Sedikit Hukuman
"Kok, menjauh?" selidiknya."Aku masih haid!" tukasku."Iya, tau. 'Kan cuma mau peluk," lirihnya."Gak usah. Nanti ujung-ujungnya minta juga. Aku malas debat," ucapku, menarik bed cover dan membawanya ke sofa di kamar kami."Lho, mau ke mana?""Sini. Mas tidur di sini, biar aku di kasur," panggilku setelah menyiapkan bed cover ke atas sofa."Kenapa? Aku gak minta, janji!" Dia mengangkat dua jari ke udara dan aku hanya tersenyum sinis."Gak tau. Bawaannya aku malas tidur seranjang, Mas. Udah, sini. Atau aku tidur di kamar Al?""Oke. Ya, udah, kamu tidur di sini biar Mas di sofa." Pria itu akhirnya beringsut pindah ke sofa dan aku segera pindah ke ranjang kami yang besar.Tatapannya terus saja memindai ke arahku, sepertinya bingung dengan sikapku."Mas kayaknya besok masih harus ke Tangerang, ya. Yang di sini, biar sama Badrun," ucapnya yang sudah mulai memejamkan mata. Aku menoleh bak busur panah yang siap menancap. Mana ada Badrun bunting, Mas! batinku ingin marah."Oke. Aku yang akan pegang resto yang di sini. Jadi, tolong usir hantu-hantu yang ada di resto sebelum aku datang!" tegasku kembali memunggunginya."Hantu? Mana ada hantu," jawabnya terdengar malas."Mana tau selama dua bulan aku tidak ke sana, resto sudah dihuni oleh hantu-hantu enggak jelas 'kan?" tudingku. Ya, hantunya itu wanita hamil dan Ibu Rita yang katanya berani memegang kunci ruang owner dan sepertinya sudah mengganti kode brankasku."Ngaco, deh, ngomongnya." Ia mendengkus, lalu membelakangiku.Akhirnya, besok aku akan memegang kendali restoran itu tanpa harus sembunyi-sembunyi seperti maling. Lihat saja, besok, Mas!**Pagiku selalu disibukkan dengan mengurus Allisya yang hendak sekolah. Mulai dari mandi, seragam sampai sarapannya. Begitupun dengan bayi besar yang biasanya selalu ingin dilayani, mulai dari pakaian kerja, sarapan sampai menyiapkan sepatunya. Hari ini, aku hanya menyiapkan kebutuhan Allisya dan aku saja, kubiarkan Mas Irwan mencari kebutuhannya sendiri."Sayang, kemeja sama celana Mas mana?" teriaknya saat aku hendak keluar dari kamar sudah berpakaian rapi."Cari sendiri aja, sih, Mas. Aku juga repot. Masa, kamu gak bisa cari sendiri." Aku membalas teriakannya, gegas berjalan ke kamar Allisya.Allisya menatapku bingung. Aku tahu, anak sekecil ini pasti menyadari perubahan yang terjadi pada kedua orang tuanya. Beberapa hari ini, Allisya tampak murung dan seolah ingin bertanya padaku."Kenapa, Sayang? Yuk, dipakai seragamnya. Nanti telat," suruhku, meraih kemeja dan rok seragam sekolah yang tadi sudah sempat kutaruh di atas kasur."Mama sama Papa sedang bertengkar?""Kata siapa? Kok, Al tanya begitu?""Itu Papa teriak-teriak. Mama juga. Khiara bilang, Mama Papanya juga dulu suka teriak-teriak dan akhirnya pisah," jelas gadis kecilku. Kupeluk ia dengan begitu erat, menncoba menyembunyikan kesedihan yang selama ini mendera jiwa.Bohong, bukan, jika aku tidak bersedih dan merasa takut perpisahan akan terjadi. Bagaimanapun juga, sebuah keutuhan adalah impian yang begitu indah.Kuurai pelukan, memegangi kedua lengannya yang kini sejajar denganku yang berlutut. "Teriak yang dimaksud Khiara itu beda, Sayang. Papa teriak karena pakaiannya belum Mama siapkan. Mama kesiangan," jelasku."Mama sudah rapi. Mau ke mana?" selidiknya, memerhatikan pakaianku."Mama hari ini ke resto. Karena Papa harus ke Tangerang. Tapi tenang saja, nanti Mama tetap jemput kamu, kok." Kuulas senyuman semanis mungkin, agar Allisya-ku tidak berpikir yang macam-macam.Aku dan Allisya sudah duduk di ruang makan, menunggu Papanya yang tak kunjung keluar dari kamar. Tidak berapa lama, pria yang selama ini menjadi alasanku bahagia itu, datang dengan pakaian yang ... entah.Mas Irwan