Share

2 | Pelajaran Hidup—Uhuk, Mayat Hidup—Pertama

Hidup bagai lelucon. Ketika seseorang baru saja dinobatkan sebagai gadis terjelita satu negeri, esok harinya lenyap tanpa jejak, dan berakhir di hutan antah berantah sebagai mayat hidup yang buruk rupa. Meski ia masihlah Cinderella.

Perlu menyesuaikan diri ketika berada di tubuh mayat hidup. Cinderella harus terbiasa dengan luka-luka dan bau kurang sedap yang menguar darinya maupun Charles. Ia sudah bersiap akan terjangan aroma bangkai, namun nyatanya aroma mereka berdua tidak seburuk itu.

Berdampingan dengan Charles, Cinderella menyusuri hutan gelap negeri Sepatu Kaca. Suara burung hantu dan kepak kelelawar yang berkelebat sesekali membuat Cinderella berjengit-jengit terkejut di tengah obrolannya dengan kawan barunya itu.  

“Jadi, Pangeran Charming sudah meminangmu malam itu?”

“Begitulah.”

“Di depan kedua kakak dan ibu tirimu?”

Mengingat memori itu membuat Cinderella memejamkan mata, sakit dalam benaknya kembali terasa, senyata nyeri pada tikaman beling di jantungnya.             “Baiklah, mari kita berhenti bicara soal itu. Sekarang giliranmu untuk bercerita, Charles. Aku perlu tahu sedikit kisahmu.”

Charles tak begitu menghiraukan, ia justru teralih pada sesuatu di dada Cinderella. Tanpa sadar tangannya bergerak hampir menyentuh dada kiri gadis itu.

“Hei!” Cinderella menepis tangan Charles. “Apa-apaan kau?!”

“Ah, maaf. Bukan maksudku begitu, aku … penasaran pada beling yang mencuat di dadamu itu,” ujarnya. “Boleh kucabut?”

Mendengar pertanyaan Charles, Cinderella lantas teringat ucapan laki-laki itu ketika menunjukkan jari kelingkingnya yang putus. Tidak akan sakit. Karena ia seorang mayat hidup sekarang. “Mm, boleh. Tetapi, berhati-hatilah.”

Charles menyentuh pecahan kaca itu hati-hati. Ketika ia coba mencabutnya, Cinderella meringis panik, oleh sebab kesakitan. Darah mengalir dari luka yang sedikit tersentuh itu. Charles melepas kedua tangannya dan menatap Cinderella bingung.

Cinderella memegangi beling di dadanya.

“Kau tak apa?” tanya Charles sedikit panik.

Cinderella meneguk liurnya beberapa saat, lalu membalas tatapan Charles.             “Kau bilang, menjadi mayat hidup takkan lagi merasakan sakit. Barusan itu benar-benar sakit.”

Charles tampak memindai Cinderella beberapa saat, lalu ia mengeluarkan sesuatu dari kantong celana sobeknya: belati.

“Tunggu, apa yang akan kau—”

Charles menggenggam lengan kiri Cinderella tanpa aba-aba, lalu menyayatkan belatinya ke kulit gadis itu. Cinderella kaget, matanya membulat, mulutnya menganga, hendak ditamparnya wajah Charles sebelum ia sadar bahwa ia sama sekali tidak merasakan apa-apa. Pandangannya beralih ke tangan pucatnya yang kini hanya menampakkan sayatan terbuka dengan darah beku di dalamnya.

“Apa-apaan?!” pekik Cinderella marah.

“Sakit?”

Cinderella menatap Charles antara kesal dan heran, tetapi ia menggeleng.

Charles menjetikkan jari—alih-alih jentikan yang terdengar, justru gelenyak kulit busuk—dan memberi kesimpulan, “Kau belum sepenuhnya mayat hidup, Cinderella.”

Cinderella menunggu penjelasan selanjutnya.

“Ibu Tiri penyihir yang kau ceritakan tadi hanya mengutukmu, tidak membunuhmu. Ia menyihirmu menjadi mayat hidup dan membiarkan pecahan kaca itu tertancap di jantungmu. Dan kau tahu? Jantungmu masih berdetak—entah bagaimana. Jadi, kau masihlah manusia, Cinderella!”

Cinderella mengerjapkan matanya beberapa kali. “J-jadi, masih ada harapan bagiku untuk merenggut kembali hidupku yang seharusnya?”

“Jika kita menemukan Ibu Peri, alias Ibu Tirimu, dan membunuhnya.”

“Dan kita bisa bersama-sama kembali ke kehidupan kita, Charles!”

Charles terkekeh remeh. “Kau lupa? Aku sudah tak bernyawa.”

Cinderella mendecak. “Kematian oleh penyihir tidak pernah mutlak,             Charles. Mereka bukan Penguasa kehidupan.”

