Pak Adit segera mengejar ku sampai di parkiran mobil pun menjadi heran. "Tunggu Ayu! Kamu kenapa?" "Sebenarnya, apa tujuan Pak Adit mengatakan pada semua orang kalo Ayu calon istri Pak Adit?" tanyaku meminta kejelasan. "Bukankah, kamu ingin saya membantumu agar mereka nggak merendahkanmu lagi?" sergah Pak Adit merasa benar. Oh, jadi Pak Adit hanya membantu saja tanpa ada perasaan khusus padaku. Malangnya kamu Ayu, sudahlah mungkin aku bukan tipe Pak Adit. Wanita miskin sepertiku seharusnya bersyukur, Pak Adit masih mau menerima sebagai asisten. "Pak, kita pulang aja. Ayu capek!" kataku sambil masuk kedalam mobil. "Kamu nggak mau makan lagi? Kan tadi blom habis nasinya," Pak Adit membujuk agar masuk lagi. "Ayu udah kenyang, antar Ayu pulang aja Pak!" Pak Adit yang menggeleng pun terpaksa menuruti dan berjalan memutar, lalu membuka pintu mobil dan masuk. Pak Adit menoleh ke arahku sebelum menghidupkan mobil. Namun, aku memalingkan wajah dan memandang keluar jendela. Suara ramai
"Kalian ini apa-apaan, sih? Dari gedung sampai sini, itu aja yang kalian ucap. Apa salah kalo saudaraku miskin, toh kalian juga dulu miskin sebelum kenal denganku," hardik Om Seno marah. Makjleb, perkataan Om Seno barusan seperti membuat mereka berdua tertampar. Jadi, dulunya mereka juga miskin. Huh, dasar sombong! gerutu ku dalam hati. Aku masih penasaran dengan cerita yang sebenarnya. Tentang Om Seno dan keluarganya, benarkah Marissa itu cuma anak tiri Om Seno lalu seperti apa masa lalu anak istrinya itu sebelum kenal Om Seno. Aku harus bertanya pada Om Seno nanti. "Ayo, Mas! Kita pulang sekarang, aku udah ngantuk," ajak Tante Fitri sambil menguap. "Mbak, kami pulang dulu ya! Kapan-kapan nanti Seno kemari lagi," ucap Om Seno pamit. "Ya, hati-hati dijalan, No! Terima kasih udah ngajak Mbak ke pesta," jawab Ibu senyum dan melambai tangan. Kulihat Marissa hanya mencibir sinis dan Tante Fitri menutup kaca mobil dengan angkuh. Ibu lalu mengajakku masuk kerumah, kami barengan melepa
Setelah sehari merehatkan badan, aku masuk kerja kembali seperti biasa. Pukul enam pagi sudah tiba di kediaman Pak Adit. Jika biasa Pak Adit masih memakai piyama, kali ini sudah bersiap akan olahraga. Walaupun hati kecewa, tapi aku tetap bersikap biasa agar Pak Adit tidak curiga. "Pagi, Pak! Ayu akan menyiapkan pakaian dan sarapan," Aku menyapa Pak Adit yang berdiri di halaman rumah. "Ya, masuk aja! Saya akan olahraga sebentar," jawab Pak Adit sambil melakukan pemanasan. Gegas aku masuk ke dalam rumah dan naik ke lantai atas. Kamar Pak Adit sudah rapi, aku masuk ke ruang ganti pakaian. Saat menyiapkan pakaian kerja Pak Adit, aku melihat sebuah kotak kecil di meja aksesoris. Kotak apa itu? Dari bentuknya saja sudah mewah, sepertinya kotak cincin. Penasaran, aku pun membukanya. Kilau cahaya keluar saat kotak terbuka dan membuat mataku membulat. Benar, sebuah cincin dengan mata berlian mahal. Untuk siapa Pak Adit membeli cincin ini, apa ada wanita istimewa di hati Pak Adit? Wanita i
"Oh ya, Pak Adit kenapa nggak datang malah mengutus kamu calon istrinya?" tanya Pak Gading heran, mungkin hanya mengenalku sebagai calon istri Pak Adit. "Pak Adit nggak bisa datang karena ada rapat. Saya sebagai asisten Pak Adit sudah mendapat mandat dari beliau untuk membahas hal perusahaan dengan anda," jawabku tegas. Ya, aku harus bisa menunjukkan wibawa seorang asisten Bos besar. Pak Gading yang awalnya ragu kemudian menghela napas. Dia juga menyerahkan sebuah map, aku mencoba membaca dan mempelajari. Aku mengerinyitkan dahi. "Apa perusahaan anda sudah separah ini?" "Ya, karena itu saya meminta bantuan pada Pak Adit untuk memberi pinjaman modal sebesar sepuluh milyar," jawab Pak Gading tertunduk lesu. "Tapi, kami nggak bisa mempercayai anda begitu saja, Pak!" ujarku menolak. Kini saatnya aku membalikkan ucapannya padaku dulu. "Kenapa? Bukankah modal segitu gampang buat Pak Adit?" tanyanya heran. "Memang gampang, tapi kami nggak percaya begitu saja pada anda. Jadi, maaf kam
