Senja berpendar menutup awan pekat yang semula menggumpal, malam beranjak kian dekat saat suara Azan Maghrib terdengar. Ketika kupikir hujan akan turun membawa serta perasaan dongkol yang bercokol, rupanya guntur datang hanya untuk mempermainkan, lalu pergi meninggalkan resah yang sulit digambarkan.Ibu mertua dan adik iparku masih terjaga. Kebungkaman mereka cukup menjelaskan kebingungan keduanya akan perubahan sikapku yang tiba-tiba. Keheningan panjang itu cukup untuk membuat A Miftah mematung dengan perasaan yang entah. Dua kantong kresek besar yang dia bawa entah sejak kapan sudah diletakkan di atas meja."Istri kamu kenapa, sih?" Mama bertanya setelah sekian lama. Wanita paruh baya yang menyemir rambutnya menjadi kemerahaan itu mendelik dengan bibir mencebik. Sungguh ekspresi yang sama sekali tak pantas untuk ditunjukkan seorang mertua."Nggak apa-apa, Tika kayaknya cuma kecapean aja. Mending Mama sama Dini pulang dulu! Persediaan pangan udah Miftah beliin tadi sekalian. Nanti ua
"Neng ...." Sentuhan lembut seringan bulu membuyarkan semua lamunan yang sempat memporak-porandakan hati dan pikiran. Tanpa sadar kami sudah berhenti di depan sebuah komedi putar. "Akbar mau naik ini katanya."Aku hanya mengangguk mengiyakan. Setelahnya A Miftah pergi ke loker tiket, lalu kembali untuk memberikannya pada petugas. Terlihat Akbar cukup antusias saat memilih duduk di sebuah Kuda Zebra. Tangannya melambai pada kami, ketika mesin mulai menyala, dan komedi putar dijalankan.Tanpa sadar senyumku tersungging. Sebuah kebahagiaan sederhana yang membuatku sesaat lupa akan beban berat yang sedang menimpa. Ternyata memasang topeng tebal tak terlalu sulit bagiku yang sudah lama berteman dengan rasa sakit."Senin ini alhamdulillah A'a udah dipindahkan ke Subang. Jadi, A'a bisa lebih sering pulang, dan kita bertiga bisa lebih gampang menghabiskan waktu bersama, kayak dulu."Aku tertegun sejenak, lalu menoleh menatap manik mata pekat yang dulu selalu berhasil membuatku terpesona. Namu
"Motor kita? Perhiasanku? A'a udah gila?!" Kusentak kedua tangannya, lalu berteriak tanpa sadar.Aku langsung berlari menuju lemari dan mengacak-acak isi pakaian sampai kutemukan perhiasan peninggalan ibu yang memang sengaja kusimpan di dalam satu kotak yang sama. Terdiri dari kalung, gelang, dan beberapa cincin yang bila ditotalkan berkisar 10 jutaan. Tubuhku langsung roboh ke lantai mendapati benda peninggalan yang mungkin tak akan dijual sudah raib dari jangkauan, hingga menyisakan kotak hitam beludru berbentuk hati."Neng, dengerin dulu!" Dia berusaha meraih tanganku. "A'a janji pasti bakal ganti, tapi nggak sekara--""Diem, Sialan!" Tatapan nyalangku sukses membuatnya terdiam. "Motor itu kubeli dengan hasil jerih payah sendiri, dan semua perhiasan yang kusimpan adalah peninggalan ibu. Sudah cukup kesabaranku menghadapi suami nggak tahu diri sepertimu, Miftah!"Pupil matanya melebar. Terkejut bukan main tentunya."Neng ....""Jangan karena alasan sebagai istri yang harus mengabdi
Entah di mana lagi harus kusimpan semua rasa malu beserta semua rasa sakit yang menikam ulu, saat melihat lelaki itu berlalu membawa jalangnya pergi bersama mobil yang kami perjuangkan sama-sama. Diikuti dengan tatapan para tetangga yang menatapku dengan berbagai ekspresi berbeda. Ada yang menatap iba, merekam, bahkan terang-terangan mengolok-olok kedua belah belah pihak tanpa mau tahu apa yang sebenarnya terjadi.Ternyata pondasi rumah tangga yang tujuh tahun kami bangun tak cukup kuat untuk menahannya tetap tinggal di sisi. Tujuh tahun kebersamaan tak berarti dengan kehadiran wanita yang baru-baru ini hadir dan menempati tahta tertinggi di hati A Miftah. Ternyata aku terlalu percaya diri ketika berpikir dia akan berlutut, lalu mengusir wanita itu pergi. Bahkan saat aku berteriak meminta keduanya pergi tak ada sedikit pun kata maaf yang terlontar dari mulutnya yang seringkali berkata manis tiap kali menginginkan sesuatu. "Neng!" Suara lirih itu membuyarkan semua lamunan. Kulihat Bu
