Akting
Enggak! Aku tidak terima. Usia Khiara dua tahun di atas anakku. Tidak mungkin Mas Irwan menikahiku setelah menikah dengan wanita itu. Jika benar, artinya aku si pe_la_kor itu? Enggak! Enggak mungkin!"Gak mungkin!" ucapku sedikit lirih, seraya menjambak rambutku yang memang kubiarkan tanpa penutup. Jika di dalam rumah, aku selalu menanggalkan hijabku."Mama kenapa?" tanya Allisya bagai udara yang menguap begitu saja.Bayangan bahagia di hari pernikahan kami kini berputar kembali bagai film yang tersiar di televisi.Mas Irwan bukan berasal dari keluarga berada. Tetapi, dia memang memiliki kemampuan yang sangat baik di bidang tata boga. Kabarnya, Mas Irwan memang sangat ingin menjadi seorang koki. Hal itu terlaksana ketika ia menikahiku. Papa membiayai kuliahnya ke jurusan tata boga, hingga pada akhirnya Mas Irwan menjadi koki terkenal di Ibukota ini.Dua tahun pernikahan kami, saat usia Allisya baru satu tahun, ada seorang teman yang mengajaknya membuka usaha kuliner. Tapi sayang, hanya berjalan dua tahun saja, sebab sang teman telah berbuat curang dan membuatnya rugi besar.Suamiku itu sempat depresi, membuat Papa tak tega padanya, pada nasib putrinya juga.Papa memberikan modal padaku untuk membangun sebuah restoran. Hanya saja, beliau tak ingin membuat suamiku berpangku tangan tanpa usaha yang berat. Papa meminta agar modal itu akan selalu menjadi hakku, selamanya sampai usiaku habis. Itu sebabnya, tanah dan bangunan resto di kota ini masih atas namaku.Satu tahun lalu Papa berpulang ke pangkuan sang Illahi. Beliau berpesan, "Jaga dirimu baik-baik. Jangan pernah gantungkan harapanmu pada siapa pun, agar kamu tidak kecewa."Aku paham maksud pesan Papa sebelum kepergiannya.Bagus! Aku sudah mengamankan sertifikat itu dari Mas Irwan. Tidak ada yang bisa menjamin, ke depannya sertifikat itu masih atas namaku atau bukan."Mama!" pekik Allisya, membuyarkan lamunanku. Aku terkesiap, tanpa terasa wajahku sudah basah oleh air mata."Maaf, Sayang. Mama kangen sama Kakek dan Nenek," ucapku bohong. Ya, kedua orang tuaku kini sudah tiada. Kusangka Mas Irwan yang akan selalu menjadi pengganti Papa, nyatanya ... ia sudah membohongiku.Detik selanjutnya, terdengar suara pagar yang dibuka dengan cara digeser. Sudah pasti Mas Irwan, sebab hanya dia yang memiliki kunci cadangan pagar.Benar saja, mobilnya masuk dan berhenti di halaman."Papa!"Allisya sangat senang melihat kedatangan Papanya. Sampai Mas Irwan masuk dan mandi pun, ia tunggu karena ingin makan malam bersama di rumah.**Usai makan malam bersama, Allisya ditemani Papanya ke kamar.Kupakai headseat di kedua telinga, lalu memutar sebuah tayangan sinema di ponselku yang biasanya menceritakan tentang sebuah perselingkuhan suami. Padahal, aku tak suka menontonnya.Aku memu_kul bantal dalam dekapan beberapa kali, ketika Mas Irwan masuk ke kamar kami. "Euh! Mam_pus, kamu! Bagus! Ha_jar lagi!" ucapku dengan suara yang ramai."Sayang, ngapain?" tanya Mas Irwan, menyentuh bahuku dengan halus. Pandai sekali kamu bersandiwara, Mas. Padahal, tadi sore kau pulang ke rumah lain. Tapi sekarang sudah bersikap seperti tak ada apa-apa. Kau pikir aku tidak tahu!Aku mematikan tontonan, kemudian membuka headseat di telinga, berpura-pura menjadi istri yang masih sangat menghormati suaminya."Kesel banget aku, Mas, nonton sinema ini. Suaminya selingkuh sama wanita mura_han. 