"Gimana hasilnya?" tanya Pak Adit setelah aku tiba di kantor. Senyumku mengembang dan duduk di sofa merebahkan tubuh. Pak Adit yang baru siap rapat juga sedang bersantai, lalu berjalan dan duduk di depanku. Aku pun menceritakan dari awal hingga akhir. Tidak tahu apakah Pak Adit menerima sikap dan keputusanku tersebut, karena beliau cuma mengangguk saja. Sambil berpangku kaki dan bersedekap tangan, Pak Adit merenung sejenak. "Apa Pak Adit setuju dengan negoisasi Ayu dengan Pak Gading?" tanyaku harap-harap cemas. "Walaupun seharusnya kamu nggak perlu menyamakan dengan kejadian dulu, tapi itu sudah bagus! Yang penting ada bukti untuk menyelesaikan masalah perusahaan Pak Gading. Saya yakin Pak Gading nggak perlu meminjam dari saya lagi," jawab Pak Adit percaya diri. Lega hatiku mendengar perkataan Pak Adit. Ya siapa tau setelah Pak Gading bisa menyelesaikan masalah, uang itu bisa kembali padanya lagi. Dengan begitu tidak merepotkan Pak Adit. "Kita tunggu saja kabar dari Pak Gading b
"Banyak loh kisah cinta antara Bos dengan asisten atau sekretarisnya. Tapi kulihat, Pak Adit lebih suka kamu daripada sekretarisnya," kilah Desi masih kukuh. Aku menghembuskan napas, sebenarnya aku juga ingin seperti di kisah itu. Tapi, selama Pak Adit tidak mengatakan perasaannya ya aku anggap saja hubungan kami cuma sebatas pekerjaan. Capek kaki berkeliling, aku mengajak Desi duduk di taman dekat perusahaan. Sore gini banyak orang dan pasangan yang sedang menikmati sore di taman. Ada yang sedang bercakap, bermain dan juga olahraga. *** Sesuai janji, aku akan datang ke perusahaan Pak Gading. Untuk menagih syarat yang akan dipenuhi oleh Bos barang impor itu. Aku juga sudah mengatakan pada Desi, dia menyambut senang dengan kedatangan ku. Saat Desi mengajakku ke ruangannya, teman lama yang berpapasan denganku terlihat aneh. Bahkan dari bisikan mereka terdengar ngilu. "Lihat, si Ayu itu ngapain lagi kesini? Apa dia mau melamar kerja lagi disini?" "Entah, kalo aku sih mana mau! Mal
Berita penangkapan Terry dan geng segera viral dan masuk TV. Bahkan ada yang menyiarkan dari internet, mungkin diam-diam karyawan perusahaan Pak Gading merekam kejadian tersebut. Aku menyaksikan dari ponsel karena tidak ada televisi di rumah. Terry menutup wajahnya saat di gelandang polisi. Saat Polisi memberikan keterangan di lapas pada wartawan, membeberkan kejahatan Terry dan komplotannya. Menurut Pak Gading, sidang akan berjalan Minggu depan. Beliau memintaku dan Pak Adit untuk hadir menyaksikan. Aku belum mengkonfirmasi soal ini pada Pak Adit, karena beliau pasti enggan untuk terseret dalam kasus itu. "Gimana, Pak Adit mau hadir dalam persidangan?" tanyaku saat berada dalam kantor. "Saya nggak mau, kamu aja yang datang. Minta temani Desi, jangan sendirian," perintah Pak Adit. "Baik, Pak! Saya akan mengabari Desi nanti," kataku lalu mencatat hal penting dalam buku. Tok, tok, tok Terdengar pintu diketuk, "Masuk!" seru Pak Adit. Sekretaris membuka pintu lalu memberi hormat.
Sidang kasus Terry atas penggelapan uang dan barang akhirnya digelar. Ditemani Desi aku hadir dan duduk dibarisan saksi. Tampak hadir Om Haris dan Tante Mona juga yang membuatku tak percaya mantan mertua dan mantan suami serta istri barunya. Saat mereka semua melihatku juga tak kalah kaget. Namun, aku hanya diam saja sambil memberi senyum. Mantan mertua dan Maya mencibir membalas senyumku. Tidak dengan Mas Lucky yang terus menatapku. Maya yang tau dengan sikap suaminya menjadi kesal dan menyenggol Mas Lucky. Lelaki yang dulu pernah menyematkan cincin di jariku hanya kikuk lalu menoleh ke arah Maya. Sidang dimulai, masing-masing pengacara kedua pihak memberi argumen. Terry mendapatkan pengacara pasti Pak Haris yang menyewa dengan pinjaman uang Pak Adit. Aku hanya kasihan melihat keadaan mereka. Akhirnya setelah mendengar semua argumen, JPU dari Kejaksaan Negeri menuntut Terry hukuman lima tahun penjara. Hakim menerangkan beberapa pasal diantaranya: Pasal 374Penggelapan yang di