 Se connecter
Se connecter"Kenapa Tuan Marco sangat baik padaku? Menuruti semua yang aku katakan, dan selalu mengatakan kalimat-kalimat manis. Apakah anda... Sebenarnya menyukai saya?" - Gisela. "Jika iya, salah? Kita adalah suami istri. Kamu harus belajar mencintaiku. Karena... Aku tidak akan melepaskanmu." - Marco. Demi membantu Lukas, lelaki yang begitu Gisela cintai, menjadi seorang Duke, Gisela mengorbankan segalanya. Namun, setelah Lukas berhasil menduduki singgah sana tertinggi di Kadipaten Elysium, Lukas malah membuang Gisela, mencampakkan Gisela layaknya sampah, seakan perjuangan Gisela selama 3 tahun, tak berharga. Hanya karena, Gisela tak berasal dari kalangan bangsawan. Tidak pantas bergelar Duchess of Elysium. Wanita berusia 23 tahun dengan nama lengkap Gisela Anne George, bahkan harus rela melihat sang pujahaan hati menikah dengan putri dari bangsawan elit, yang dulu dianggap Lukas sebagai 'Adik'. Namun, belum sempat Gisela meratapi nasibnya yang malang, seorang pria bangsawan kelas atas, bernama Eloseos Marcolande Louzy, atau yang kerap disapa Tuan Marco, seorang tentara dengan pangkat Kolonel. Mengajaknya menikah, dengan alasan ingin membantu Gisela membalas perbuatan Lukas, yang merupakan kakak Marco sendiri. Akan tetapi, Gisela juga harus membantu Marco memecahkan misteri meninggalnya kakak pertamanya yang terkesan ditutup-tutupi oleh Lukas dan ibunya. Kesepakatan pun terjalin. Keduanya menikah, meski Lukas dan ibunya sangat menentang dan membenci Gisela yang notabene hanya wanita biasa, yang tak memiliki darah bangsawan. Apakah keduanya bisa mewujudkan tujuan dari pernikahan mereka? Atau justru terlena dengan kenikmatan sebuah pernikahan, dan memilih melupakan luka mereka?
Voir plusSambutan meriah rakyat berikan pada Lukas, Duke baru Kadipaten Elysium.
Pria tampan berusia dua puluh tujuh tahun itu mendapatkan gelar tertinggi, setelah kakaknya, Tuan Julian meninggal akibat sakit. Melihat Lukas menebar senyum, sembari melambaikan tangan kepada rakyatnya, membuatku ikut tersenyum senang. Sebagai kekasih yang menemaninya selama kurang lebih tiga tahun, aku merasa sangat bangga dengan keberhasilan Lukas. Namun, kebahagiaanku sirna begitu saja saat aku melihat wanita lain berdiri di samping Lukas, dan diperkenalkan sebagai calon Duchess, pendamping Lukas, wanita yang akan dinikahi olehnya. Tanpa sadar, air mataku jatuh. Aku menyentuh dadaku yang terasa sesak. "Lukas Tidak menganggapku?" batinku, merasa tersakiti. Ingin sekali aku menghampiri Lukas, menginterupsi lelaki itu. Namun, aku tak ingin menghancurkan hari istimewa Lukas. Hari yang telah lama dinanti olehnya. Aku hanya bisa terdiam sambil menatap lurus kekasihku yang sedang bercanda gurau bersama wanita itu. Pandanganku beralih pada ibu Lukas, Nyonya Emilia yang tidak pernah menyukaiku. *** Setelah perayaan berakhir, barulah aku berani menghampiri Lukas. Namun, bukannya penjelasan yang aku dapat, Lukas justru secara sepihak mengakhiri hubungan kami. "Kamu membuangku begitu saja?" lirihku tertawa getir. "Setelah semua yang aku lakukan untukmu?" "Memangnya apa yang telah kamu lakukan untukku?" tanya Lukas, memandangku rendah. "Aku tidak pernah memintamu melakukan apa pun. Kamu sendiri yang menawarkan diri," papar Lukas, menyeringai. Aku melempar tatapan sinis ke arahnya. Dengan nada tinggi, aku mencecar, "Lantas, kenapa kamu tidak menolakku?! Kenapa kamu membiarkanku ada di sisimu?!" "Sama seperti parasit. Kamu terus menempel padaku, dan sulit disingkirkan." Lukas berkelit. Dia memiliki kuasa untuk tak membiarkanku berada di dekatnya sejak awal perkenalan kami. "Gisela, sadarlah... Aku tidak mungkin menikahi wanita dari kalangan rendahan sepertimu," lontarnya, menghina latar belakangku. "Satu-satunya wanita yang pantas untukku hanya putri bangsawan terhormat," imbuhnya, melirik Clara yang berdiri angkuh di