'Kan kesel, ya!" omelku, menceritakan sinema tadi sekaligus menyindir."Namanya juga cuma sinema, pasti dibuat berlebihan agar penonton ikut kesal," tukasnya."Pasti ada di kehidupan nyata, Mas! Kalo aku jadi istri yang dikhianati kayak sinema tadi, sudah habis si suami kupotong burungnya, lalu kumasak dan kuberikan pada selingkuhannya," pungkasku menggebu-gebu. Tak lupa kutekan setiap kata agar terkesan bahwa itu suara dari dalam hatiku.Mas Irwan membeliakkan mata, hingga wajahnya terlihat memucat. Sementara aku, tertawa di dalam hati melihat reaksinya.Benarkah kamu telah selingkuh, Mas?"Terus ya, Mas, mau aku ceburin tuh si pelakor ke dasar danau, sambil dipegangin kepalanya kayak di film psi_ko_pat gitu." Aku masih berceloteh gemas, pura-pura tak sadar meraih rambutnya dan memeragakan gerakan seperti ucapanku. Padahal dia baru saja duduk di hadapanku yang bersila."Hey, hey, Sayang! Sakit, lho ini." Mas Irwan memohon ingin dilepaskan. Selama delapan tahun, ini pertama kalinya aku berbuat sekasar ini dengan dalih tak sengaja, karena terbawa suasana."Maaf, gak sengaja. Habisnya, kesel aku, Mas."Ha ha ha! Maaf, Mas, aku sengaja. Hadiah kecil untukmu yang ternyata sudah tak jujur padaku."Hmm!" Suamiku mendengkus, wajah yang tadi sempat pucat, kini memerah seperti menahan kesal. "Suami baru pulang, habis ngurus kebakaran, bukannya dipijit malah dijambak. Ditoyor-toyor ke bawah pula," keluhnya.Wajah itu kini menampakkan ketidaksukaannya atas perbuatanku barusan. Apa kau pikir aku akan menyesal? Tidak, Mas."Ya, namanya juga lagi kesel. Lagian, jaman sekarang kenapa banyak sekali laki-laki yang gak jujur seperti itu, coba? Ngakunya bujang, gak taunya sudah punya anak. Ngakunya duda, padahal istri ada dua. Kurang aj*r 'kan ya, Mas?" Sampai ia bosan, aku akan terus membicarakan hal itu."Itu 'kan cuma sinema, film. Ada orang yang buat, yang mengaturnya agar penonton tidak rela jika ketinggalan. Di dunia nyata mana ada. Sudahlah, aku ngantuk." Mas Irwan merebahkan tubuhnya membelakanginku.Aku puas. Sepertinya Mas Irwan sudah sangat gerah dengan celotehku."Jangan tidur dulu, dengerin aku!" pintaku, menggoyangkan tubuhnya."Apa? Nanti Mas lagi yang kena," keluhnya tak mau menoleh."Aku mau tanya soal resto yang di Tangerang. Kok, bisa kebakaran?" Kulontarkan tanya padanya. Sebetulnya, begitu banyak tanyaku untukmu, Mas. Hanya saja, aku tahu aku akan mendapatkan kebohongan lain demi menutupi kebohongan pertamamu.Mas Irwan beringsut duduk, menoleh ke arahku tanpa merubah ekspresi wajahnya yang terlihat masih sangat kesal. "Kasusnya masih diselidiki oleh polisi. Ada dua dugaan. Yang pertama, karena konsleting listrik dan yang kedua karena ada yang sabotase.""Sabotase? Apa kamu punya musuh, Mas?"Mas Irwan menggeleng lemah, kemudian membuang napas sedikit kasar. "Namanya juga bisnis. Meski kita tidak merasa bermusuh, pasti ada saja yang tidak suka dengan kesuksesan kita," terangnya."Kejadiannya jam berapa?" tanyaku lagi, meski sudah membaca beritanya di laman internet."Pagi. Sekitar jam setengah delapan. Pas banget Mas sampe resto di