
Langkah Dewi : Warisan Rahasia
Dewi selalu percaya Ayahnya sudah meninggal dalam sebuah kecelakaan. Namun sebuah busur panah tua yang diwariskan membuka rahasia lain—pesan tersembunyi, kode-kode aneh, dan bisikan: “Ayahmu tidak hilang. Dia disembunyikan.”
Sejak hari itu, hidup Dewi berubah. Dari pasar Belilas hingga jalanan Pekanbaru, bayangan selalu memburu. Dua pria asing, pesan misterius di ponselnya, hingga wajah Ayah yang muncul sekilas hanya untuk menghilang lagi—semua menggiringnya pada satu kebenaran: Rizal Rahman bukan sekadar seorang ayah, tapi agen yang membawa rahasia besar.
Setiap langkah membawa Dewi ke dalam pusaran konspirasi—antara proyek pembangunan negara, oligarki yang rakus, dan jaringan intelijen bawah tanah. Ia dipaksa menjadi pion, lalu perlahan sadar: dirinya adalah kunci.
Di tengah pelarian bersama ibunya, Dewi harus belajar membedakan siapa kawan dan siapa lawan. Sebab musuhnya tidak selalu datang dengan senjata; kadang mereka berdiri tepat di depannya, tersenyum seolah sahabat.
Apakah Dewi akan berhasil menemukan Ayahnya—atau justru terjebak dalam permainan yang dirancang untuk menghancurkan keluarganya sejak awal?
Read
Chapter: Bab 12 – Api di Langit Seoul"Ledakan tidak selalu membunuh… kadang ia justru membuka pintu rahasia." Cahaya putih menyilaukan menyapu seluruh blok pasar malam Seoul. Ledakan itu bukan sekadar bom biasa—ia memecah udara, menimbulkan gelombang panas yang membuat kaca-kaca jendela di radius 500 meter retak serentak. Dewi menutup wajahnya dengan tangan, telinganya berdenging. Tubuhnya terhempas ke tanah, nafasnya tercekat. “Dewi!” Ji-hoon meraih bahunya, menariknya ke balik kios yang sudah separuh hancur. Debu beterbangan, menyulitkan pandangan. Di tengah asap, siluet pria bermasker masih terlihat. Tubuhnya goyah, bahunya berdarah, tapi ia masih hidup. Remote di tangannya hancur berkeping-keping. “Dia… sengaja,” Ji-hoon menggeram. “Bom itu bukan untuk membunuh kita. Hanya pengalih!” Benar saja—suara teriakan terdengar dari arah pasukan Lingkar Merah. Beberapa dari mereka terlempar ke tanah, sisanya kacau balau karena serangan tiba-tiba. Dari langit, helikopter oleng. Lampu sorotnya berputar tak terkendali seb
Last Updated: 2025-09-12
Chapter: Bab 11 – Bayangan dengan Bom"Kadang, penyelamat dan algojo memakai wajah yang sama." Dewi membeku. Sosok bermasker itu berdiri hanya beberapa meter dari mereka, rompi penuh bahan peledak melekat di tubuhnya. Lampu jalan yang redup memantulkan kilatan logam di kabel-kabel detonator. Ji-hoon mengangkat pistol, mata menyipit. “Siapa kau?” Pria itu tidak langsung menjawab. Suaranya serak, teredam masker kain hitam. “Turunkan senjata kalian… atau aku ledakkan seluruh blok ini.” Pria berjas hitam, yang sejak tadi memimpin pengejaran, mendengus. “Kau pikir aku percaya ancaman konyol itu?” Ia memberi isyarat pada anak buahnya. “Jangan coba-coba!” Suara pria bermasker menggelegar. Ia mengangkat tangan kanannya, memperlihatkan remote kecil dengan tombol merah. “Satu sentuhan… dan semua orang di sini jadi abu. Termasuk Dewi Rahman yang kalian kejar.” Dewi menahan napas. Jantungnya berdegup kencang, busur di tangannya bergetar. Siapa orang ini? Kenapa tahu namaku? Ji-hoon mundur setapak, berdiri lebih dekat ke Dewi.
