Aku duduk di bagian akhwat yang dibatasi tirai dengan para ikhwan. Bapak duduk di seberangku, beliau terlihat asik berbincang dengan sahabat lamanya. Entah kapan terakhir kali melihat Bapak tersenyum lebar. Semoga ini menjadi awal takdir baik.
Aku mencoba berfikir keras, memikirkan semua yang telah terjadi. Kenapa malam ini takdir mempertemukanku dengan lelaki yang melempar kotoran kepadaku?. Ah, baru saja hendak menimba ilmu di acara kajian ini. Hati keburu kesal karena lelaki bernama Syam itu. Bisa-bisanya ia tenang menyapa Bapak setelah menghancurkan hatinya.
Ingin rasanya meminta kejelasan kepada lelaki itu. Walaupun semua telah usai lima tahun yang lalu. Namun, serasa ada yang mengganjal di hati. Yang harus segera diluruskan.
Kejadian lima tahun silam seperti terlalu aneh dan cepat. Masih banyak tanya yang belum sempat terjawab.
Aku beranjak dari dudukku dan keluar untuk mencari Syam. Acara akan dimulai sekitar satu jam lagi. Masih ada waktu un
Seminggu setelah keluar dari Rumah sakit. Aku kembali melakukan aktifitas seperti biasanya. Mengajar anak-anak dan mengurus renovasi serta penambahan Madrasah.Semua kembali normal, hanya saja hari-hariku diwarnai dengan tingkah Zidan yang mencairkan hati yang mengeras. Hampir setiap hari, ia datang ke rumah. Sekedar membawa sarapan atau kudapan manis kesukaan Bapak.Hari itu, Zidan datang pagi sekali. Ia memberikan bungkusan berisi nasi uduk dan gorengan, kemudian pergi dengan tergesa. Entah apa yang terjadi, aku hanya bisa memandang punggungnya dari jauh hingga menghilang bersama kuda besi yang ia naiki.♥️♥️♥️Hampir seminggu Zidan tidak datang ke rumah. Serasa ada yang kosong di hati. Aku memandang jauh ke depan. Berharap sosok yang mulai kurindu itu muncul. Hampir satu jam termenung di bawah pohon yang ada di halaman rumah. Namun, ia tidak kunjung datang.Mungkin ia terlalu sibuk dengan urusannya. Apalah diri ini yang hanya
Aku termangu seorang diri di depan pintu jendela. Ditemani rintik hujan yang tidak kunjung berhenti sejak pagi tadi. Netraku melirik layar gawai beberapa kali. Tidak satu pesan pun datang dari Zidan.Senja beranjak malam, sudut mataku tetiba mengeluarkan bening hangat yang membasahi pipi. Entah perasaan apa ini?antara takut dan bahagia.Masa penantian akan segera berakhir. Cinta telah berlabuh di satu dermaga dan siap berlayar mengarungi samudera. Untuk kesekian kalinya, aku memantapkan hati hanya untuk satu nama.Namun, sudah tiga hari sejak ia menyatakan keseriusannya untuk menikahiku. Lelaki itu tidak memberi kabar sama sekali. Hati mulai gelisah dan takut, apa kejadian lima tahun silam akan terulang kembali?Membayangkannya pun sudah membuat hati ini sakit. Rasa takut mulai menyergap dan mengotori sanubari. Aku tidak akan sanggup jika harus membuat keluarga malu untuk kedua kalinya.Cukuplah satu kali saja, diri ini gagal melangkah ke pelaminan
Mentari pagi membelai hangat tubuhku. Sepertinya Ibu yang membukakan jendela kamar selepas subuh tadi.Aku beranjak dari tempat tidur, duduk tepat di depan jendela. Menghirup udara yang masih sangat segar, tanpa polusi. Nikmat mana lagi yang kami dustakan, Ya-Rabb.Semua tersedia geratis, tanpa dipungut biaya sepeser pun. Akan tetapi, hamba terkadang, masih kufur akan nikmatmu.Suara pesan whattshap di gawai mengalihkan pandanganku. Aku bergegas menggapai gawai yang terletak di nakas tidak jauh dari jendela kamar.Aku menarik nafas panjang dan mengembuskannya perlahan. Berharap pesan dari Zidan yang berada di layar gawai."Huff, ternyata dari Salma."Aku mendengkus kesal, kemudian membuka pesan itu perlahan. Salma mengirim sebuah gambar."Asstagfirullah ...."Jantung ini serasa terhenti saat ini juga. Sesak hingga sulit untuk bernafas. Gambar berisi foto Zidan yang tengah memegang tangan Naura.
