Saga membereskan meja dan mematikan komputernya setelah keluar dari ruangan Arion. Ia sudah memperingatkan sahabatnya sekali lagi untuk tidak mengganggu Val di kantor. Namun, sepertinya Arion sudah tergila-gila pada gadis itu, dan tidak menghiraukan ucapannya. Itu yang membuat Saga semakin kesal.
Val yang masih menyelesaikan pekerjaan terakhirnya, mengamati Saga diam-diam dari ekor matanya. Ternyata Arion bisa juga membuat orang ini kesal! pikirnya.
“Kau bereskan semua. Dan jangan lupa mematikan komputermu!” Saga memerintah sebelum ia pergi tanpa mendengar jawaban Val.
Tak lama, Arion pun keluar dari ruangan dan berpamitan pada Val yang dibalas dengan anggukan pelan. Pria itu juga melakukan hal yang sama pada Rara dan lainnya.
Setelah Arion turun, Rara langsung menyerbu Val dengan rentetan pertanyaan. Demikian juga Dewi dan Sandy yang terlihat bersemangat.
“Val! Apa-apaan tadi itu?” sembur Rara. Ia menarik Val berdiri setelah mengambil tas.
“Pak Rion sama kamu?” Dewi ikut-ikutan bertanya sambil berjalan beriringan memasuki lift.
“Kamu sudah kenal Pak Rion, Val?” Sandy bertanya sambil menekan tombol turun. Pertanyaan itu sontak membuat Rara dan Dewi menoleh padanya. Mereka pun kompak membulatkan mata dan mulut.
“Ooohh…!” pekik mereka seolah memahami apa yang terjadi.
“Wah, Sandy, kamu peka banget ya!” puji Rara.
“Iya, Val, kamu sudah kenal sama Pak Rion?” ulang Dewi penasaran. “Dari gerak-geriknya sih iya. Kenal di mana? Kok bisa?”
“Bukan itu aja, Wi!” celetuk Rara. “Kayaknya Pak Rion naksir Val deh! Kalian tadi lihat sendiri ‘kan gimana perhatiannya?”
“Bener! Bela-belain berdiri biar Val bisa duduk!” timpal Dewi setuju.
Val bingung dengan semua pertanyaan dan tuduhan itu. Cepat-cepat ia menyanggah semuanya. “Nggak! Nggak kok! Nggak begitu! Mana mungkin! Hahaha!” Tawa sengau yang terdengar semakin membuat teman-temannya curiga.
“Kamu nggak pintar bohong, Val! Mukamu merah tuh!” cetus Rara sambil tertawa.
Val merasa wajahnya memanas. Ia berpikir denting lift yang menandakan mereka sudah sampai di lantai satu, akan melegakannya. Namun, justru membuat kebohongannya terbongkar.
Arion sedang duduk di lobi dan langsung berdiri begitu melihat Val keluar dari lift. Rara, Dewi, dan Sandy senyum-senyum sendiri sambil menyikut lengannya yang terjuntai lemas.
Ya, ampun, Arion … apa kamu nggak bisa memberiku waktu untuk bernapas? Kalau kayak gini, aku nggak yakin jantungku bakal kuat! Dada Val bergejolak.
“Dah, Val! Kami duluan, ya!” Rara dan lainnya bergerak meninggalkan Val. Mereka juga menyempatkan diri menyapa Arion yang terlihat santai dan tak peduli dengan tingkah bawahannya yang cekikikan.
“Kok belum pulang, Pak? Ada yang ditunggu nih sekarang!” canda Rara.
“Biasanya nunggu Pak Saga, sekarang ….” Dewi sengaja mengantung kalimatnya.
“Bosan nunggu Saga terus,” jawab Arion kemudian tertawa. Ia pun mendekati Val yang membeku di tempatnya.
Val merasa tidak enak ketika pandangan semua orang yang berada di sana tertuju padanya. Beberapa di antaranya tersenyum dan berbisik-bisik.
