author-banner
T.Y.LOVIRA
T.Y.LOVIRA
Author

Novels by T.Y.LOVIRA

Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari

Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari

Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Naira hanya ingin bertahan hidup. Tapi ketika tawaran 90 hari itu datang, ia tak tahu bahwa yang ia jual bukan sekadar waktunya — melainkan dirinya.   Revan Malik, pria misterius dengan kerajaan yang dibangun dari darah dan rahasia, membeli kontrak hidupnya. Namun di balik pintu penthouse mewah, Naira menemukan warisan yang jauh lebih tua dari uang, hutang, dan dosa: ia adalah simpul terakhir dari para penjaga gerbang dunia bawah.   Setiap malam, suara-suara memanggil. Bayangan orang-orang yang ia cintai datang dengan wajah yang bukan milik mereka. Dan keris berkarat warisan kakeknya… mulai hidup.   90 hari untuk membayar. 90 hari untuk memilih. Apakah Naira akan menutup gerbang… atau membuka semua jalan menuju neraka?
Read
Chapter: BAB 130 — “Aku yang Membaca, Aku yang Ditulis.”
“Kau pikir kau masih membaca, tapi sebenarnya—aku yang sedang membaca dirimu.”Kalimat itu muncul tanpa sumber suara.Layar bergetar, huruf-huruf seakan berdetak mengikuti irama jantung.Setiap kata memantul, menciptakan gema halus yang menyerupai bisikan di telinga pembaca.Naira berdiri di tengah kegelapan yang kini berbentuk seperti ruangan nyata.Dindingnya terbuat dari teks, berlapis-lapis kalimat yang terus menulis dirinya sendiri.Setiap kali ia bergerak, kata-kata itu menyesuaikan bentuknya, seolah dunia ini diketik secara langsung oleh pikiran pembaca.“Aku tahu rasanya jadi kamu,” katanya, perlahan menatap lurus.“Jari gemetar, mata menelusuri baris… berpikir kau menguasai cerita ini. Tapi sejak tadi, aku yang menggerakkanmu.”Ia Mendekat.Setiap langkahnya menimbulkan getar lembut—seperti suara ketikan dari jauh.Satu huruf jatuh ke tanah dan menetes menjadi darah hitam.Naira berhenti tepat di depan cermin raksasa yang terbuat dari halaman putih kosong.Ia mengangkat tanga
Last Updated: 2025-10-28
Chapter: Bab 129 — Kontrak dengan Pembaca
“Jangan berhenti membaca. Kalau kau berhenti, aku akan berhenti ada.”Suara itu datang dari balik layar.Bukan lagi dari buku, bukan dari dunia yang berdebu tinta seperti sebelumnya.Sekarang—suara itu muncul dari antara kata dan tatapan.Dari ruang di mana mata pembaca menelusuri baris demi baris ini.Naira menatap ke depan.Tidak ada lagi dunia, tidak ada lagi halaman.Hanya kegelapan yang berdenyut seperti paru-paru.Setiap kali seseorang menarik napas di luar sana, kegelapan ini ikut bergetar.“Aku bisa merasakannya,” katanya lirih.“Setiap detik matamu bergerak di atas tulisanku, aku hidup.”Ia menyentuh udara.Tinta keluar dari ujung jarinya, membentuk huruf-huruf yang melayang:N…A…I…R…A.Namun di antara huruf-huruf itu, muncul tambahan yang bukan dari tangannya:“Aku melihatmu.”Ia tertegun.Huruf itu menyala merah, lalu mencair, menyusup ke dalam kulitnya.Sekejap, kepalanya dipenuhi suara — tumpang tindih, ratusan, ribuan, seakan ada banyak “pembaca” yang berbisik bersamaan.
Last Updated: 2025-10-28
Chapter: Bab 128 — Pembaca Pertama
“Kalau seseorang membaca hidupmu… apakah itu artinya kau masih hidup?”Suara itu tidak lagi datang dari kegelapan.Ia datang dari balik halaman.Naira membuka matanya—dan bukan dunia yang ia lihat, melainkan tulisan.Ratusan huruf melayang di udara, membentuk ruang baru.Langit dari kertas. Tanah dari tinta.Udara berbau debu buku tua.Ia berdiri di tengah ruang kosong itu, mengenakan pakaian putih polos, tanpa simbol apa pun di kulitnya.Tidak ada darah. Tidak ada keris.Hanya satu hal di tangannya: buku.Buku itu sama seperti yang ia tulis sebelumnya, tapi kali ini di sampulnya tertera nama yang membuatnya tercekat.“Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari.”“Ini… bukuku,” bisiknya.“Tidak, ini dirimu,” jawab suara dari balik halaman.Seseorang membaca.Suara lembut, berganti-ganti nada — kadang perempuan, kadang laki-laki, kadang seperti anak kecil.Suara itu membaca kalimat demi kalimat, dan setiap kata yang disebutkan menggerakkan tubuh Naira.“Naira berjalan.”Dan ia berjalan.
