Bermula dari jatuhnya ia dalam kolam renang tempatnya biasa berlatih, Andalusia menemukan takdirnya sendiri. Tidak. Bukan di dunia nyata, melainkan di dalam alam bawah sadar buatannya.
View More"Lu, menepi dulu!" perintah seorang laki-laki dengan rambut yang masih basah padaku yang sedang berenang bolak-balik di kolam renang itu.
Mendengar namaku dipanggil, aku segera menuju tepi kolam dan membuka kacamata renang."Ada apa, Joo?" tanyaku padanya dengan kedua alis yang terangkat.
Bukannya menjawab, Joo malah tersenyum. Ia mengulurkan tangan kirinya seolah memintaku untuk duduk di pinggir kolam renang sepertinya.Tak perlu banyak waktu untuk memahaminya, aku menerima uluran tangan itu dan mengangkat tubuhku sendiri dari dalam air dengan bantuan tangan kiri yang menekan lantai.
"Ada apa?" ulangku dengan nada tak niat sama sekali.
Mataku mengedar, mencari teman-teman kelas yang hilang dalam pandangan."Teman-teman kelasmu pindah ke kolam yang tidak terlalu dalam," jelas Joo yang ternyata mengerti akan kebingingan yang tampak dari wajahku.Aku terkekeh, "Kenapa dengan kolam ini?""Salahkan saja dirimu, Lu. Kau terlalu hebat untuk dibandingan dengan mereka," ujar Joo dengan kekehan pada kalimat akirinya.Aku kembali terkekeh. Memilih bangkit dari duduk dan berniat untuk mengganti baju.
"Kemana?" tanya Joo.Aku menghentikan langkah kakiku sebentar,"Kemanapun asal tidak melihatmu.""Jangan lupa pertandingannya!"Namaku memang Andalusia. Gadis muda yang senang bermain air.
Tampak tak mengindahkan ucapan Joo barusan, aku memilih untuk melanjutlan langkah kaki yang sempat terhenti beberapa saat.Melepaskan pelindung rambut dan membiarkan rambut panjang basahku tergerai.
Lu, panggilan orang-orang terdekatku.***
Netraku melotot setelah mendapati jarum jam pada arloji pada pergelangan tangan. Pukul 17.10 WIB. Aku masih mempunyai waktu tujuh menit lagi untuk bersiap hanyut dalam pemikiranku sendiri lagi.
Setidaknya, kali ini biarkan buss datang tepat waktu, semesta.Tidak, kalian tidak salah dengar. Aku memang selalu hanyut dalam pikiranku sendiri. Terdengar tidak masuk akal bukan? Namun memang itu kenyataanya. Aku bisa tenggelam dalam pemikiranku sendiri dan membuat dunia baru tiap pukul 17.17 WIB setiap harinya.
Sudah, percaya saja bila ada hal gila semacam ini. Yang patut kusyukuri tentang kejadian aneh ini ini hanya dia. Athala.
Laki-laki sebayaku yang mengaku juga terjebak pada pemikirannya sendiri.Aku sendiri tidak tahu apa yang sedang direncanakan semesta. Kami berdua tak mengerti. Yang jelas kejadian ini bermula saat aku tenggelam dalam kolam renang kedalaman dua meter dengan kondisi badan tidak bisa berenang.
Aku tersentak saat bunyi klakson terdengar nyaring.
Bus sudah sampai ternyata. Mataku mengerjap saat menyadari hanya aku sendiri yang tersisa di bangku besi halte ini.Dengan segera, bangkit dari duduk dan berlari kecil masuk ke dalam bus.
Setelah menempelkan kartu langganan pada sebuah alat di dalam bus ini, aku mendudukan tubuhku kembali pada bangku tunggal di samping jendela.Netraku kembali menatap arloji dipergelangan tangan. Kurang satu menit lagi untuk bersiap hanyut ke dalam dunia buatanku dan Athala.
