Share

TERLALU MEMAKSAKAN RAGA

“Kan sudah nenek beritahu, Lu. Jangan terlalu banyak memikirkan hal-hal yang tidak penting,” nasehat nenek. Tanggannya sesekali meraih sapu tangan basah yang baru saja beliau letakan di dahiku.

Mataku mengerjap, setelahnya terkekeh dengan pandangan penuh sayang pada nenek.

“Tidak, nek. Hanya demam biasa,” ujarku menenangkannya.

Nenek mengembuskan napasnya, beliau kembali meletakan handuk kecil yang barus saja diperas dalam sebuah baskom berukuran sedang yang diletakannya pada nakas samping ranjang tidurku.

“Ini pasti karena kamu terlalu banyak memaksakan ortakmu,” ujar nenek lagi yang kembali mengundang kekehan keluar dari mulutku.

“Yeah, mungkin karena akhir-akhir ini Lu sering memikirkan pelajaran di sekolah,” ujarku memperjelas.

“Jangan terus menerus seperti itu,” nasehat nenek dengan pandangan khawatirnya.

Aku mengangguk sembari membenarkan letak posisi berbaringku. Tanganku meraih tangan kanan nenek yang sebelumnya bertumpu di atas paha.

Menggenggamnya erat penuh sayang. Di dunia ini hanya nenek yang aku punya sekarang.

“Terima kasih sudah mengerti aku, nek,” ujarku tulus sembari memaparkan senyuman penuh ketulusan.

Nenek ikut tersenyum, satu tangannya yang lain kini juga terulur menggapai tanganku

“Sudah, istirahat saja. Sudah larut, nenek juga harus istirahat,” ujar nenek memberitahu.

Aku mengangguk, lalu ikut mendonggakan kepala saat nenek bangkit dari duduknya.

“Selamat malam, nek,” ujarku lagi.

Nenek tak menjawab ucapanku, beliau hanya tersenyum setelah tangannya berhenti mengusap rambutku beberapa detik yang lalu. Nenek keluar dari kamarku setelah sebelumnya mematikan lampu kamar. Sedangkan aku hanya bisa memandang kepergiannya dengan pandangan tak terdeskripsikan.

Semesta, hanya nenek yang aku punya. Bahagiakan beliau di sisa hidupnya, bila kau lebih sayang padanya melebihi aku, tolong tunggu sebentar saja. Setidaknya tunggu gadis kecil ini punya tempat sandaran baru. Hanya itu permohonanku.

***

Aku naik ke atas kolam renang setelah menyelesaikan latihanku siang ini. Kacamata renang dan tudung penutup rambut yang sebelumnya kupakai kini kulepaskan dengan napas yang sedikit tidak beraturan.

Ini ulah Joo yang tiba-tiba seolah mengajakku balapan renang dengan posisi tubuhku yang berada ditengah kolam renang bersamanya. Ah, menyebalkan sekali saat memikirkan laki-laki itu.

Tubuhku tersentak tatkala seseorang menepuk bahu kiriku, kepalaku menoleh ke samping dengan kedua alis yang terangkat. Setelahnya raut wajahku kembali datar dengan napas yang sudah mulai teratur.

“Kukira kau sudah pulang ke tempat asalmu,” sinisku dengan kedua tangan yang kini bersedekap dada.

Lee terkekeh sinis, gadis sebayaku itu ikut bersedekap dada setelah melepaskan tudung kepala yang menutupi rambutnya.

“Kau masih berhubungan dengan Joo?” tanya Lee tanpa menghiraukan ucapan tak menyenangkanku tadi.

Aku menatapnya dengan dahi berkerut, mengapa dari sekian banyaknya topik pembicaraan yang bisa ia lontarkan, Lee malah memilih membahas hal itu?

Apa penjelasanku yang lalu-lalu masih kurang jelas menurutnya.

“Lee, please!”

“What? Bosan kutanyai hal itu terus menerus?”

Aku memutar bola mata malas, memilih untuk berlalu meninggalkan Lee ditepian kolam renang dengan dada yang naik turun. Ah, aku baru sadar bila hari ini terlalu memaksakan tubuhku begerak terlalu banyak, apalagi mengingat rasa pusing pada kepalaku masih tersisa walau samar-samar saja.

Kembali pada topik, sudah kutebak bila berhubungan dengan laki-laki akan terasa merepotkan. Jadi seperti ini, dan selalu seperti ini.

Tanganku meraih pintu loker, membukanya dan meletakan segala keperluan renangku di sana. Meraih kemeja dan celana bahan untuk menjadi pakaian ganti dari baju renang ini.

Aku berjalan menuju kamar mandi, sesekali memaparkan senyuman tipis pada setiap manusia yang lewat di hadapanku. Athala pernah bilang, terlalu sombong itu tidak baik.

Tunggu, mengapa aku malah mengamalkan segala ucapannya di dunia pikiran?

Sepuluh menit berlalu, aku keluar dari ruang ganti yang sedikit sesak itu setelah meletakan perlengkapan renangku yang lainnya. Berjalan keluar dari gedung ini sebelum suasana hatiku kembali kacau akibat keberadaan Lee.

Namun mataku kembali membola, kaget saat sebuah tangan meraih pergelangan tangan kiriku sehingga tubuhku terhuyung ke belakang. Mulutku yang reflek sedikit terbuka melengkapai ekspresi cengo yang tidak esestika ini.

Aku mendelik, melayangkan pukulan kencang pada dada Joo yang jahil. Wajahku kembali memerah, bukan dalam artian blushing karena diperlakukan seperti itu. Terlampau kesal padanya hari ini.

“Joo!” seruku dengan kedua mata yang masih membola.

“Apa Lu?” tanyanya dengan kedua alis yang terangkat dengan raut wajahnya yang tak merasa bersalah sama sekali.

“Bolehkah mencakar wajah menyebalkan itu?” tanyaku dengan padangan kesal.

Joo tertawa kecil, tangannya tiba-tiba terangkat menggapai surai panjang bergelombangku. Mengusapnya pelan dengan senyuman manis yang baru saja terbit di wajahnya.

To the point saja,” ujarku dengan menatapnya jengah. Kedua tanganku bersedekap di depan dada, sudah hapal dan sangat mengerti akan gerak-gerik yang ditampilkannya.

“Kau memang sangat tahu diriku, Lu. Aku ingin membeli buku untuk referensi tugas, antar aku ke toko buku, ya?” ujarnya dengan padangan penuh harap.

Aku mengangkat alis dengan taut wajah berpikir, ini masih terlalu siang. Dan di luar sana pasti panas sekali. Berteduh di toko buku juga tidak buruk sepertinya.

Aku kembali menatapnya, kemuidan mengangguk beberapa kali hingga menggundang senyuman diwajahnya kian bertambah lebar.

“Ayo!” ajaknya. Joo merangkul bahuku, ia mulai melangkah bersamaku meninggalkan gedung pelatihan berenang ini.

Mataku menagngkap Lee yang sedang berdiri di ujung koridor menatapku dengan Joo dengan pandangan tidak terimanya. Aku tersenyum penuh arti, mengangkat satu alis sembari menatapnya remeh seolah berkata, ‘kali ini aku yang jadi pemenang, Lee.’

***

Dua jam lamanya berputar-putar pada toko buku luas ini tidak sama sekali membuatku bosan. Sekadar mengamati detetan buku-buku yang tertata rapi di rak pun sudah saangat membahagiakan. Aku mengurungkan niatku untuk membeli sebuah novel bergenre fantasi yang terbit beberapa bulan yang lalu. Sudahlah, kapan-kapan saja, lebih baik uang ini kutabung dan kupergunakan bila sewaktu-waktu membutuhkan dana tambahan.

“Lu,” panggil Joo dari arah belakang.

Aku membalikan badan, menatapnya horor sembari melirik buku yang ada ditangannya.

“Kau serius Jo?” tanyaku dengan mata yang menyipit.

“Apa? Siapa yang serius?” tanyanya bingung dengan ekspresi wajah cengo.

Aku menanggapinya dengan kedua bola mata yang berotasi, setelahnya berjalan dengan irama pasti menuju bangku yang tersedia di dalam toko buku ini. Setelah mendudukan tubuhku di sana, aku kembali menatap Joo yang ternyata juga mengikutiku pergerakan tubuhku dari belakang. Bedanya ia tidak ikut duduk di bangku sebelahku yang kosong.

“Kita berada di sini kurang lebih dua jam, dan sekarang kau hanya memegang satu buku saja? Oh ayolah Joo, kau terlihat sangat pelit terhadap dirimu sendiri,” ucapku panjang lebar sedikit menyindirnya.

Joo menanggapi ucapan panjang lebarku barusan dengan senyuman, ia ikut menatap buku yang dibawanya lalu terkekeh.

Aku menatapnya dengan pandangan aneh, Joo memang selalu seperti ini.

“Tadinya aku memilih empat buku, Lu. Tapi dari keempat buku itu, aku memutuskan untuk membeli yang ini saja,” Jelasnya. Tangan Joo memperlihatkan buku yang menjadi pilihan finalnya itu.

Aku mengangguk-angguk saja untuk menanangapinya, daguku menunjuk pada kasir di depan sana, meminta Joo untuk segera menyelesaikan aktivitasnya yang tertunda. Tampak mengerti, laki-laki sebayaku itu kembali melangkahkan kakinya menuju tempat pembayaran. Dua kakinya yang mengenakan sepatu berwarna hitam dengan tali berwarna putih melangkah pasti dengan tenang.

Tatapanku teralihkan pada arloji yang terpasang pada pergelangan tangan.

Pukul 16.58 WIB, mataku membola melihatnya. Sebentar lagi tenggelam dalam pikiranku sendiri. Ah, apa akan terburu?

Aku memnggigit bibir bagian bawahku, sesekali menatap Joo yang masih mengantri menunggu pembayaran. Tak sadar helaan napas keluar, aku benci situasi menegangkan seperti ini.

Semesta, berpihaklah padaku kali ini saja. Tidak lucu bukan bila kau hanyut dalam pikiranku sendiri dengan posisi bersama Joo?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status