Home / All / When I Meet You Again / BAB 2. Harapan

Share

BAB 2. Harapan

Author: lirinkw
last update Last Updated: 2021-07-26 18:11:31

Val termenung di apartemennya. Layar laptopnya menyala di atas meja menampilkan laman pencari kerja. Ia sudah mengirimkan surat lamaran pada beberapa perusahaan yang ia minati. Sudah berbulan-bulan tidak ada balasan yang ia terima.

Desah panjang lolos dari bibirnya. Ia menopang dagu di atas meja. Pandangannya kosong menatap layar laptop. “Kalau sampai akhir minggu ini nggak dapat juga, ya sudah deh! Lupakan soal passion itu!”

Ia mengempaskan tubuh ke sandaran sofa kemudian menyalakan televisi. “Mending nonton drama aja lah. Puas-puasin menghalu dulu.”

Tak lama, Val larut dalam keasyikannya menonton serial drama favoritnya hingga menjelang tengah malam. Ia pun beranjak ke kamar dan merebahkan diri di tempat tidur.

“Teman-teman banyak yang sudah menikah,” ujarnya sambil mengamati foto dan video yang muncul di media sosialnya. Beberapa teman berfoto dengan pasangannya, memamerkan kemesraan dan keharmonisan mereka. Yang lain liburan bersama keluarga kecilnya. Lainnya lagi memberi kabar sukacita dengan foto pranikah dan undangan.

“Bikin iri aja!” Val melempar ponselnya. “Mereka semua sudah sukses dan bahagia. Apalah aku yang cuma butiran debu di angkasa yang luas tak terbatas ini.”

Tangan Val meraih ponselnya lagi. Foto seorang wanita berambut lurus dengan aksen ombre mencuri perhatiannya. Posenya anggun nan elegan dengan latar merek tas terkenal. Ciri khas wanita karier yang sukses.

“Stefani,” gumamnya. “Keren banget dia. Sudah menikah dengan manajernya pula. Ugh, pasti bahagia dan sempurna banget hidupnya!”

Jarinya menggeser beberapa foto lagi. Kali ini seorang wanita berambut panjang bergelombang dengan kulit putih kemerahan.

“Wah, Yori! Dia malah jadi special effect animator di Dream Works Animation! Jadi istri bule, anaknya juga kebule-bulean! Tinggal di luar negeri! Perfect!”

Beberapa foto tergeser lagi. “Ah, ini…” Val mengamati sosok laki-laki dengan istri dan tiga anaknya. “Kristan. Sudah sukses juga dia jadi pengusaha. Ya, walaupun dari orok dia sudah sultan sih.” Ia membayangkan masa lalunya di kampus.

“Nggak nyangka aja, dulu dia kuliah asal-asalan, sering pinjam tugas-tugasku. Heran, nilainya bisa lebih tinggi dariku. Ugh, sebel! Kenapa harus ada orang-orang yang terlahir cerdas tanpa belajar kayak dia sih?!”

Val menjerit histeris dengan menghentak-hentakkan kakinya di kasur. “Kenapa hidupku nggak kayak mereka?!”

Ia mengamati profil media sosialnya sendiri yang kosong. Ia memang tidak pernah memajang foto apa pun di sana karena tidak ada yang layak dipamerkan. Kehidupannya yang terlampau biasa-biasa saja membuatnya minder. Meskipun tinggal di apartemen, dan rumah orang tuanya cukup besar, tapi itu bukan miliknya. Dulu sang ayah memang memanjakannya, tapi sejak beliau berpulang, Rima memaksanya untuk tinggal sendiri di apartemen yang sudah dibeli sejak lama.

“Bukan karena passion aku keluar dari kantor lama,” gumam Val sambil menatap langit-langit kamar. “Tapi, karena….”

Ingatan Val kembali ke masa ia bekerja enam bulan lalu di sebuah perusahaan makanan ringan. Itu adalah pekerjaannya yang ketiga dalam lima tahun terakhir. Ia memulai perkerjaannya sebagai staf pemasaran dua tahun lalu dan telah diangkat menjadi kepala bagian sebelum berita buruk menerpanya. Beredar kabar bahwa ia sengaja menjual diri pada pelanggan untuk mencapai target penjualan setiap bulan. Tentu saja berita itu tidak benar, tapi tidak ada gunanya membantah. Orang-orang lebih mempercayai berita bohong tersebut.