sampingnya. Pandanganku otomatis beralih pada sosok wanita yang kini tersenyum manis ke arahku. Clara... Jelas-jelas dia mengejekku. "Anggap saja kita tidak pernah bertemu sebelumnya," ucap Lukas, tanpa emosi. "Oh... Kamu ingin menghapusku dari sejarah hidupmu?" Amarahku jelas membuncah. "Kamu lupa?! Akulah yang membawamu sampai di posisimu saat ini!" bentakku. "Hey, gadis miskin! Jaga bicaramu di hadapan Yang Mulia Duke!" sosor Nyonya Emilia, mendorongku hingga terjatuh di atas lantai kayu. Nyonya Emilia, wanita berusia enam puluh tahun itu, menekan pundakku menggunakan kakinya yang terbalut sepatu mahal. "Gadis rendah, apa yang kamu lakukan di sini? Berbuat keonaran?" Nyonya Emilia menoyor kepalaku cukup kasar. "The one and only wanita yang cocok mendampingi anakku hanya Lady Clara, putri dari seorang Hakim Agung Kadipaten Elysium," tegas Nyonya Emilia. "Bukan, gadis sepertimu yang asal-usulnya tidak jelas," hina Nyonya Emilia, menendangku hingga aku tersungkur. Sembari menyentuh bagian tubuhku yang terasa sakit, mataku mengabsen setiap orang di dalam ruangan yang menertawakanku. "Pergi dari sini! Jangan pernah menunjukkan wajahmu di depanku lagi!" pekik Lukas mengusirku. Perlakuan Lukas bagaikan perasan jeruk nipis yang sengaja dikucurkan ke lukaku yang terbuka. Jujur, aku merasa sangat terpukul. Lukas mencurangiku, membohongiku. Gelar Duchess yang dijanjikan Lukas untukku, ternyata hanya bualan semata. Cinta palsunya, membutakanku, hingga aku tak sadar jika aku hanya dimanfaatkan. Aku melirik Lady Clara. Wanita itu, selama ini hanya pura-pura baik padaku. "Lukas, apakah aku hanya alatmu?" tanyaku untuk terakhir kalinya. Lukas menyeringai, kakinya melangkah mendekatiku. Begitu berada di depanku, ia berjongkok. "Kamu benar, " kata Lukas, mengejekku. Kedua tanganku mengepal. Rasa sakit yang aku rasakan, berubah menjadi amarah. "Lukas, aku akan membuatmu menyesal," desisku, penuh penekanan di setiap kata. Lukas tertawa cukup keras. "Kamu tidak akan bisa membuatku menyesal," ringisnya, meremehkanku. Ia menghembuskan napas "But, okay... I'll give you a chance. Good luck!" imbuhnya mengejekku. Lukas berdiri, lelaki tampan itu memerintah pelayan untuk mengusirku. Mereka langsung menyeretku keluar dari aula pesta. Begitu berada di luar, tubuhku didorong kasar hingga aku terjatuh dalam posisi telungkup. Dengan geram aku menoleh ke arah pintu yang kini sudah tertutup rapat. Lukas sialan! Kamu pikir aku sampah? Aku mengorbankan mimpiku, masa depanku, dan seluruh tabungan yang aku miliki demi membantu Lukas merebut gelar Duke dari ahli waris pertama. Dan... Ini yang lelaki berengsek itu berikan padaku? Aku bahkan rela terlibat dalam permainan politik yang kotor, yang bisa membahayakan nyawaku. Selama ini aku yang bekerja keras di balik layar, sementara Lukas menikmati pujian dan sorotan. Enak banget! Aku tak akan membiarkan Lukas hidup tenang! Dengan kesal, aku bangkit. Aku berjalan pelan menuju gerbang pintu keluar. Tiba-tiba seseorang menghadang jalanku. Aku pun mendongak untuk melihat siapa sosok yang menggangguku. "Tuan Marco?" "Izinkan aku mengantarmu pulang," pintanya, tersenyun ramah. Marco merupakan anak ketiga, atau anak terakhir di Keluarga Klaus. Dalam artian lain, ia adalah adik Lukas. "Terima kasih tawarannya. Tapi, aku bisa pulang sendiri," tolakku, sopan. Bukannya membiarkanku, Marco justru menggenggam pergelangan tanganku. Ia menarikku masuk ke dalam mobilnya. Aku benar-benar terkejut dengan kelakuan Marco, dan ingin melayangkan protes. Namun, aku membungkam bibirku saat melihat wajah datar Marco. "Di mana rumahmu?" tanyanya setelah sopir melajukan mobil. Tanpa drama, aku memberitahu Marco. Suasa seketika menjadi sunyi. Aku sesekali mencuri pandang ke arah Marco yang terdiam. Sebenarnya aku tak begitu mengenal Marco. Meskipun aku sering berkunjung ke kediaman Keluarga