Setelah pertengkaran itu aku dan A Miftah sama-sama tak saling bicara. Weekend yang harusnya menjadi momen keluarga malah kami gunakan untuk memperdebatkan masalah yang seharusnya bisa dengan mudah kita selesaikan bersama. Semua ini jelas tak akan terjadi kalau bukan karena dia yang memulai, juga wanita yang disembunyikannya di kontrakan.
Aku lupa kapan terakhir kali hal seperti ini terjadi. Mungkin dua atau tiga tahun lalu, itu pun dia langsung memelukku hingga pertengkaran kami tak berlarut panjang. Ternyata wanita muda itu membawa pengaruh besar pada perubahan diri A Miftah. Nyaris tak kutemukan sosok yang dulu pengertian, perhatian, dan penyayang. Sejak kepulangannya kemarin malam, sampai siang ini aku bahkan tak mendapatinya menghampiri Akbar, padahal sudah lebih dari sebulan mereka tak berjumpa."Bun, A-ah, Bun." Akbar menarik-narik ujung dasterku saat kami tengah menonton TV di ruang tamu, telunjuk mungilnya terulur ke arah kamar di mana A Miftah keluar dengan kaos dan celana jins-nya. Semerbak bau parfum tercium. Aku tertegun melihat penampilannya yang sudah begitu rapi dan segar siang ini. Di tangannya terdapat totebag berisi tas yang hendak dia berikan padaku tadi."Mau ke mana?" Refleks pertanyaan itu terlontar.Dia menoleh, kemudian dengan datar menjawab. "Nenangin diri.""Kan, bisa di sini!" sahutku geram, "emangnya A'a ngapain aja dari tadi dekem di kam--"Dering ponselnya yang berbunyi menginterupsi. Kulihat dia tersenyum simpul sejenak, kemudian memasukkan kembali benda pipih itu ke dalam kantong celana, lalu beralih padaku."Nggak cukup, kalau sumber masalahnya masih ada di sini."Deg!Sesaat setelah mengatakannya, dia menyambar kunci motor dan pergi begitu saja.Astagfirullah.Sumber masalah dia bilang?***Kurang lebih seperempat jam setelah kepergian A Miftah, aku bersiap-siap mengenakan apa saja yang tergantung di kastok, bersama dengan kerudung segiempat yang diambil acak dalam lemari. Berhubung Akbar sudah kumandikan dan pakaiannya juga masih bersih, kami lekas pergi setelah mengunci pintu dan garasi.Jika asumsiku benar, dia pasti pergi ke Cijerah. Mencari pelarian dengan mengunjungi istri simpanannya yang disembunyikan di rumah kontrakanku sendiri.Supaya tak meninggalkan jejak yang kentara, aku sengaja menggunakan transportasi online go-car, kemudian berhenti di Holis, setelah itu naik angkutan umum berwarna hijau jurusan Soreang.Kutuntun Akbar menuju Warung Nasi Bi Eti, yang kebetulan hanya buka pagi hari, sesampainya di Cijerah. Warung yang berada di bawah Pohon Mangga besar. Letaknya yang berhadapan dengan rumah kontrakan membuatku cukup mampu memantau keadaan sekitar.Ternyata feeling-ku seratus persen benar. Kulihat motornya terparkir di halaman kontrakan bersama dengan sandalnya di luar. Beberapa saat kemudian dua orang itu keluar dari dalam, menenteng helm masing-masing. Tas yang pagi tadi hendak dia berikan padaku, entah bagaimana ceritanya sudah melekat di sisi tubuh wanita hamil itu. Keduanya pergi berboncengan sembari cekikikan riang. Meninggalkan luka menganga dalam diri yang mereka timbulkan tanpa disadari."Teh Tika!" Aku menoleh seketika, saat mendengar panggilan itu tepat di telinga."Eh, Mad." Buru-buru kuseka air mata yang tanpa sadar jatuh dari pelupuk mata."Ke mana aja? Kenapa susah dihubungin seminggu ini," tuntut Ahmad, setelah duduk di bangku, di sampingku.Sejujurnya aku memang menghindar setelah mengetahui status dari wanita yang disembunyikan suamiku. Walau bagaimana pun adik mana