“Sudah kubilang aku nggak gitu!” bantahnya saat Sheila, rekan kerja yang cukup dekat dengannya bertanya untuk memastikan.

“Tapi, ada yang pernah lihat kamu ke hotel sama salah satu bos itu,” kata Sheila.

Val terbatuk-batuk dan menumpahkan sedikit minumannya. “Kapan aku begitu? Siapa yang bilang?”

“Bulan lalu. Kalau nggak salah, waktu itu kamu ada janji temu dengan dia untuk kontrak baru.”

Val berusaha mengingat-ingat kejadian itu. Perlahan matanya membulat. “Oh! Itu!” pekiknya.

Sheila menatapnya tajam. “Kamu ingat?”

Val mengangguk lemah. “Tapi, bukan begitu cerita sebenarnya.”

“Lalu?”

Ganti Val menatap Sheila. “Apa kamu percaya padaku?”

“Tergantung ceritamu.”

Val menghela napas. “Karena itu, aku nggak mau protes. Nggak ada yang percaya meski aku cerita kebenarannya.”

“Aku bukannya nggak percaya. Aku hanya berusaha menilai secara obyektif.”

“Oke. Akan kuceritakan. Sisanya terserah kamu. Keputusan sudah dibuat. Toh, besok aku juga sudah keluar dari perusahaan.”

Sheila melipat tangannya di depan dada. “Akan kudengarkan. Perlu kamu tahu, aku begini karena aku peduli padamu.”

Setelah mengangguk, Val mulai bercerita. “Aku ketemu beliau di restoran yang sudah kupesan atas nama perusahaan. Ada buktinya di kantor. Setelah urusan kontrak selesai, dia minta tolong padaku untuk melakukan suatu hal khusus.”

“Hal khusus?”

“Ya … semacam misi rahasia.”

“Kenapa jadi mencurigakan?”

“Dia ada masalah dengan anaknya yang baru pulang dari luar negeri dan tinggal sementara di hotel. Anaknya ngambek nggak mau ketemu dia. Dengan putus asa dia memintaku berpura-pura jadi istri mudanya. Mau nggak mau si anak akan turun dan melabrakku. Setelah itu tugasku selesai karena mereka sudah ketemu.”

Sheila tertawa keras saat Val sudah selesai bercerita hingga pengunjung café menoleh pada mereka. “Itu kebenarannya?” tanyanya. Setelah mendapat anggukan dari Val, ia tertawa lagi. “Kamu pikir aku akan percaya? Mana ada cerita macam begitu, Val! Aduh, aduh, kamu ini! Nggak bisa bikin cerita yang lebih baik dari itu?”

Val sudah menduga reaksi Sheila. Ia tahu tidak akan ada yang mempercayai ceritanya. Bahkan sekalipun ia meminta bos itu datang untuk menjelaskan, mereka akan menuduhnya bersekongkol.

“Kukira kamu beda dengan lainnya. Ternyata sama aja,” lirih Val.

Sheila berusaha meredakan tawanya. “Sori, sori. Nggak masuk akal soalnya, Val! Hari gini kamu mau-mau aja dibodohi sama bos tua macam itu!”

“Nggak tua-tua banget kok. Anaknya juga cantik,” balas Val santai.

“Terserah kamu lah! Paling akal-akalan dia aja. Besok-besoknya dia bakal minta kamu jadi istrinya betulan. Itu apa benar anaknya? Jangan-jangan selingkuhannya?”

Val mengangkat bahu. Ia menghabiskan minumannya lalu berdiri. “Aku pulang dulu, Shel. Besok hari terakhir kita ketemu.”

Sheila ikut berdiri. Mendadak ekspresinya berubah sedih. “Padahal aku suka temenan sama kamu, Val. Kamu orangnya polos, tapi asyik. Meski ada cerobohnya dikit sih. Aku sampai heran kok bisa kamu naik jabatan dengan attitude begitu.”

Val tertawa datar. “Begini-begini aku punya kemampuan, Shel.”

“Kita masih bisa ketemu ‘kan kapan-kapan? Weekend gitu kita bisa jalan bareng kayak dulu.”

