Share

BAB 2. Harapan

Val termenung di apartemennya. Layar laptopnya menyala di atas meja menampilkan laman pencari kerja. Ia sudah mengirimkan surat lamaran pada beberapa perusahaan yang ia minati. Sudah berbulan-bulan tidak ada balasan yang ia terima.

Desah panjang lolos dari bibirnya. Ia menopang dagu di atas meja. Pandangannya kosong menatap layar laptop. “Kalau sampai akhir minggu ini nggak dapat juga, ya sudah deh! Lupakan soal passion itu!”

Ia mengempaskan tubuh ke sandaran sofa kemudian menyalakan televisi. “Mending nonton drama aja lah. Puas-puasin menghalu dulu.”

Tak lama, Val larut dalam keasyikannya menonton serial drama favoritnya hingga menjelang tengah malam. Ia pun beranjak ke kamar dan merebahkan diri di tempat tidur.

“Teman-teman banyak yang sudah menikah,” ujarnya sambil mengamati foto dan video yang muncul di media sosialnya. Beberapa teman berfoto dengan pasangannya, memamerkan kemesraan dan keharmonisan mereka. Yang lain liburan bersama keluarga kecilnya. Lainnya lagi memberi kabar sukacita dengan foto pranikah dan undangan.

“Bikin iri aja!” Val melempar ponselnya. “Mereka semua sudah sukses dan bahagia. Apalah aku yang cuma butiran debu di angkasa yang luas tak terbatas ini.”

Tangan Val meraih ponselnya lagi. Foto seorang wanita berambut lurus dengan aksen ombre mencuri perhatiannya. Posenya anggun nan elegan dengan latar merek tas terkenal. Ciri khas wanita karier yang sukses.

“Stefani,” gumamnya. “Keren banget dia. Sudah menikah dengan manajernya pula. Ugh, pasti bahagia dan sempurna banget hidupnya!”

Jarinya menggeser beberapa foto lagi. Kali ini seorang wanita berambut panjang bergelombang dengan kulit putih kemerahan.

“Wah, Yori! Dia malah jadi special effect animator di Dream Works Animation! Jadi istri bule, anaknya juga kebule-bulean! Tinggal di luar negeri! Perfect!”

Beberapa foto tergeser lagi. “Ah, ini…” Val mengamati sosok laki-laki dengan istri dan tiga anaknya. “Kristan. Sudah sukses juga dia jadi pengusaha. Ya, walaupun dari orok dia sudah sultan sih.” Ia membayangkan masa lalunya di kampus.

“Nggak nyangka aja, dulu dia kuliah asal-asalan, sering pinjam tugas-tugasku. Heran, nilainya bisa lebih tinggi dariku. Ugh, sebel! Kenapa harus ada orang-orang yang terlahir cerdas tanpa belajar kayak dia sih?!”

Val menjerit histeris dengan menghentak-hentakkan kakinya di kasur. “Kenapa hidupku nggak kayak mereka?!”

Ia mengamati profil media sosialnya sendiri yang kosong. Ia memang tidak pernah memajang foto apa pun di sana karena tidak ada yang layak dipamerkan. Kehidupannya yang terlampau biasa-biasa saja membuatnya minder. Meskipun tinggal di apartemen, dan rumah orang tuanya cukup besar, tapi itu bukan miliknya. Dulu sang ayah memang memanjakannya, tapi sejak beliau berpulang, Rima memaksanya untuk tinggal sendiri di apartemen yang sudah dibeli sejak lama.

“Bukan karena passion aku keluar dari kantor lama,” gumam Val sambil menatap langit-langit kamar. “Tapi, karena….”

Ingatan Val kembali ke masa ia bekerja enam bulan lalu di sebuah perusahaan makanan ringan. Itu adalah pekerjaannya yang ketiga dalam lima tahun terakhir. Ia memulai perkerjaannya sebagai staf pemasaran dua tahun lalu dan telah diangkat menjadi kepala bagian sebelum berita buruk menerpanya. Beredar kabar bahwa ia sengaja menjual diri pada pelanggan untuk mencapai target penjualan setiap bulan. Tentu saja berita itu tidak benar, tapi tidak ada gunanya membantah. Orang-orang lebih mempercayai berita bohong tersebut.

“Sudah kubilang aku nggak gitu!” bantahnya saat Sheila, rekan kerja yang cukup dekat dengannya bertanya untuk memastikan.

“Tapi, ada yang pernah lihat kamu ke hotel sama salah satu bos itu,” kata Sheila.