Last Updated: 2025-09-11
Chapter: Bab 10 – Pilihan yang Membakar"Setiap pilihan akan meninggalkan luka. Pertanyaannya: luka siapa yang harus kau pilih?" Dewi terpaku. Kata-kata pria asing itu bergema di kepalanya: Ayahmu masih hidup. Nafasnya tercekat. Tangan yang menggenggam busur bergetar hebat. Antara ingin percaya… dan takut itu hanya racun yang sengaja diteteskan ke telinganya. Ji-hoon menatapnya tajam. “Jangan dengarkan dia, Dewi. Itu cuma trik!” Pria berjas hitam itu tetap tenang. Senyum tipis terukir di wajahnya. “Aku bisa buktikan. Satu pesan dari Ayahmu… dengan tanda bintang di pojok kertas. Bukankah itu kode yang hanya kalian berdua tahu?” Mata Dewi melebar. “Bagaimana kau tahu itu?” Ji-hoon langsung menarik Dewi mundur. “Itu informasi yang bisa dicuri dari mana saja! Jangan termakan!” Pria itu mengangkat tangannya, memberi isyarat. Dari atas gedung, tiga titik laser bergerak di dada Ji-hoon. Satu langkah salah, tembakan bisa mengakhiri semuanya. Park berdiri terpaku di sudut lorong, wajahnya pucat pasi. “Kita… kita harus menyer
Last Updated: 2025-09-10
Chapter: BAB 9 – Tidak Ada Jalan Pulang“Kunci itu bukan sekadar benda. Itu tiket ke neraka, Dewi.” Suara Ji-hoon terngiang di kepala Dewi, bahkan ketika napasnya kini tersengal di balik tembok beton sebuah gedung tak berlampu. Bau asap mesiu masih melekat di udara. Di kejauhan, sirine polisi menggema, bercampur dengan dengung baling-baling helikopter yang perlahan menjauh—untuk sementara. Dewi meremas busurnya erat-erat. Jemarinya gemetar, tapi matanya menatap lurus ke Ji-hoon yang sedang menutup luka di lengannya dengan kain sobekan. Darah merembes, warnanya gelap di bawah cahaya kota yang temaram. “Berapa lama kita aman di sini?” bisik Dewi. Ji-hoon menoleh, pandangannya dingin. “Sepuluh menit, paling lama. Mereka pasti sudah tahu kita bergerak ke utara.” Park berdiri tak jauh dari mereka, matanya liar menatap sekitar. “Gedung ini punya akses ke jalur bawah tanah. Kalau kita bisa—” “Tidak ada bawah tanah yang aman kalau ada pengkhianat di antara kita,” potong Ji-hoon tajam. Park terdiam. Rahangnya mengeras. “Kau p
Last Updated: 2025-09-09
Chapter: Bab 8 – Buruan di Negeri Asing“Tidak ada tempat aman di negeri asing. Bahkan jalan tol pun bisa berubah jadi medan eksekusi.” Sirine mobil polisi terdengar samar dari kejauhan, bercampur dengan deru mesin mobil hitam yang terus menempel di belakang van putih Ji-hoon. Jalan tol Seoul yang basah membuat ban berdecit setiap kali Ji-hoon memutar setir. “Pegangan erat!” teriak Ji-hoon. Van berbelok tajam ke jalur kiri, hampir menabrak pembatas jalan. Dewi menjerit kecil, tubuhnya terhempas ke pintu. Dari kaca spion, ia melihat mobil hitam itu tidak goyah—bahkan semakin dekat. “Siapa mereka?!” desis Dewi panik. “Unit eksekutor. Mereka tidak akan berhenti sebelum kau ditangkap hidup-hidup,” balas Ji-hoon cepat. Dewi menggenggam logam bundar di saku jaketnya. Rasanya panas, seperti benda itu sedang memanggil bahaya. Peluru tiba-tiba menghantam kaca belakang. Pecahannya beterbangan. Dewi menunduk, menahan teriak. Ji-hoon menekan pedal gas, wajahnya tegang. “Kita harus menghilang dari radar. Kalau tidak, Seou