yang tak akan murka mengetahui kakaknya diperlakukan seperti ini. Walhasil, tak lama setelah aku tahu tentang kenyataan pahit ini, aku langsung menghubungi Ahmad dan langsung mengatakan padanya agar tak perlu menyelidiki tentang A Miftah dan wanita itu lagi. Kukatakan bahwa semua ini hanya salah paham, padahal kenyataannya tak demikian."Mad!" Kuhela napas panjang, lalu menggenggam tangan Ahmad yang bertengger di atas bangku. "Janji dulu kalau teteh cerita yang sebenarnya kamu jangan bertindak sendiri, biarin teteh nyelesain semua ini."Ahmad tertegun cukup lama, dia tatap lekat mataku sebelum mengangguk mantap."Sebenernya ...."***"Bangsat! Laki nggak tahu diri, dibilangin bukannya introspeksi, tapi malah lari. Padahal apa yang kurang dari Teteh?!" Ahmad memukul bangku dan mengumpat keras setelah aku menceritakan apa yang sebenarnya terjadi."Mungkin teteh kurang cantik sama kurang muda, Mad. Makanya A Miftah bosan," cetusku sembari mengelus-elus kepala Akbar yang sejak tadi anteng memainkan ranting pohon."Halah, tai'lah. Kalau niatnya cuma cari yang lebih mah nggak akan ada habisnya. Emang dasarnya si Miftah kurang bersyukur aja. Udah punya istri yang mandiri, nggak pernah nuntut sana-sini, masih aja gatel ngeliat fisik yang lebih cantik.""Seandainya semua pemikiran laki-laki sama kayak kamu, Mad. Mungkin nggak akan ada yang namanya istri tersakiti." Kutumpukan dagu di atas kepala Akbar, lalu menatap lurus ke arah kontrakan."Udahlah, Teh. Nunggu apalagi? Langsung aja labrak tuh laki nggak tahu diri sama pelakornya! Greget banget Ahmad pengen hajar muka sok kecakepannya, walaupun sialnya dia emang cakep.""Tunggu bentar, Mad. Teteh cuma mau liat sejauh apa dia bisa nyembunyiin bangkai? Lagian A Miftah bukan apa-apa tanpa teteh."Ahmad menghela napas gusar."Sebenarnya apa, sih yang Teteh rencanain?" tanya Ahmad tak sabar. "Terus habis ini mau ke mana? Nggak mungkin buntutin mereka berdua, kan?"Bersamaan dengan pertanyaan yang Ahmad ajukan, ponsel di saku cardiganku bergetar. Sebuah pesan yang dikirim pada seseorang yang kuhubungi setelah pengkhiatan A Miftah terbongkar, akhirnya mendapatkan balasan.Kualihkan pandangan ke arah Ahmad, lalu tersenyum samar."Ketemu temen lama.""Siapa?""Dia satu tempat kerja sama A Miftah. Bahkan atasannya." Kuberi jeda sejenak yang membuat Ahmad menunggu dengan tak sabar."Enam tahun lalu dia yang teteh minta buat masukin A Miftah ke Gema Toserba, sampai berhasil ada di posisi sekarang."...Bersambung."Apa kabar, Tik? Udah lama, ya." Lelaki dalam setelan formal itu mengulurkan tangan. Kutatap lekat wajahnya yang nyaris tak berubah sejak terakhir kali kita berjumpa, kemudian menjabat tangannya.Andri Septian, dia adalah kakak kelasku semasa SMA, hubungan kami dekat sejak tergabung dalam kegiatan OSIS sekolah.Sampai lulus pun komunikasi kami tak pernah terputus, beberapa kali berganti nomor selalu ada sosial media yang menghubungkan kita. Lima tahun lalu dia menikah dengan sahabatku Nia, kebetulan aku yang mengenalkan mereka. Sejak saat itulah komunikasi kami terputus sebab Nia bisa dibilang tipe yang pencemburu berat, padahal jelas tak pernah ada hubungan apa pun di antara kita. Dalam lima tahun bisa terhitung berapa kali mereka mengunjungi kami. Saat Akbar lahir, khitan, dan terakhir syukuran milad yang ketiga.Sebenarnya seminggu lalu aku sempat ragu untuk menghubunginya. Walaupun niatku murni hanya untuk menanyakan tentang A Miftah. Karena sejak masuk ke Gema Toserba, A Andrilah
