Share

Bab 8 - Akting

Akting

Enggak! Aku tidak terima. Usia Khiara dua tahun di atas anakku. Tidak mungkin Mas Irwan menikahiku setelah menikah dengan wanita itu. Jika benar, artinya aku si pe_la_kor itu? Enggak! Enggak mungkin!

"Gak mungkin!" ucapku sedikit lirih, seraya menjambak rambutku yang memang kubiarkan tanpa penutup. Jika di dalam rumah, aku selalu menanggalkan hijabku.

"Mama kenapa?" tanya Allisya bagai udara yang menguap begitu saja.

Bayangan bahagia di hari pernikahan kami kini berputar kembali bagai film yang tersiar di televisi.

Mas Irwan bukan berasal dari keluarga berada. Tetapi, dia memang memiliki kemampuan yang sangat baik di bidang tata boga. Kabarnya, Mas Irwan memang sangat ingin menjadi seorang koki. Hal itu terlaksana ketika ia menikahiku. Papa membiayai kuliahnya ke jurusan tata boga, hingga pada akhirnya Mas Irwan menjadi koki terkenal di Ibukota ini.

Dua tahun pernikahan kami, saat usia Allisya baru satu tahun, ada seorang teman yang mengajaknya membuka usaha kuliner. Tapi sayang, hanya berjalan dua tahun saja, sebab sang teman telah berbuat curang dan membuatnya rugi besar.

Suamiku itu sempat depresi, membuat Papa tak tega padanya, pada nasib putrinya juga.

Papa memberikan modal padaku untuk membangun sebuah restoran. Hanya saja, beliau tak ingin membuat suamiku berpangku tangan tanpa usaha yang berat. Papa meminta agar modal itu akan selalu menjadi hakku, selamanya sampai usiaku habis. Itu sebabnya, tanah dan bangunan resto di kota ini masih atas namaku.

Satu tahun lalu Papa berpulang ke pangkuan sang Illahi. Beliau berpesan, "Jaga dirimu baik-baik. Jangan pernah gantungkan harapanmu pada siapa pun, agar kamu tidak kecewa."

Aku paham maksud pesan Papa sebelum kepergiannya.

Bagus! Aku sudah mengamankan sertifikat itu dari Mas Irwan. Tidak ada yang bisa menjamin, ke depannya sertifikat itu masih atas namaku atau bukan.

"Mama!" pekik Allisya, membuyarkan lamunanku. Aku terkesiap, tanpa terasa wajahku sudah basah oleh air mata.

"Maaf, Sayang. Mama kangen sama Kakek dan Nenek," ucapku bohong. Ya, kedua orang tuaku kini sudah tiada. Kusangka Mas Irwan yang akan selalu menjadi pengganti Papa, nyatanya ... ia sudah membohongiku.

Detik selanjutnya, terdengar suara pagar yang dibuka dengan cara digeser. Sudah pasti Mas Irwan, sebab hanya dia yang memiliki kunci cadangan pagar.

Benar saja, mobilnya masuk dan berhenti di halaman.

"Papa!"

Allisya sangat senang melihat kedatangan Papanya. Sampai Mas Irwan masuk dan mandi pun, ia tunggu karena ingin makan malam bersama di rumah.

**

Usai makan malam bersama, Allisya ditemani Papanya ke kamar.

Kupakai headseat di kedua telinga, lalu memutar sebuah tayangan sinema di ponselku yang biasanya menceritakan tentang sebuah perselingkuhan suami. Padahal, aku tak suka menontonnya.

Aku memu_kul bantal dalam dekapan beberapa kali, ketika Mas Irwan masuk ke kamar kami. "Euh! Mam_pus, kamu! Bagus! Ha_jar lagi!" ucapku dengan suara yang ramai.

"Sayang, ngapain?" tanya Mas Irwan, menyentuh bahuku dengan halus. Pandai sekali kamu bersandiwara, Mas. Padahal, tadi sore kau pulang ke rumah lain. Tapi sekarang sudah bersikap seperti tak ada apa-apa. Kau pikir aku tidak tahu!

Aku mematikan tontonan, kemudian membuka headseat di telinga, berpura-pura menjadi istri yang masih sangat menghormati suaminya.

"Kesel banget aku, Mas, nonton sinema ini. Suaminya selingkuh sama wanita mura_han. 'Kan kesel, ya!" omelku, menceritakan sinema tadi sekaligus menyindir.

"Namanya juga cuma sinema, pasti dibuat berlebihan agar penonton ikut kesal," tukasnya.

