Jam dinding yang tergantung pada dinding putih ruang Instalasi Gawat Darurat sudah menunjukkan pukul delapan malam ketika Naomi memasukinya menggunakan kursi roda. Di belakang tubuhnya, Nardo tampak begitu setia mendorong kursi roda yang dinaiki calon istrinya itu.Setelah sekali lagi mengusap air mata, sudut bibir Naomi ia paksa tarik untuk mencipta senyuman. Sosok adiknya masih berada di atas ranjang di depan sana, lengkap dengan alat bantu hidup yang terpasang di mana-mana. Hal tersebut berhasil mencipta sesak di dada, namun dirinya pun tak bisa berbuat apa-apa. "Hai, Chia ..." Naomi bersusah payah untuk tidak membuat suaranya bergetar ketika menyapa sang adik. Dan perlahan kedua mata Chiara terbuka saat sapaan halus kakaknya membelai telinga. "Kakak.""Bagaimana kondisimu?""Kakak dulu. Bagaimana kondisi Kakak?" meskipun dengan suara lirih nyaris tak terdengar, Chiara justru balik bertanya."Seperti yang kamu lihat, Kakak baik-baik saja. Yah, meskipun Kakak belum bisa menggerakk
Beberapa piagam penghargaan dan berbagai bentuk piala yang terpajang di dalam lemari kaca hanya akan menjadi kenangan bagi Naomi, sebagai simbol jika dirinya pernah memiliki bermacam prestasi di dalam dunia tari-menari, dunia yang telah membesarkan namanya. Naomi menatap semua itu dengan tatapan hampa, sebab ia tahu jika puncak kejayaannya kini telah habis tak bersisa. Setelah menghela napas panjang satu kali, kedua tangannya kembali memutar roda di sisi kanan dan kiri kursi roda yang ia duduki, menggerakkan tempat duduk beroda yang hampir dua minggu ini menjadi teman akrabnya menuju meja rias tempat yang beberapa hari ini ia gunakan untuk merias wajah di kamar barunya. Setelah tidak lagi bisa berjalan, ia memang pindah kamar ke lantai dasar.Dari laci yang berada di sisi kiri, tangan kanan kurus itu meraih sebuah album foto yang tampak usang di makan usia. Sebuah album foto khusus yang berisi segala potret ketika dirinya sedang berlatih menari semenjak masih belia. Air mata itu men
"Serius, ini buatan Diana?" Chiara berucap tak percaya ketika kedua matanya menatapi banyak sekali bangau kertas di dalam kotak di atas pangkuannya, kotak berbahan kardus yang baru saja Evan berikan padanya. Kata pemuda itu, ada seribu jumlah bangaunya."Untuk apa aku bercanda, hm? Tidak ada untungnya." Nada bicara Evan terdengar malas, ia bersedekap menatap Chiara. "Dia berkata, jika kamu menggantung seribu bangau kertas, maka segala keinginanmu akan segera terkabulkan. Makanya dia dan teman-teman yang lain membuat itu banyak-banyak untuk kamu, agar keinginan kamu untuk segera sembuh bisa segera terwujud.""Aku terharu." Mata indah itu berkaca, namun senyuman justru terpetak di wajah ayunya. Sungguh, Chiara merasa tersentuh mendengar kalimat yang Evan lontarkan. Ternyata teman-temannya begitu peduli padanya.Melihatnya, dada pemuda itu menghangat tanpa mampu ia kira. Ia tersenyum, ia begitu bahagia bisa kembali melihat senyuman Chiara. "Banyak orang yang sayang dengan kamu, termasuk
Ada sesuatu yang berbeda dari Naomi hari ini. Wajah jelita itu tampak lebih murung dari biasanya, lebih muram dari sebelumnya. Bahkan gadis itu seakan tak menyadari ketika Nardo beberapa kali memberinya pertanyaan. Sebagai calon suami, tentu Nardo merasa khawatir. Banyak hal yang terlintas di kepalanya, namun satu hal yang paling mendominasi; Naomi marah padanya setelah insiden malam di mana ia menolak untuk 'tidur bersama'.Sedikit menggelengkan kepala, Nardo kembali mendorong kursi roda Naomi menuju bangsal rawat inap Chiara, calon adik iparnya. Nardo adalah seseorang yang paling tahu bagaimana Naomi, tidak mungkin gadis itu menjadi benci padanya hanya karena hal sepele seperti itu, apalagi setelahnya Naomi sempat mengutarakan cinta. Maka dari itu ia mencoba berpikir positif, barangkali Naomi hanya merasa gugup dan kelelahan setelah beberapa jam ini mengecek segala persiapan karena upacara pernikahan mereka akan dilaksanakan keesokan harinya. "Nah, kita udah sampai." Senyuman Nardo