Senja berpendar menutup awan pekat yang semula menggumpal, malam beranjak kian dekat saat suara Azan Maghrib terdengar. Ketika kupikir hujan akan turun membawa serta perasaan dongkol yang bercokol, rupanya guntur datang hanya untuk mempermainkan, lalu pergi meninggalkan resah yang sulit digambarkan.Ibu mertua dan adik iparku masih terjaga. Kebungkaman mereka cukup menjelaskan kebingungan keduanya akan perubahan sikapku yang tiba-tiba. Keheningan panjang itu cukup untuk membuat A Miftah mematung dengan perasaan yang entah. Dua kantong kresek besar yang dia bawa entah sejak kapan sudah diletakkan di atas meja."Istri kamu kenapa, sih?" Mama bertanya setelah sekian lama. Wanita paruh baya yang menyemir rambutnya menjadi kemerahaan itu mendelik dengan bibir mencebik. Sungguh ekspresi yang sama sekali tak pantas untuk ditunjukkan seorang mertua."Nggak apa-apa, Tika kayaknya cuma kecapean aja. Mending Mama sama Dini pulang dulu! Persediaan pangan udah Miftah beliin tadi sekalian. Nanti ua
"Neng ...." Sentuhan lembut seringan bulu membuyarkan semua lamunan yang sempat memporak-porandakan hati dan pikiran. Tanpa sadar kami sudah berhenti di depan sebuah komedi putar. "Akbar mau naik ini katanya."Aku hanya mengangguk mengiyakan. Setelahnya A Miftah pergi ke loker tiket, lalu kembali untuk memberikannya pada petugas. Terlihat Akbar cukup antusias saat memilih duduk di sebuah Kuda Zebra. Tangannya melambai pada kami, ketika mesin mulai menyala, dan komedi putar dijalankan.Tanpa sadar senyumku tersungging. Sebuah kebahagiaan sederhana yang membuatku sesaat lupa akan beban berat yang sedang menimpa. Ternyata memasang topeng tebal tak terlalu sulit bagiku yang sudah lama berteman dengan rasa sakit."Senin ini alhamdulillah A'a udah dipindahkan ke Subang. Jadi, A'a bisa lebih sering pulang, dan kita bertiga bisa lebih gampang menghabiskan waktu bersama, kayak dulu."Aku tertegun sejenak, lalu menoleh menatap manik mata pekat yang dulu selalu berhasil membuatku terpesona. Namu
"Motor kita? Perhiasanku? A'a udah gila?!" Kusentak kedua tangannya, lalu berteriak tanpa sadar.Aku langsung berlari menuju lemari dan mengacak-acak isi pakaian sampai kutemukan perhiasan peninggalan ibu yang memang sengaja kusimpan di dalam satu kotak yang sama. Terdiri dari kalung, gelang, dan beberapa cincin yang bila ditotalkan berkisar 10 jutaan. Tubuhku langsung roboh ke lantai mendapati benda peninggalan yang mungkin tak akan dijual sudah raib dari jangkauan, hingga menyisakan kotak hitam beludru berbentuk hati."Neng, dengerin dulu!" Dia berusaha meraih tanganku. "A'a janji pasti bakal ganti, tapi nggak sekara--""Diem, Sialan!" Tatapan nyalangku sukses membuatnya terdiam. "Motor itu kubeli dengan hasil jerih payah sendiri, dan semua perhiasan yang kusimpan adalah peninggalan ibu. Sudah cukup kesabaranku menghadapi suami nggak tahu diri sepertimu, Miftah!"Pupil matanya melebar. Terkejut bukan main tentunya."Neng ....""Jangan karena alasan sebagai istri yang harus mengabdi
Entah di mana lagi harus kusimpan semua rasa malu beserta semua rasa sakit yang menikam ulu, saat melihat lelaki itu berlalu membawa jalangnya pergi bersama mobil yang kami perjuangkan sama-sama. Diikuti dengan tatapan para tetangga yang menatapku dengan berbagai ekspresi berbeda. Ada yang menatap iba, merekam, bahkan terang-terangan mengolok-olok kedua belah belah pihak tanpa mau tahu apa yang sebenarnya terjadi.Ternyata pondasi rumah tangga yang tujuh tahun kami bangun tak cukup kuat untuk menahannya tetap tinggal di sisi. Tujuh tahun kebersamaan tak berarti dengan kehadiran wanita yang baru-baru ini hadir dan menempati tahta tertinggi di hati A Miftah. Ternyata aku terlalu percaya diri ketika berpikir dia akan berlutut, lalu mengusir wanita itu pergi. Bahkan saat aku berteriak meminta keduanya pergi tak ada sedikit pun kata maaf yang terlontar dari mulutnya yang seringkali berkata manis tiap kali menginginkan sesuatu. "Neng!" Suara lirih itu membuyarkan semua lamunan. Kulihat Bu