"Pasti ada di kehidupan nyata, Mas! Kalo aku jadi istri yang dikhianati kayak sinema tadi, sudah habis si suami kupotong burungnya, lalu kumasak dan kuberikan pada selingkuhannya," pungkasku menggebu-gebu. Tak lupa kutekan setiap kata agar terkesan bahwa itu suara dari dalam hatiku.

Mas Irwan membeliakkan mata, hingga wajahnya terlihat memucat. Sementara aku, tertawa di dalam hati melihat reaksinya.

Benarkah kamu telah selingkuh, Mas?

"Terus ya, Mas, mau aku ceburin tuh si pelakor ke dasar danau, sambil dipegangin kepalanya kayak di film psi_ko_pat gitu." Aku masih berceloteh gemas, pura-pura tak sadar meraih rambutnya dan memeragakan gerakan seperti ucapanku. Padahal dia baru saja duduk di hadapanku yang bersila.

"Hey, hey, Sayang! Sakit, lho ini." Mas Irwan memohon ingin dilepaskan. Selama delapan tahun, ini pertama kalinya aku berbuat sekasar ini dengan dalih tak sengaja, karena terbawa suasana.

"Maaf, gak sengaja. Habisnya, kesel aku, Mas."

Ha ha ha! Maaf, Mas, aku sengaja. Hadiah kecil untukmu yang ternyata sudah tak jujur padaku.

"Hmm!" Suamiku mendengkus, wajah yang tadi sempat pucat, kini memerah seperti menahan kesal. "Suami baru pulang, habis ngurus kebakaran, bukannya dipijit malah dijambak. Ditoyor-toyor ke bawah pula," keluhnya.

Wajah itu kini menampakkan ketidaksukaannya atas perbuatanku barusan. Apa kau pikir aku akan menyesal? Tidak, Mas.

"Ya, namanya juga lagi kesel. Lagian, jaman sekarang kenapa banyak sekali laki-laki yang gak jujur seperti itu, coba? Ngakunya bujang, gak taunya sudah punya anak. Ngakunya duda, padahal istri ada dua. Kurang aj*r 'kan ya, Mas?" Sampai ia bosan, aku akan terus membicarakan hal itu.

"Itu 'kan cuma sinema, film. Ada orang yang buat, yang mengaturnya agar penonton tidak rela jika ketinggalan. Di dunia nyata mana ada. Sudahlah, aku ngantuk." Mas Irwan merebahkan tubuhnya membelakanginku.

Aku puas. Sepertinya Mas Irwan sudah sangat gerah dengan celotehku.

"Jangan tidur dulu, dengerin aku!" pintaku, menggoyangkan tubuhnya.

"Apa? Nanti Mas lagi yang kena," keluhnya tak mau menoleh.

"Aku mau tanya soal resto yang di Tangerang. Kok, bisa kebakaran?" Kulontarkan tanya padanya. Sebetulnya, begitu banyak tanyaku untukmu, Mas. Hanya saja, aku tahu aku akan mendapatkan kebohongan lain demi menutupi kebohongan pertamamu.

Mas Irwan beringsut duduk, menoleh ke arahku tanpa merubah ekspresi wajahnya yang terlihat masih sangat kesal. "Kasusnya masih diselidiki oleh polisi. Ada dua dugaan. Yang pertama, karena konsleting listrik dan yang kedua karena ada yang sabotase."

"Sabotase? Apa kamu punya musuh, Mas?"

Mas Irwan menggeleng lemah, kemudian membuang napas sedikit kasar. "Namanya juga bisnis. Meski kita tidak merasa bermusuh, pasti ada saja yang tidak suka dengan kesuksesan kita," terangnya.

"Kejadiannya jam berapa?" tanyaku lagi, meski sudah membaca beritanya di laman internet.

"Pagi. Sekitar jam setengah delapan. Pas banget Mas sampe resto di sini, ada telfon dari karyawan di Tangerang. Makanya, udah gak kepikiran buat ngabarin kamu. Pamit ke karyawan sini pun, enggak. Tapi, sepertinya ada yang dengar," jelas Mas Irwan.

Oke, Mas. Dalam hal ini kamu sudah jujur.

"Pantas, ya, sampai pulang malam begini," sindirku lirih, berakting sedih.

"Iya, maaf, ya." Dia meraih kepalaku, hendak menciumnya. Gegas kutarik diri agak sedikit menjauh. Jijik sekali rasanya hendak disentuh olehmu, Mas.

Bersambung ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status