“Aku nggak mau buang-buang waktu temenan sama orang nggak mempercayaiku.”

Val memejamkan mata saat kalimat itu kembali terngiang di telinganya. Ia ingat tidak pernah bertemu Sheila lagi sejak hari terakhir menginjakkan kaki di kantor itu.

“Sebenarnya perusahaan ini cukup berjasa sih. Aku bisa sampai di sini karena gajinya yang besar, sayang lingkungannya begitu.” Val mengedarkan pandang ke sekeliling apartemen. Gaji dan insentif yang ia tabung, lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup di apartemen.

Semoga aja harapanku bisa terwujud, doanya sebelum terlelap.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • When I Meet You Again   BAB 106. Love You, Hate You (END)

    “Ga …?” “Ah, apa …?” Saga baru tersadar ketika Val menggoyang-goyangkan lengan jasnya. Val menatap pria yang kini sudah menjadi suaminya. Ia lalu memandang arah yang tadi dilihat Saga, tetapi tidak menemukan ada yang aneh di sana. “Kenapa lihat ke sana terus? Sudah waktunya kita turun,” katanya. “Oh, ayo.” Saga menggandeng tangan Val dan membantunya turun dari panggung. Tak lama, Val dan Saga duduk bersama keluarga mereka. Menikmati jamuan makan malam yang disediakan. Obrolan ringan juga turut mewarnai kehangatan keluarga baru itu. Beberapa jam kemudian, acara selesai. Seluruh tamu undangan sudah meninggalkan gedung. Para keluarga sebagian meninggalkan gedung, sebagian lagi menginap di hotel yang sama dengan Val dan Saga. Mereka memang sengaja menyediakan kamar kosong untuk beberapa keluarga yang tinggal di luar kora, seperti Tante Icha dan Riska. Val dan Saga diantar Kaira dan Arion ke kamar hotel mereka. Kaira tampak bahagia dengan senyum yang tak pernah hilang dari wajahnya.

  • When I Meet You Again   BAB 105. The Day

    “Kamu sudah yakin, Val?” Rima bertanya pada putrinya karena sedikit khawatir. Val mengangguk dan tersenyum. “Iya. Masa sudah begini, masih ditanya lagi sih?” Rima tersenyum sedikit. “Kamu bisa bilang ke Mama, Val. Nanti Mama yang akan cari cara.” Kali ini Val menggeleng. “Nggak usah, Ma. Memangnya Mama berani bilang sama Tante Diana? Dia teman baik Mama, ‘kan?” Rima diam sejenak lalu menjawab, “Iya, tapi … Mama rasa dia akan mengerti, Val.” “Nggak usah, Ma. Val baik-baik saja kok. Mama juga sudah lihat sendiri, ‘kan?” Val memamerkan senyum terbaik dan tercantiknya. “Saga pasti juga begitu.” Rima menatap putrinya sekali lagi. Val pun mengangguk untuk meyakinkan sang ibu. “Baiklah kalau begitu. Mama keluar dulu. Tamu-tamu sudah banyak yang datang.” Rima berdiri lalu keluar dari ruangan itu. Val mengantarnya dengan senyum bahagia. Ketika pintu di depannya tertutup, senyumnya memudar. Sungguh merupakan keputusan yang sulit baginya, tapi ia harus melakukannya. Sementara itu, di rua

  • When I Meet You Again   BAB 104. Secangkir Kenangan

    “Aaah … capek juga ternyata bikin kue!” keluh Val sambil mengempaskan tubuh ke tempat tidur. Ia baru saja memasukkan dua loyang kue ke oven dan mengatur waktunya. Sambil menunggu, ia berniat beristirahat sebentar. Dari luar, Val bisa saja tertawa lepas seolah tidak ada yang mengusiknya. Namun, hatinya menjeritkan rindu yang sama pada seseorang. Berbagai kenangan bersama Saga mulai bermunculan, menggoda dirinya, dan membawanya kembali ke masa lalu yang jauh. Masa-masa di mana ia sama sekali tidak menyadari perhatian-perhatian kecil Saga padanya. “Aku mau ke kantin! Ada yang titip?” tanya Nita sambil berdiri. Saat itu, tim mading yang terdiri dari Saga, Val, Nita, Noah, dan Andi, sedang mengerjakan proyek minggu ini. Mereka berkumpul di ruang OSIS sepulang sekolah. Segera anak-anak menyebutkan pesanannya dan Nita pun berlalu. Val tidak pernah mengetahui bahwa saat itu Saga selalu memperhatikan gerak-geriknya. Apa pun yang ia lakukan, selalu mampu membuat senyum Saga mengembang. Namun