Klaus, namun aku jarang melihat Marco. Marco jarang ada di rumah, dan berkumpul bersama keluarganya. Mungkin karena terlalu sibuk bekerja. "Sangat disayangkan, Lukas membuangmu. Dia memang bodoh, tapi aku tidak ingin meminta maaf atas namanya," tutur Marco, memulai perbincangan. Perkataan yang dilontarkan Marco membuatku menggulung senyum. "Tuan tidak perlu meminta maaf atas kesalahan yang tidak Tuan perbuat." Aku menimpalinya. Suasana kembali hening. Aku memutuskan untuk memandang pemandangan dari balik kaca mobil. Hatiku merasa tenang saat melihat hamparan bunga berwarna-warni. Tanah negeri Elysium memang subur. *** Tanpa terasa, menit telah berlalu, mobil yang kami tumpangi berhenti tepat di depan rumahku yang sederhana. Saat aku hendak keluar dari mobil, Marco turun terlebih dahulu, lalu membukakan pintu untukku. "Anda tidak perlu melakukan ini, Tuan," ucapku, sungkan. Aku tersentak, tiba-tiba Marco menggengam kedua tanganku. Ada apa dengannya? "Aku bertugas selama dua tahun di perbatasan. Aku tidak tahu tentang kakakku yang sakit. Ibu dan Lukas baru mengabariku setelah Julian dikuburkan," beber Marco, seakan ingin aku tahu kegelisannya. "Apa yang terjadi dengan Julian?" tanyanya, memandangku penuh harap. Sebelum Tuan Julian meninggal, beliau sakit parah, dan hanya bisa berbaring di atas kasur. "Meski aku tahu, aku tidak ingin mengatakannya padamu," kataku, sengaja. Aku ingin tahu, apa yang diinginkan Marco dariku. "Kenapa? Karena aku oang asing bagimu?" sahut Marco. Aku merasakan genggaman Marco pada kedua tanganku semakin mengerat. "Haruskah kita menikah?" lontar Marco, memandangku dengan serius. "Apakah semudah itu mengajak orang lain menikah?" Bersambung...Sembari memasang ekspresi gelisah, Nyonya Emilia Mondar-mandir tak tentu arah di hadapan Clara. Kelakuannya membuat Clara bingung sekaligus bertanya-tanya. "Ibu... Berhentilah bergerak," pinta Clara, yang lama-lama pusing mengikuti ke mana arah ibu mertuanya melangkah. Dengan gusar, Nyonya Emilia duduk di sofa yang berada di seberang Clara. "Ibu kenapa? Semenjak pulang dari rumah sakit, ibu terlihat tidak tenang. Apa yang sebenarnya terjadi pada Gisela? Apakah lukanya sangat parah? Kenapa dia tak kunjung pulang?" cecar Clara, mengeluarkan semua pertanyaan yang selama ini ia tahan. "Apakah Lukas tidak memberitahumu soal keadaan Gisela?" Bukannya menjawab, Nyonya Emilia justru balik bertanya. Clara mengerucutkan bibirnya. "Lukas sudah memberitahuku. Tapi... Kenapa Ibu terlihat tidak tenang? Bahkan Ibu kehilangan nafsu makan Ibu... Apakah Ibu mengkhawatirkan Gisela?" Dengan cepat Nyonya Emilia menyangkal jika dirinya mengkhawatirkan Gisela. Ia justru senang karena orang yang pa
Cahaya putih redup menyelinap dari sela-sela tirai, menari lembut di langit-langit ruangan. Perlahan, Gisela membuka kedua matanya. Dunia di sekitarnya tampak kabur, seperti dilihat dari balik kaca buram. Ia mengerjap pelan, mencoba menangkap bentuk-bentuk di sekelilingnya, tetapi hanya siluet-siluet samar yang menjawab tatapannya. Tubuh Gisela terasa berat, seolah seluruh sendi memutuskan untuk tak bekerja sama. Ketika ia mencoba mengangkat tangannya, hanya sedikit getaran lemah yang muncul. Sakit di kepala datang bagai gelombang, tajam dan menyambar dari pelipis ke belakang kepala. Gisela meringis, napasnya tercekat. "Aku.... Masih hidup?" bisiknya pelan, hampir tak terdengar. Langit-langit putih, aroma antiseptik, suara pelan mesin monitor, semuanya perlahan masuk dalam kesadarannya. Gisela tidak tahu di mana ia berada. Yang ia tahu hanyalah satu hal, ini bukan kamarnya. Bukan rumahnya. Dan ia tidak sendirian. Dari sudut pandang terbatas, Gisela bisa melihat seseorang du
