Share

Bab 9 - Sedikit Hukuman

Sedikit Hukuman

"Kok, menjauh?" selidiknya.

"Aku masih haid!" tukasku.

"Iya, tau. 'Kan cuma mau peluk," lirihnya.

"Gak usah. Nanti ujung-ujungnya minta juga. Aku malas debat," ucapku, menarik bed cover dan membawanya ke sofa di kamar kami.

"Lho, mau ke mana?"

"Sini. Mas tidur di sini, biar aku di kasur," panggilku setelah menyiapkan bed cover ke atas sofa.

"Kenapa? Aku gak minta, janji!" Dia mengangkat dua jari ke udara dan aku hanya tersenyum sinis.

"Gak tau. Bawaannya aku malas tidur seranjang, Mas. Udah, sini. Atau aku tidur di kamar Al?"

"Oke. Ya, udah, kamu tidur di sini biar Mas di sofa." Pria itu akhirnya beringsut pindah ke sofa dan aku segera pindah ke ranjang kami yang besar.

Tatapannya terus saja memindai ke arahku, sepertinya bingung dengan sikapku.

"Mas kayaknya besok masih harus ke Tangerang, ya. Yang di sini, biar sama Badrun," ucapnya yang sudah mulai memejamkan mata. Aku menoleh bak busur panah yang siap menancap. Mana ada Badrun bunting, Mas! batinku ingin marah.

"Oke. Aku yang akan pegang resto yang di sini. Jadi, tolong usir hantu-hantu yang ada di resto sebelum aku datang!" tegasku kembali memunggunginya.

"Hantu? Mana ada hantu," jawabnya terdengar malas.

"Mana tau selama dua bulan aku tidak ke sana, resto sudah dihuni oleh hantu-hantu enggak jelas 'kan?" tudingku. Ya, hantunya itu wanita hamil dan Ibu Rita yang katanya berani memegang kunci ruang owner dan sepertinya sudah mengganti kode brankasku.

"Ngaco, deh, ngomongnya." Ia mendengkus, lalu membelakangiku.

Akhirnya, besok aku akan memegang kendali restoran itu tanpa harus sembunyi-sembunyi seperti maling. Lihat saja, besok, Mas!

**

Pagiku selalu disibukkan dengan mengurus Allisya yang hendak sekolah. Mulai dari mandi, seragam sampai sarapannya. Begitupun dengan bayi besar yang biasanya selalu ingin dilayani, mulai dari pakaian kerja, sarapan sampai menyiapkan sepatunya. Hari ini, aku hanya menyiapkan kebutuhan Allisya dan aku saja, kubiarkan Mas Irwan mencari kebutuhannya sendiri.

"Sayang, kemeja sama celana Mas mana?" teriaknya saat aku hendak keluar dari kamar sudah berpakaian rapi.

"Cari sendiri aja, sih, Mas. Aku juga repot. Masa, kamu gak bisa cari sendiri." Aku membalas teriakannya, gegas berjalan ke kamar Allisya.

Allisya menatapku bingung. Aku tahu, anak sekecil ini pasti menyadari perubahan yang terjadi pada kedua orang tuanya. Beberapa hari ini, Allisya tampak murung dan seolah ingin bertanya padaku.

"Kenapa, Sayang? Yuk, dipakai seragamnya. Nanti telat," suruhku, meraih kemeja dan rok seragam sekolah yang tadi sudah sempat kutaruh di atas kasur.

"Mama sama Papa sedang bertengkar?"

"Kata siapa? Kok, Al tanya begitu?"

"Itu Papa teriak-teriak. Mama juga. Khiara bilang, Mama Papanya juga dulu suka teriak-teriak dan akhirnya pisah," jelas gadis kecilku. Kupeluk ia dengan begitu erat, menncoba menyembunyikan kesedihan yang selama ini mendera jiwa.

Bohong, bukan, jika aku tidak bersedih dan merasa takut perpisahan akan terjadi. Bagaimanapun juga, sebuah keutuhan adalah impian yang begitu indah.

Kuurai pelukan, memegangi kedua lengannya yang kini sejajar denganku yang berlutut. "Teriak yang dimaksud Khiara itu beda, Sayang. Papa teriak karena pakaiannya belum Mama siapkan. Mama kesiangan," jelasku.

"Mama sudah rapi. Mau ke mana?" selidiknya, memerhatikan pakaianku.

"Mama hari ini ke resto. Karena Papa harus ke Tangerang. Tapi tenang saja, nanti Mama tetap jemput kamu, kok." Kuulas senyuman semanis mungkin, agar Allisya-ku tidak berpikir yang macam-macam.

Aku dan Allisya sudah duduk di ruang makan, menunggu Papanya yang tak kunjung keluar dari kamar. Tidak berapa lama, pria yang selama ini menjadi alasanku bahagia itu, datang dengan pakaian yang ... entah.

Mas Irwan memakai celana warna biru dongker dengan kemeja merah maroon. Sumpah, ini bukan style-nya yang selama ini kusiapkan. Aneh, di mataku.

"Celana hitam Papa, di mana, ya? Kok, gak ada," tanyanya, seraya duduk dan mengambil makanannya terburu-buru.

"Di lemari, Pa. Gak akan pindah ke kulkas, 'kan?" sindirku, mengambilkan makanan untuk Allisya.

Entah mengapa, rasanya malas sekali melahap makanan jika sedang berada satu meja dengan Mas Irwan. Rasa marah bercampur penasaran telah memenjara kerinduanku untuknya hingga tak ada secuilpun rindu kebersamaan ini.

Selesai sarapan, kami sama-sama keluar dari rumah hendak ke tujuan masing-masing. Allisya kuambil alih mengantarnya, sebab satu arah dengan resto. Sementara Mas Irwan ke arah lain dengan mobilnya sendiri.

"Mas, kode brankas masih sama, 'kan?" tanyaku. Padahal aku tahu kodenya sudah tidak bisa digunakan. Mas Irwan tengah menyalamiku.

"Ah? Masih, dong. Masih sama," jawabnya gugup.

"Oh. Aku buka nanti. Sekalian mau cek buku tabungan pemasukan resto," ketusku setelah menyalaminya dengan malas.

"Emm ... mau ngapain dicek?" Telinga dan hidungnya terlihat memerah. Aku tahu, kamu sedang panik.

"Memangnya kenapa? Aku wajib tau, Mas."

"I-iya. Iya, begitu maksudnya. Buka saja. Cek saja, gak pa-pa," ucapnya gugup.

"Jangan-jangan, kamu sudah mengganti kodenya?" tudingku.

Mas Irwan menoleh, bibirnya memaksakan senyuman seraya menggaruk tengkuk.

Bersambung ....

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status