Bab 31"Kenapa kau datang kemari dengan membawa para preman ini? Dasar perempuan kepa rat, tega-teganya kau membuat Pakde terluka!!" Dion balik menyerangku dengan kata-katanya. Namun aku tidak gentar. Para debt kolektor yang kuajak mendatangi rumah Ibu, menjadi tameng untukku."Kenapa memangnya, bukankah seharusnya kau juga turut membantu ibumu untuk melunasi hutangnya? Lalu kenapa kau malah menyerahkan semuanya padaku, dasar pria tidak berguna!!' ucapku kesal.Apa dia lupa, wanita yang disebutnya keparat ini adalah orang yang didatanginya kemarin pagi, saat hendak memberondong masuk ke dalam rumahku."Kau benar, Mbak. Adikmu yang tidak berguna ini malah memanfaatkanku juga!!" sambar Isma tanpa kuminta. Entah apa maksudnya itu, aku tak tahu. "Sudah, sudah, tidak usah diperpanjang. Sebaiknya sekarang cari solusi. Terutama Anda Pak Harun dan Bu Erna. Lunasi semua hutang-hutangnya, agar kami tidak perlu mendatangi kalian dengan cara kekerasan seperti ini." Pria berjaket kulit yang ber
Bab 32"Oh, Bapak sudah tahu rupanya. Syukurlah, jadi saya tidak perlu repot-repot menjelaskannya lagi pada bapak," balasku setelah memaksa lepas dari pelukannya."Kenapa kau lakukan hal ini padaku, Sasty? Kau sengaja ingin menghindariku, menghindari keluargamu dan keluargaku?" Bertubi-tubi Ibas bertanya yang kutanggapi dengan santai."Jangan salah paham, Pak Ibas. Banyak hal yang sudah saya pikirkan matang-matang dan inilah pilihan saya," jawabku berharap dia mengerti dan menghargai keputusanku untuk pergi."Dengar, Sasty, aku sudah menjelaskan kalau kita sebaiknya menikah saja. Urusan mereka, aku akan turut bertanggung jawab sepenuhnya. Uang yang kuhasilkan lebih dari cukup, hingga kamu tidak perlu menanggungnya sendirian." Panjang lebar Ibas berkata, tapi sama sekali tidak membuatku iba atau terharu."Terima kasih, aku menghargai niat baik Bapak. Tapi itu bukan solusi untuk semuanya. Bapak harus tahu, memang sudah saatnya aku meninggalkan mereka. Lagi pula aku butuh suasana yang b
Bab 33"Kalian benar-benar keterlaluan!" hardik Dika sambil membopong Isma dan menyetop mobil yang lewat. Dia melempar kunci motor miliknya berharap Dion agar ikut menyusul.Seseorang turun dari kendaraan hitam dan terkejut saat Dika meminta bantuan."Ada apa ini?" tanyanya melihat wanita hamil itu sudah bersimbah darah."Tolong antar kami ke rumah sakit," jawab Dika dengan panik. Pria itu kemudian segera membukakan pintu mobil agar Dika dan wanita tersebut bisa masuk. Tak lama kemudian, kendaraan hitam itu segera melaju membelah jalanan kota menuju ke rumah sakit."Bagaimana ini, Dion? Dia pendarahan dan sudah pasti keguguran," ujar Erna dengan cemas sambil menatap mobil yang perlahan menjauh. "Tenang aja, Bu. Aku yakin Isma nggak akan apa-apa," jawab Dion padahal hatinya tak kalah cemas.Pria itu bukan mencemaskan Isma, tapi takut andaikan Raka dan keluarganya kembali menyerang dirinya, dan mungkin saja kali ini membuat nyawanya melayang setelah menyakiti adiknya."Ya udah, cepat k
Bab 34"Dari mana kamu? Kenapa sampai sore begini baru pulang?!" Mia langsung menatap suaminya dengan tatapan nyalang dan penuh rasa curiga. Wanita yang pura-pura hamil demi untuk dinikahi Dika itu, selalu saja cemburuan dan curiga manakala suaminya berada di luar rumah."Apa kau tidak lihat keadaanku?" tanya Dika sambil memperlihatkan keadaan dirinya; yang selain lusuh terdapat bercak darah di bagian perut dan juga pergelangan tangannya."Apa yang terjadi padamu?" tanyanya dengan intonasi suara sedikit melembut. Sejak awal mereka menikah, keduanya tidak pernah akur, terlebih setelah borok Mia ketahuan oleh Dika."Seseorang masuk rumah sakit tepat di depan mataku. Dan aku merasa bertanggung jawab hingga mengantarnya ke sana dan menunggunya hingga beberapa jam. Apa jawabanku ini cukup puas untuk membuatmu tenang?!" ujar Dika lagi sambil melepas jaket dan kaos, yang kemudian melemparnya ke keranjang cucian dan masuk ke dalam kamar mandi.Sedikit percaya dengan ucapan Dika, tapi wanit