“So-sore, Pak,” sapanya gugup.
Tawa Arion menguar dengan menampakkan dua lekukan kecil di bawah pipinya. “Sekarang sudah bukan jam kerja lagi, ‘kan? Kamu bisa berbicara santai denganku,” katanya.
“Tapi … saya masih nggak enak, Pak,” tolak Val. “Sebelumnya saya juga berbuat salah sama Bapak. Kalau Bapak terlalu baik, saya merasa tidak tahu diri.”
“Oh, baju itu? Nggak masalah kok. Masih bisa dipakai.”
“Saya ….” Val memandang sekelilingnya. “Kita ‘kan ….”
“Atasan dan bawahan? Kayak baju sama rok itu?” Arion menunjuk kemeja dan rok yang dikenakan Val.
Val semakin salah tingkah dengan keterusterangan Arion. “Maaf, Pak, saya harus pulang.” Ia buru-buru melangkah.
Arion mengikutinya dengan mudah. “Kuantar, ya?”
“Nggak! Nggak usah, Pak! Maaf, permisi!” Val berlari keluar gedung menuju jalan raya. Ia mencegat sembarang taksi supaya Arion tidak lagi mengejarnya.
Arion menatap Val yang masuk ke dalam taksi sambil menghela napas panjang. Ia pun menaiki mobil hitamnya yang terparkir di depan gedung.
Yah, hari ini belum beruntung. Mungkin besok? Atau lusa? Apa mungkin terlalu cepat? Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi kepala Arion. Ia pun mengemudikan kendaraannya untuk pulang.
Di saat Arion sibuk memikirkan bagaimana cara mendekati Val, gadis itu sendiri sedang kebingungan di dalam taksi. Berkali-kali ia menepuk pipinya yang sudah bersemu merah.
Ya, Tuhan! Benarkah ini? Apa Arion menyukaiku? Semua sikap dan perhatiannya membuat jantungku berdebar!
Sedetik kemudian, wajah Val mendadak lesu. Ia menyadari posisinya saat ini. Mungkin memang ada kisah cinta antara atasan dan bawahan. Hanya saja, tidak secepat dan kentara seperti ini.
Kalau boleh jujur dengan perasaannya, tentu saja Val senang dengan semua perhatian Arion. Ia memang menyukainya sejak awal, dan gelagat pria itu juga menunjukkan perasaan yang sama.
Val mulai berandai-andai. Andai saja Pak Saga nggak ada, mungkin pikiranku nggak akan seruwet ini. Atau mungkin, kalau Pak Saga nggak segalak itu, akan lain ceritanya.
Embusan napas pelan lolos dari bibir Val. Ia memijat dahinya yang berdenyut. Tak pernah ia merasa selelah ini dalam bekerja. Padahal pekerjaannya dulu lebih berat karena harus mengejar target penjualan tiap bulan.
Val tidak pernah menduga bahwa impiannya bekerja di bidang ini akan membuatnya pusing dan lelah seperti sekarang. Ia pikir, karena menyukai dunia literasi sejak kecil semuanya akan lebih mudah. Ternyata ia salah!
Kayaknya ini bukan karena pekerjaan yang membuatku tertekan, pikir Val dengan dahi berkerut. Ini semua gara-gara Pak Saga, aku jadi capek secara emosi!
Val turun dari taksi dan naik ke apartemennya masih dengan perasaan kesal. Namun, ia bertekad akan membuktikan kemampuannya. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi Saga untuk menghalangi hubungannya dengan Arion.
Mungkin aku terlalu percaya diri. Tapi, sudah jelas Arion menyukaiku. Nggak mungkin dia begitu tanpa ada alasan di baliknya. Lupakan saja senior galak itu! Aku harus mengenang perhatian-perhatian kecil Arion padaku.
Val tersenyum penuh tekad saat memasuki apartemennya. Ia melempar tasnya di sembarang tempat dan membuka lemari es. Diambilnya makanan siap saji dalam wadah aluminium dan memanaskannya di microwave.