Mentari dan Rangga awalnya baik-baik saja setelah menginjak usia Perkawinan ke dua tahun. Mentari belum juga terlihat tanda-tanda akan hamil. Sang mertua yang sangat mendambakan seorang cucu mulai memaksa dan menekan pasangan suami istri itu. Akhirnya Rangga terpaksa menuruti perintah sang ibunda untuk menikah lagi dengan wanita pilihan ibunya. Bagaimana nasib Mentari setelahnya? Apakah ia akan mundur atau tetap bersama sang suami? Bab 1 Acara pentas seni yang di adakan Sanggar seni Pitaloka ramai pengunjung, tidak seperti biasanya yang hanya di datangi beberapa orang. Mentari tampil menawan melakonkan Putri Dayang Sumbi. Sangat serasi dengan penampilan Rangga sebagai Sangkuriang. Para penonton terpaku oleh kepiawaian akting keduanya. Terasa nyata dan penuh penghayatan. Acara pun ditutup dengan sorak sorai dan tepuk tangan penonton. Selang beberapa menit, sang aktris pun turun dan berbaur bersama pemain lain s
Rangga berjalan santai menuju meja Mira. Lelaki berpostur tegap itu sudah memikirkan sesuatu untuk membalas teman lamanya itu."Mira ya? Kayaknya udah lama banget nggak ketemu sampe pangling, aye," ucap Rangga berpura-pura seolah baru melihatnya."Iya, nih udah lama ya. Lu kerja di sini juga? Bareng Mentari?""Iya, udah lama kok. Tapi ... kamu kok berubah banget ya. Jaga badan kali, perawatan ke salon bareng Mentari biar kinclong ," ucap Rangga seraya mengulum senyum.Mira membulatkan bola matanya, wanita itu merasa semakin tidak nyaman. Raut muka semringah berubah murung seketika. Kemudian pergi ke meja kasir diikuti suami dan anaknya yang juga bertubuh subur.Entah kata apa yang cocok untuk menggambarkan hubungan keduanya. Mereka saling peduli dan nyaman saat bersama."Ngapain lu, diapain si Mira ampe mendeliki gitu matanya pas liat gua," ucap Mentari yang tiba-tiba sudah berdiri di samping Rangga.
Aku terbangun saat terdengar kumandang azan subuh. Kemudian segera mengambil air wudhu dan shalat di rumah.Fadil masih terlelap di atas tempat tidur. Entah sampai kapan lelaki itu akan lari dari kewajibannya kepada Allah.Di dalam sujudku, tidak hentinya diri ini mendoakan Mas Fadil agar kembali ke jalan dan agar rumah tangga ini kembali baik-baik saja.Aku berusaha bersikap senormal mungkin dan melupakan kejadian semalam. Menyiapkan sarapan dan memasakkannya air panas untuk mandi.Ayam jantan telah berkokok sedari subuh. Akan tetapi, lelaki itu masih lelap dalam buaian mimpi. Selang beberapa menit, akhirnya Fadil terbangun dan terlihat sedang mencari-cari sesuatu.Lelaki itu menggapai gawai yang ada di atas nakas, kemudian melakukan sebuah panggilan vidio dengan seseorang.Aku nengintipnya dari balik pintu, ia terlihat se
Siang pun berganti malam, tepat pukul dua belas malam. Emak dan Mentari telah siap dengan ritual mandi kembang. Angin malam yang menerobos celah jendela mulai menusuk pori-pori kulit gadis yang hanya memakai selembar kain itu. "Mak, emang harus pake air dingin ya? Aye udah kedinginan nih." "Belum juga mulai, udah dingin aja, lu." "Seriusan, Mak. Kalau nggak percaya, coba Emak aja yang mandi kembang." "Ogah, emang emak mau kawin lagi." "Kali aja." "Udah, ah. Udah waktunya nih." Emak melihat ke arah jam dinding yang ada di luar kamar mandi. Kemudian, menyiramkan air bercampur aneka warna bunga ke atas kepala Mentari. Tidak lupa, beberapa mantra turut dibacakan bersama guyuran air yang mengalir ke tubuh Mentari. Mentari menggigil kedinginan, seluruh tubuhnya basah kuyup. Angin malam yang menerpa membut gadis lajang itu semakin menggigil hingga menimbulkan bunyi gemerutuk gigi ya
Perjodohan Rangga sedikit mengusik hati Mentari. Ada perasaan aneh yang gadis itu rasakan. Antara takut kehilangan sosok sahabat dan kehilangan sebuah perhatian kedepannya.Hari itu, Mentari tidak bersemangat dalam bekerja. Beberapa kali melakukan kesalahan, bahkan hampir menumpahkan pesanan pelanggan."Ga, ada cewek nyariin lu di depan," ucap Rizal seraya menunjuk ke pintu utama.Rangga tampak mencari sosok yang dimaksud. Manik cokelatnya menatap lurus ke depan. Kemudian pergi ke arah depan.Selang beberapa menit, Rangga kembali bersama seorang gadis belia berambut panjang. Gadis berseragam putih abu-abu itu mengapit lengan Rangga dengan manja.Mereka mendekati Mentari yang tengah membersihkan meja."Tari, kenalin, ini Dina-adik almarhum Dini," ucap lelaki berpostur tegap itu seraya menatap ke arah gadis cantik di sampingnya."Mentari," ucap Mentari sembari mengulurkan tangan ke arah Dina.&nb