"Kamu jangan begadang malam ini." Nardo memberikan nasihatnya pada sang calon istri. Mereka sudah ada di teras rumah Naomi sekarang, mengantarkan gadis itu pulang. Posisi pria itu berjongkok di depan kursi roda si calon istri, menatap dalam-dalam mata indah yang selalu mampu membuat dadanya bergetar."Siap, kamu juga." Naomi memberikan senyum seadanya. Ia memejamkan mata ketika Nardo memberikan sebuah ciuman di keningnya. "Aku pulang dulu kalau begitu.""Mas Nardo ..."Pria itu urung bangkit berdiri ketika Naomi menyebut namanya. Ketika ia kembali menatap mata sang calon istri, terdapat berbagai macam emosi yang mampu tertangkap oleh kedua mata birunya. Emosi yang entah mengapa tak mampu Nardo mengerti.Sedangkan Naomi tak langsung mengucapkan maksudnya, sesaat gadis itu tampak meragu. Namun, tepat di detik ke sepuluh, pada akhirnya sebuah kalimat mengalir begitu saja dari mulutnya. "Aku mencintaimu. Apa pun yang terjadi nanti, tolong jaga dirimu baik-baik."Janggal.Sungguh, Nardo s
Nardo sudah memiliki firasat tidak enak saat calon ayah mertuanya menelepon dirinya di pagi buta, padahal dirinya sedang berlatih dan bersiap-siap untuk upacara pernikahan. Ia sudah menduga bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi. Pikirannya memburuk, namun ia berusaha membuangnya jauh-jauh. Meskipun sukar, ia tetap berusaha berpikir positif. Selama perjalanan ia hanya diam, sedangkan ayah dan ibunya yang duduk di kursi mobil depan tampak menunjukkan raut wajah tegang. Kepala kedua orang tua si calon mempelai pria tentu sedang menerka-nerka apa yang akan mereka temui di dalam gedung putih yang cukup besar di depan sana."Sebenarnya apa yang telah terjadi? Kenapa pihak besan meminta kita untuk ke rumah sakit? Apakah ini ada hubungannya dengan kondisi adiknya Naomi?" Karina membuka suara saat suaminya sedang melajukan mobil dengan teramat pelan menuju parkiran. Wajah ayunya menunjukkan kebingungan."Papa juga tidak tahu, Ma. Namun, Papa rasa bukan karena Chiara." Sembari memutar kemudi M
Jenazah Naomi sudah tiba di rumah duka saat matahari sudah naik sepenggalah. Para kerabat dan teman-teman dekat sudah berkumpul di sana dengan pakaian serba hitam untuk mengucapkan 'turut berbelasungkawa' dan juga memberikan salam terakhir untuknya.Gadis itu tutup usia di umur yang masih cukup muda, di usianya yang ke dua puluh tujuh. Bahkan tepat di hari yang seharusnya menjadi hari paling membahagiakan di hidupnya; hari pernikahannya. Kepergiannya meninggalkan sejuta kepedihan, terutama untuk Nardo; sang calon mempelai pria.Sebelum acara tutup peti, pria blasteran Jerman itu menyempatkan diri untuk melihat wajah mendiang kekasihnya untuk yang terakhir kali. Adalah Nardo orang paling terluka atas kepergian Naomi. Seakan disambar petir, mimpinya untuk membina rumah tangga dengan orang yang ia cintai harus hangus tak bersisa. Segala harapan indah itu kandas, berubah menjadi duka.Nardo tahu jika apa yang terjadi pada Naomi sangat berat untuk gadis itu terima, tetapi dia tidak pernah
Gemercik curah air hujan yang jatuh menghantam bumi mendominasi suasana di antara keduanya kala itu. Damai, membuat kedua sejoli yang sedang dimabuk cinta semakin larut dalam atmosfer mesra di dalam ruang kamar berpenerangan temaram di sana.Nardo tampak begitu nyaman memejamkan mata berbantalkan paha Naomi, sedangkan gadis itu tiada henti merekahkan senyum bahagia seraya menyusuri wajah sang calon suami dengan jari-jari lentiknya. Mengagumi betapa eloknya rupa seorang pria yang sebentar lagi akan mempersunting dirinya.Menghabiskan waktu berdua di sela kesibukan masing-masing adalah opsi terbaik yang mereka ambil kali ini. Dan apartemen Nardo yang berada di daerah Jakarta Selatan adalah tempat yang mereka pilih untuk melepas rindu."Kok kamu brewokan sih, Yang? Cukuran gih, kamu kelihatan tua tahu!"Nardo membuka mata dengan enggan ketika belaian lembut tangan Naomi pada bulu-bulu halus di sekitar wajahnya terhenti, disusul dengan ucapan bernada protes sang calon istri. Secara otomat