Share

4 | Mengurai Benang Kutukan

“AAAAAAAHH!!” Cinderella berteriak lebih nyaring dari lolongan serigala.

Charles berani menjamin seluruh belahan hutan dapat mendengarnya karena gendang telinga Charles sampai mengeluarkan darah menerima gelombang suara Cinderella.

“Astaga, astaga, Charles. Kepalamu! Tidak! Aku tidak bisa melihat ini! Aku akan berteriak lagi!” Tepat ketika Cinderella menarik napas, kedua tangan Charles berhasil membungkamnya.

Tubuh Charles yang sedang tanpa kepala itu terhuyung-huyung ke belakang hingga akhirnya mereka berdua terjatuh. Posisi Cinderella yang berada dalam dekapan Charles, membuatnya buru-buru ingin bangkit, tetapi ketika ia menoleh ke samping, kepala Charles menggelinding dan menampakkan cengir ompongnya.

Cinderella berteriak lagi, tetapi kali ini suaranya teredam lengan Charles. Cinderella meronta-ronta tak terkendali.

“Cinderella! Hei, Cinderella tenang dulu!” teriak Charles.

Cinderella berhasil meloloskan mulutnya dari tangan Charles. “Bagaimana aku bisa tenang melihat tubuh dan kepalamu terpisah mengerikan begitu?!”

“Hei, aku ini mayat hidup. Aku takkan merasakan apa pun. Lagipula, penyihir yang menyihirku telah mengutukku untuk hidup selamanya sebagai mayat hidup, aku tidak akan mati kecuali seluruh tubuhku tersiram air raksa. Jadi, aku akan baik-baik saja, tenanglah.”

Cinderella masih menutup matanya rapat-rapat. Melihat kepala teman sendiri terpenggal secara langsung—meskipun ia seorang mayat hidup—tetap saja bukan pemandangan yang sedap dinikmati. Cinderella tidak pernah ingin melihatnya lagi.

“Lihat aku. Aku perlu bantuanmu.”

Cinderella masih tak ingin membuka mata.

“Hei, Cindy! Kepalaku takkan bisa kembali ke posisi semula tanpa bantuanmu!”

Telinga Cinderella terasa aneh dengan panggilan itu. Ia memberanikan diri membuka sebelah mata dan menatap kepala Charles. “Bagaimana kau memanggilku tadi?”

“Kalau tidak begitu kau takkan membuka mata,” jelas Charles, “Cindy.”

Cinderella mengerang kesal. “Nama macam apa itu?!”

“Nama julukan. Selama itu berasal dariku, pasti keren.”

“Namaku Cinderella!”

“Dengar, Cindy—”

“Cinderella!” Cinderella menggembungkan pipinya.

“Kau harus menjahit kepalaku.”

Mata Cinderella membelalak. “Apa?!”

“Cari serpihan tulang, lubangi ujungnya, lalu kau bisa gunakan serat tumbuhan sebagai benangnya.”

Cinderella ingin mengumpat. Laki-laki ini benar-benar merepotkan.

“Aku berjanji akan bersama-sama merenggut hidup kita kembali sebagai imbalannya.”

Cinderella menatap mata di kepala terpisah Charles. “Bersama-sama?”

“Ya.”

Cinderella tampak berpikir, lalu ia mengangguk pelan. “Setuju. Oh, dan jangan panggil aku Cindy.”

“Haha, baiklah, Cindy.”

Cinderella memutar bola mata dan mulai mencari apa yang Charles perlukan. Akan membutuhkan waktu lama untuk mencari semua itu. Sekadar berjaga-jaga, ia membawa obor untuk mencari di tempat gelap dan ranting tebal bekas malam bertahan dari serigala hutan untuk pertahanan diri.

Semua keperluan telah terpenuhi, beberapa hewan pengerat membantu Cinderella menemukannya, bahkan membentuk setiap bahan hingga siap digunakan untuk menjahit. Cinderella berseri pada mereka sebelum kembali ke tempat Charles berada. Gadis itu duduk dan memosisikan leher Charles bertopang pada sebagian pahanya, dan kepala Charles di pangkuannya. Ia melantunkan sedikit nyanyian, lalu datanglah beberapa hewan pengerat lagi, mereka lantas membantu Cinderella yang mulai menjahit leher Charles penuh kehati-hatian.

Charles memejamkan mata, menikmati senandung lembut Cinderella seraya merasakan ujung potongan tulang dan serat tumbuhan yang menembus kulit dan dagingnya tanpa rasa sakit.

“Kau beruntung,” Charles membuka suara. “Memiliki suara merdu yang bersahabat dengan alam.”

Cinderella berhenti bernyanyi.

“Sementara aku, tidak memiliki kemampuan apa-apa dan harus berjuang sendirian untuk tetap utuh di hutan ini.”

Cinderella lama terdiam, membiarkan jari-jari busuknya membuat jalinan rapi di leher laki-laki itu. “Charles,” panggilnya. “Jika aku tidak salah dengar, kau sempat menyebut-nyebut penyihir dan kutukan.”

Charles membuka mata perlahan. Pandangannya menerawang ke langit, tampak memikirkan sesuatu.

“Apa yang terjadi padamu sebelum tubuhmu membusuk?”

Charles terdiam beberapa lama, ia menarik napas seperti manusia hidup, lalu memberanikan diri untuk memulai cerita. Menggali kembali luka yang telah dikuburnya empat tahun lalu. “Aku dibunuh oleh Nightblade.”