Baiklah, kita mulai ya? Jangan merasa bingung karena nanti kau pasti memahaminya.***
Aku menatapnya malas, berjalan menuju salah satu kursi panjang di sini dan mendudukan tubuhku di sana.
Laki-laki yang beberapa saat lalu bersuara ikut mendudukan tubuhnya di sampingku.Ia tersenyum manis menampilkan lesung pipinya yang menjadi ciri khasnya."Hentikan senyuman menjijikkan itu," kesalku dan kembali memalingkan wajah. Lihat kan? Hati dan ragaku tak pernah berdamai. Selalu punya sesuatu untuk diperdebatkan.
Bukannya tersinggung dengan penuturanku barusan, ia malah terkekeh kecil. Raut wajah gembiranya tak pernah luntur bila kuperhatikan. Ah, bebanku terasa sirna saat memandang wajah hangatnya.
"Tha, didunia nyata kau sedang dimana?" tanyaku tak menghilangkan nada bicara yang tenang.
Ia Athala, laki-laki yang terjebak dalam pikirannya sendiri bersamaku setiap harinya. Hal ini hanya berlangsung setengah jam saja. Setelah itu kami berdua akan kembali pada dunia nyata masing-masing."Balkon kamar," jawabnya. Athala memang seperti itu, sebagian waktunya di dunia buatan kami ini ia habiskan untuk menatap wajahku. Bukannya pede, memang itu jawabannya bila aku bertanya.
"Lu, rambutmu semakin panjang rupannya," ujarnya.
Aku terkisap dan menelan ludah susah payah saat mendapati tangan Athala mengusap surai panjangku.Kami tenggelam dalam bola mata masing-masing. mencoba meresapi dan hanyut dalam dunia buatan ini sebaik mungkin.Namun sudah kubilang bukan? Hati dan ragaku tak pernah berdamai.
Tanganku menghempaskan tangan kanan Athala yang mengusap surai panjangku.Aku memutar bola mata malas di depannya walau tahu hal ini adalah hal yang paling tidak ia senangi. Athala bilang, memutar bola mata malas tidak sopan."Lu!" serunya dengan kedua bola mata melotot. Ekspresi wajah tenangnya kini berganti.
Aku mengerutkan dahiku dan mengangkat dagu angkuh sembari menatapnya.Kudengar Athala menghela napasnya, ia memejamkan mata sebentar dan membuka matanya kembali seraya menatapku lembut, "Jangan seperti itu lagi, Lu. Tidak sopan."
Aku mendengus melihatnya. Kembali memalingkan wajah dengan bibir yang maju beberapa centi.
Melihatnya selalu mengalah padaku seperti ini, rasanya menyebalkan.Ia terlalu mudah ditebak."Ada apa? Apa yang menganggu pikiranmu, Lu? Masih ada waktu dua puluh menit lagi," ujar Athala.
Aku kembali menoleh ke arahnya seraya menghela napas."Kau tidak bosan dengan keseharianmu?" tanyaku dengan kedua alis yang terangkat.Athala tampak berpikir, "Bosan. Hanya saja terobati saat hari beranjak malam," jawabnya dengan senyuman manis.
Aku mengangguk-angguk, "Apa yang mmembuat rasa bosan itu terobati?" tanyaku lagi. Lebih tepatnya merasa penasaran.Ia tak menjawabnya langsung. Athala beranjak dari duduknya. Matanya mengedar menatap langit di atas sana, itu kebiasaannya sejak dulu.
"Ada banyak yang bisa menghilangkan kebosananku, Lu. Aku harus menjawab apa menurutmu?" tanyanya. Kepalanya miring dengan kedua alis yang terangkat dan dua bola mata yant menatapku.Aku menghela napas, selalu seperti ini.Ia selau membalik bertanya saat aku mengajukan pertanyaan agar waktu setengah jam ini tidak sia-sia."Cepat katakan!" sewotku.
