Share

POHON HARAPAN DUNIA PIKIRAN

“Kan sudah pernah kubertitahu, Lu. Merindukanmu tak pernah bisa kulewatkan,” ujar Athala yang semakin membuatku jatuh ke dalam pesona bola mata coklatnya.

Ia tersenyum, kemudian menatapku dengan padangan seperti biasanya dengan reaksi tubuhku yang berbeda. Tak tersadrar aku merenung, mengosongkan pikiran.

"Ada apa Lu? Apa aku salah bicara lagi?” tanyanya menyadari perubahan raut wajahku dengan kedua alis yang terangkat.

Aku mengerjapkan mataku, menatap ke arah lain selain menatap wajah Athala yang selalu berhasil meluluhkanku.

“Tidak, aku hanya masih bingung akan dunia menyebalkan ini,” ujarku mmebela diri sendiri.

Atahala terkekeh kecil menanggapiku, laki-laki itu bangkit dari duduknya, menepuk kedua tangannya yang sebelumnya ia gunakan untuk menopang tubuhnya agar beranjak dari rerumputan hijau yang juga kupijaki ini.

Aku masih memalingkan wajahku ke arah lain, menolak menatapnya sebelum ia memanggil namaku seperti biasannya. Namun nihil, ekspetasi yang biasanya menjadi realita itu kini tak terwujudkan, aku sama seklai tidak mendengarkan sepatah suara apapun yang Athala lontarkan.

Yang kudengar, hanya derap langkah kaki yang ... menjauh?

Kedua bola mataku membola, menoleh ke samping mendapati Athala sudah berjarak cukup jauh dari tempatku duduk.

Mengapa dia terasa berbeda? Mengapa dia tidak mencoba berbicara denganku lagi seperti biasanya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar dalam pikiranku, aku kembali termenung, memikirkan pertanyaan tanpa jawaban yang Athala tinggalkan.

Kedua kakiku yang semulannya kuluruskan kini kutekuk guna menyangga wajahku. Aku menyembunyikan wajahku di antara kedua tangan, memejamkan mata tatkala rasa sakit pada kepala kian terasa.

“Shh,” ringisku saat rasa sakit itu semakin terasa.

Aku tenggelam dalam rasa sakitku ini, sejenak melupakan Athala yang entah pergi kemana.

“Apa masih sakit?” Suara itu langsung membuatku mendonggak, kedua bola mataku menatap Athala yang juga sedang menatapku dengan kedua alis yang terangkat.Tangannya yang bertenger manis di rambutku membuatku sedikit tenang.

Aku menelan ludah susah payah, menyadari akan kedekatan wajah kami yang masih terasa asing untuk tubuhku sendiri.

“Apa?” Sial, mengapa kata itu yang meluncur bebas dari mulutku? Terdengar bodoh sekali.

“Kepalamu sakit ‘kan?” tanyanya masih dengan kedua alis yang terangkat.

Aku langsung mengangguk, lalu menegakan tubuhku dan bersandar pada pohon besar di belakangku.

Athala ikut serta, laki-laki itu duduk sangat dekat dengan tubuhku dengan badan yang ia sandarkan di pohon yang sama.

“Tidak apa, pasti tidak terasa sakit bila kau melupakannya,” ujarnya menenangkanku.

Dahiku bergelombang bingung tatkala mendengar ucapannya barusan. Melupakan rasa sakit? Sehebat apa dia sampai berani berkata sedemikian?

“Tahu apa kau perihal rasa sakit?” tanyaku menantang dengan dagu yang sedikit terangkat.

Athala terkekeh, ia menatap hamparan rumput hijau di depan sana, memalingkan wajah dariku.

“Percaya tidak bila kau satu-satunya manusia yang selalu meragukan diriku?” tanyanya.

Aku mengangkat kedua bahu tak tahu, apa-apaan katanya barusan? Hanya aku? Cih.

“Lupakan saja rasa sakitnya, nanti juga tak terasa lagi,” ujarnya mengulang. Aku mengangguk langsung, mengalah.

“Didunia nyata, sedang dimana?” tanyanya lagi.

“Bus,” jawabku singkat. Mataku terpejam, berusaha mengikuti intruksinya untuk berusaha melupakan rasa sakit pada kepala yang kian mendera.

"Mengapa kau lebih sering menghabiskan waktu senjamu di bus, Lu?” tanyanya bingung.

Aku masih setia memejamkan kedua bola mataku, tak sama sekali berniat membuka mata lebih dulu.

“Memangnya harus dimana menurutmu?” tanyaku balik dengan nada jengah.