memakai celana warna biru dongker dengan kemeja merah maroon. Sumpah, ini bukan style-nya yang selama ini kusiapkan. Aneh, di mataku."Celana hitam Papa, di mana, ya? Kok, gak ada," tanyanya, seraya duduk dan mengambil makanannya terburu-buru."Di lemari, Pa. Gak akan pindah ke kulkas, 'kan?" sindirku, mengambilkan makanan untuk Allisya.Entah mengapa, rasanya malas sekali melahap makanan jika sedang berada satu meja dengan Mas Irwan. Rasa marah bercampur penasaran telah memenjara kerinduanku untuknya hingga tak ada secuilpun rindu kebersamaan ini.Selesai sarapan, kami sama-sama keluar dari rumah hendak ke tujuan masing-masing. Allisya kuambil alih mengantarnya, sebab satu arah dengan resto. Sementara Mas Irwan ke arah lain dengan mobilnya sendiri."Mas, kode brankas masih sama, 'kan?" tanyaku. Padahal aku tahu kodenya sudah tidak bisa digunakan. Mas Irwan tengah menyalamiku."Ah? Masih, dong. Masih sama," jawabnya gugup."Oh. Aku buka nanti. Sekalian mau cek buku tabungan pemasukan resto," ketusku setelah menyalaminya dengan malas."Emm ... mau ngapain dicek?" Telinga dan hidungnya terlihat memerah. Aku tahu, kamu sedang panik."Memangnya kenapa? Aku wajib tau, Mas.""I-iya. Iya, begitu maksudnya. Buka saja. Cek saja, gak pa-pa," ucapnya gugup."Jangan-jangan, kamu sudah mengganti kodenya?" tudingku.Mas Irwan menoleh, bibirnya memaksakan senyuman seraya menggaruk tengkuk.Bersambung ....Di waktu yang bersamaan, Azka Hamam kembali ke rumah. Diam-diam masuk, lalu mengusap puncak kepala sang istri dari belakang. Pria gagah itu memberikan kejutan kecil untuk sang istri. Tadinya, ia berencana membujuk sang istri, demi kesehatan."Astaghfirullah! Mas, aku kaget," pekik Allisya yang tak menduga suami akan kembali."He he he ... maaf, maaf. Masih gak enak perutnya?" tanya Azka, duduk di lantai sementara istrinya bangun dan duduk di sofa. Tatapannya tertuju pada bagian tubuh yang tadi Allisya bicarakan. "Ini juga sakit?" tanyanya, menunjuk itu."Enggak sakit. Cuma gak nyaman aja. Terasa berat, kayak bengkak gitu, Mas. Terus, kalau kesentuh ujungnya sakit." Allisya pun tanpa malu membeberkan."Semalam juga sakit? Kenapa enggak bilang?" tanya Azka lagi, mengingat kehangatan semalam. Ia tidak habis pikir, jika sampai menyakiti istrinya."Ya ... gimana. Mas suka," kata Allisya, malu-malu."Lain kali bilang, Sayang, kalau ada yang sakit. Ya, sudah. Sekarang kita ke dokter, ya?" bu
Pagi menjelang siang, di sebuah bangunan bertingkat, kini keluarga Allisya berada. Sebuah gedung mirip dengan rumah susun elit yang ada di kota asal mereka. Dan ternyata, tempat itu adalah sebuah panti jompo.Tadi, ketika pemandu wisata menanyakan soal Afifah--teman Khiara yang tinggal di sana, mereka mendapatkan informasi bahwa Afifah sudah berangkat bekerja bersama teman barunya (kemungkinan Khiara). Sang pemilik rumah sewa itu pun memberikan alamat tempat bekerja Afifah.Dan benar saja, Khiara ada bersamanya, sama-sama mengenakan seragam suster. Usut punya usut, rupanya Afifah sudah lama bekerja sebagai pengasuh lansia di tempat itu. Kini mengajak Khiara bekerja di sana pula karena memang sedang membutuhkan tenaga kerja baru."Kenapa Mama sampai nyusulin Khia ke sini?" tanya Khiara, tak menyangka. Sebelumnya, ia memang sempat memberikan alamat rumah sewa yang temannya tinggali. Tidak pernah menduga jika mama sambungnya sampai rela menyusul."Karena mama khawatir sama kamu, Nak." Na