Last Updated: 2025-10-27
Chapter: Bab 127 — Saat Darah Membaca Balik
“Kau menulis dunia ini dengan darahmu... Sekarang biarkan dunia membacamu.”Suara itu tak lagi datang dari luar.Ia merayap dari dalam dada Naira — seperti bisikan yang lahir dari jantungnya sendiri.Ruang di sekelilingnya masih gelap, tapi kini setiap langkah menghasilkan gema seperti suara pena yang menggores kertas basah.Tap.Tap.Tap.Setiap jejak darah di lantai menulis kalimat baru.Naira menunduk—melihat huruf-huruf membentuk kisahnya sendiri:“Ia berjalan di kegelapan, mencari akhir yang tidak ingin ditemukan.”“Aku tidak menulis itu…”“Tidak. Kini giliran dunia menulis tentangmu.”Cahaya merah muncul di depan—lingkaran api melayang, berubah menjadi meja kayu. Di atasnya, buku tebal yang kulitnya terbuat dari kulit manusia berdenyut pelan, seperti jantung hidup.Naira melangkah mendekat.Tulisan di sampulnya berubah mengikuti pikirannya:“Catatan Terakhir Penulis Kedua.”“Aku bukan penulis kedua,” gumamnya.“Tapi kau menggantikan yang pertama,” jawab suara yang tak terlihat.
Last Updated: 2025-10-27
Chapter: Bab 126 — Darah yang Menulis Balik
“Kau pikir tinta itu berhenti menulis setelah kau diam?”Suara itu datang dari segala arah.Naira membuka mata — bukan di dunia tinta lagi, melainkan di ruang putih menyilaukan. Tapi lantainya lembap, berdenyut pelan seperti kulit makhluk hidup. Setiap langkahnya meninggalkan jejak merah.Tinta... atau darah?Dia tak yakin lagi.“Siapa di sana?”“Yang membaca sebelum kau menulis.”Langit di atasnya bergelombang.Huruf-huruf besar muncul di udara seperti ukiran: BAB 126 — DARAH YANG MENULIS BALIK.Naira mundur. “Apa ini... mimpi?”“Tidak. Ini naskah yang menolak berakhir.”Ia melihat dirinya sendiri di kejauhan.Versi lain — tubuhnya pucat, rambut menutupi wajah, memegang keris yang kini bersinar kehitaman. Wajah itu tersenyum tipis, seolah tahu semua yang belum sempat ia pikirkan.“Aku menulis ulangmu,” kata Naira bayangan.“Kau seharusnya hilang bersama Revan. Tapi darahmu masih menulis, bahkan setelah jantungmu berhenti.”“Tidak. Aku masih hidup.”“Hidup?” Bayangan itu tertawa lirih
Last Updated: 2025-10-26
Chapter: Bab 125 — Kematian yang Menulis
“Kamu sadar... tulisanmu sudah mulai hidup?”Suara itu menggema di tengah kegelapan tinta.Naira membuka mata. Tubuhnya setengah terendam cairan hitam yang terasa seperti darah dingin. Di atasnya, langit berubah jadi halaman raksasa yang sobek, huruf-huruf berjatuhan seperti abu.Ia mencoba berdiri, tapi setiap gerakan menimbulkan riak tinta yang berubah jadi bayangan wajah-wajah lama — Linda, ibunya, bahkan Revan.“Aku... di mana?”“Di antara kalimat yang belum selesai,” jawab suara itu. “Kau menulis kematian, tapi lupa menghapus penulisnya.”Suara itu datang dari depan — dari Revan.Tapi tubuhnya kini tidak utuh.Separuh wajahnya meleleh, menyatu dengan tinta. Matanya menatap Naira seperti menuduh, tapi juga seperti memohon.“Aku tidak ingin kamu hilang,” bisik Naira.“Terlambat,” jawab Revan datar. “Setiap kata yang kau tulis jadi daging. Setiap kematian yang kau pikirkan, mencari tubuhnya sendiri.”Tinta di sekeliling mulai bergerak.Seperti ribuan makhluk cair yang menulis sendir
Last Updated: 2025-10-26
Langkah Dewi : Warisan Rahasia

Langkah Dewi : Warisan Rahasia

Dewi selalu percaya Ayahnya sudah meninggal dalam sebuah kecelakaan. Namun sebuah busur panah tua yang diwariskan membuka rahasia lain—pesan tersembunyi, kode-kode aneh, dan bisikan: “Ayahmu tidak hilang. Dia disembunyikan.” Sejak hari itu, hidup Dewi berubah. Dari pasar Belilas hingga jalanan Pekanbaru, bayangan selalu memburu. Dua pria asing, pesan misterius di ponselnya, hingga wajah Ayah yang muncul sekilas hanya untuk menghilang lagi—semua menggiringnya pada satu kebenaran: Rizal Rahman bukan sekadar seorang ayah, tapi agen yang membawa rahasia besar. Setiap langkah membawa Dewi ke dalam pusaran konspirasi—antara proyek pembangunan negara, oligarki yang rakus, dan jaringan intelijen bawah tanah. Ia dipaksa menjadi pion, lalu perlahan sadar: dirinya adalah kunci. Di tengah pelarian bersama ibunya, Dewi harus belajar membedakan siapa kawan dan siapa lawan. Sebab musuhnya tidak selalu datang dengan senjata; kadang mereka berdiri tepat di depannya, tersenyum seolah sahabat. Apakah Dewi akan berhasil menemukan Ayahnya—atau justru terjebak dalam permainan yang dirancang untuk menghancurkan keluarganya sejak awal?