Val terbatuk-batuk dan menumpahkan sedikit minumannya. “Kapan aku begitu? Siapa yang bilang?”

“Bulan lalu. Kalau nggak salah, waktu itu kamu ada janji temu dengan dia untuk kontrak baru.”

Val berusaha mengingat-ingat kejadian itu. Perlahan matanya membulat. “Oh! Itu!” pekiknya.

Sheila menatapnya tajam. “Kamu ingat?”

Val mengangguk lemah. “Tapi, bukan begitu cerita sebenarnya.”

“Lalu?”

Ganti Val menatap Sheila. “Apa kamu percaya padaku?”

“Tergantung ceritamu.”

Val menghela napas. “Karena itu, aku nggak mau protes. Nggak ada yang percaya meski aku cerita kebenarannya.”

“Aku bukannya nggak percaya. Aku hanya berusaha menilai secara obyektif.”

“Oke. Akan kuceritakan. Sisanya terserah kamu. Keputusan sudah dibuat. Toh, besok aku juga sudah keluar dari perusahaan.”

Sheila melipat tangannya di depan dada. “Akan kudengarkan. Perlu kamu tahu, aku begini karena aku peduli padamu.”

Setelah mengangguk, Val mulai bercerita. “Aku ketemu beliau di restoran yang sudah kupesan atas nama perusahaan. Ada buktinya di kantor. Setelah urusan kontrak selesai, dia minta tolong padaku untuk melakukan suatu hal khusus.”

“Hal khusus?”

“Ya … semacam misi rahasia.”

“Kenapa jadi mencurigakan?”

“Dia ada masalah dengan anaknya yang baru pulang dari luar negeri dan tinggal sementara di hotel. Anaknya ngambek nggak mau ketemu dia. Dengan putus asa dia memintaku berpura-pura jadi istri mudanya. Mau nggak mau si anak akan turun dan melabrakku. Setelah itu tugasku selesai karena mereka sudah ketemu.”

Sheila tertawa keras saat Val sudah selesai bercerita hingga pengunjung café menoleh pada mereka. “Itu kebenarannya?” tanyanya. Setelah mendapat anggukan dari Val, ia tertawa lagi. “Kamu pikir aku akan percaya? Mana ada cerita macam begitu, Val! Aduh, aduh, kamu ini! Nggak bisa bikin cerita yang lebih baik dari itu?”

Val sudah menduga reaksi Sheila. Ia tahu tidak akan ada yang mempercayai ceritanya. Bahkan sekalipun ia meminta bos itu datang untuk menjelaskan, mereka akan menuduhnya bersekongkol.

“Kukira kamu beda dengan lainnya. Ternyata sama aja,” lirih Val.

Sheila berusaha meredakan tawanya. “Sori, sori. Nggak masuk akal soalnya, Val! Hari gini kamu mau-mau aja dibodohi sama bos tua macam itu!”

“Nggak tua-tua banget kok. Anaknya juga cantik,” balas Val santai.

“Terserah kamu lah! Paling akal-akalan dia aja. Besok-besoknya dia bakal minta kamu jadi istrinya betulan. Itu apa benar anaknya? Jangan-jangan selingkuhannya?”

Val mengangkat bahu. Ia menghabiskan minumannya lalu berdiri. “Aku pulang dulu, Shel. Besok hari terakhir kita ketemu.”

Sheila ikut berdiri. Mendadak ekspresinya berubah sedih. “Padahal aku suka temenan sama kamu, Val. Kamu orangnya polos, tapi asyik. Meski ada cerobohnya dikit sih. Aku sampai heran kok bisa kamu naik jabatan dengan attitude begitu.”

Val tertawa datar. “Begini-begini aku punya kemampuan, Shel.”

“Kita masih bisa ketemu ‘kan kapan-kapan? Weekend gitu kita bisa jalan bareng kayak dulu.”

“Aku nggak mau buang-buang waktu temenan sama orang nggak mempercayaiku.”

Val memejamkan mata saat kalimat itu kembali terngiang di telinganya. Ia ingat tidak pernah bertemu Sheila lagi sejak hari terakhir menginjakkan kaki di kantor itu.

“Sebenarnya perusahaan ini cukup berjasa sih. Aku bisa sampai di sini karena gajinya yang besar, sayang lingkungannya begitu.” Val mengedarkan pandang ke sekeliling apartemen. Gaji dan insentif yang ia tabung, lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup di apartemen.

Semoga aja harapanku bisa terwujud, doanya sebelum terlelap.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status