat."Mata Naura berbinar. "Naura punya teman main dong, Bunda?""Iya, Sayang," jawabku. Arkan lahir melalui operasi sesar. Ketuban pecah dini dan semakin berkurangnya air ketuban membuatku harus menjalani operasi itu. Operasi sesar yang menurut orang di luar sana begitu mengerikan. Kuakui memang. Tapi, apapun itu, aku menikmati semuanya. Bagiku, yang penting bayiku lahir dengan selamat. "Assalamu'alaikum," sapa Sinta. "Wa'alaikumussalam."Ternyata Sinta tidak sendiri. Ada Mas Yuda, Nino, dan juga Raffa. "Wah si ganteng. Mirip pap

  • WANITA SIMPANAN   130. Kedatangan Arif

    "Papa, Bunda, Naura ingin bicara," ucap Naura pada kedua orangtuanya saat mereka sedang duduk santai di teras rumah. "Soal apa, Sayang?" tanya Fariz. Naura memilin ujung jilbabnya. Berulang kali dia menggingit bibir bawahnya. Fariz dan Ainun saling memandang satu sama lain. Mereka masih menunggu putrinya angkat bicara. "Naura?" tanya Ainun. "Pa, Bunda, eum itu. A-arif katanya mau datang ke rumah.""Oh, ya? Kapan?" tanya Ainun. Fariz menoleh ke arah istrinya. Dahinya mengernyit karena maaih belum mengerti tentang apa yang dikatakan istrinya."Papa masih belum ngerti, Bun."Ainun menoleh ke arah suaminya dengan senyum yang menghiasi wajah cantiknya. Ainun meraih tangan suaminya lalu mengelus punggung tangannya. "Itu loh, si Arif-temannya Naura mau datang ke rumah.""Iya, Papa juga dengar tadi. Cuma, dalam rangka apa?"Ainun gemas mendengar penuturan suaminya yan

  • WANITA SIMPANAN   129. Berusaha Merebut Hati Naura

    "Sha, aku sudah siapkan makan malam buat kita.""Iya."Selalu saja seperti itu. Dia tidak pernah sedikitpun bersikap manis padaku. Kecuali jika ada Ainun. Rasha selalu saja bersikap dingin. Aku hanya bisa menangis dalam hati saat diperlakukan seperti ini. Kembali ku langkahkan kaki ini menuju meja makan. Aku menunggu dia yang masih betah memandangi wajah mantan istrinya. Jangan tanya sakitku seperti apa. Tentu kamu tahu rasanya di posisi ini. Ibarat lagi Armada, 'Aku punya ragamu tapi tidak hatimu.' Menyesakkan bukan?Waktu berlalu dan aku masih betah menunggunya di sini. Di meja makan. Aku sudah memoersiapkan semuanya. Makan malam dengan masakan kesukaannya. Bahkan aku meminta resep pada Ainun. Nyatanya, itu lebih memyakitkan. "Ainun kirim makanan?" tanyanya saat beberapa sendok kiah soto Betawi masuk ke dalam mulutnya. "Ainun?" Dia mengangguk. "Masakan ini Ainun yang buat kan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status