Lima hari telah berlalu, akan tetapi hingga kini Mas Rasha belum juga membawa Nayla pergi dari rumah ini. Apalagi dia bukan mahram suamiku. Mas Rasha pun tahu, batas bertamu hanya tiga hari. Melapor ke Pak RT pun belum.
Hal yang paling aku takutkan, jika Nayla berlama-lama di rumah ini, akan ada desas-desus yang tak mengenakkan dari tetangga. Lagi pula, bagiku Nayla itu perlu diawasi, mengingat gerak-geriknya seolah berusaha menggoda suamiku.
"Mas, kapan? Ini sudah hari ke lima," tanyaku saat aku sedang mempersiapkan pakaian kantornya.
"Sabar, Dek. Kontrakannya belum dapat," jawabnya seraya mengeringkan rambutnya dengan handuk.
"Emang kontrakannya harus gimana, sih, Mas? Segitu ribetnya."
"Kamu tenang aja ya, Sayang. Minggu ini pasti dapat. Mas akan berusaha."
Mas Rasha meraih kemejanya kemudian memakainya. Aku mengempaskan tubuh di sofa kamar kami.
"Mas udah laporan sama RT belum?"
"Belum, ini mas mau ke Pak RT juga sebelum ke kantor."
Mas Rasha sibuk memasang dasinya. Pandnagannya fokus ke cermin seukuran tubuhnya.
"Ya sudah deh, Mas. Semoga cepat dapat. Adek nggak nyaman ada dia di sini."
"Iya, Sayang," jawabnya sambil menyisir rambutnya.
Aku berdiri hendak ke dapur. "Ade ke dapur dulu, ya, Mas. Siapkan sarapan."
Mas Rasha hanya mengangguk. Aku berjalan keluar kamar. Di depan televisi, Nayla tampak sedang duduk santai sambil menikmati segelas susu dan beberapa potong bronis. Ah, menyebalkan! Pakaiannya selalu saja kurang sopan. Dasteran selutut dengan lengan pendek, rambut diikat atas dan polesan tipis di wajahnya.
Aku melangkah ke arah dapur tanpa mau peduli lagi dengan wanita itu. Mulai menyiapkan sarapan yang selama ini kusuguhkan untuk suamiku.
Saat aku meletakkan sarapan itu di atas meja, tampak tangan Nayla terulur merapikan dasi suamiku. Kedua telapak tangannya menempel di dada bidang suamiku. Pandangan mereka beradu dan cukup lama.
"Mas!" panggilku membuat keduanya tersentak kaget.
"E-eh, iya, Sayang." Mas Rasha melangkah ke arahku kemudian mendudukkan dirinya di kursi.
Tangannya meraih gelas yang berisi susu lalu meminumnya hingga tersisa setengah. Mataku kemudian beralih ke wanita itu. Tampak dia masih salah tingkah.
"Kalau dasinya nggak rapi itu panggil adek, bukan wanita itu, Mas," protesku.
Mas Rasha terdiam sembari menikmati sisa roti yang ada di piringnya. Wanita itu menoleh sekilas dengan senyuman sinis di wajahnya. Apa dia sengaja?
Mas Rasha menyudahi sarapannya. Aku mengantarnya hingga ke pintu. Pipi dan kening ini dikecup mesra, aku lalu mencium punggung tangannya.
"Hati-hati, ya, Mas."
"Iya, Sayang."
Aku berbalik saat mobil yang dikendarainya melesat jauh. Tampak Nayla masih duduk di ruang keluarga. Aku tak peduli. Untuk makan, dia bisa mengurus dirinya sendiri.
Aku melangkah masuk ke dalam kamar, tampak Naura sudah bangun. Tubuhnya menggeliat, sangat lucu. Kuangkat tubuh mungilnya bersiap untuk dimandikan.
Saat urusan rumah telah selesai, aku berbegas ke depan menunggu Mang Asep-tukang sayur langganan kami lewat.
Naura yang sedang asyik bermain, kubawa serta. Kami bermain bersama di taman kecil kami yang ada di depan rumah.
Suara ribut ibu-ibu komplek mulai terdengar. Sambil menggendong Nayla, aku melangkah mendekat. Tampak Mang Asep sudah dikerumuni ibu-ibu.
"Eh, Mba Aninun, sehat, Mba?" tanya Bu Lastri.
"Alhamdulillah, Bu," jawabku sembari memilih sayuran.
"Sama suami, masih harmonis kan?" tanyanya lagi.
"Masih, Bu."
"Gini, loh, Mba. Kami itu mengkhawatirkan Mba Ainun," imbuh Bu Riska.
