“Bayangkan kalau semua versi dirimu… menatapmu sekaligus.” Itulah yang terjadi. Naira membuka mata, dan di sekelilingnya ada puluhan dirinya—Naira kecil dengan seragam SD, Naira remaja berjerawat, Naira yang hampir jadi TKI dengan koper usang, bahkan Naira yang sudah renta dengan wajah penuh keriput. Semua menatapnya. Tapi tak satupun tersenyum. Di atas mereka, akar merah menjulur seperti lampu gantung raksasa, tiap denyutnya menyalakan wajah-wajah itu dengan cahaya menyeramkan. Di tengah lingkaran, kursi kosong menunggu… kursi yang terbuat dari tulang. Suara bergema dari akar, dalam, berat, bukan manusia: “Duduklah, pewaris. Sidang dimulai. Kau harus memilih siapa dirimu—sebelum aku memilih untukmu.” Bayangan-bayangan itu bergerak. Bukan seperti manusia, tapi seperti potongan cermin hidup yang memantulkan semua masa lalu Naira. Ada yang berbisik, ada yang menangis, ada pula yang menertawakan dengan suara sinis yang menusuk telinga. “Kalau kau memilih jadi aku, kau akan tetap
“Aku memilih…” Suara Naira berhenti sepersekian detik sebelum kata terakhir keluar. Tapi kakinya sudah bergerak—menembus riak akar merah, menuju perempuan bergaun bunga itu. Revan memekik, “Naira! Jangan!” Terlambat. Begitu ujung kaki Naira menyentuh riak itu, dunia di sekitarnya pecah menjadi kepingan cahaya. Jalanan, gedung, bahkan langit abu-abu itu tercerai-berai seperti kaca dihempas palu. Yang tersisa hanya tanah hitam dan langit kosong tanpa bintang. Perempuan itu berdiri di depannya, kini wajahnya tak lagi identik dengan Naira. Matanya lebih dalam, kulitnya pucat seperti kertas, dan keris di tangannya bersinar dengan cahaya putih—cahaya yang menusuk mata. “Kau membuat pilihan yang akan memutus masa depanmu sendiri,” katanya pelan. “Tapi ini satu-satunya cara menghentikan Balian Waktu sebelum dia memakan semua jalur.” Naira mencoba berbicara, tapi suaranya tertelan angin yang tiba-tiba berputar kencang. Dari kejauhan, terlihat sebuah pohon raksasa—bukan pohon biasa, tapi
Langit di atas Jakarta tidak lagi biru. Bukan mendung, bukan juga malam. Warna itu… abu-abu pekat, seperti debu yang disapu dari lembaran tua lalu digantung di udara. Naira berdiri di atap gedung parkir, menatap simbol akar raksasa yang perlahan muncul di antara awan. Setiap garisnya berdenyut, mengeluarkan cahaya merah samar—mirip dengan simbol di bawah tulang selangkanya. “Itu tanda kalau Balian Waktu sudah menjejak di dunia ini,” kata Revan, suaranya datar, tapi matanya penuh waspada. Dari bawah, sirine polisi meraung, tapi tak ada kendaraan yang bergerak. Semua macet, orang-orang berdiri mematung, kepala mendongak, mata kosong menatap langit. Penjaga menghampiri Naira, nafasnya berat. “Kalau simbol itu lengkap… waktu akan dilipat. Satu hari kita… bisa jadi seribu tahun bagi dia.” Naira menelan ludah, jarinya secara refleks menyentuh liontin di leher. Getarannya kini konstan, seakan benda itu memanggil sesuatu—atau dipanggil. Revan memutar tubuh, matanya menyapu atap gedung
Jari dingin itu akhirnya menyentuh pundak Naira. Bukan cengkraman keras—hanya sentuhan ringan, tapi cukup membuat lututnya goyah. Saat ia menoleh, bayangan itu tidak menyerang. Ia hanya berdiri… tersenyum tipis dengan bibir yang hampir mirip miliknya. “Kau akan kehilangan semua kalau terus lari.” Suaranya serak, seperti berasal dari paru-paru yang dipenuhi debu. Revan menarik Naira lagi, tapi si bayangan tidak mengejar. Ia justru mengangkat telapak tangan, memperlihatkan sebuah benda kecil—liontin perak berbentuk mata yang terus berputar, meski waktu di sini mati. “Ini milikmu… di masa depan yang sudah kubunuh.” Ucapan itu membuat Naira terhenti. “Kenapa… kau memberikannya padaku?” Bayangan itu tersenyum pahit. “Karena satu-satunya cara menutup gerbang… adalah mengorbankan orang yang memegangnya.” Naira menatap liontin perak itu, kilauannya memantulkan cahaya merah samar dari keris di genggamannya. Jantungnya berdetak cepat meski di Jalur Tanpa Detik, detak itu tak seharusnya
“Ada yang datang ke pasar untuk membeli… dan ada yang datang untuk mengambil kembali miliknya tanpa izin.” Udara di Pasar Waktu tiba-tiba membeku. Semua orang berhenti bergerak. Bahkan bunyi detak jam saku di pergelangan tangan mereka lenyap, seakan waktu sendiri menahan napas. Sosok berjubah putih itu melangkah maju. Kakinya tidak menyentuh tanah, tapi setiap jejaknya meninggalkan bekas retakan halus di udara—seperti kaca yang nyaris pecah. Buku tebal di tangannya terbuka, halaman-halamannya berisi nama-nama yang bergerak sendiri, bergeser, menghapus, lalu muncul kembali. Naira merasakan dorongan aneh di dalam dadanya, seperti namanya sedang dipanggil dari halaman itu. Revan menariknya mundur, berbisik cepat di telinganya, “Itu Balian Waktu. Kalau dia menulis ulang namamu… semua yang kau jalani akan berubah. Termasuk mereka yang kau cintai.” Naira menatap mata kosong itu—dan detik berikutnya, dunia di sekitarnya mulai kabur. Naira menatap mata kosong itu—dan detik berikutnya,
“Tempat ini cuma ada untuk mereka yang sudah kehilangan arah pulang.” Naira terbangun di kursi kayu, perutnya terasa seperti diikat simpul. Udara di sekelilingnya berbau aneh—campuran dupa, darah kering, dan hujan yang sudah basi. Ia menoleh. Dunia di luar dirinya berubah total. Bukan lagi penthouse, bukan lagi Jakarta. Jalanan sempit membentang, dipenuhi kios-kios tanpa papan nama. Lampu-lampu gantung berwarna merah redup menggantung rendah, menyinari wajah-wajah pucat yang bergerak tanpa suara. Orang-orang di sini tidak berjalan… mereka seperti melayang setengah inci di atas tanah. Mata mereka kosong, kulit mereka pucat, dan di pergelangan tangan masing-masing tergantung jam saku perak yang berdetak mundur. “Ini di mana?” bisik Naira. Revan berdiri di belakangnya, menyampirkan kain hitam ke kepalanya. “Pasar Waktu. Satu-satunya tempat yang bisa menyembunyikan dari kail itu. Tapi ini bukan tempat yang aman.” Dari sudut jalan, seorang pria tua tersenyum—senyum yang terlalu lebar