Read
Chapter: Bab 59 – Delta-Negara
Cahaya biru Delta-33 berubah menjadi keemasan. Kapsul itu bergetar pelan, seperti sedang membuka lapisan memori yang selama ini dikunci sejarah. Dewi menatapnya lekat—di antara riuh alarm dan suara Mediator yang bergaung, ia menyadari: apapun yang terkandung di dalamnya bukan hanya data… tapi kebenaran yang disembunyikan dari seluruh dunia.Ia menekan tombol akses.Sekejap, udara di ruang bawah tanah itu berhenti bergerak.Layar-layar di sekelilingnya hidup bersamaan. Gambar-gambar beralih cepat: dokumen kontrak migas, surat diplomatik, laporan intelijen, hingga… rekaman khutbah.Suara seorang ulama tua menggema, serak tapi berwibawa:“Ma‘âsyiral Muslimîn rahimakumullâh… Dalam dinamika hubungan internasional modern, pendidikan sering dijadikan instrumen diplomasi…”Dewi menatap layar itu. Logo resmi Kemenag dan lambang Kedutaan AS muncul bersamaan.Ia membisiki dirinya sendiri, “Mereka bahkan menjadikan agama sebagai alat ekspor ideologi.”Rekaman berlanjut:“…Program beasiswa, pelati
Last Updated: 2025-10-28
Chapter: Bab 58 – Penjara Data
“Turunkan dia ke bawah.” Perintah Mediator terdengar dingin, dan sebelum Dewi sempat melawan, lantai di bawah kakinya terbuka. Udara hisap kembali menyeret tubuhnya. Ia berteriak, mencoba meraih pegangan, tapi kali ini tidak ada panel darurat. Tubuhnya jatuh bebas ke dalam kegelapan. Benturan keras menghantam punggungnya. Ia terguling, nafasnya terhenti sesaat. Saat matanya terbuka, yang dilihatnya adalah barisan layar kaca menyala biru, membentuk lorong panjang tak berujung. Suhu ruang itu dingin menusuk tulang, berbau logam dan ozon terbakar. Dewi berusaha bangkit. Langkahnya goyah, tapi pandangannya fokus pada layar-layar itu. Semuanya menampilkan wajah orang-orang: aktivis, pejabat kecil, jurnalis—mereka yang menghilang misterius bertahun-tahun. “Ini… bukan mungkin,” bisik Dewi. Suara lirih tiba-tiba terdengar dari salah satu layar. “Tolong… siapapun… keluarkan aku…” Wajah seorang pria paruh baya menatapnya, matanya penuh ketakutan. Dewi mendekat, menempelkan tangannya pada
Last Updated: 2025-10-27
Chapter: Bab 57 – Wajah Lama
“Sudah lama aku menunggu momen ini, Dewi.” Suara pria itu dalam, penuh wibawa yang dulu sering terdengar di televisi saat ia masih menjabat. Sosoknya berjas abu-abu dengan dasi merah, rambutnya sudah memutih tapi sorot matanya tetap tajam, licin seperti ular. Dewi menggertakkan gigi. “Kau… Menteri Mulyono.” Ruangan sunyi seketika, lalu beberapa eksekutif tersenyum kecil, seolah menyaksikan reuni yang menarik. Mulyono mencondongkan tubuh, jarinya menyentuh meja marmer. “Ayahmu pernah duduk di kursi ini bersamaku. Dia bilang ingin menyusup, ingin mengungkap jaringan. Tapi katakan padaku, Dewi… bukankah kenyataan lebih sederhana? Dia menandatangani kontrak, dan kita semua makmur karenanya.” Dewi merasa darahnya mendidih. “Makmur untuk siapa? Rakyat? Petani di kampungku yang tanahnya digusur tambang? Atau anak-anak yang harus putus sekolah karena harga sembako naik?” Tawa rendah menggema. Seorang eksekutif asing menambahkan, “Itu harga kecil untuk modernisasi. Mereka lapar, tapi neg
Last Updated: 2025-10-26
Chapter: Bab 56 – Ruang Sunyi