Charles menaikkan satu alisnya, tampak seakan tersadar oleh ucapan Cinderella yang ada benarnya.

“Tapi … mengapa ia membiarkanku hidup ya?” Cinderella tertegun.

Charles menoleh tak nyaman, berusaha menenangkan dengan menampakkan gigi-gigi ompongnya terkekeh. “Jangan pesimis begitu.”

“Jangan tertawa. Kau terlihat sangat buruk dengan gigi-gigi rusakmu.”

Charles menutup mulut, kali ini ia yang dibuat kesal. Lelaki muda itu kembali fokus pada tanah setapak yang mereka lalui. Menuntun Cinderella menuju pengalaman pertamanya bermalam sebagai mayat hidup.

“Jadi, apa yang akan kita lakukan sekarang?” tanya Cinderella pada akhirnya.

“Mengajarimu menghadapi musuh pertama mayat hidup.”

Cinderella berkerut kening. “Apa itu?”

Charles memotong dua ranting tebal, lalu memberikan salah satunya pada Cinderella. “Serigala hutan.”

***

“Mengapa kita tidak tidur di atas dahan pohon saja? Serigala-serigala itu tidak bisa memanjat, kan?” tanya Cinderella cemas.

Kedua tangannya menggenggam ranting pemberian Charles kuat-kuat. Hasil pelatihan pertamanya tidak berakhir baik, Cinderella tidak pandai dalam pertahanan diri. Ia hanya pandai bersih-bersih! Cinderella tidak ditakdirkan untuk hal-hal semacam ini. Jelas ketakutan menggandrunginya sedemikian rupa.

Charles mengupil dengan jari putusnya. “Usulmu tidak salah. Tetapi sayangnya, tupai-tupai di atas sana tidak seramah kunang-kunang di sekeliling kita. Dan jari ini?” Charles menunjukkan tulang kelingkingnya yang mencuat. “Sebelum kucopot, sudah putus akibat gigitan tupai-tupai itu.”

Cinderella memandangi jari putus Charles dengan jijik, tetapi kemudian ia melamun. Bukan iba yang dirasakannya, justru ingatan masa cerahnya yang menari-nari dalam imajinya. Ia merindukan teman-temannya; para tikus, burung-burung kecil, kelinci, hingga tupai seringkali mengunjungi kamarnya ketika ia bangun pagi dengan nyanyian dan senandung merdu. Belum pernah ada satu hewan pun yang menolak ajakannya untuk menyanyi bersama. Terkadang, mereka membantu Cinderella melipat baju, mencuci, bahkan menjahit.

Cinderella tersenyum. Tanpa sadar, lantunan pagi yang sering ia nyanyikan disenandungkannya begitu saja. Charles menghentikan sesi mengupilnya, membiarkan kepalanya tertoleh ke arah Cinderella. Senandung lembut yang membawa keceriaan. Charles termenung, tehanyut irama dalam gumaman lagu Cinderella. Lelaki itu tidak menyadari dirinya ikut tersenyum.

Nanyian Cinderella terhenti ketika mendapati seekor kunang-kunang mendarat di atas jemarinya. “Hai, Kunang-kunang cantik.” Kunang-kunang itu berkedip memberi salam sebagai balasan, lalu kembali melayang bersama teman-temannya. “Hati-hati.” Cinderella melambai kecil.

“Kau memiliki suara yang merdu,” puji Charles.

Mata Cinderella masih terarah pada kunang-kunang yang baru saja terbang dari tangannya. “Terima kasih. Ketika sedang dihukum Ibu, aku dikurung di loteng, dan satu-satunya penghiburku adalah bernyanyi. Tak kusangka, nyanyian pertamaku di usia sepuluh tahun mampu memanggil binatang-binatang manis untuk menghilangkan laraku.”

Charles menggeram.

“Oh, Charles. Begitukah reaksimu melihatku bahagia sedikit?” protes Cinderella masih enggan beralih dari kunang-kunang.

“Itu bukan aku, tapi mereka.”

“Mereka?” Cinderella akhirnya menoleh. Tubuhnya menegang seketika. “Oh, demi tikus-tikus yang menari.” Disaksikannya kini, gerombolan serigala yang tengah menggeram, meneteskan liur berbuih mereka ke tanah, mengerubungi Cinderella dan Charles bagai sasaran empuk. Dan memang benar, mereka berdualah mangsa  yang ditargetkan para serigala itu.

Charles siaga dengan ranting tebal di tangan kanannya. “Kau siap?”

Cinderella merapat ke batang pohon di belakangnya, kedua tangan gadis itu memegang ranting semakin erat, giginya bergemeletuk. “Tidak.”

Sayangnya, predator tidak pernah menunggu siap. Persis ketika Charles berteriak, “Kiri!” Cinderella baru tersadar bahwa kiri adalah posisi di mana dia berdiri sekarang, dan serigala pertama terlanjur menyerang.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status