"Teh!" Ahmad memanggilku yang sejak tadi hanya terbungkam sembari mengompres beberapa lebam di wajahnya. "Kalau teteh butuh waktu sendiri, Ahmad izin pulang!" sambungnya hati-hati."Nggak usah, Mad. Temenin teteh di sini. Soalnya pikiran teteh lagi kacau. Jadi, cuma pisau, gunting, sama baigon yang menarik saat ini."Mendengar itu Ahmad langsung menyambar gunting yang semula kugunakan untuk memotong plester, lalu dia sembunyikan di belakang tubuh.Beberapa saat hanyut dalam keheningan suara ponsel yang berdering di atas meja, menginterupsi kami. Nama Bi Tati tertera di layar. Sebelum pergi ke Cijerah aku memang sempat menitipkannya."Halo, assalamualaikum.""Wa'alaikumsallam. Ada apa, Bi.""Den Akbar, Neng!" Suara Bi Tati terdengar lirih dan panik."Akbar kenapa, Bi!" Aku langsung bangkit berdiri sembari mencengkeram ponsel di genggaman tangan."Tadi Den Akbar sempet tantrum habis itu malah demam tinggi, sampe kejang. Ini udah coba bibi kompres berkali-kali tapi belum turun juga. Mana
Selama dua puluh tujuh tahun hidup di dunia, aku baru merasakan yang namanya cobaan yang sebenar-benarnya. Akhirnya aku merasakan apa yang sering orang katakan sebagai titik terendah kehidupan ketika roda yang berputar telah sampai pada porosnya. Ketika air mata tak lagi berarti untuk menggambarkan apa yang dirasa, ketika teriakan tak cukup mampu meluapkan kecamuk emosi yang bercokol dalam dada.Sungguh, aku tak bisa menangis saat mengantar Akbar ke tempat peristirahan terakhirnya, ke sisi Tuhan, ke pelukan kakek dan neneknya. Kuikhlaskan dia meninggalkan dunia yang kejam ini, kuikhlaskan dia pergi tanpa pamit pada ayah, nenek, dan, tantenya yang sering kali tak menganggapnya ada. Bunda yakin, Nak. Tempat yang sudah Tuhan persiapkan di sana jauh lebih baik daripada di sini. Di sisi Bunda, dalam bayang-bayang Ayahmu yang lebih memilih pergi bersama istri barunya, bersama adikmu yang mungkin lebih mampu dia perhatikan sepenuh hati. Di sana kamu tak akan pernah merasa cemburu bila Ayahm
"Percaya, deh, Tik. Kamu itu beruntung. Selain ganteng Miftah juga perhatian dan pekerja keras. Kebanyakan laki yang modal tampang, nggak mau kerja, kadang cuma numpang idup sama bininya yang lebih mapan."Aku hanya bisa tertawa mengingat kalimat yang seringkali teman-temanku ucapkan tiap kali ada kesempatan. Setelah apa yang terjadi masihkah mereka berkata demikian atau justru berbalik merutuki?Terkadang lebih mudah mengomentari daripada melihatnya langsung dari dua sisi. Memang lebih mudah mengatur binatang liar, daripada menahan mulut-mulut manusia agar tak berkata yang mampu menyakiti hati."Minggu ini katanya Neng ada reuni? A'a ikut, ya. Siapa tahu kamu butuh baby sitter buat ngurusin Akbar kalau lagi ngobrol sama temen-temen.""Neng, A'a liat ada undangan acara di kecamatan, kok nggak bilang? Kan, kita bisa berangkat bareng."Sekarang aku tahu alasan tiap dia semangat mengikuti kegiatan yang sebenarnya malas untuk kuhadiri. Apalagi kalau bukan tebar pesona dan menjadi pusat pe
Di kampung, tempat pelosok yang jauh dari kota-kota besar, kekayaan bukan ditonjolkan dari seberapa banyak harta dan benda yang ditunjukkan ke publik. Rumah besar, mobil mewah, perhiasan yang berderet sampai sikut, atau pakaian bagus yang selalu berganti tiap pergi. Memang tidak semua, tapi kebanyakan yang mengedepan gengsi, justru mereka yang perekomiannya pas-pasan, bergaya dengan cara berutang, lalu memamerkannya sebagai bentuk kebahagian diri sendiri, padahal ada hal lebih penting yang seharusnya diutamakan.Cianjur, adalah kota kelahiranku dan Ahmad, tempat kami dikenal sebagai cucu seorang juragan beras dengan luas sawah mencakup dua hektare. Panen melimpah, tiap tiga bulan sekali yang selalu menghasilkan beras dengan kualitas tinggi yang sering kali diekspor ke luar negeri.Selain sawah, investasi yang Abah gunakan juga mencakup jual beli tanah, juga kontrakan. Ibu adalah satu-satunya anak Abah. Otomatis semua aset yang dimilikinya jatuh ke tangan ibu, sebelum akhirnya diturun