"Jangan asal ngomong kamu, Fir. Dosa kamu sudah fitnah Mbak seperti ini!" ucap Mbak Ambar berapi-api.
"Ya sudah, kalau begitu, Mbak tunjukkan di mana Ibu!" Mbak Ambar kembali terdiam. Tepat saat itu, sebuah motor masuk ke halaman rumah. Kami semua berdiri. Itu Mas Helmi, di belakangnya ada seorang tua renta yang susah payah untuk turun. Kakak ketigaku itu melirik ke mobil, namun ia sepertinya tak mengetahui jika kami datang. Soalnya, mobil itu baru setahun kemarin Mas Lian beli, sementara kami terakhir ke sini tiga tahun lalu, saat belum memiliki apa-apa. "Ayo cepat, Bu! Payah banget, sih, hari ini malah cuma dapat segini?" Sebuah pemandangan begitu menusuk relung kalbu. Ibuku, seorang yang dulunya cantik jelita, kini menjelma menjadi perempuan renta yang sedikit bongkok. Yang paling membuatku sedih adalah baju yang Ibu kenakan. Daster pemberianku yang sudah ada tambalan di sana sini. "Ya maaf, Helmi. Ibu tadi pusing banget kepalanya." Aku segera berdiri dan menghampiri mereka sebelum sampai di depan pintu. Mas Helmi terlihat kaget melihatku, begitupun dengan Ibu. Bedanya, Ibu terlihat bahagia mengetahui kedatanganku, sementara Mas Helmi tampak gusar. "Dari mana kamu, Mas? Ini Ibu kenapa pakaiannya begini?" Mas Helmi tampak gelagapan. Belum sempat Ibu mengucapkan sepatah kata, sudah didahului oleh Mbak Ambar yang entah sejak kapan ada di sampingku. "Ibu tadi ngerengek minta bantuin panen jeruk di perkebunan Pak De Jarwo, Fir. Ini yang membuat Mbak bingung harus menjawab apa pertanyaanmu tadi." "Benar begitu, Bu?" Ibu mengangguk. Entah kenapa, aku masih saja merasa ganjil dengan semua ini. Untuk apa Ibu ikut panen jeruk? Aku pun memapah Ibu ke sofa, lalu mendudukkannya di samping Mas Lian. Suamiku itu segera mencium takzim tangan Ibu, sementara Bapak hanya mengangguk. Aku maklum, tak semudah itu memaafkan perselingkuhan. Apalagi, dulu Ibu dan pria muda itu tertangkap dengan tubuh tanpa sehelai benang pun. Astghfirullah! "Ibu, kenapa ikut panen jeruk di perkebunan Pak De Jarwo? Kan capek, Bu. Apa uang yang selama ini kami kirimkan itu kurang?" tanyaku lembut. Ibu tampak menatap ke belakangku, yang artinya ke arah Mbak Ambar. Aku segera menoleh, kudapati ia tengah melihat ke arah lain. "Nggak, Nduk. Uang yang kalian kirim cukup. Bahkan Ibu selalu makan enak tiap hari. Ibu cuma nggak enak sama kalian. Kalian capek-capek malah ngirim uangnya ke Ibu." "Bu, jangan bicara seperti itu. Ibu tetaplah orang tua kami. Ibu tanggung jawab kami semua. Baik itu dari kebutuhan, maupun perlindungan. Bukan begitu, Mas?" tanya Mas Lian pada Mas Helmi. Mas Helmi tampak salah tingkah mendengar pertanyaan tiba-tiba dari suamiku. Ia hanya mengangguk, kemudian izin ke kamar mandi. Aku pun menghela napas, lalu masuk ke dalam kamar Ibu dan juga Naura. Memang sempit, wajar jika Mas Helmi meminta uang untuk membuat kamar Ibu. "Mas, untuk pembangunan kamar Ibu, nanti biar aku sendiri yang belanja dan mencari tukangnya," ucap Mas Lian pada Mas Helmi. Aku yang sedang berada di dalam kamar, segera ke luar setelah menaruh koper di pojokan. "Loh, kenapa begitu? Kalian nggak percaya lagi sama aku, Fir, Lian?' "Bukan tak percaya, Mas. Hanya saja, aku ingin terjun langsung. Tanah itu, jangan