"Teh!" Ahmad memanggilku yang sejak tadi hanya terbungkam sembari mengompres beberapa lebam di wajahnya. "Kalau teteh butuh waktu sendiri, Ahmad izin pulang!" sambungnya hati-hati."Nggak usah, Mad. Temenin teteh di sini. Soalnya pikiran teteh lagi kacau. Jadi, cuma pisau, gunting, sama baigon yang menarik saat ini."Mendengar itu Ahmad langsung menyambar gunting yang semula kugunakan untuk memotong plester, lalu dia sembunyikan di belakang tubuh.Beberapa saat hanyut dalam keheningan suara ponsel yang berdering di atas meja, menginterupsi kami. Nama Bi Tati tertera di layar. Sebelum pergi ke Cijerah aku memang sempat menitipkannya."Halo, assalamualaikum.""Wa'alaikumsallam. Ada apa, Bi.""Den Akbar, Neng!" Suara Bi Tati terdengar lirih dan panik."Akbar kenapa, Bi!" Aku langsung bangkit berdiri sembari mencengkeram ponsel di genggaman tangan."Tadi Den Akbar sempet tantrum habis itu malah demam tinggi, sampe kejang. Ini udah coba bibi kompres berkali-kali tapi belum turun juga. Mana
Selama dua puluh tujuh tahun hidup di dunia, aku baru merasakan yang namanya cobaan yang sebenar-benarnya. Akhirnya aku merasakan apa yang sering orang katakan sebagai titik terendah kehidupan ketika roda yang berputar telah sampai pada porosnya. Ketika air mata tak lagi berarti untuk menggambarkan apa yang dirasa, ketika teriakan tak cukup mampu meluapkan kecamuk emosi yang bercokol dalam dada.Sungguh, aku tak bisa menangis saat mengantar Akbar ke tempat peristirahan terakhirnya, ke sisi Tuhan, ke pelukan kakek dan neneknya. Kuikhlaskan dia meninggalkan dunia yang kejam ini, kuikhlaskan dia pergi tanpa pamit pada ayah, nenek, dan, tantenya yang sering kali tak menganggapnya ada. Bunda yakin, Nak. Tempat yang sudah Tuhan persiapkan di sana jauh lebih baik daripada di sini. Di sisi Bunda, dalam bayang-bayang Ayahmu yang lebih memilih pergi bersama istri barunya, bersama adikmu yang mungkin lebih mampu dia perhatikan sepenuh hati. Di sana kamu tak akan pernah merasa cemburu bila Ayahm
"Percaya, deh, Tik. Kamu itu beruntung. Selain ganteng Miftah juga perhatian dan pekerja keras. Kebanyakan laki yang modal tampang, nggak mau kerja, kadang cuma numpang idup sama bininya yang lebih mapan."Aku hanya bisa tertawa mengingat kalimat yang seringkali teman-temanku ucapkan tiap kali ada kesempatan. Setelah apa yang terjadi masihkah mereka berkata demikian atau justru berbalik merutuki?Terkadang lebih mudah mengomentari daripada melihatnya langsung dari dua sisi. Memang lebih mudah mengatur binatang liar, daripada menahan mulut-mulut manusia agar tak berkata yang mampu menyakiti hati."Minggu ini katanya Neng ada reuni? A'a ikut, ya. Siapa tahu kamu butuh baby sitter buat ngurusin Akbar kalau lagi ngobrol sama temen-temen.""Neng, A'a liat ada undangan acara di kecamatan, kok nggak bilang? Kan, kita bisa berangkat bareng."Sekarang aku tahu alasan tiap dia semangat mengikuti kegiatan yang sebenarnya malas untuk kuhadiri. Apalagi kalau bukan tebar pesona dan menjadi pusat pe