Hening menyelimuti ruangan belakang warung yang kini terlihat lebih asing daripada biasanya. Meja ritual yang biasanya dipakai Karina untuk merapal mantra kini kosong, hanya tersisa lilin yang sudah meleleh separuh dan secarik kertas lusuh bertuliskan aksara tua.Dimas duduk bersila, matanya kosong menatap lantai. Napasnya naik-turun, seperti sedang mencoba memahami kejadian beberapa jam sebelumnya — pertemuan dengan Suara yang bukan berasal dari dimensi mana pun yang pernah ia kenal.“Ada sesuatu yang salah…” gumamnya. “Bukan hanya portal yang terbuka. Realitas... ikut retak.”Toyo duduk di ujung ruangan, memeluk bantal dengan ekspresi waswas. “Mas... aku mimpi tadi malam. Kita semua—kayak... meledak. Tapi bukan tubuh kita. Jiwa kita yang kayak... pecah. Terbelah jadi serpihan kecil yang beterbangan ke... ke tempat yang bukan tempat.”Dimas memutar kepala pelan. “Kamu juga dengar suara itu, Toy?”Toyo mengangguk cepat. “Tapi suara itu ngomongnya pakai bahasa kayak... kertas sobek. Ak
Malam keempat sejak surat Kementerian Realitas Alternatif tiba, Warung Kopi Dunia Bawah menjadi lebih sunyi dari biasanya. Suara pintu kayu yang berderit pun terdengar seperti ledakan di keheningan itu. Lampu gantung redup menggantung di tengah ruangan, menciptakan bayangan panjang dari setiap benda. Dimas duduk di kursi kayu panjang, tangan kirinya menopang kepala. Pola akar di lengan kirinya kini sudah menjalar ke bahu."Kopi hitam, panas, dua sendok kesetiaan," ujar suara dari arah pintu.Karina yang sedang mengatur rak rempah-rempah menoleh. Sosok yang memesan adalah pria dengan wajah terbelah dua: satu sisi tampak muda dan bersih, sisi lainnya keriput dan penuh bekas luka. Ia duduk dengan tenang, tapi matanya seperti kabut yang menyimpan puluhan kehidupan."Kesetiaan dicampur pahit bisa bikin kau menyesal, Pak," jawab Karina sambil menuang air mendidih."Justru itu yang kucari. Aku datang bukan untuk rasa, tapi untuk ingatan yang tertinggal dalam setiap tegukan."Dimas berdiri pe
Warung Kopi Dunia Bawah kembali beroperasi seperti biasa, seakan tak pernah terjadi apa-apa. Namun Dimas tahu, sejak ia menyerahkan namanya kepada hutan, dunia telah bergeser sedikit dari poros biasanya. Pelanggan memang masih berdatangan—hantu penasaran, arwah yang belum move on, makhluk asing dari dimensi samping—semua itu masih terjadi. Tapi nuansa di warung berubah. Ada aura lain yang seakan menunggu sesuatu terjadi.Karina memperhatikan Dimas lebih sering sekarang. Tatapannya penuh tanya dan khawatir. Kadang Dimas bisa mendengar akar-akar bicara dalam mimpinya, membisikkan nama-nama lama, perjanjian kuno, dan masa depan yang belum terjadi."Lo yakin baik-baik aja?" tanya Karina suatu malam saat warung sepi. Ia menyeduh teh melati, aroma wanginya melawan dingin udara malam.Dimas mengangguk pelan. "Kadang ngerasa kayak... aku udah bukan aku yang dulu. Tapi sejauh ini, aku masih bisa bercanda, masih bisa ngeluh soal pelanggan yang minta kopi pake air sungai suci. Jadi, masih oke la
Mobil tua milik Randi melaju perlahan di jalanan berkabut menuju Gunung Sura Langit. Angin malam terasa lebih dingin dari biasanya, seolah-olah alam sendiri sedang mengingatkan mereka bahwa tempat yang akan dituju bukan sekadar wilayah angker biasa.Karina duduk di kursi depan, diam. Ia sudah tak bicara sejak mereka meninggalkan Warung Kopi Dunia Bawah satu jam lalu. Tatapannya kosong menembus jendela. Di pangkuannya, ia menggenggam batu segel tua berbentuk seperti mata, berdenyut perlahan dengan cahaya biru samar.“Lo yakin tempat ini aman?” tanya Toyo dari bangku belakang, memeluk tas berisi jimat dan peta kuno.“Tidak,” jawab Karina datar.Toyo menelan ludah. “Keren… keren… jadi kenapa kita ke tempat yang gak aman, dong?”“Karena kadang,” sela Dimas dari kursi sopir, “satu-satunya tempat yang bisa bantu kita… adalah tempat yang juga bisa membinasakan kita.”“Motivasi yang… ngeri,” celetuk Randi sambil merekam dengan ponselnya. “Tapi cocok buat vlog pembuka: ‘Kami mendatangi hutan t
Warung Kopi Dunia Bawah malam itu tampak tenang. Terlalu tenang. Dimas membersihkan meja dengan gerakan lambat, sesekali melirik jam dinding yang sudah menunjuk pukul 01.13 dini hari.“Sepi banget ya… biasanya ada aja pelanggan terakhir yang nyempil-nyempil,” gumamnya.Toyo, yang sedang rebahan di atas freezer, menguap lebar. “Mungkin mereka lagi pada reuni arwah atau kongres hantu sedunia.”Dimas hanya tersenyum kecut.Namun tak lama kemudian, bel warung berdenting pelan. Pintu terbuka. Seorang wanita cantik bergaun merah darah masuk perlahan. Rambutnya panjang bergelombang, langkahnya seakan melayang. Udara langsung berubah dingin.“Eh…” Randi yang dari tadi menyunting video konten warung tiba-tiba membeku. “Lu liat gak tuh?”Wanita itu menatap ke arah Dimas. Matanya berwarna keemasan. Tapi anehnya, tak ada bayangan yang terpantul di lantai.Karina muncul perlahan dari balik dapur dan langsung menegang.“Itu bukan makhluk dari dunia kita,” bisiknya lirih ke Dimas. “Dia... bukan pela
Hening yang menyelimuti Pelabuhan Neraka seolah mematung bersama reruntuhan pertempuran semalam. Bau darah, abu, dan air laut bercampur membentuk aroma getir yang menempel di hidung. Kapal-kapal yang dulunya angkuh dan menyeramkan kini terapung dalam keheningan, terombang-ambing tanpa arah seperti jiwa-jiwa yang kehilangan tempat pulang.Dimas berdiri di ujung dermaga, kalung kecil peninggalan Karina masih tergenggam erat. Pagi itu seharusnya menjadi waktu kemenangan. Tapi kemenangan apa yang tak menyisakan kehilangan?"Gue enggak tahu harus senang atau sedih," kata Randi, datang dari belakang sambil menyesap kopi hitam dari termos kecil. Wajahnya masih penuh jelaga dan luka lebam."Sedih aja. Biar enggak salah rasa," sahut Dimas, pelan. Matanya tetap tertuju pada garis cakrawala yang perlahan memerah.Toyo, dengan baju compang-camping, mendekat sambil menyeret tongkat kayu yang semalam digunakan sebagai senjata darurat. "Bang, gue mimpi Karina tadi malam. Dia duduk di bangku warung,