Share

Bab 3

Ibu tampak terdiam. Aku tahu, beliau ingin memberitahu sesuatu, namun ada kemungkinan lain yang membuatnya terdiam. 

"Nggak apa-apa, Nduk. Mereka baik sama Ibu." 

Aku mendesah, beberapa kali aku bertanya, namun sepertinya Ibu kekeuh menyembunyikan perbuatan mereka yang sebenarnya. 

Mas Lian memberi kode untukku menyudahi acara tanya-tanya ini. Aku mengangguk. Mobil menuju sebuah mall besar. Cibinong city mall. 

"Ayo, Bu, kita turun!" ajakku begitu mobil sudah berhenti di tempat parkir. 

Aku menuntun Ibu dan mengajaknya untuk naik ke lantai dua. Ibu tampak kagum. Padahal, beliau satu kota dengan mall ini, namun rasanya baru kali ini ia datang. 

"Bu, kita makan dulu, ya?"

Ibu mengangguk cepat, beliau memegang perutnya kemudian berjalan mengikutiku. Kami duduk di restoran cepat saji. Mas Lian dan Bapak datang setelah bersusah payah membawa tubuh renta Bapak ke atas. Sebenarnya, beliau masih mampu berdiri, hanya saja untuk berjalan kerap kali jatuh. Itu disebabkan beberapa tahun lalu beliau tertabrak truk. 

Makanan kami sudah datang. Mata Ibu berbinar. Aku terenyuh melihatnya. 

"Ibu sudah lapar banget, ya?" 

Ibu mengangguk. 

"Alhamdulillah, ketemu makan," gumamnya yang masih terdengar jelas di telingaku. 

"Maksud Ibu?" 

Beliau tersentak, kemudian menggeleng. Ah, sepertinya banyak sekali teka-teki di sini. Aku sendiri sampai pusing. 

Saat sedang enak makan, ponselku berdering. Panggilan video dari Mbak Fatimah. 

"Hallo, Mbak." 

"Iya. Kamu ke Bogor, Fir? Kok warungmu tutup?" 

Aku menepuk jidat. Bisa-bisanya lupa tak memberitahunya. Aku nyengir saja. 

"Iya, Mbak, lupa." 

"Dasar." 

Aku mengarahkan kamera ke wajah Ibu, namun secepat kilat dimatikan oleh Mbak Fatimah. Aku menghela napas. Selalu begitu. Ia memang masih belum bisa memaafkan Ibu. 

Wajah renta yang tadinya penuh dengan binar itu meredup. Beliau pasti merindukan anak perempuannya itu. 

"Sudah, lagipula itu kesalahanmu sendiri, Nur. Kalau kamu tak begitu, mungkin anak-anakmu takkan membencimu." 

"Bapak!" 

Bapak hanya diam. Sementara Ibu menghentikan suapannya. Duh, kenapa jadi mellow begini, sih? 

"Bapak, nggak boleh gitu. Katanya sudah memaafkan Ibu?" 

"Iya, tetap saja kelakuannya itu lah yang membuat anak-anak jauh darinya." 

Aku terdiam. Memberi kesempatan Bapak untu berbicara meskipun sedikit keterlaluan. 

Mas Lian menguatkan Ibu, dan mengatakan agar tak terlalu mempedulikan ucapan Bapak. Aku mengangguk saat wanita yang melahirkanku itu menoleh. 

Usai makan, aku mengajak Ibu ke stand pakaian. Banyak gamis yang terpajang. Awalnya Ibu menolak, namun aku memaksa. Ada satu gamis yang membuatku tertarik. 

"Belikan Ambar juga, Fir. Nanti potong dari uang jatah Ibu."

Aku menoleh. 

"Fira akan belikan untuk Mbak Ambar, asal Ibu mau jujur pada Fira." 

Ibu mengangguk, lalu berkata, "Nanti malam, Ibu akan ceritakan padamu semuanya, Fir." 