sampai diutak-atik.""Alah, tau apa kamu, Lian? Itu tanah Bapak, yang berarti aku juga berhak untuk tanah itu." Aku menggenggam tangan Mas Lian yang hendak menyahuti ucapan Mas Helmi. "Mas, bukankah kita sudah mendapat semua bagian? Mas Cahyo dapat ruko, Mbak Fatimah dapat tanah di belakang tanahku, sementara Mas Helmi mendapat rumah ini beserta tanahnya. Tanah di sini saja setengah hektar loh, Mas. Hanya saja kamu jual sedikit-sedikit sampai akhirnya hanya tersisa rumah dan halaman belakang saja. Tanahku bahkan tak sampai setengahnya dari bagianmu. Kok Mas Helmi malah jadi serakah begini, sih?" ucapku panjang lebar. Ya, dulunya Bapak adalah jurangan sapi. Wajar jika memiliki tanah di mana-mana. Namun semenjak kasus terbongkarnya perselingkuhan Ibu, usaha itu perlahan menyusut. Aku tak tahu pasti apa penyebabnya? "Sudah-sudah! Kalian kenapa jadi ribut soal hak yang sudah Bapak bagi, sih? Kamu juga, Helmi, kalau misal hanya untuk membangun kamar Ibu, tak perlu sampai menjual tanah punya Fira. Apalagi tanah itu kan ditanami berbagai macam buah. Itu satu-satunya yang Bapak kasih untuk dia." Mas Helmi terdiam. Suasana mendadak jadi panas. Ah, sudahlah, lebih baik kuajak Ibu untuk jalan-jalan. "Mas, kita ajak Ibu jalan-jalan aja, yuk!" "Aku ikut, Fir." Aku menoleh ke arah Mbak Ambar. Entah kenapa, kebencian kini menelusup dalam hati begitu melihatnya. Astaghfirullah, aku tak boleh seperti ini. "Maaf, Mbak, mobilnya nggak cukup." Mbak Ambar mencebik, kemudian berlalu menuju kamarnya yang disusul oleh Mas Helmi. Aku menyuruh Ibu untuk mengganti pakaiannya dengan yang baru kubawa tadi. Sambil menunggu, aku berdiri di depan kamar Mas Helmi. Aku tahu ini tak benar, tapi aku penasaran karena beberapa kali kakak iparku itu menyebut Ibu. Mataku melebar ketika mendengar satu pernyataan dari mulut Mbak Ambar. Ya Allah, tega-teganya! "Kamu gimana sih, Mas? Ngurus Ibu aja nggak becus? Hampir saja tadi mereka tahu kalau kita paksa dia buat cari uang!" Mataku membeliak mendengar pernyataan yang keluar dari mulut kakak iparku itu. Ya Allah, jadi selama ini mereka menyuruh Ibu untuk bekerja? Ini tak bisa dibiarkan! Aku berjalan ke depan, menghampiri Mas Lian dan ingin memberitahu apa yang tadi kudengar. Namun, belum sempat berbicara, Ibu sudah keluar dari kamar dan menghampiri kamu. "Ya Allah, Ibu cantik banget," pujiku. Ibu hanya tersenyum malu-malu. Tapi memang nyatanya begitu, meskipun umurnya sudah tak lagi muda, tapi wajah cantik itu masih ada di sana. Bukan berarti aku tak pernah sakit hati dengan kelakuannya dahulu. Tentu saja, sebagai anak aku tak menyangka jika Ibu dengan tega mengkhianati Bapak. Namun, lambat laun aku mengerti, jika kesalahan tak perlu terus diungkit. Cukup kita memaafkannya saja. Ibu sendiri dulu pulang ke kami setelah sepuluh tahun menghilang. Ia datang dengan wajah memar. Aku belum menikah saat itu, masih duduk di kelas dua sekolah menengah atas. Meskipun masih kecil, tapi aku tahu apa yang sedang terjadi. Ibu pergi meninggalkanku saat berumur enam tahun. Awalnya keluarga tak mau meberitahu apa yang sebenarnya terjadi hingga akhirnya, salah satu tetangga menceritakan semuanya saat aku sudah masuk sekolah menengah pertama. Aku percaya? Tentu