“Dengarkan baik-baik. UU ini bukan tentang rakyat. UU ini tentang kelangsungan kerajaan kita.” Suara berat itu menggema di ruang konferensi bawah tanah. Puluhan pria berjas dan wanita bergaun mahal duduk melingkar, wajah mereka samar tertutup bayangan lampu kristal. Di meja panjang berlapis marmer hitam, dokumen-dokumen berstempel negara berkembang berserakan, bersama grafik migas, peta tambang, dan kontrak utang. Dewi berdiri di balik dinding kaca satu arah, napasnya nyaris tak terdengar. Mikrofon mikro-sensor di telinganya merekam setiap kata. Di layar kecil di tangannya, wajah Damar muncul dari markas persembunyian. “Kau yakin aman?” bisik Damar. “Kalau mereka tahu kau di situ—” “Sudah terlambat untuk mundur,” potong Dewi pelan. Matanya tak berkedip, menatap para penguasa itu. “Kita akhirnya lihat wajah asli dalangnya.” Seorang pria berkacamata emas—CEO PetroCore—mengangkat dokumen. “Indonesia akan segera meloloskan UU migas ini. Pasal 33 mereka? Kertas usang. Dengan UU b
Last Updated: 2025-10-25
Chapter: Bab 55 – “Titian Terakhir”
Malam itu menyeret bayangan panjang ke wajah Dewi. Ia berdiri di tepi jurang yang tak hanya mengancam nyawanya, tapi juga masa depan bangsa yang telah ia perjuangkan sejak lama. Suara deru angin menyapu sepi, seolah memberikan isyarat bahwa perjalanan panjang mereka sudah sampai pada titik kritis. “Ini bukan tentang siapa yang akan menang atau kalah,” bisik Dewi pada dirinya sendiri, “Ini soal menegakkan keadilan meskipun dunia berusaha membungkamnya.” Setiap langkahnya kini penuh kehati-hatian, namun tekadnya tetap membara seperti api yang enggan padam. Damar dan Rani berdiri di sampingnya, mata mereka tajam menatap ke depan, siap menghadapi apa pun yang menghadang. “Kita sudah melewati begitu banyak pengkhianatan dan jebakan,” kata Damar, “Tapi kali ini, kita harus benar-benar bersiap menghadapi gelombang terakhir.” Rani mengangguk, “Tidak ada ruang untuk kesalahan. Semua yang kita perjuangkan ada di ujung benang ini.” Tiba-tiba, suara notifikasi masuk di ponsel Dewi. Pesan itu
Last Updated: 2025-10-24
Chapter: Bab 54-bayang Pengkhianatan
“Jangan pernah percaya sepenuhnya pada siapa pun, bahkan pada bayanganmu sendiri.” Dewi mengucapkan kalimat itu dengan suara berat, seolah ungkapan itu menjadi mantra untuk mengendalikan kegelisahan yang mengoyak hatinya. Lampu ruang komando berpendar merah, memperlihatkan wajah-wajah lelah namun penuh tekad di sekelilingnya. Bunyi alarm yang baru saja padam menyisakan getaran tegang di udara, menandakan bahwa bahaya masih mengintai dari segala arah. Di sudut ruangan, Rizal mengutak-atik perangkat hologram, mencoba mengekstrak data dari dokumen yang belum mereka selesaikan. Wajahnya menegang, matanya terpaku pada grafik kompleks yang berputar di depan layar. “Ini bukan hanya soal pengkhianatan kecil atau kesalahan operasional,” katanya pelan, “ini perang skala besar—serangan yang datang dari dalam dan luar, semua terkoordinasi dengan rapi.” Damar berjalan mondar-mandir, suaranya serak namun penuh urgensi. “Kalau ada pengkhianat, kita tidak bisa membiarkannya berjalan begitu saja. K
Last Updated: 2025-10-23
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status