Aku mengernyitkan dahi, " Khawatir gimana, Bu?"
Ibu Riska dan beberapa ibu-ibu lain saling berpandagan.
"Gini, loh, Mba. Kami nggak sengaja lihat suami mba bawa wanita lain ke dalam rumahnya mba."
"Oh, itu sahabat suami saya, Bu. Dia lagi ada masalah, jadi numpang dulu."
"Mbaknya nggak takut direbut gitu?" tanya Bu Lili. Aku terdiam.
"Bukan kompor ya, Mba. Kita kan sama-sama perempuan nih, pasti nggak mau dong, rumah tangga kita diusik?" tambahnya.
"Bener," jawab mereka kompak.
"Kemarin aku lihat sendiri loh, Mba, waktu kita ada pengajian sore, kan aku nggak ikut, karena urus hajatan keluarga. Aku lihat wanita itu yang menyambut suaminya Mba. Mana mesra banget lagi ke suaminya. Pakaiannya transparan dan mini."
Telingaku terasa panas mendengarnya. Kukepal kuat tangan ini menahan gemuruh di dalam dada. Ada rasa sesak seperti terhimpit benda yang begitu besar.
"Kami bukan kompor ya, Mba. Sebelum semua terlambat. Kalau mba mau kita usir dia, kami siap bantu mbak. Kapan dibituhkan kami akan siap."
"Betul," sahut mereka.
Mataku memanas hingga air mata jatuh dengan leluasa.
"Aduh, ibu-ibu, jadi beli nggak ini teh?" timpal Mang Asep.
"Jadi, Mang, kami lagi diskusi nih!" sewot Bu Lastri.
"Diskusinya sambilan atuh, saya mau jalan lagi ke depan."
Mereka lalu menyerahkan belanjaannya untuk ditotal Mang Asep, termasuk aku. Harusnya aku memasak enak hari ini, tapi semua kacau karena fakta yang baru kudengar.
"Mbak, kalau ada sesuatu, semacam mau labrak atau hajar pelakor habis-habisan, jangan lupa ajak kami, ya?" seru Bu Lili. Aku mengangguk seraya tersenyum menyembunyikan luka.
Mereka satu persatu bubar kecuali aku. Dada semakin bergemuruh. Ternyata dugaanku benar, ada udah di balik batu.
"Neng, jangan ditanggapi, ya, omomgan ibu-ibu tadi. Benar atau tidaknya teh, Neng Ainun harus bermain cantik," usul Mang Asep.
"Iya, Mang."
"Ini, Neng, totalnya lima puluh ribu." Aku mengambil kantong plastik yang diserahkan Mang Asep, lalu menyerahkan uang berwarna biru.
"Tumben, Neng, belanjanya dikit."
"Persediaan masih banyak, Mang. Saya permisi dulu, ya." Mang Asep mengangguk, aku lantas berlalu meninggalkannya sambil menggandeng tangan Naura.
Langkahku begittu gontai, dada bergemuruh hebat begitu mengetahui kelakuan mereka di belakangku. Rupanya, mereka benar-benar menguji perasaanku.
Aku bergegas menuju dapur. Sebelumnya Naura aku dudukkan di atas kursi dekat dapur.
Aku perlu merilekskan pikiran yang sempat terbakar oleh amarah yang begitu menggebu, akan tetapi aku harus menahannya sebisa mungkin.
Sungguh sesuatu yang tak bisa dicerna oleh akalku, suami yang selama ini kubanggakan rela berkhianat? Meskipun kenyataannya Nayla adalah sahabatnya sendiri. Tapi, bukankah persahabatan dengan perbendaan jenis kelamin selalunya rentan dengan yang namanya cinta yang tumbuh secara tidak sengaja?
Aku memandang ke setiap sudut ruangan mencari dia yang kini jadi berita terpanas di komplek kami. Mataku berhenti tepat di kamar yang tertutup rapat. Aku yakin dia pasti sedang tidur.
Aku meletakkan barang belanjaan di dapur lalu melangkah ke kamarnya. Aku mengetuk daun pintunya, tapi tak ada jawaban.
"Nay, buka pintunya!"
Pintu terus kuketuk, akan tetapi sosok di dalam kamar belum juga muncul. Aku yng sudah merasa tidak sabar kemudian mengedor pintunya dengan kuat.
Pintu terbuka menampakkan sosoknya yang sedang memakai masker di wajah.
"Apa sih, Mbak? Berisik!" omelnya.
"Aku pikir sosok di balik pintu ini sudah tidak bernyawa," sindirku. Nayla memasang wajah masam.
"Aku lagi pakai masker tadi," jawabnya tanpa kutanya.