--

Kami pulang ketika adzan isya berkumandang. Entah kenapa, padahal kami baru saja menempuh perjalanan tujuh jam, ditambah tadi di rumah Mbak Ambar belum rebahan satu menit pun, tapi rasanya badan ini tidaklah capek. Apa karena sudah bertemu dengan Ibu? Makanya capek itu hilang begitu saja? 

Kubuka pintu sembari mengucap salam. Kulihat Naura tengah belajar, ia berlari menyalamiku. 

"Naura lagi belajar?" 

"Iya, Tante." 

Naura sendiri berumur delapan tahun. Ia anak tunggal dari Mas Helmi dan juga Mbak Ambar. 

Mendengar suara kami, kakak iparku itu keluar. Wajahnya masih tampak tak bersahabat. 

"Habis dari mana kalian?" tanyanya. 

"Habis jalan-jalan, Mbak," jawabku. 

"Wah, Ibu beli baju baru? Enak ya. Memangnya Ambar-" 

Bug! 

Belum sempat ia mengucapkan kata-katanya, segera kuberikan bungkusan berisi pakaiannya. 

"Ini buat Mbak Ambar," ucapku kemudian melenggang menuju kamar. 

"Mbak, kok koperku berantakan?" tanyaku. 

"Iya, tadi Naura pulang liat koper. Dikira punya kita, mau jalan-jalan. Kasihan dia, mau jalan-jalan aja kita gak sempat karena harus merawat Ibu," ucap Mbak Ambar. 

Aku jadi tak enak hati, lalu menjanjikan besok akan mengajaknya jalan-jalan. Anak itu tentu saja senang bukan main. Apalagi aku akan mengajaknya ke kebun binatang. 

"Mama ikut, kan?" tanyanya pada sang ibu. 

"Nggak, Nak. Kamu berangkat sama Om, Tante, Kakek aja." 

"Loh, Nenek?" 

"Biar Nenek di rumah." 

"Tapi, Ma-" 

"Naura, Nenek itu sakit. Makan nasi aja ga boleh banyak-banyak. Nanti kalau ikut, kasihan Om sama Tantemu." 

Anak itu akhirnya mengerti, lalu masuk ke kamar ibunya karena kamarnya akan kupakai tidur bersama Ibu. Sementara Mas Lian dan Bapak tidur di kasur depan televisi. 

Selesai mandi dan berganti baju, aku berbaring di samping Ibu. Kupandangi wajah tua yang seakan banyak beban itu. 

"Nduk, maafkan Ibu, ya," ucapnya tiba-tiba. 

"Mau sampai kapan, Ibu minta maaf?" 

"Kesalahan Ibu ini nggak bisa dimaafkan. Karena hal itu, kamu dan Fatimah dibully sekampung sehingga harus pulang ke kampung halaman bapakmu." 

Aku terdiam. Hal itu memang benar adanya. Apalagi, setelah itu, kakak-kakakku berebut warisan. Tadinya, Mas Cahyo menginginkan tanah dan rumah ini, sementara Mas Helmi mendapatkan ruko. Tapi begitu diberi syarat merawat Ibu, anak sulung keluarga ini pun mundur dan memilih ruko. 

Ya, sejahat itu memang kelakuan Ibu. Bukan hanya membuat mental kami terganggu, tapi juga membuat sebagian besar dari kami tak mau merawatnya. 

Bukan aku bermaksud untuk melalaikan tugas, namun aku sudah merawat Bapak. Itupun kadang kewalahan karena Bapak kadang memakai pampers. 

Lagipula, aku tak enak dengan Mas Lian. Bagaimanapun, ia juga masih punya tanggung jawab pada orang tuanya. 

"Bu, jadi, sebenarnya apa yang telah Mas Helmi dan Mbak Ambar lakukan pada Ibu?"

Ibu terlihat menghela napas, lalu mengangkat satu lengan tangannya ke atas untuk menutupi wajah sembari menutup mata. 

"Mas dan Mbakmu selama ini baik sama Ibu, Nduk. Apalagi Helmi. Tapi, beberapa bulan belakangan ini, Helmi berubah. Jatah makan Ibu dikurangi."

Kepalaku mendidih bukan main. Apa maksud Mas Helmi melakukan itu? Untuk apa kami mengirim uang jika untuk makan saja Ibu tak mendapat kelayakan?

"Tapi, kamu jangan salah paham dulu, Nduk. Itu semua dilakukan mereka karena sayang sama Ibu. Penyakit diabetes itu nggak bisa makan nasi banyak-banyak. Begitupula dengan minum. Semua dibatasi. Jadi, Ibu berinisiatif untuk ikut bekerja di tempat Pak De Jarwo. Sebatas ingin ada kegiatan saja. Pegal badan Ibu jika nganggur terus." 

Tak lama, suara Ibu berubah sendu. Seperti ada kesedihan di sana. Tapi, seperti kata Ibu tadi, Mas Helmi melakukan ini untuk kebaikan Ibu juga. 

"Ibu nggak bohong, kan?" 

"Untuk apa, Nduk? Sekarang dah jelas, lebih baik kamu tidur. Ibu juga sudah mengantuk." 

Aku mengangguk, meskipun dalam hati masih ada sedikit keganjalan mengenai semua ini. 

--

Esok pagi. 

Aku sudah selesai menyapu halaman, ketika Teh Ningsih lewat. Dulu, kami sering bermain bersama. 

"Fira!" 

Aku menoleh, lalu tersenyum seraya melambai. Ia datang menghampiri dan kami berpelukan. 

"Lama banget gak ke sini. Gak kangen sama aku?" 

"Loh, ya kangen, dong! Kamu tuh, kenapa nggak pernah jengukin ibumu? Kasihan dia, loh!"

"Kenapa?"

"Itu, Mbak Ambar-"

Ningsih tiba-tiba diam, aku menoleh ke belakang. Ternyata Mbak Ambar datang sambil menenteng sebuah kresek. 

"Mau ke mana, Mbak?"

"Bukan urusanmu." 

Aku dan Ningsih terdiam. 

"Lanjutin, Teh!"

"Ntar aja deh, gak enak banget tempatnya. Nanti aku ke sini lagi." 

Aku berdecak melihat kepergian teman semasa kecilku dulu. Sepertinya, ia mengetahui banyak tentang kelakuan Mbak Ambar. 

"Sayuuuur!" 

Mendengar teriakan tukang sayur, akupun masuk ke dalam dan keluar lagi setelah mengambil dompet. Beberapa ibu-ibu sudah berkerumun. 

"Loh, Fira? Kamu datang kapan?" 

"Kemarin siang, Bu Indah."

"Wah, untung saja kamu datang. Mending kamu bawa ibumu pulang kampung deh, Fir."

"St! Jangan ikut campur," ucap Bu Yumi di sebelahnya. Mereka masih saudara jauh Ibu. 

"Kenapa memangnya, Bu?" 

"Aku nggak bisa cerita. Kalau kamu mau tau, mending kamu selidiki aja sendiri, Ndah. Aku nggak mau berurusan dengan Ambar. Mang, ini ayam setengah, bayam, tempe, sama bahan sambel jadi berapa?" 

"Dua puluh delapan ribu, Ceu." 

"Oke, nuhun, ya" ucap Bu Indah sambil pergi. 

Bu Yumi terlihat sekali buru-buru karena sedari tadi ia memilih sayuran sambil melirik ke arahku. 

Ya, benar. Sepertinya aku harus menyelidiki ini. 

"Mang, ayam sekilo, kentang, sama bakso jadi berapa?" 

"Tiga puluh tujuh, Mbak Fira." 

Aku menyerahkan uang pas, lalu masuk ke dalam rumah. Terlihat Naura sudah bangun dan mandi. 

"Tante, jadi pergi, kan?" 

Aku mengangguk. "Tante masak dulu. Kamu siap-siap aja." 

Ya, sepertinya, kepergian kami kali ini bisa kujadikan kesempatan untuk melihat bagaimana perlakuan Mas Helmi dan Mbak Ambar pada Ibu. 

Bagaimana caranya? 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status