  • When I Meet You Again   BAB 103. Bencana Kecil

    Val terbangun di Minggu pagi yang cerah. Sinar matahari sudah masuk dari jendela yang terbuka lebar. Kehangatannya memenuhi kamar dan tubuh Val yang masih memeluk guling, sambil mengejap-ngejapkan mata untuk menyesuaikan perubahan yang mendadak. Beberapa detik kemudian tubuh Val tegak di tempat tidur dengan rambut kusut dan wajah kusam. Samar-samar telinganya menangkap percakapan di luar. Ada suara ibunya dan suara lain yang tidak ia kenal. “Maaf, Bu Rima, sudah ganggu pagi-pagi.” “Oh, nggak apa-apa, Bu. Saya yang terima kasih karena sudah diberi ini.” “Itu cuma hasil kebun dari kampung, Bu. Kebetulan kemarin baru pulang dari sana.” “Pantesan kelihatan segar ini. Terima kasih banyak, Bu Nuri.” “Sama-sama, Bu. Baiklah, saya permisi dulu.” “Silakan.” “Siapa itu? Tetangga?” gumam Val lalu beringsut turun dari tempat tidur dan keluar. Baru saja ia menutup pintu di belakangnya, sang ibu muncul sambil membawa dua sisir pisang ambon di tangan. “Sudah bangun, Val?” sapa Rima. Val men

  • When I Meet You Again   BAB 102. Cinta dan Benci

    Hari pun berganti. Biasanya di akhir pekan banyak pasangan menghabiskan waktu bersama, termasuk Val dan Saga. Namun, kali ini berbeda. Pasangan yang dalam satu minggu ke depan akan melangsungkan pernikahan itu sedang ditimpa masalah. Masing-masing menghabiskan waktu di tempat yang berbeda dengan sikap yang berbeda pula. Saga seperti orang gila yang kehilangan sesuatu yang teramat berharga baginya. Telepon dari calon mertuanya membuatnya tersiksa sepanjang malam hingga tidak bisa tidur. Hari yang seharusnya cerah ini terasa begitu buruk bagi Saga. Sedari pagi, pria itu mondar-mandir di apartemennya. Seluruh penampilannya tampak berantakan. Botol-botol minuman berserak di meja dan lantai membuat ruangan itu sudah seperti kapal pecah. Bel pintu berbunyi. Buru-buru Saga membukanya dan langsung membentak. “Kai! Arion! kenapa kalian lama sekali?! Kenapa baru datang?!” Arion dan Kaira saling berpandangan lalu mengembuskan napas kesal. “Gimana bisa cepat kalau baru setengah jam lalu kau

  • When I Meet You Again   BAB 101. Ingin Sendiri

    Di ruang kerjanya, Arion mengamati layar ponsel yang berisi panggilan dari Val. Beberapa waktu lalu, gadis itu meneleponnya. Meminta izin tidak masuk hari ini. Ia sudah menduga ada sesuatu yang terjadi dengan dua sahabatnya itu. Tanpa mendapat jawaban yang sebenarnya, ia malah mendengar sesuatu yang tidak disangkanya sama sekali. Bentakan Saga, jeritan Val, ia mendengar semuanya dari ponsel yang tidak dimatikan dengan benar. Tidak tahan membayangkan apa yang terjadi di sana, Arion menekan tombol merah. “Apa yang kamu lakukan, Ga? Kenapa kamu begitu? Kenapa kalian seperti ini?” Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepala Arion. Andai saja ia bisa merebut gadis itu kembali, ia akan melarang Saga berbuat sesukanya. Sekarang ini, ia tidak berdaya untuk membantu apa pun. Itu sudah di luar kendalinya, bukan haknya. Arion mengangkat kepala ketika Saga muncul di ambang pintu ruangannya. Wajahnya tampak kacau dan ia sangat gugup. “Rion …,” katanya lirih. Arion berdiri dan mendekati Saga.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status