sini, ada telfon dari karyawan di Tangerang. Makanya, udah gak kepikiran buat ngabarin kamu. Pamit ke karyawan sini pun, enggak. Tapi, sepertinya ada yang dengar," jelas Mas Irwan.Oke, Mas. Dalam hal ini kamu sudah jujur."Pantas, ya, sampai pulang malam begini," sindirku lirih, berakting sedih."Iya, maaf, ya." Dia meraih kepalaku, hendak menciumnya. Gegas kutarik diri agak sedikit menjauh. Jijik sekali rasanya hendak disentuh olehmu, Mas.Bersambung ...Di waktu yang bersamaan, Azka Hamam kembali ke rumah. Diam-diam masuk, lalu mengusap puncak kepala sang istri dari belakang. Pria gagah itu memberikan kejutan kecil untuk sang istri. Tadinya, ia berencana membujuk sang istri, demi kesehatan."Astaghfirullah! Mas, aku kaget," pekik Allisya yang tak menduga suami akan kembali."He he he ... maaf, maaf. Masih gak enak perutnya?" tanya Azka, duduk di lantai sementara istrinya bangun dan duduk di sofa. Tatapannya tertuju pada bagian tubuh yang tadi Allisya bicarakan. "Ini juga sakit?" tanyanya, menunjuk itu."Enggak sakit. Cuma gak nyaman aja. Terasa berat, kayak bengkak gitu, Mas. Terus, kalau kesentuh ujungnya sakit." Allisya pun tanpa malu membeberkan."Semalam juga sakit? Kenapa enggak bilang?" tanya Azka lagi, mengingat kehangatan semalam. Ia tidak habis pikir, jika sampai menyakiti istrinya."Ya ... gimana. Mas suka," kata Allisya, malu-malu."Lain kali bilang, Sayang, kalau ada yang sakit. Ya, sudah. Sekarang kita ke dokter, ya?" bu
Pagi menjelang siang, di sebuah bangunan bertingkat, kini keluarga Allisya berada. Sebuah gedung mirip dengan rumah susun elit yang ada di kota asal mereka. Dan ternyata, tempat itu adalah sebuah panti jompo.Tadi, ketika pemandu wisata menanyakan soal Afifah--teman Khiara yang tinggal di sana, mereka mendapatkan informasi bahwa Afifah sudah berangkat bekerja bersama teman barunya (kemungkinan Khiara). Sang pemilik rumah sewa itu pun memberikan alamat tempat bekerja Afifah.Dan benar saja, Khiara ada bersamanya, sama-sama mengenakan seragam suster. Usut punya usut, rupanya Afifah sudah lama bekerja sebagai pengasuh lansia di tempat itu. Kini mengajak Khiara bekerja di sana pula karena memang sedang membutuhkan tenaga kerja baru."Kenapa Mama sampai nyusulin Khia ke sini?" tanya Khiara, tak menyangka. Sebelumnya, ia memang sempat memberikan alamat rumah sewa yang temannya tinggali. Tidak pernah menduga jika mama sambungnya sampai rela menyusul."Karena mama khawatir sama kamu, Nak." Na
Keduanya kini telah sampai di depan sekolah Ziya. Menyambut kedatangan Ziya yang selalu ceria dengan semringah. Karena besok, mereka akan pergi berlibur ke Jepang.Masuk ke dalam mobil, bercerita sepanjang jalan dengan antusias. Mulai dari kegiatan di sekolah, sampai tingkah polah Ziya dan teman-temannya di sekolah. Allisya dan Azka bergantian menyahuti penuh ekspresi."Ziya juga bilang ke teman-teman, kalau Ziya mau liburan ke Jepang. Teman-teman semua iri, mau juga katanya, Ma. Apa boleh, Ziya ajak mereka kapan-kapan?" tanya Ziya antusias."Wah, kalau mengajak teman tidak bisa sembarangan, Sayang. Apalagi Jepang itu sangat jauh. Nanti orang tua mereka khawatir," jelas Allisya, juga ditambahi penjelasan ringan oleh Azka.***Pukul 3 sore, Allisya beserta rombongan keluarga sudah sampai di Kota Sapporo setelah menempuh perjalanan kurang lebih 9 jam. Kota yang terletak di Pulau Hokkaido, pulau terbesar kedua di Jepang.Mereka sengaja tidak mendatangi Ibukota Jepang, demi menghindari ke