3 tahun lalu. Udara berbau asap dan darah memenuhi jalanan Kadipaten Elysium bagian barat. Bangunan-bangunan hancur, jeritan dan tangisan memenuhi telinga. Kerusuhan yang dahsyat tengah melanda wilayah ini, menghancurkan kehidupan warga sipil yang tak berdosa. Gisela, seorang relawan sekaligus pelajar kedokteran, menginjakkan kaki di Elysium untuk pertama kalinya. Ia mengenakan seragam yang sederhana. Wajahnya penuh keprihatinan. Gisela tak sendirian, ia datang bersama para seniornya untuk membantu para korban. Di tengah hiruk pikuk evakuasi dan pertolongan pertama, tiga tentara masuk ke dalam tenda medis. Dengan posisi, dua tentara membopong satu tentara yang terluka parah. "Lekas selamatkan Tuan Marco!" perintah tentara lain, mendesak agar orang yang ia bawa diutamakan. Melihat kondisi Marco yang tubuhnya dipenuhi luka, Gisela bergegas mendekati pria muda itu. Dengan perlahan, Gisela membuka seragam yang dikenakan Marco, lalu mulai mengobati luka yang terpajang di tubuh s
"Kamu pasti bingung, kok aku bisa tahu?" ledek Nela. "Itu karena... Aku masih menjalin hubungan romantis dengan Marco, suamimu," bisiknya, sembari memajang ekspresi mengejek. Seketika tubuhku menegang. Rasanya seperti deja vu. Mungkinkah, Marco sama saja dengan Lukas? Hanya ingin memanfaatkanku, lalu menghempasku layaknya debu. "Lady Nela sangat cocok bersanding dengan Tuan Marco. Kenapa kalian berpisah?" Aku menoleh ke seseorang yang berkomentar. "Kamu lebih pantas menjadi pendamping Tuan Marco," timpal lainnya. Karena terlalu tekun memikirkan pernyataan Nela, serta ocehan-ocehan wanita di sekeliling kami yang mendukung Nela, kepalaku jadi sakit. Sambil menyentuh dahi, aku berlalu menuju kamar mandi untuk menenangkan diri. Setelah berhasil menghilangkan kegelisahanku yang bergelora, aku memantapkan langkahku kembali ke pesta, berharap bisa menanggapi kejutan-kejutan dari Nela dan Clara dengan baik. Namun, langkahku terhenti di ambang pintu raksasa saat kedua mataku melihat M
Jantungku berdebar kencang karena adrenalin yang memacu. Di tengah keberanianku yang kini menjadi pusat perhatian, aku bisa merasakan hawa menghakimi dari para bangsawan yang berbisik, membicarakanku. Tapi yang membuatku sedikit merinding adalah tatapan dingin, tajam, dan penuh kebencian dari Yang Mulia Duke Lukas. Ia berdiri tepat di depanku. Sosoknya yang gagah dan berwibawa seakan memancarkan aura ancaman. Tatapan Lukas begitu menusuk, seolah-olah aku adalah hama yang harus segera dibasmi. Lukas melirik ibunya, Nyonya Emilia, ia memberi isyarat halus padanya agar mengusirku dari pesta. Tanpa membuat Lukas menunggu, Nyonya Emilia dengan anggunnya mendekatku. Begitu sampai di dekatku, tangannya terulur untuk menarikku. Namun, sebelum tangannya menyentuh lenganku, sebuah tangan lain lebih dulu mencegat. Tangan ramping milik Clara, menantu kesayangan Nyonya Emilia, yang entah sejak kapan ia ada di sampingku. "Ibu, serahkan tamu undangku, kepadaku," pinta Clara, bersuara lembut.
Pupil mata Nyonya Emilia sempat mengecil, sebelum kembali normal. Wanita tua di hadapku jelas-jelas sedang berusaha menyembunyikan sesuatu. "Ibu... Tidak melihat Angelia, ya?" tanyaku, sekali lagi. "Angelia sudah aku usir. Dia tidak akan pernah menunjukkan batang hidungnya lagi," jelas Nyonya Emilia, setelah menarik napas dalam. Tunggu, maksudnya diusir itu apa? Dibunuh kah? "Jadi, Ibu telah menegurnya? Baguslah, sudah tidak ada orang yang berbicara sembarangan mengenaimu lagi, Ibu," timpalku, bersyukur. "Cih, setelah kejadian ini, kamu pikir kita dekat? Tentu tidak. Aku tetap tidak menyukaimu," tegas Nyonya Emilia, masih jijik denganku. Aku hanya diam, sambil menundukkan kepalaku. Tidak ada kalimat yang tepat untuk aku keluarkan saat ini. "Aku akan mengawasimu mulai detik ini. Apabila tersebar rumor tak mengenakkan mengenai diriku, orang pertama yang aku curigai adalah dirimu. Dan aku tidak akan segan-segan menghukummu." Nyonya Emilia mengancamku. "Ibu... Aku tidak akan pe
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Commentaires