Cinderella memiringkan kepalanya, mempertanyakan apa itu Nightblade.

“Dua makhluk berasap yang hampir memakan kita semalam.”

Cinderella berusaha mengingat. Oh, jadi itu alasan mengapa Charles tampak begitu ngeri untuk menghadapi mereka. Kedua kaki Charles seakan menancap ke tanah kala itu. Sebab, merekalah yang telah membunuh Charles.

“Aku tengah berburu sendirian malam itu,” Charles melanjutkan kisahnya.  “Aku terlampau jauh ke dalam hutan, dan tidak mungkin kembali ke istana menembus gulita. Perutku kelaparan, sial pula hariku berburu saat itu karena aku tidak berhasil mendapatkan satu buruan pun, para binatang di hutan ini seolah mempermainkanku. Hanya berbekal busur dan panah, aku tetap mencari buruan untuk kusantap hari itu. Kemudian aku bertemu seorang wanita yang sangat buruk rupa, kulitnya hijau kebiruan oleh sebab urat-urat yang menonjol pada seluruh permukaan tubuhnya, keriputnya juga tak manusiawi, seakan sudah ratusan tahun termakan usia. Tapi anehnya, dia masih terlihat cantik. Wanita itu lalu menawariku segenggam buah apel. Jingga buah itu terlihat begitu segar dengan embun-embun yang mengalir pada kulitnya. Aku benar-benar tergiur.

“Penyihir itu tidak bicara, ia hanya memberiku isyarat untuk mengikutinya jika aku menginginkan buah itu. Dikuasai nafsu dan rasa lapar, aku tak berpikir panjang untuk mengekornya. Kupikir, aku akan digiring menuju sebuah rumah, tetapi ternyata wanita tua itu menghilang begitu saja di sebuah tanah lapang yang luas. Meninggalkanku bersama gelap malam dan bintang-bintang. Lalu ….”

Cinderella menunggu.

Charles tampak meneguk liur ketika menyusun kembali memori itu. “Lalu muncul kedua makhluk berasap itu dari sisi kanan-kiriku. Rupanya persis, bahkan kilau bilah pipih di kedua tangan mereka pun tak berubah dari yang kulihat malam itu bersamamu. Aku ketakutan. Tidak ada yang dapat kulakukan kala itu, selain menggunakan busurku dan memanah kedua tubuh mereka dalam waktu sepersekian detik. Namun, apa yang terjadi?”

“Kedua anak panahmu meleset?”

Charles menggeleng. “Kedua anak panahku tepat sasaran, tetapi hanya berakhir menembus tubuh asap mereka. Ketika aku berusaha lari, salah satu tangan mereka menyayat nadiku. Darah mengalir deras darinya, lalu disambut sayatan lain di punggungku, lalu di lengan, kaki, leher, dan empat bilah tajam itu menyayat seluruh bagian tubuhku tanpa ampun pada akhirnya. Aku menjerit menahan perih. Ketika sadar tubuhku telah berlumur darah, aku tidak dapat menjerit lagi. Aku tumbang kehabisan tenaga. Kemudian wanita tua itu memunculkan diri di hadapanku, masih dengan buah apel di tangannya. Lalu kuku-kukunya memanjang. Dan dengan sekali remas, apel itu hancur hanya menyisakan sari. Hal berikutnya yang kurasakan adalah, kuku-kuku itu bergerak menusuk dadaku, mengoyak dan mencabut satu-satunya organ yang membuatku masih bernyawa. Lalu penyihir itu mencabut organ itu; jantungku.”

Jemari Cinderella terhenti. Begitu terkejut, sampai ia melihat dada Charles lamat-lamat untuk memastikan kebenarannya. Lalu dibukanya satu kancing kemeja Charles, Cinderella terkesiap kecil. Benar saja, luka berlubang dengan bekas cakar tak rapi menganga di sana, memamerkan tulang-tulang rusuk dan daging sobek dari dalam dada Charles, tengah melompong tempat kosong yang seharusnya adalah jantung.

“Hal terakhir yang aku lihat adalah mata hijau Sang Penyihir yang menyala, lalu aku mati,” lanjut Charles mengakhiri sesi ceritanya. “Entah beberapa minggu setelahnya, aku terbangun di sebuah gubuk, sudah dalam keadaan menjadi mayat hidup. Seorang wanita muda terlihat tengah meracik dengan terburu-buru. Begitu ia melihatku sadar, ia langsung memberiku kain goni dan pakaian lamaku, lalu menyuruhku cepat-cepat menyelamatkan diri. Ia bilang, ia telah mengutukku dengan memberiku kesempatan hidup selamanya selama aku tidak tersiram air raksa.”

“Apakah dia penyihir yang membunuhmu?”

“Bukan, karena ia tidak memiliki mata hijau yang menyala. Dan bagiku, kutukan yang ia berikan justru merupakan anugerah. Karena meski bukan sebagai manusia seutuhnya, aku akhirnya dapat merasakan dunia kembali.”

“Mengapa dia menghidupkanmu kembali?”

Charles terlihat ragu beberapa saat. “Mm … ah, penyihir muda itu berkata padaku bahwa aku tidak berhak mati, karena aku tak bersalah.”

“Lalu kau pergi begitu saja?”

“Tidak. Sebelum aku pergi, aku menanyai namanya sebagai bentuk terima kasihku.”

“Lalu apakah ia menjawab?”

“Ya. Nama penyihir itu adalah Anastasia.”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status