"Saudara Dareen dinyatakan bersalah atas kasus tabrak lari yang terjadi pada tanggal 20 Februari 2021, yang mengakibatkan korban atas nama Ibu Fitrinariza Azizah meninggal dunia.""Berdasarkan laporan yang baru masuk dua minggu lalu, pelaku tidak dinyatakan sebagai DPO atas kasus ini, sehingga vonis hukuman bisa saja berkurang."Allisya menemani suaminya yang hari ini sangat tegang menghadapi sidang. Nadia dan Emir pun turut hadir, tak kalau tegang karena ternyata Dareen memang bukan DPO atas kasus ini sehingga tidak memberatkan hukumannya. Ini semua karena pihak Azka Hamam tidak melapor sejak awal."Dengan ini, pelaku dijatuhkan hukuman kurungan selama lebih kurang 6 tahun penjara, dan denda sebesar lebih kurang 12 juta rupiah."Mendengar itu, Azka seketika tertunduk lemah. Rasanya, hukuman itu tidak setimpal dengan apa yang terjadi dengan mendiang istrinya.Namun ternyata, vonis hukuman belum selesai dibacakan. Ada sederet kasus berat yang Dareen dan papanya lakukan sejak sang papa
Seperti yang telah direncanakan, Nadia dan Emir tiba di rumah Azka Hamam diantar oleh sopir yang Allisya tugaskan. Keduanya mengucap salam bersama, disambut hangat oleh anak menantu dan cucu sambung yang ceria."Masuk, Ma, Pa." Allisya menggandeng sang mama."Iya. Oh, iya. Pak Didit sudah mama suruh makan di resto utama, biar lebih dekat. Nanti dia akan jemput kalau kita sudah selesai." Nadia menjelaskan. Karena biasanya, Allisya suka mengajak serta sopirnya makan bersama. Namun malam ini, Nadia ingin berbicara penting dengan anak dan menantunya."Oh, begitu. Ya sudah, Ma. Terima kasih," ucap Allisya. Meski restoran telah sepenuhnya beralih ke tangannya, namun Allisya selalu menghargai apa pun keputusan mamanya. Termasuk seperti malam ini, mengizinkan sopirnya makan sepuasnya di sana.Semua berkumpul di ruang makan, menikmati suapan demi suapan masakan yang Allisya buat. Udang asam manis, cah kangkung, dan perkedel kentang ayam kesukaan mamanya."Alhamdulillah ... makanannya enak-enak
"Ziya tau, kalau Bunda sedang hamil saat itu?" tanya Allisya, yang hanya mendapatkan tatapan tak mengerti dari Ziya."Emm ..." Ziya menggeleng. Ia masih sangat terlalu kecil untuk memahami apa yang terjadi, sebelum bundanya meninggal karena tertabrak mobil Dareen. "Nenek suka cerita. Katanya, bunda saat itu sedang ada dedek bayinya di perut. Sebentar lagi mau lahir," jelasnya kemudian.Allisya mengangguk-angguk. Ia tidak mau memperpanjang, sebab, sejujurnya ia cemburu. "Kita masuk, ya, Sayang," ajak Allisya setelah memarkir mobilnya di garasi rumah Azka.Keduanya pun masuk bersamaan, dengan perasaan masing-masing. Di dalam, Allisya menyiapkan pakaian ganti untuk putri sambungnya, lantas menemani sang putri agar tertidur pulas.Wanita cantik itu tanpa sadar mengusap perutnya rata, berdoa agar Allah segera mengirimkan makhluk kecil di dalam sana untuk melengkapi kebahagiaan mereka. Ada sedikit kekhawatiran, takut kalau-kalau ia tidak bisa hamil seperti sang mama.'Ah, tidak, tidak! Mama