Sore ini di komplek perumahan yang terasa sepi itu sudah menyala sebuah mobil berwarna hitam.
Sedangkan dari pintu putih pemilik dari si mobil hitam dan juga rumah itu terlihat sudah rapih dengan kemeja dan juga celana bahan kebanggaannya, sepatu mengkilap yang digunakan sudah menjelaskan kalau ia akan pergi ke pertemuan penting, ditambah dengan jam tangan mahal di pergelangan tangan dan juga tatanan rambut yang rapih.
Theo sudah terlihat seperti boss yang hendak menjemput kekasih yang merupakan karyawannya sendiri seperti tema novel-novel romansa belakangan.
Meskipun kisah cintanya tak semanis seperti novel-novel itu, namun visual Theo memang benar-benar terlihat seperti manusia yang keluar dari lembaran kertas penuh kata-kata itu.
Ada yang bisa menebak kemana kiranya Theo si boss ini akan pergi?
Jerman? Korea? Salah. Jawaban yang benar adalah Jogja.
Kenapa? Ada masalah?
Apakah sulit di percaya kalau seorang pria bisa menyusul
How if its was you. I cant. Sayang Karin banyak-banyak 💜
Malam yang indah penuh kelap-kelip lampu remang yang menenangkan kendati keadaan ramai itu selalu tersimpan dengan baik di salah satu sudut pikiran Jane. Malam di Malioboro sejatinya memang tidak pernah mengecewakan. Dan mereka berada di tempat yang tak pernah membosankan itu. Duduk di salah satu bangku panjang dan juga meja kayu yang hampir lapuk dimakan usia, bersama dengan satu gelas berukuran sedang berisi minuman hangat yang rasanya sedikit panas dan juga pedas. Sebuah judul kuliner yang tidak boleh dilewatkan jika melancong ke kota istimewa. Jane lupa kapan terakhir kali menikmati malam yang indah di tempat ini, ia tidak terlalu ingat, ia hanya yakin kalau benar bahwa memori indah dan juga hangat selalu tercipta setiap ia dan keluarganya pergi ke Malioboro. Jane menggeser gelas berisi wedang ronde miliknya lebih dekat, mencium aroma hangatnya yang mampu merilekskan segenap gundah dan lalu membawa bibirnya mendekat pada pinggiran gerabah
Theo tentu saja tidak akan membatalkan makan malam hanya karena hal sekecil itu. Ditolak? Sudah biasa. Jadi dengan nada suara yang tegas dan bersih Theo menanyakan ingin makan apa dan juga makan dimana. Jawaban Jane sama sekali tidak ada yang salah, gadis itu mengatakan apa yang ingin dimakannya dan juga tempat mana yang menyediakan makanan itu. Hanya saja, satu hal yang membuat Theo sedikit terkejut. Dan mulai menahan senyum indah di wajahnya. Tidak menyangka. Theo harusnya tau bagaimana peringai Jane, dan harusnya ia paham kalau gadis itu tidak akan mau dibawa pergi seorangan oleh Theo. Apalagi untuk makan malam di salah satu restoran ternama di Jogja. Iya. Jane membawa serta pasukannya untuk makan malam bersama Theo. Dan Theo tidak merasa keberatan sama sekali dengan itu. ia tidak masalah, toh tujuannya untuk tetap ada di jangkauan mata Jane tetap terpenuhi. Didalam lingkaran meja bundar yang terbuat da
Di dalam mobil sport yang mewah itu terlihat amat sepi karena sedari tadi dua perempuan yang ada di dalamnya setia bungkam. Yang satu fokus dan sibuk menyetir sedangkan yang satu lagi terlalu ternggelam dengan bayangan pohon yang dilihatnya dari jendela mobil. Orang yang melihat tak akan mengira kalau dua perempuan itu merupakan kakak beradik. Jane mencuri lirik ketika ia menekan rem karena lampu lalu lintas yang ada didepan sana sudah memerah. Belum tau harus memulai kecanggungan ini dengan kata apa. Semalam. Serin langsung kembali ke hotel begitu juga dengan Jane. Mereka pergi bersama, hanya saja tidak ada kata yang terucap dari mulut keduanya kendati mereka ada di kamar yang sama. Dan sekarang. Menuruti apa yang diinginkan oleh Serin semalam, dua kakak beradik itu sedang menuju ke rumah nenek mereka. Kendati jarak antara hotel dan juga rumah nenek tidaklah jauh dan hanya beberapa kilo meter saja, waktu yang dilewati serasa a