tidak. Bagiku, Ibu adalah makhluk tanpa cela, baik, dan juga pengertian. Tapi aku lupa, jika manusia tak ada yang sempurna. "Dek, kok ngelamun?" "Eh? Iya." Kami masuk ke dalam mobil. Aku masih bisa melihat bayangan Mbak Ambar yang mengintip dari balik tirai. Aku menggelengkan kepala, lalu menutup pintu. Selama perjalanan, Ibu maupun Bapak tak ada yang berbicara. Aku dan Mas Lian sendiri jadi bingung. "Bu, jujur sama Fira. Apa yang sudah dilakukan oleh Mas Helmi dan Mbak Ambar?" tanyaku."Apa kamu tahu, Helmi masuk rumah sakit?" tanya Mbak Imah. "Apa Mbak Imah dan Fira kerja sama dengan Mas Helmi? Kemarin Fira juga ngomong gitu ... Loh." Suara Mbak Ambar menggantung saat kamera kubalik menggunakan kamera belakang. Bisa kulihat ia tertegun beberapa saat. Mungkin ia terkejut, karena sedari kemarin hanya menganggapku berbohong. "I-itu, Mas Helmi?" tanya Mbak Ambar, setelah menguasai diri. "Ya, itu suami yang kamu bilang kerja sama dengan kami. Bagaimana caranya kami kerja sama kalau keadaannya juga begitu?" tanya Mbak Imah, seraya terisak. Aku melihat air mata Mbak Ambar mengalir, lalu kuhembuskan napas yang terasa sesak. Apa ia sungguh-sungguh akan menceraikan Mas Helmi jika kenyataannya begini? "Aku akan ke sana," ucap Mbak Ambar. "Nggak perlu. Masih ada kami, keluarganya. Kamu fokus lah dulu pada kesembuhanmu sendiri. Jangan pedulikan Helmi," ucap Mbak Imah sambil mematikan ponsel. Hening. Isak tangis Mbak Imah masih terdengar. Meski ia bawel, cerewet, dan bah
"Halo, Fir? Kok diam? Mana Mas Helminya?" Aku semakin bingung saat mendengar Mbak Ambar menanyakan Mas Helmi. Tak apakah jika aku memberitahunya? "Mbak, tolong pikirkan lagi soal perceraian itu," ucapku pada akhirnya. Terdengar helaan napas panjang dari arah seberang telepon. Mungkin, ini berat bagi Mbak Ambar. "Berat, Fir. Apalagi kakakmu kasusnya sudah sampai menikahi orang lain dan tak memberitahuku. Apa kamu yakin, bakal diam saja kalau Lian nikah lagi? Apa kamu yakin, bakal menerima semuanya meski itu hanyalah masa lalu?" Lagi-lagi aku terdiam. Benar, beban setiap orang itu berbeda. Aku yakin, yang ditimpa Mbak Ambar sekarang ini begitu berat. Apalagi ini menyangkut mental. "Mana Mas Helminya? Biar Mbak suruh untuk menandatangi dan mengirimkannya sekarang juga." "Mas Helmi, ada di rumh sakit." "Rumah sakit? Apa Naura sakit? Atau, Ibu?" "Mbak, apa kamu pikir, Mas Helmi tidak bisa sakit sehingga yang kamu tanyakan hanyalah mertuamu dan anakmu sendiri. Mas Helmi, kecelakaan
"Apanya?" "Retak di bagian batok kepala, pendarahan di otak, dan juga patah kaki kiri." Mbak Imah langsung beristighfar. Benar memang, di antara satu garis keturunan, pasti ada satu yang berbeda, dan di keluarga kami adalah Mas Helmi. Entah sudah berapa kali masalah dan musibah yang menghampirinya. Kalau dulu, masih ada Bapak yang menjadi jalan mengadu kami, kalau sekarang? Kami harus bergotong-royong demi menyebabkan masalah yang ia lakan. "Setengahnya dicover bpjs katanya, Mbak. Jadi kita hanya perlu setengah lagi. Apa, kita perlu menjual rumah Mas Helmi di Bogor?" "Tapi, kalau kita ke sana nanti, bagaimana, Fir?" Aku menghela napas. Benar, di mana tempat kami akan tinggal jika suatu hari nanti kami ke sana? Karena masih banyak saudara dari Ibu, sehingga sudah pasti suatu hari nanti akan berkunjung. "Nanti, biar Fira yang atur, Mbak. Sekarang aku mau masuk dulu," ucapku pada Mbak Imah saat melihat Mas Surya keluar. Aku pun masuk, melihat berbagai selang yang dipasang di tubuh