"Ada apa, Mbak?"
"Aku cuma mau bilang sama kamu, jangan sembarangan merangkul suami orang!"
"Kata siapa?"
"Ibu-ibu komplek lihat kelakuan kamu. Tolong dong, dijaga sikapnya."
Dia tersenyum mengejek.
"Salahnya di mana, Mbak? Kami sahabatan loh."
"Sahabat atau saudara tetap saja nggak boleh!"
Nayla bersedikap lalu menyenderkan tubuhnya ke daun pintu.
"Jadi istri kok posesif banget," cibirnya.
"Aku tidak posesif. Aku hanya menjaga suamiku dari wanita gatal sepertimu."
Nayla membulatkan matanya sempurna. "Maksud kamu apa?!"
"Aku yakin nilai bahasa indonesiamu tidak buruk. Jadi, aku nggak perlu menjelaskan lebih detail lagi," jawabku kemudian berlalu meninggalkannya.
Langkahku terhenti saat mengingat sesuatu. "Oh, iya. Di rumah ini bertamu maksimal tiga hari. Lewat dari itu silahkan artikan sendiri."
Matanya menyorotiku dengan tajam. "Kamu mengusirku?!"
Aku mengendikkan bahu. "Entah apa namanya. Siap-siap, gih, bantu di dapur!"
Aku melenggang dengan senyum sumringah saat melihat wajahnya yang memerah padam. Rasakan!
Kembali kejadian empat tahun lalu terngiang di mana saat para tetangga pertama kali membahas Nayla. Kini, dia kembali dengan sosok dan status berbeda.
Aku duduk di antara kerumunan ibu-ibu yang hadir rapat menyambut isra' mi'raj sepertiku. Tiba-tiba Ibu Lili menghampiriku.
"Mbak Ainun."
"Iya, Bu?"
"Saya mau tanya, tapi jangan tersinggung ya, Mbak?" ucapnya hati-hati. Aku mengangguk mantap.
"Wanita yang di rumah mbak sekarang itu bukannya wanita yang dulu kita usir ya, Mbak?" Aku mengangguk lemah.
Semua yang tak sengaja mendengarkan obrolan kami kompak menoleh. Bahkan da yang mendekat.
"Kok sekarang hamil, Mbak?"
Aku menarik napas dalam. Mau menyembunyikan bagaimana pun kan tetap ketahuan juga.
"Dia istri siri suamiku," lirihku.
"Apa?!" pekik mereka kompak.
Waktu berlalu begitu cepat. Hingga tak terasa Naura mengandung anak keduanya. Anak pertama diberi nama Muhammad Abhyzar Wicaksono. Kini, kandungan Naura memasuki usia tujuh bulan. Seperti sebelumnya, kedua belah pihak keluarga mengadakan acara tujuh bulanan. Awalnya semua berjalan dengan baik, hingga Nayla yangbsedang sibuk di dapur terjatuh begitu saja. Mwreka yang sedang berada di dalam rumah, gegas menghampiri Nayla lalu mengangkatnya. "Ibu Nayla pingsang!" pekik mereka. Suasana menjadi semakin gaduh. Arkan langsung memanggil Fariz untuk memberitahunya. "Papa, Mama Nayla pingsang!"Fariz segera berdiri lalu berbisik di telinga Rasha. Prosesi masih berjalan. Fariz langsung menggantikan posisi Rasha. Rasha berlari sekuat yang dia mampu kemudian mencari istrinya di antara kerumunan. "Nay!" pekiknya begjtu melihat istrinya lemah tak berdaya. "Arkan, hubungi ambu
"Naura, aku ingin bertemu sebentar," ucap Nino melalui sambungan telepon. Naura yang baru saja lepas dinas hanya bisa mengembuskan napas pelan. Dia begitu tahu bagaimana perasaan Nino saat ini. Namun, bagaimanapun, Naura sudah menerima cinta Arif. Sosok lelaki yang selama ini diam-diam menaruh hati padanya. "Naura, bisa kan?" "Kita ketemu di rumah saja.""Tidak. Aku sudah ada di rumah sakit untuk menjemputmu."Naura memijit pelipisnya. Dia tahu bahwa Nino itu orang yang sangat nekat. Seperti saat ini. Nino sudah tahu Naura telah memantapkan hati untuk siapa."Naura, please! Untuk kali terakhir."Naura menerawang. Dia.dilanda kecemasan. Dia begitu menjaga perasaan Arif calon suaminya. "Arif harus tahu.""Tidak pelu. Aku kan sahabatmu."Naura mengalah. Akhirnya dia memilih untuk mengikuti keinginan Nino. "Baiklah, tunggu aku di sana!"Naura bergegas menu