Jika tak salah ingat, tujuan utama Jane pergi ke kota istimewa ini bukanlah hanya untuk berbelanja, berlibur atau sekedar mengunjungi sanak saudara, Jane punya tujuan yang lebih penting. Kalau lupa, Jane kemari untuk melihat tempat usaha milik ibunya dulu. Liburan dan segala dramanya ini hanyalah pelengkap. Jane tidak akan pulang sebelum pergi ke tempat utamanya. Jane sudah membicarakan ini dengan Serin sebelumnya. Namun, adik perempuannya itu justru terlalu bersemangat bercerita dengan sepupu mereka, saling bertanya bagaimana rasanya menjadi istri atau bagaimana sakitnya mengeluarkan awak kecil bernyawa dari dalam perut. Wajar, tak lama lagi Serin akan menyusul. Dia akan jadi ibu rumah tangga juga. Tak akan lama lagi. Jane tidak akan mengatakan hal-hal seperti ‘waktu berjalan cepat sekali, tak terasa salah satu dari mereka akan menikah’, karena Jane tidak merasakan waktu berjalan secepat itu. Jane merasakan lambatnya masa bergulir, dan sa
Tak terasa. Rencana lima hari liburan mereka di Jogja sudah terpenuhi dan terlaksana dengan mulus. Berbeda dengan keberangkatan dengan mobil dan menyetir sendiri. Karena telah merasakan seberapa lelahnya menyetir dalam jarak yang jauh, empat orang wanita itu memutuskan untuk tidak mengulangnya, mereka memilih menaiki pesawat untuk pergi pulang. Dan mobil serta semua oleh-oleh dan juga belanjaan yang mereka beli akan dikirim ke rumah. Simple. Dan tidak ribet. Enaknya punya teman yang bisa melakukan semua itu tanpa susah memang merupakan hal nyata. Tidak kaleng-kaleng sultan-nya. Setelah tak berapa lama duduk di kursi pesawat monitor dari atas sana akhirnya memberikan kabar bahwa penerbangan domestic dari pesawat yang mereka tunggangi akan segera landing. Lili yang duduk tepat di sebelah Jane itu melemaskan tubuh, tangan wanita itu tiba-tiba hadir di depan mulut Jane seperti seorang reporter mewawancarai orang lewat. “Ceritakan kesan-kesan libur
Jika kalian berada di posisi Jane apa yang akan kalian lakukan? Bagaimana sikap kalian untuk merespon keadaan serupa itu? Menangis? Karena tidak ingin disalahkan? Dan mencoba membuktikan sebuah kebenaran dengan pembuktian-pembuktian rumit? Jane akan memberikan putaran mata muak khas dirinya jika kalian benar-benar menjawab begitu. Memangnya ini sinetron yang tayang setiap hari di tv. Perempuan itu tidak seharusnya sedikit-sedikit menangis. Mengumpat saja kalau dirasa itu bisa menyalurkan kemarahan, maki-maki saja kalau itu bisa mengurangi sedikit beban. Seperti Jane. Dimuka umum tadi di bandara, ia tidak lagi memikirkan seberapa banyak pasang mata yang melihat kearahnya, menikmati panggung kecil yang tak sengaja Jane ciptakan. Dan jangan lupa bahwa tiga orang wanita yang datang bersamanya juga menyaksikan itu. Maria, Lili serta Serin berada cukup jauh dari tempatnya berdebat dengan Juni jadi mereka tidak tau betul apa yang diributkan.
“Lo minta dijemput, udah gue turutin sekarang malah diem aja.” Kalimat itulah yang keluar dari mulut seseorang yang tengah sibuk menjaga putaran setir. Dia Edgar. Setelah tadi panggilan telepon dari Edgar ditanggapi sebuah perintah yang amat absurd lelaki putih itu justru malah melakukan saja apa yang Jane katakan. Ia bergegas pergi ke rumah Jane dengan mobil hitam miliknya. Kebetulan Edgar sedang ada di daerah yang dekat dengan rumah Jane. Khawatir kalau entah-entah gadis itu sedang kesulitan, karena dari genangan suaranya tadi Jane terdengar sedikit marah namun ada percikan lelah juga. Namun siapa sangka. Niat baiknya dibalas dengan tatapan datar, Hela napas yang memburu karena sudah berusaha cepat-cepat datang itu malah direspon dengan decak sebal. Namun tak urung, Jane ikut dengan Edgar. Meski dengan raut wajah yang belum pernah dilihat Edgar dari wajah Jane sebelumnya. Ia tau sesuatu telah terjadi, mood atau mungkin pikira
It's a brand new day. Kalimat penyemangat itu adalah kalimat yang pertama kali Jane serukan untuk memulai hari. Berharap dan meyakinkan diri sendiri kalau hari ini setidaknya bisa lebih baik dari hari kemarin. Setelah melakukan sesi galau seharian penuh, memikirkan apa yang terjadi mencangkup semua positif maupun negatif, Jane sudah memutuskan. Ia tidak lagi ingin mengingat atau mengungkit hal itu. Menjauh dari subjek juga merupakan hal yang Jane lakukan dalam proses melupakan. Jane tetap akan pindah. Tentu saja. Ia sudah bilang pada Serin kemarin, tidak, meski Jane tidak bilang pun, adiknya itu sudah tau kalau Jane berniat pulang dengan adanya kardus-kardus dan juga koper yang sudah tersiapkan di rumahnya. Dan tentu saja. Serin cukup senang mendengar kabar itu, memingat sudah entah berapa kali mereka ingin Jane hidup bersama mereka saja. Tetapi si sulung ini memang amat sulit diyakinkan. Dan sekarang, entah ada angin apa, Jane b