Athala terkekeh, aku merasakan tangan kanannya kini bertenger manis di atas kepalaku, mengusapnya lembut penuh harsa. Selalu seperti ini, perlakuan yang sama dengan Joo, tetapi mengapa rasanya lebih nyamaan saat Athala yang mengusapnya?

Aku terpaksa membuka mata, berusaha menepis secara kasar tangan kanannya agar usapan itu terlepas. Tak menghiraukan sama sekali rasa nyaman yang tubuhku rasakan.

“Sikapmu itu tak akan berubah atau tak ingin berubah, Lu?” tanyanya dengan nada bicara yang berbeda, terdengar lebih melirih dari sebelumnya.

“Tidak ingin berubah.”

***

Athala bak melupakan ucapan menusuk yang kupaparkan beberapa waktu lalu lumayan cepat. Tampak tak sama sekali mengindahkan perkataan itu serius sama sekali.

“Lu, jangan bengong lagi!” serunya menyentak tubuhku.

Aku tersadar, memutar badan menatapnya yang kini sudah berdiri di bawah pohon rindang penuh kertas putih yang digantung menggunakan sebuah benang transparan sehingga terlihat megapung diudara.

Aku berjalan dengan langkah pelan, mataku menatap harapan-harapanku dan Athala yang digantung menjadi banyaknya harapan yang terpasang elok sedemikian rupa.

Athala menyodorkan kertas putih yang biasanya kami tulisi dengan harapan dengan sebuah pena berwarna hitam yang tampak familiar di netra.

Aku menerimanya dengan segera, “Terima kasih.”

Langkah kakiku kembali berjalan menuju batu besar yang tampak seperti bangku kecil yang muat diduduki satu orang saja. Meletakan kertas yang Athala sodorkan di atas batu itu untuk menjadi alas menulis.

“Apa harapanmu, Tha?” tanyaku padanya dengan kedua alis yang terangkat setelah satu menit memikirkan harapanku sendiri yang tak kunjung datang.

Athala mengangkat alis, mungkin tersentak dengan perkataanku. Aku sangat jarang bertanya hal sepele seperti ini padanya.

“Ada apa?” tanyanya yang langsung membuatku mengerti.

“Bertanya salah, tak bertanya juga salah,” jawabku mendengus.

Athala terkekeh, kemudian ia menampakan kertas putih yang sudah terdapat tinta hitam yang berasal dari bolpoint miliknya.

“Semoga sikap menyebalkan Andalusia segera sirna,” ucapku membaca tulisan yang ada pada kertas putihnya itu. Aku menatapnya jengah, tidak terima bila sifat yang melekat erat pada tubuhku ini ia perhitungkan.

“Tidak merima diriku dengan baik rupannya,” ujarku sembari mengangguk-anggukan kepala berapa kali.

Athala kembali terkekeh kemudian melirik pada kertas yang kupegang.

“Belum menulis harapanmu?” tanyanya.

Aku mengangguk, mengangkat kertas putih itu di depan wajah dengan otak yang berpikir hendak menuliskan apa.

Ide trlintas begitu saja, aku bergegas menuju batu tadi, menuliskan harapanku lumayan cepat dengan senyuman mengejek.

“Sudah!” seruku dengan senyuman merekah. Kertas putih berisis harapanku tadi kusembunyikan di balik tubuhku agar menambah rasa penasaran Athala.

Terbukti saat Athala menyirit penasaran menatapku.

Aku menyodorkan kertas berisi harapanku itu pada Athala, memintanya untuk menalikan benang yang ia pegang agar harapanku hari ini ia gantung di pohon harapan kami.

“Jangan kabulkan harapan Athala hari ini, Semesta.” Athala membaca harapanku dengan kerutan pada dahi yang semakin ketara.

Melihatnya menanggapinya dengan sedikit berlebihan membuatku tertawa tiba-tiba. Entahlah, ekspresi wajahnya terlihat lucu, eh?

“Lu,” geramnya dengan matamenyorotku tajam.

Aku semakin mengencangkan tawa, kedua tanganku yang sebelumnya bergerak bebas kini malah memegangi perut yang terasa sakit akibat tawa kencang ini. Humorku memang sangat rendah, jangan bingung.

Athala menatapku dengan segaris senyuman, tampak menghilangkan raut wajah kesal yang beberapa detik lalu terbit. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan netra dan kedua tangan yang fokus menailikan benang transparan pada dua kertas putih berisi harapan kami hari ini.

“Ada apa? Apa kau marah?” tanyaku dengan kedua alis yang terangkat walau tahu ia tak mungkin bisa marah atau mendiamiku.

“Tenang rasanya bila melihatmu tertawa seperti itu, Lu.”

DEG...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status