Last Updated: 2025-09-08
Chapter: Bab 7 – Orang Asing di Terminal 3“Jangan menoleh. Ikut aku sekarang.” Suara asing itu terdengar tepat di telinga Dewi saat pria berjaket hitam hampir menyentuh bahunya. Sebuah tangan kuat menarik pergelangan tangannya ke arah pintu darurat kecil di sisi lorong bandara. Dewi hampir berteriak, tapi tatapan pemuda itu begitu serius hingga ia menahan suara. Wajahnya muda, rambut hitamnya sedikit berantakan, sorot matanya tajam. “Apa—siapa kau?!” desis Dewi terengah. “Diam, kalau tidak mereka dengar,” jawabnya singkat sambil berlari menuruni tangga darurat. Tangga berbau besi dan cat tua bergema oleh langkah kaki mereka. Dari atas, suara sepatu keras terdengar semakin dekat. Dewi menoleh panik. “Mereka ikut masuk!” “Aku tahu. Karena itu kau harus cepat.” Pemuda itu mendorong sebuah pintu besi di bawah. Mereka keluar ke area servis bandara. Lampu temaram memantulkan bayangan kargo besar. Udara malam lembab, membuat Dewi makin gelisah. Ia melepaskan tangannya dari genggaman sang pemuda. “Aku tidak mengenalmu. Kenapa
Last Updated: 2025-07-10
Chapter: Bab 69 – Menghunus ke Diri Sendiri“Apa yang lebih menakutkan dari kematian itu sendiri, Naira?” Suara itu datang dari kegelapan koridor. Revan menatap sekeliling, tapi Naira tahu itu bukan suara Revan—itu suara pintu kesembilan, suara kontrak yang bersemayam di dalam darahnya. Langkahnya berat. Lantai koridor licin, basah, seolah terbuat dari darah yang baru saja ditumpahkan. Setiap pijakan meninggalkan jejak kaki merah yang cepat menghilang. Di ujung koridor, pintu itu berdiri. Pintu kayu tua dengan simbol-simbol merah berdenyut seperti nadi. Dari celah-celahnya, terdengar suara lirih… tangisan ibunya, tawa Linda, batuk ayahnya. Semuanya bercampur, memanggil namanya. “Naira…” suara ibunya bergetar. “Tolong aku… jangan biarkan aku hilang.” Tangannya gemetar menggenggam keris. Revan berdiri di sampingnya, tapi wajahnya kali ini gelap, matanya seperti retak kaca. “Kalau kau masuk, tak ada jalan kembali,” katanya pelan. “Pintu kesembilan hanya membuka kalau kau sudah siap membayar dengan sesuatu yang tak bisa dikem
Last Updated: 2025-09-12
Chapter: Bab 68 – Penjara Wajah“Kalau kau buka pintu itu… kau tak akan lagi mengenali siapa dirimu.” Suara Revan pelan, tapi gemanya terdengar dari segala arah. Naira menatap pintu raksasa berurat merah itu. Jantungnya berdetak seirama dengan denyut pintu. Luka di dadanya masih basah, tapi genggaman pada keris semakin kencang. “Aku sudah kehilangan semuanya, Revan. Apa lagi yang bisa diambil dariku?” Pintu berderit. Perlahan, akar merah yang menutupinya terurai, seakan membukakan jalan bukan karena kehendak Naira, tapi karena sesuatu di baliknya sudah menunggu. Begitu pintu terbuka, hawa dingin menerpa, membuat tubuh Naira gemetar meski peluhnya masih menetes. Ia melangkah masuk. Ruangan itu bundar, dindingnya tinggi menjulang, dan di setiap sisi—menempel wajah-wajah manusia. Linda. Ayahnya. Ibunya. Revan. Bahkan wajah Naira sendiri. Mereka tertanam di dinding seperti ukiran hidup, mata mereka terbuka, mengikuti setiap langkahnya. Suara lirih bergema, ratusan bisikan menyatu: “Kenapa kau tinggalkan kami…?”