Ketika Val memulai suapan pertamanya, ada pesan masuk di ponselnya. Seketika ia tersedak membaca nama pengirimnya.
Terima kasih sudah membaca sampai di sini. Support author untuk cerita ini dengan memberikan vote, ya, Kak ^_^ Selamat membaca bab-bab berikutnya...
“Ga …?” “Ah, apa …?” Saga baru tersadar ketika Val menggoyang-goyangkan lengan jasnya. Val menatap pria yang kini sudah menjadi suaminya. Ia lalu memandang arah yang tadi dilihat Saga, tetapi tidak menemukan ada yang aneh di sana. “Kenapa lihat ke sana terus? Sudah waktunya kita turun,” katanya. “Oh, ayo.” Saga menggandeng tangan Val dan membantunya turun dari panggung. Tak lama, Val dan Saga duduk bersama keluarga mereka. Menikmati jamuan makan malam yang disediakan. Obrolan ringan juga turut mewarnai kehangatan keluarga baru itu. Beberapa jam kemudian, acara selesai. Seluruh tamu undangan sudah meninggalkan gedung. Para keluarga sebagian meninggalkan gedung, sebagian lagi menginap di hotel yang sama dengan Val dan Saga. Mereka memang sengaja menyediakan kamar kosong untuk beberapa keluarga yang tinggal di luar kora, seperti Tante Icha dan Riska. Val dan Saga diantar Kaira dan Arion ke kamar hotel mereka. Kaira tampak bahagia dengan senyum yang tak pernah hilang dari wajahnya.
“Kamu sudah yakin, Val?” Rima bertanya pada putrinya karena sedikit khawatir. Val mengangguk dan tersenyum. “Iya. Masa sudah begini, masih ditanya lagi sih?” Rima tersenyum sedikit. “Kamu bisa bilang ke Mama, Val. Nanti Mama yang akan cari cara.” Kali ini Val menggeleng. “Nggak usah, Ma. Memangnya Mama berani bilang sama Tante Diana? Dia teman baik Mama, ‘kan?” Rima diam sejenak lalu menjawab, “Iya, tapi … Mama rasa dia akan mengerti, Val.” “Nggak usah, Ma. Val baik-baik saja kok. Mama juga sudah lihat sendiri, ‘kan?” Val memamerkan senyum terbaik dan tercantiknya. “Saga pasti juga begitu.” Rima menatap putrinya sekali lagi. Val pun mengangguk untuk meyakinkan sang ibu. “Baiklah kalau begitu. Mama keluar dulu. Tamu-tamu sudah banyak yang datang.” Rima berdiri lalu keluar dari ruangan itu. Val mengantarnya dengan senyum bahagia. Ketika pintu di depannya tertutup, senyumnya memudar. Sungguh merupakan keputusan yang sulit baginya, tapi ia harus melakukannya. Sementara itu, di rua
“Aaah … capek juga ternyata bikin kue!” keluh Val sambil mengempaskan tubuh ke tempat tidur. Ia baru saja memasukkan dua loyang kue ke oven dan mengatur waktunya. Sambil menunggu, ia berniat beristirahat sebentar. Dari luar, Val bisa saja tertawa lepas seolah tidak ada yang mengusiknya. Namun, hatinya menjeritkan rindu yang sama pada seseorang. Berbagai kenangan bersama Saga mulai bermunculan, menggoda dirinya, dan membawanya kembali ke masa lalu yang jauh. Masa-masa di mana ia sama sekali tidak menyadari perhatian-perhatian kecil Saga padanya. “Aku mau ke kantin! Ada yang titip?” tanya Nita sambil berdiri. Saat itu, tim mading yang terdiri dari Saga, Val, Nita, Noah, dan Andi, sedang mengerjakan proyek minggu ini. Mereka berkumpul di ruang OSIS sepulang sekolah. Segera anak-anak menyebutkan pesanannya dan Nita pun berlalu. Val tidak pernah mengetahui bahwa saat itu Saga selalu memperhatikan gerak-geriknya. Apa pun yang ia lakukan, selalu mampu membuat senyum Saga mengembang. Namun