Bab 35"Tentu saja tentang pertanyaanku waktu itu. Kurasa sepertinya sudah cukup waktu yang kuberikan padamu. Sasty, jadi gimana jawabannya. Aku nungguin kamu selama 8 bulan ini dengan harap-harap cemas, lho." Ibas terus mendesak jawaban atas permintaannya waktu itu. Sesekali dia melirik, namun selebihnya berpandangan ke depan mengingat jalanan sore ini sedikit macet dan Ibas harus tetap mengemudi dengan aman."Apa harus aku jawab sekarang, ya?" Ibas terkekeh sambil menyentuh ujung jilbabku."Kalau nggak sekarang, kapan lagi? Masa' aku harus menunggu sampai 2 atau 3 tahun lagi. Bisa keburu putih rambutku," ujarnya setengah bercanda. "Kita cari tempat yang enak buat ngobrol," kata Ibas lagi.Aku mengalihkan pandangan pada jalanan yang dilewati oleh kendaraan ini, kemudian mobil terus melewati jalan-jalan yang dikelilingi gunung dan lembah, sebelum akhirnya kendaraan itu membawa kami menepi.Ibas memarkirkan mobil di tepi jalan, lalu mengajakku turun kemudian berjalan menyusuri panta
Bab 1"Sinta, ayo bangun!" Aku mengetuk pintu kamar adikku yang perempuan. Tapi hingga berkali-kali, gadis itu tidak kunjung juga membuka pintunya. Penasaran, aku membuka pintu kamarnya kemudian menyibak gorden. Kulihat Sinta masih terlelap di bawah selimut tebal."Sinta, bangun dulu. Cepat mandi, sholat dan sarapan. Kamu bisa terlambat kuliah nanti," ujarku sambil mengguncang bahunya.Gadis itu hanya menggeliat dan mengangguk pelan."Iya Kak, bentar lagi. Udah sana keluar, ganggu aja," jawabnya masih dengan mata terpejam. "Ya udah, awas kalau telat nyalahin kakak." Aku segera keluar dari kamarnya sambil memunguti baju kotor yang tercecer.Tak langsung ke dapur, aku memilih mengetuk pintu kamar adik pertamaku. Keadaan Dion tidak jauh berbeda dengan Sinta. Pria bujangan super pemalas itu lebih bebal lagi. Kamarnya bau asap rokok dan bau segala macam aroma menusuk hidung. Dion tampak terlelap dan ngorok. Selimutnya entah ada dimana. Dia tidur hanya mengenakan boxer saja. Dasar an
Bab 2"Sinta, kakak di rumah sakit sekarang. Kamu ke sini, ya. Temenin kakak." "Aku harus kuliah, Kak. Lagian kakak juga pasti nggak akan memberiku uang transport dan makan. Ah, pusing. Gimana ini. Harusnya kakak hati-hati agar tidak sampai celaka dan nyusahin banyak orang."Hatiku nyeri. Bukan berempati atas keadaanku Sinta malah berkeluh kesah di ujung telepon. Adik yang kujaga siang malam saat sakit itu, nyatanya sama sekali tidak menyayangiku.Kubiarkan dia nyerocos sendirian sampai akhirnya telepon ditutup dari seberang. Ingin menghubungi Dion, tapi percuma, pria itu pasti tidak sudi mengangkat panggilanku.Beberapa orang pekerja yang satu kantor denganku, bergantian datang ke rumah sakit untuk menjenguk. Aku begitu terharu mendapatkan perhatian dari mereka, juga biaya rumah sakit yang langsung ditanggung oleh perusahaan.Pak Anton senior diatasku tersenyum begitu masuk ruangan. Beliau sigap datang ke rumah sakit dan mengurus semuanya setelah mendengar kabar kecelakaan itu."Kar
Bab 3Aku menarik nafas panjang sebelum akhirnya membuka pintu. Raut wajah jelek Ibu berada persis di depanku. Sedangkan Sinta berdiri dengan wajah masam di belakangnya.Sekilas mata wanita itu memindai kakiku, sebelum akhirnya berubah ke wajah aslinya."Ada apa, Bu? Tidak bisakah Ibu membuat pikiranku sedikit tenang walau sebentar?" "Orang yang kemarin mobilnya ditabrak oleh Dion, udah dateng. Cepat kamu temui dulu mereka. Ibu takut melihat tampangnya yang garang.""Iya, Kak. Mereka sepertinya nungguin kakak," sambung Sinta dengan wajah khawatir. "Apalagi ini, kenapa harus aku yang menemuinya, sih? Apa Ibu nggak lihat kalau untuk berjalan saja aku kesulitan?" ujarku dengan geram. Benar-benar keterlaluan. Siapa yang seharusnya yang bertanggung jawab, dan siapa yang seharusnya menghadap pada mereka, aneh. Kenapa harus aku lagi?"Ck, ini anak. Kamu 'kan bisa jalan pakai tongkat, gimana sih. Pokoknya Ibu nggak mau tahu, cepat kamu temui mereka dulu, jangan diem di kamar terus," ger