Last Updated: 2025-09-11
Chapter: Bab 67 – Satu Simbol Tersisa“Apa kau tahu rasanya tinggal satu jiwa saja yang tersisa?” Suara Revan pecah di antara kabut, berat, tapi penuh kegetiran. Naira menoleh. Revan berdiri goyah, tubuhnya masih berdarah, tapi matanya tajam menatapnya. Simbol merah di bawah tulang selangka Naira berdenyut semakin cepat, seperti jantung kedua yang hendak meledak. “Jangan bicara seolah kau mengerti perasaanku,” balas Naira dengan suara bergetar. “Aku yang kehilangan—ibuku, adikku, bahkan wajah sendiri di cermin. Kau masih berdiri dengan bayangan-bayanganmu!” Revan tersenyum samar. “Justru karena itu aku tahu. Kau kira aku masih manusia penuh? Aku hanya sisa dari delapan bayangan yang kau bunuh.” Kabut di sekitar mereka bergerak liar, seperti tangan-tangan tak kasatmata meraih tubuh mereka. Dari jauh, terdengar suara gonggongan anjing bercampur tangisan bayi—suara yang tak masuk akal tapi menusuk ke kepala Naira. Dia menatap simbol merah di kulitnya. “Kalau pintu kesembilan terbuka… aku akan kehilangan apa lagi?” Rev
Last Updated: 2025-09-10
Chapter: Bab 66 – Delapan Bayangan Revan“Kalau aku mati… apa kau masih percaya ada yang asli dariku?” Suara Revan terdengar di samping telinga Naira. Dia menoleh cepat—dan jantungnya hampir berhenti. Di ruangan itu, ada delapan Revan. Mereka berdiri melingkar, menatapnya dengan tatapan identik, dingin, menusuk. Wajah yang sama, pakaian yang sama, bahkan darah yang menetes di kemeja hitam itu pun identik. Naira mundur, punggungnya menempel ke pintu yang baru saja menelannya masuk. “Ini gila…” bisiknya. Salah satu Revan melangkah maju. “Aku yang asli.” Revan lain menyusul. “Bukan dia. Aku yang kau cari.” Yang ketiga menambahkan dengan nada lebih dingin, “Kalau kau salah pilih, kau akan terjebak di sini. Selamanya.” Delapan suara berbicara hampir bersamaan, bercampur, berlapis, membuat kepala Naira terasa pecah. Dia menutup telinga, tapi suara-suara itu justru bergetar dari dalam otaknya. “Aku kakakmu.” “Aku penjaga kontrak.” “Aku bayangan yang kau ciptakan.” “Aku janji terakhir kakekmu.” Semua bersuara dengan w
Last Updated: 2025-09-10
Chapter: Bab 65 – Revan yang Retak“Revan…” Naira hampir tak percaya pada matanya. Di hadapannya berjejer delapan sosok Revan di balik cermin, masing-masing hidup, bergerak, berbicara. Satu mengenakan jas hitam rapi, berwibawa. Satu mengenakan pakaian lusuh, dengan tatapan iba. Satu lagi tersenyum hangat, seperti pria biasa. Tapi ada pula yang matanya merah, wajah retak, tubuhnya miring seperti boneka patah. “Mana… yang asli?” Pertanyaan itu keluar begitu saja. Suaranya pecah. Delapan Revan serempak berbicara, tapi kalimat mereka berbeda-beda: “Aku pelindungmu.” “Aku pencipta kontrak.” “Aku kakakmu.” “Aku bayanganmu.” “Aku yang akan membunuhmu.” “Aku lelaki yang mencintaimu.” “Aku hanya mimpi burukmu.” “Aku… satu-satunya pilihanmu.” Suara-suara itu bergema, menabrak kepala Naira. Ia mundur selangkah, keris di tangannya bergetar seperti tahu siapa musuhnya. “Cukup!!” teriak Naira, suaranya melawan gaung ruang cermin. “Aku hanya butuh satu Revan. Yang asli!” Delapan sosok itu tersenyum serempak, tapi b
Last Updated: 2025-09-09
Chapter: Bab 64 – Api yang MenelanApi merah masih menari di udara, menjilat kabut yang belum sempat surut. Bau daging gosong bercampur lumpur terbakar memenuhi paru-paru Naira. “Aku… benar-benar membakar mereka,” bisiknya, suaranya parau, hampir tak terdengar. Tapi jejak wajah-wajah itu masih melekat di retina. Linda. Ayah. Orang-orang yang dulu ia ampuni. Semuanya hancur, menyisakan debu. Revan berdiri tak jauh darinya, siluetnya memantul di kobaran api. “Kau tidak membakar mereka,” katanya dingin. “Kau membakar ikatanmu dengan mereka. Kau yang melepaskan, kau juga yang harus menghapus. Itu harga pintu ketujuh.” Naira menggenggam keris erat-erat. Bilahnya masih hangat, tapi warnanya sudah kembali kusam. Entah mengapa, keris itu terasa lebih berat sekarang, seolah menyerap jiwa-jiwa yang tadi terbakar. Kabut berputar, lalu memadat menjadi dinding-dinding batu hitam. Mereka terjebak dalam sebuah ruangan bundar. Di tengahnya, pilar menjulang, retak, dengan simbol merah menyala di permukaannya. Naira mendekat. Simb
Last Updated: 2025-09-09