Val terbangun di Minggu pagi yang cerah. Sinar matahari sudah masuk dari jendela yang terbuka lebar. Kehangatannya memenuhi kamar dan tubuh Val yang masih memeluk guling, sambil mengejap-ngejapkan mata untuk menyesuaikan perubahan yang mendadak. Beberapa detik kemudian tubuh Val tegak di tempat tidur dengan rambut kusut dan wajah kusam. Samar-samar telinganya menangkap percakapan di luar. Ada suara ibunya dan suara lain yang tidak ia kenal. “Maaf, Bu Rima, sudah ganggu pagi-pagi.” “Oh, nggak apa-apa, Bu. Saya yang terima kasih karena sudah diberi ini.” “Itu cuma hasil kebun dari kampung, Bu. Kebetulan kemarin baru pulang dari sana.” “Pantesan kelihatan segar ini. Terima kasih banyak, Bu Nuri.” “Sama-sama, Bu. Baiklah, saya permisi dulu.” “Silakan.” “Siapa itu? Tetangga?” gumam Val lalu beringsut turun dari tempat tidur dan keluar. Baru saja ia menutup pintu di belakangnya, sang ibu muncul sambil membawa dua sisir pisang ambon di tangan. “Sudah bangun, Val?” sapa Rima. Val men
Hari pun berganti. Biasanya di akhir pekan banyak pasangan menghabiskan waktu bersama, termasuk Val dan Saga. Namun, kali ini berbeda. Pasangan yang dalam satu minggu ke depan akan melangsungkan pernikahan itu sedang ditimpa masalah. Masing-masing menghabiskan waktu di tempat yang berbeda dengan sikap yang berbeda pula. Saga seperti orang gila yang kehilangan sesuatu yang teramat berharga baginya. Telepon dari calon mertuanya membuatnya tersiksa sepanjang malam hingga tidak bisa tidur. Hari yang seharusnya cerah ini terasa begitu buruk bagi Saga. Sedari pagi, pria itu mondar-mandir di apartemennya. Seluruh penampilannya tampak berantakan. Botol-botol minuman berserak di meja dan lantai membuat ruangan itu sudah seperti kapal pecah. Bel pintu berbunyi. Buru-buru Saga membukanya dan langsung membentak. “Kai! Arion! kenapa kalian lama sekali?! Kenapa baru datang?!” Arion dan Kaira saling berpandangan lalu mengembuskan napas kesal. “Gimana bisa cepat kalau baru setengah jam lalu kau
Di ruang kerjanya, Arion mengamati layar ponsel yang berisi panggilan dari Val. Beberapa waktu lalu, gadis itu meneleponnya. Meminta izin tidak masuk hari ini. Ia sudah menduga ada sesuatu yang terjadi dengan dua sahabatnya itu. Tanpa mendapat jawaban yang sebenarnya, ia malah mendengar sesuatu yang tidak disangkanya sama sekali. Bentakan Saga, jeritan Val, ia mendengar semuanya dari ponsel yang tidak dimatikan dengan benar. Tidak tahan membayangkan apa yang terjadi di sana, Arion menekan tombol merah. “Apa yang kamu lakukan, Ga? Kenapa kamu begitu? Kenapa kalian seperti ini?” Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepala Arion. Andai saja ia bisa merebut gadis itu kembali, ia akan melarang Saga berbuat sesukanya. Sekarang ini, ia tidak berdaya untuk membantu apa pun. Itu sudah di luar kendalinya, bukan haknya. Arion mengangkat kepala ketika Saga muncul di ambang pintu ruangannya. Wajahnya tampak kacau dan ia sangat gugup. “Rion …,” katanya lirih. Arion berdiri dan mendekati Saga.