Keduanya kini telah sampai di depan sekolah Ziya. Menyambut kedatangan Ziya yang selalu ceria dengan semringah. Karena besok, mereka akan pergi berlibur ke Jepang.Masuk ke dalam mobil, bercerita sepanjang jalan dengan antusias. Mulai dari kegiatan di sekolah, sampai tingkah polah Ziya dan teman-temannya di sekolah. Allisya dan Azka bergantian menyahuti penuh ekspresi."Ziya juga bilang ke teman-teman, kalau Ziya mau liburan ke Jepang. Teman-teman semua iri, mau juga katanya, Ma. Apa boleh, Ziya ajak mereka kapan-kapan?" tanya Ziya antusias."Wah, kalau mengajak teman tidak bisa sembarangan, Sayang. Apalagi Jepang itu sangat jauh. Nanti orang tua mereka khawatir," jelas Allisya, juga ditambahi penjelasan ringan oleh Azka.***Pukul 3 sore, Allisya beserta rombongan keluarga sudah sampai di Kota Sapporo setelah menempuh perjalanan kurang lebih 9 jam. Kota yang terletak di Pulau Hokkaido, pulau terbesar kedua di Jepang.Mereka sengaja tidak mendatangi Ibukota Jepang, demi menghindari ke
"Saudara Dareen dinyatakan bersalah atas kasus tabrak lari yang terjadi pada tanggal 20 Februari 2021, yang mengakibatkan korban atas nama Ibu Fitrinariza Azizah meninggal dunia.""Berdasarkan laporan yang baru masuk dua minggu lalu, pelaku tidak dinyatakan sebagai DPO atas kasus ini, sehingga vonis hukuman bisa saja berkurang."Allisya menemani suaminya yang hari ini sangat tegang menghadapi sidang. Nadia dan Emir pun turut hadir, tak kalau tegang karena ternyata Dareen memang bukan DPO atas kasus ini sehingga tidak memberatkan hukumannya. Ini semua karena pihak Azka Hamam tidak melapor sejak awal."Dengan ini, pelaku dijatuhkan hukuman kurungan selama lebih kurang 6 tahun penjara, dan denda sebesar lebih kurang 12 juta rupiah."Mendengar itu, Azka seketika tertunduk lemah. Rasanya, hukuman itu tidak setimpal dengan apa yang terjadi dengan mendiang istrinya.Namun ternyata, vonis hukuman belum selesai dibacakan. Ada sederet kasus berat yang Dareen dan papanya lakukan sejak sang papa
Seperti yang telah direncanakan, Nadia dan Emir tiba di rumah Azka Hamam diantar oleh sopir yang Allisya tugaskan. Keduanya mengucap salam bersama, disambut hangat oleh anak menantu dan cucu sambung yang ceria."Masuk, Ma, Pa." Allisya menggandeng sang mama."Iya. Oh, iya. Pak Didit sudah mama suruh makan di resto utama, biar lebih dekat. Nanti dia akan jemput kalau kita sudah selesai." Nadia menjelaskan. Karena biasanya, Allisya suka mengajak serta sopirnya makan bersama. Namun malam ini, Nadia ingin berbicara penting dengan anak dan menantunya."Oh, begitu. Ya sudah, Ma. Terima kasih," ucap Allisya. Meski restoran telah sepenuhnya beralih ke tangannya, namun Allisya selalu menghargai apa pun keputusan mamanya. Termasuk seperti malam ini, mengizinkan sopirnya makan sepuasnya di sana.Semua berkumpul di ruang makan, menikmati suapan demi suapan masakan yang Allisya buat. Udang asam manis, cah kangkung, dan perkedel kentang ayam kesukaan mamanya."Alhamdulillah ... makanannya enak-enak
"Ziya tau, kalau Bunda sedang hamil saat itu?" tanya Allisya, yang hanya mendapatkan tatapan tak mengerti dari Ziya."Emm ..." Ziya menggeleng. Ia masih sangat terlalu kecil untuk memahami apa yang terjadi, sebelum bundanya meninggal karena tertabrak mobil Dareen. "Nenek suka cerita. Katanya, bunda saat itu sedang ada dedek bayinya di perut. Sebentar lagi mau lahir," jelasnya kemudian.Allisya mengangguk-angguk. Ia tidak mau memperpanjang, sebab, sejujurnya ia cemburu. "Kita masuk, ya, Sayang," ajak Allisya setelah memarkir mobilnya di garasi rumah Azka.Keduanya pun masuk bersamaan, dengan perasaan masing-masing. Di dalam, Allisya menyiapkan pakaian ganti untuk putri sambungnya, lantas menemani sang putri agar tertidur pulas.Wanita cantik itu tanpa sadar mengusap perutnya rata, berdoa agar Allah segera mengirimkan makhluk kecil di dalam sana untuk melengkapi kebahagiaan mereka. Ada sedikit kekhawatiran, takut kalau-kalau ia tidak bisa hamil seperti sang mama.'Ah, tidak, tidak! Mama