"Apa, Mas?" "Nih." Dengan dad berdebar, segera kusaut ponsel dari Mas Lian. Setelah mengatur debar dalam dada, aku mulai berbicara. "Iya, saya Fira." "Korban bernama Pak Helmi, menjadi korban kecelakaan dengan mobil. Saat ini kondisinya kritis.""Ya Allah! Di rumah sakit mana, Bu?" Setelah mengantongi nama rumah sakitnya, segera aku menelepon Mbak Imah supaya bisa menemani ke sana. Untuk Mas Cahyo, mungkin nanti akan kuhubungi dan berangkat terpisah, mengingat jarak kami yang lumayan jauh. "Sudah siap, Fir?" tanya Mbak Imah. "Sudah, Mbak. Mas, tolong jagain Aya, ya. Kalau kamu kuajak, kasihan Ibu harus jagain dua cucunya." "Iya, beres. Sudah, sekarang kamu berangkat saja sana. Nggak usah pikirin yang di rumah, semoga Mas Helmi segera pulih. Jangan lupa kasih kabar, ya," ucap Mas Lian yang segera kuangguki. Setelah memakai jaket, kami langsung berangkat. Di sepanjang jalan tak hentinya aku beristighfar, semoga tak ada satu pun hal buruk yang menimpa kakakku itu. "Kok bisa kec
Habis magrib, Mas Helmi datang ke sini. Mas Surya pun ke sini lagi bersama Mbak Imah, karena aku kekeuh tak ingin memberikan surat itu. "Wih, ngumpul, nih." "Hel, tarik napas dulu," ucap Mas Surya. "Kenapa sih, Mas?" "Sudah, tarik napas dulu." Mas Helmi menuruti perkataan Mas Surya dan melakukannya. Saat sudah selesai, Mas Surya segera memberikan amplop tadi pagi. "Apa ini?" tanya Mas Helmi. "Buka saja." Mas Helmi pun mengambil amplop itu dengan bingung, lalu membuka isinya. Matanya membeliak saat membaca kop suratnya. "Pengadilan? Mas Surya mau menceraikan Mbak Imah?" Pletak! Mbak Imah melemparkan sendok ke kepala Mas Helmi. "Ngawur ngomongnya. Buka dulu. Lagian, nggak kamu baca itu siapa pengirimnya?" Mas Helmi tak menghiraukan ucapan Mbak Imah, lalu membuka surat itu. Matanya dua kali lebih besar dari yang tadi. Tentu saja, ia pasti amat terkejut karena itu. "I-ini, nggak benar, kan?" "Masa iya kami prank?" "Nggak mungkin, Mas. Masa iya Ambar menceraikanku?" Mas Su
"Mas!" teriakku. Mas Lian dan Ibu yang tengah menggendong Aya, segera menghampiri saat aku berteriak. Bagaimana aku tak marah, jika surat dari pengadilan ada di tanganku? "Kenapa, Dek?" "Apa ini?" "Maksudnya?" "Kamu mau menceraikan aku?" "Hahhh? Apa sih Dek? Jangan mengada-ada." "Lalu ini apa?" Mas Lian segera mengambil surat itu dari tanganku dan membacanya. Matanya membeliak, lalu menepuk jidatnya sendiri. Kenapa ia berekspresi seperti itu? "Ini, bukan untuk kam, Dek. Tapi untuk Mas Helmi." "Apa?" Kali ini giliran aku yang terkejut, hingga Athaya menangis karena mendengar teriakan kami. "Uuh, Sayang, maafkan Bunda, ya. Kaget, ya?" tanyaku sambil mengelus kepala anak yang sudah aktif itu. "Mas Helmi? Apa Mbak Ambar menceraikannya?" "Bisa jadi." "Tapi kan dia lagi hamil loh, Mas. Mana boleh cerai." "Kan perkiraan minggu depan lahiran." Aku menepuk jidat. Benar-benar telmi aku ini. Kenapa Mbak Ambar menggugat cerai Mas Helmi? Mengingat kali terakhir sebelum ia pergi, si