"Mungkin karena bertemu denganmu seperti ini," ujarnya.Aku tertegun, kepalaku yang sebelumnya menatap lurus ke depan, kini mendonggak menatapnya tak percaya. Mengapa dari banyaknya kegiatan yang berhasil menghilangkan rasa bosan ia malah memilih menjawab hal menyebalkan ini?"Tha, kau menyukai dunia jelek ini?" tanyaku tak percaya dengan mata mengedar menatap tempat yang kupijaki sekarang tanpa minat.
Athala menatapku bingung, lalu ia mengangguk menanngapi pertanyaanku.Aku terperangah, merasa tak percaya. Mengapa ada manusia yang malah senang terjebak dalam pikirannya sendiri dan tidak menanggapi itu sebagai hal yang serius?"Kau tidak berniat menghilangkan dunia jelek ini bersamaku, Tha?" tanyaku lagi.
Gelengan kepala yang menjadi responsnya semakin membuatku tak percaya."Lu, jangan mencoba hal itu. Aku masih ingin terjebak di sini bersmamu."“Ayo ikut pulang denganku saja.” Ucapan Athala yang tiba-tiba terlontar di tengah perbincanganku dengan Lee membuat kami bertega menoleh secara bersamaan. Aku terlebih dulu membenarkan letak ranesl yang kubawa agar berposisi dengan tepat pada pundak. Sedangkan kulirik sepasang sejoli di sampingku yang kaini juga tengah menatap Athala, Joo dengan raut wajah datarnya serta Lee tang mengulum senyum saat menatapku dengan kedua alis yang terangkat.Aku memutar bola mata malas menanggapi gadis itu, kemudian kembali beralih menatap Athala yanga kaini masih memfokuskan atensinya pada diriku tanpa memperdulikan keadaan sekitar yang bisa saja menyalah artikan kedekatan kami.Taoi harapanku juga begitu, aku dianggap sebagai orang terdekat Athala di mata mereka. Terlepas dari hubungan samar-samar kami, aku terlanjur mencintai laki-laki itu.“Kau tidak memakai motor?” tanyaku dengan kedua alis yang terangkat, juga berusaha menghiraukan tatapan menggoda Lee
“Andalusia bagaimana aku tidak paham sedari awal?” Lee berucap dengan suara cemprengnya setelah gadis itu berlari menuju ke arahku dengan langkah lumayan lebar. Dua jam yang lalu aku sampai di bumpi perkemahan dibantu Athala, seperti yang sudah kuduga semua orang di sini kewalahan saat mendapati kabar bila diriku hilang saat mencari kayu bakar.Aku menyirit bingung saat mendaoati gadis itu terduduk di sampingku dengan gerakan yang cukup gesit, Lee lebih dulu menyodorkan teh hangat dalam cup yang kubawa sendiri seperti yang sudah aku minta padanya untuk mengambilkannya di dapur buatan panitia di sisi utara.Tanganku terulur guna menerima gelas itu dan mengucapkan terima kasih. Kedua bola mataku kembali tertuju pada gadis itu saat mendapatinya menumpukan tubuhnya di atas karpet yang sama dengan ku dengan posisi sedikit menyerong.“Ada apa?” tanyaku dengan kedua alis yang terangkat. Merasa heran saja saat mendapati gadis itu berlari terpongoh-pong
Rombongan kampusku yang terdiri dari delapan bus untuk mahasiswa dan satu bus untuk panitia dan pengurus kampus sampai di tempat camping untuk dua hari ke depan.Aku membuka kelopak mata saat merasakan sapuan hangat pada pipiku oleh tangan seseorang di sisi kiri.Segera tersadar dan tak ingin berlama-lama dalam sandaran nyaman Athala, aku nemilih bangkit dari duduk dan merentangkan kedua tangan dengan netra tak terlepas dari pemandangan indah penuh warna hijau di luar sana.Setelah puas memandang, aku berbalik menatap sang presensi tegap yang masih terduduk di atas bamgkunya dengan wajah mebdonggak menatapku yang sedang berdiri sembari menampakan senyuman indah menawannya.Aku berdeham, bergegas menyadarkan Athala agar laki-laki itu bangkit dan memberikanku ruang untuk turun dari bus ini. Setidaknya, menyingkirkan kedua kakinya yang sejak keberangkatan bus menghalangi jalan keluarku.Namun aku mengangkat kedua alis saat melihatnya bergemi