Pagi ini Naura disibukkan oleh pasien yang tiba-tiba membludak di poli umum.Suster Lisa yang membantu ikut kerepotan hingga dia berinisiatif memanggil Manda-rekan profesinya. Waktu berlalu begitu cepat hingga akhirnya pasien terakhir masuk. Naura yang sedang meluruskan tangannya tiba-tiba berhenti sejenak saat menyadari siapa yang tengah duduk di depannya. "Nino?" ucapnya sedikit ragu. Sosok yang ada di depannya mengulas senyum tipis tanpa membalas ucapan Naura. Naura berusaha bersikap normal. Matanya mulai berkaca. Ingin sekali dia menumpahkan segala kekesalan yang ada pada dirinya. Namun, Naura urung melakukannya. Selain karena masih di lingkungan kerja, dia juga tak ingin terlihat lemah di depan orang yang masih mengisi hatinya. "Pagi, Dokter Naura!" sapa Nino yang menyadarkan Naura dari lamunannya. "Hai, Nin!"Hanya itu yang bisa diucapkan saat ini. Naira sedang berperang dengan ak
Setahun sudah pernikahan kami. Suatu kesyukuran dari pernikahan kami lahirlah seorang putra yang kami beri nama Muhamma Arkan Hafiz. Berharap kelak Arkan akan menjadi anak sholeh dan penghafal Al Qur'an. Aa Fariz melantunkan adzan di telinga bayi kami. Suara merdunya membuatku menitikkan air mata. "Pa, ini adek Naura kan?" tanya putri kami. "Iya, Sayang. Nanti dia yang akan menjaga Naura dari orang jahat."Mata Naura berbinar. "Naura punya teman main dong, Bunda?""Iya, Sayang," jawabku. Arkan lahir melalui operasi sesar. Ketuban pecah dini dan semakin berkurangnya air ketuban membuatku harus menjalani operasi itu. Operasi sesar yang menurut orang di luar sana begitu mengerikan. Kuakui memang. Tapi, apapun itu, aku menikmati semuanya. Bagiku, yang penting bayiku lahir dengan selamat. "Assalamu'alaikum," sapa Sinta. "Wa'alaikumussalam."Ternyata Sinta tidak sendiri. Ada Mas Yuda, Nino, dan juga Raffa. "Wah si ganteng. Mirip pap
"Papa, Bunda, Naura ingin bicara," ucap Naura pada kedua orangtuanya saat mereka sedang duduk santai di teras rumah. "Soal apa, Sayang?" tanya Fariz. Naura memilin ujung jilbabnya. Berulang kali dia menggingit bibir bawahnya. Fariz dan Ainun saling memandang satu sama lain. Mereka masih menunggu putrinya angkat bicara. "Naura?" tanya Ainun. "Pa, Bunda, eum itu. A-arif katanya mau datang ke rumah.""Oh, ya? Kapan?" tanya Ainun. Fariz menoleh ke arah istrinya. Dahinya mengernyit karena maaih belum mengerti tentang apa yang dikatakan istrinya."Papa masih belum ngerti, Bun."Ainun menoleh ke arah suaminya dengan senyum yang menghiasi wajah cantiknya. Ainun meraih tangan suaminya lalu mengelus punggung tangannya. "Itu loh, si Arif-temannya Naura mau datang ke rumah.""Iya, Papa juga dengar tadi. Cuma, dalam rangka apa?"Ainun gemas mendengar penuturan suaminya yan
"Sha, aku sudah siapkan makan malam buat kita.""Iya."Selalu saja seperti itu. Dia tidak pernah sedikitpun bersikap manis padaku. Kecuali jika ada Ainun. Rasha selalu saja bersikap dingin. Aku hanya bisa menangis dalam hati saat diperlakukan seperti ini. Kembali ku langkahkan kaki ini menuju meja makan. Aku menunggu dia yang masih betah memandangi wajah mantan istrinya. Jangan tanya sakitku seperti apa. Tentu kamu tahu rasanya di posisi ini. Ibarat lagi Armada, 'Aku punya ragamu tapi tidak hatimu.' Menyesakkan bukan?Waktu berlalu dan aku masih betah menunggunya di sini. Di meja makan. Aku sudah memoersiapkan semuanya. Makan malam dengan masakan kesukaannya. Bahkan aku meminta resep pada Ainun. Nyatanya, itu lebih memyakitkan. "Ainun kirim makanan?" tanyanya saat beberapa sendok kiah soto Betawi masuk ke dalam mulutnya. "Ainun?" Dia mengangguk. "Masakan ini Ainun yang buat kan