Dua hari berlalu begitu saja, ini hari ke tiga Lee berada di rumah sakit setelah tiga hari ia dimintai untuk rawat inap lantaran penyakit magh-nya kambuh setelah sekian lama tidak menghilang tak mendera.Kedua langkah kakiku berjalan menyusuri koridor rumah sakit dengan suasana sedikit ramai dan sedikit sepi. Hanya ada beberapa suster dan dokter yang hilir masuk atau keluar dari sebuah ruangan ke ruangan yang lain, serta beberapa pasien yang duduk di kursi rode, berjalan menggunakan kedua kaki walau di papah manusia lain, dan ada yang juga yang menikmati kesendiriannya di bangku taman kecil yang ada di dalam rumah sakit cukup besar ini.Tanganku langsung membuka knop pintu kamar yang menjadi ruangan dimana Lee dirawat, namun rupanya gerakanku tak lebih cepat dnegan laki-laki paruh baya berjas putih yang kuingat menjadi dokter Lee selama beberapa hari ini dan seorang suster dengan papan berisi beberapa lembar kertas yang ada di pelukannya. Aku mengangguk sopan, kemudian men
Hari kembali berjalan semestinya, kedua langkah kakiku membawaku menuju keluar dari gedung fakultas setelah kelas pada hari ini berjalan lancar dan berakhir pada pukul empat sore. Aku belum menceritakan pada kalian perihal apa yang terjadi dengan dunia pikiran setelah Athala dan diriku bertemu di dunia nyata. Ada rasa sesal yang merelung dan sesak yang tak tampak saat kembali mengingat du nia pikiran, kali aini aku tak lagi punya kesempatan untuk pergi ke sana setiap harinya pada pukul 17.17 Wib pada seperi hari-hari sebelumnya.Dunia pikiran sepertinya sudah tak lagi emnampungku dan Athala, dunia itu ternyata salah satu bentuk Tuhan paling baikuntuk menmertemukan dua manusia yang terikat takdir sejak belum dilahirkan. Itu simpulan yang Athala berikan dan Athala pikirkan jauh-jauh ahri sbeluk kami berdua dipertemukan di dunia nyata.Flashback on.Deru motor kuno yang kutunggangi bersama Athala bertenti tepat di depan taman ramai dnegan gerlap-kerlip lampu yang meneran
Bukit tak jauh dari pusat kota, tempat itu yang dituju oleh Athala saat kami memutuskan menghabiskan waktu betsama setengah hari ini. Setelah memastikan laki-laki itu turun dan melepas helm yang dipakainya, aku ikutturun dnegan tangan yang memegangi jok depan untuk berjaga-jaga agar tidak terjatuh.Mataku mengedar, setelahnya berdecak kagum saat menyadari luas bukit ini dengan pemandangan yang sangat apik. Aku beralih menatap laki-laki yang membawaku kembali dengan kedua alis yang terangkat saat merasakan tangan kananku ia tautkan dengan tangannya yang lain. Senyuman yang terpatri pada wajah milih Athala membuatku langsung meneguk ludah. Siapapun pasti akan luluh melihatnya, dan aku sudah terlalu terbiasa dengan hal yang sedemikian.“Mengapa menautkan jarimu?” tanyaku dengan kerutan pada dahi yang sangat ketara. Athala langsung menanggapi ucapanku yang beberapa detik lalu terlontar dengan kekehan pelan, ia melirik ke sekitar sebelum mengeluarkan suaranya.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments