Share

3 | Berita Palsu untuk Istana

Berdasarkan apa yang diajarkan Charles, serigala dengan posisi paling maju di antara serigala di lingkarannya adalah yang akan pertama menyerang. Berdasarkan pengalaman laki-laki itu juga, yang mana pun yang terakhir, itu adalah pimpinan mereka, dan justru, pimpinannya lah yang harus dikalahkan lebih dulu, karena jika dia sudah dapat ditundukkan, maka para serigala pengikutnya takkan berani maju lagi.

“Kiri!”

Hendak merealisasikan pelajaran yang didapat, Cinderella malah berteriak sambil berbalik dan melindungi kepalanya. Serigala pertama menyerang, cakaran besar merobek punggung Cinderella. Cinderella tetap tak berkutik ketakutan.

Charles mengerang, dihantamnya tengkuk serigala yang menyerang Cinderella, lalu ia berbalik untuk menendang serigala yang menyerang dari arah kanan.          “Lakukan apa yang kuajarkan, Cinderella!”

Cinderella menggeleng ketakutan. “Aku tidak bisa!”

Sementara itu, serigala lain menyerang Charles bertubi-tubi. Beberapa mengarah ke Cinderella, tetapi berhasil disingkirkan Charles dengan baik. Tidak dapat menaruh fokus pada seluruh serigala, Charles tidak memperhatikan kalau serigala pemimpin tengah berjalan pelan menuju ke arah Cinderella. Geramannya yang dalam baru membuat Charles tersadar. Seraya berusaha menjauhkan serigala-serigala lain dari tubuhnya, Charles berteriak, “Cinderella! Di belakangmu!”

Cinderella membuka tangannya, dan berbalik perlahan, membiarkan matanya melihat jelas apa yang tengah terjadi. Lalu dilihatnya serigala terbesar, sang pemimpin kawanan, tengah menggeram dan berjalan penuh nafsu ke arahnya.

Tubuh Cinderella bergetar. Dapat didengarnya Charles meneriaki apa yang harus Cinderella lakukan, tetapi tubuhnya terlalu kaku untuk bergerak. Ini adalah kali pertamanya ia menyaksikan binatang buas sedekat ini dalam keadaan ingin memangsanya. Cinderella digandrungi ketakutan.

Charles berhasil menumbangkan tiga serigala, sisa dua, dan tidak akan cukup waktu untuk menumbangkan mereka, baru mengalahkan si pemimpin setelahnya. “Tusuk perutnya!” perintah Charles pada Cinderella.

Dengan gemetar, Cinderella mencoba mengayukan ranting dari genggamannya. Terlambat. Serigala itu menggeram keras dan berlari ke arah Cinderella. Cinderella terperanjat dan seketika menutup matanya seraya menahan napas. Bersiap merasakan tubuhnya dicabik-cabik.

Mendadak kericuhan menyusut terlalu tiba-tiba, seakan waktu terhenti di saat yang tepat. Keenam serigala menghentikan aksi mereka. Memandang ke pohon di belakang Cinderella, geraman mereka berganti cicitan. Cinderella membuka mata perlahan, dan ia melihat pemimpin kawanan serigala itu termundur merengut, kedua telinganya hampir tertutup seperti anjing ketakutan.

Dua detik kemudian, pemimpin serigala itu mengeluarkan lolongan yang tak Cinderella pahami. Persis setelahnya, kawanan pengikutnya melarikan diri bersama pemimpin mereka. Cinderella mulai dapat bernapas lagi. Ia tidak tahu apa yang pohon di belakangnya lakukan, tetapi hal tersebut berhasil menyelamatkan Cinderella dari maut yang tinggal terpaut satu jengkal jaraknya.

“Ha!” Cinderella tertawa lega. “Apa kau lihat, Charles? Pohon-pohon di hutan ini berpihak pada kita, buktinya—”

“Ssh.” Charles menempelkan telunjuknya ke bibir Cinderella. “Jangan menoleh ke belakang,” bisiknya begitu pelan.

Cinderella memberi tatapan penuh tanya pada Charles.

Menangkap kebingungan Cinderella, Charles menunjuk lempengan besi—sampah busana tempur—di hadapan mereka dengan kepalanya.

Cinderella memperhatikan lempengan besi bekas busana zirah prajurit istana. Sudah berdebu, tetapi masih cukup mengilap untuk bercermin. Cinderella memicingkan mata, dan pandangannya menangkap sesuatu. Kedua matanya membesar ketakutan untuk yang kedua kalinya. Ternyata bukan pohon di belakang mereka berdua yang membuat kawanan serigala itu melarikan diri, melainkan dua makhluk besar di belakang pohon itu.

Makhluk hitam tanpa wajah dan berkaki asap, kedua tangan mereka digantikan dengan sepasang kapak pipih yang kilau ketajamannya bahkan terpantul pada lempengan besi yang sudah berdebu.

Kehangatan udara menyusut seketika. Mungkin Charles tidak lagi merasakannya, tetapi Cinderella masihlah setengah manusia, jadi alat indra dan sebagian saraf-sarafnya masih bekerja baik. Kulit pucatnya kini merasakan embus dingin udara yang tak bersalju.

Cinderella dapat merasakan kedua makhluk itu mendekat, karena ia mendengar dua napas wanita yang tidak manusiawi, seperti mengembuskan napas yang tiada habisnya. Tak bernyawa dan mencekam. Cinderella tidak berani memberi gerakan, pun Charles yang kini hanya mematung di tempat, kedua matanya memaksa Cinderella untuk berkomunikasi.

“Cahaya,” bisik Charles. “Kita butuh cahaya.”

Kedua makhluk itu kian mendekat, kini Cinderella dapat melihat salah satu dari mereka tampak menempel ke tubuh Charles, kepalanya mendekat ke leher laki-laki itu, lalu mulut mereka yang semula tak terlihat, sekarang tampak membuka, menampakkan taring-taring setajam belati. Cinderella memejamkan mata dan mulutnya bergerak mengeluarkan suara.

Cinderella bernyanyi.

Suaranya kecil dan merdu. Ia tetap memejamkan mata dan terus bernyanyi, dapat dirasakannya kedua makhluk itu teralih dan sekarang melayang mendekat ke Cinderella. Cinderella mengepalkan tangan menahan rasa takutnya yang kelewat besar seraya terus bernyanyi.

Suaranya meninggi, lalu Cinderella kembali melantunkan nada yang sama. Mengulang ritme itu tiga kali, dan ia menggantung nadanya di akhir. Cinderella membuka mata perlahan. Tidak ada yang berubah. Hutan masih segelap sebelumnya, dan dua makhluk itu sudah berada di kanan-kirinya, tubuhnya terasa begitu dingin sekarang. Charles di sisi sana, terlihat panik, tetapi ia tak berkutik, seakan kedua kakinya terpaku ke tanah.

Cinderella melantunkan nada terakhir.

Persis setelahnya, puluhan kunang-kunang muncul dari semak-semak di sekeliling mereka. Sinarnya cukup menerangkan tanah dan pepohonan di sekitar mereka. Terdengar pekik ringan dari kedua makhluk itu, mereka menjauhkan dirinya dari tubuh Cinderella, dan menatap sekeliling dengan selintas ketakutan.

Kunang-kunang itu bergerumul mendekat ke arah mereka. Satu di antaranya menyentuh tubuh berasap makhluk itu. Ia memekik kesakitan, lalu terlihat asap lepuh membekas dari bagian yang tersentuh cahaya kunang-kunang. Keduanya lantas saling tatap setuju, lalu mendesis pada Cinderella dan Charles, kemudian lenyap menyisakan kepulan asap tipis.

Charles melemas, ia bertopang pada pohon dan bersender padanya untuk menghirup udara banyak-banyak—meski paru-parunya tak lagi berguna. Cinderella tersenyum lega, ditatapnya puluhan kunang-kunang itu. “Terima kasih.” Seakan menjawab Cinderella, kunang-kunang itu mulai melepas diri dari formasi melingkar, dan melayang-layang bebas di sekitar pohon tempat Cinderella dan Charles bersandar, melindungi mereka dari bahaya lain di malam hari.

Cinderella terduduk, lalu menghirup udara sebanyak mungkin, dan mengembuskannya perlahan—bersyukur pada alam karena masih memberi kesempatan baginya untuk hidup.

“T-terima kasih,” Charles sudah kembali bicara.

“Bukan padaku, tapi pada mereka.” Cinderella menunjuk para kunang-kunang dengan telunjuknya.

Charles tersenyum ikut memandangi cahaya-cahaya kecil yang melayang indah di sekeliling mereka. “Aku baru melihat yang seperti tadi,” lanjutnya. “Aku ingin melihatnya lagi.”

Cinderella mendelik jahil pada Charles. “Kau ingin kuajari bernyanyi?”

“Tidak, terima kasih. Aku baik-baik saja dengan ranting dan belati.”

Cinderella tertawa.

Malam pertama sebagai mayat hidup baru saja Cinderella lalui, dan untuk ukuran gadis rumahan sepertinya, itu malam yang sangat buruk.

Lambat laun Cinderella dan Charles dikuasai lelah, hingga akhirnya mereka tertidur tanpa suara, ditemani cahaya-cahaya kecil kunang-kunang malam yang akan menjaga keduanya hingga fajar menjelang.

***

Panekuk mewah dihidangkan. Para pelayan menuangkan sirup maple, untuk kemudian meletakkan serbet sebelum pisau dan garpu makan disajikan.

“Maaf. Aku tidak berselera menyantap panekuk pagi ini,” potong Pangeran menghentikan kesibukan pelayan di ruang makannya. “Aku ingin telur orak-arik dengan truffle.”

Pelayan pria setengah baya itu mengangguk. “Baik, Yang Mulia Pangeran.”

Pangeran lantas tak menatap siapa pun di meja itu. Matanya tetap memandang piring kosong di hadapannya. Bahkan menatap Ayahnya pun ia enggan. Bayangan kekasihnya yang tergeletak tak bernyawa di atas ubin kediaman gadis itu di pelosok desa, membuat Pangeran tak berselera makan hingga hari ini.

Seharusnya sejak tiga hari yang lalu, gadis bernama Cinderella itu sudah duduk di sampingnya, menikmati hari-hari kebangsawanan bersamanya. Ia tahu usia Cinderella memang belum dewasa, hanya sebatas gadis enam belas tahun biasa yang lugu, tetapi kecantikannya begitu terpancar, dan keistimewaan itulah yang membuat hati seorang Charming jatuh kepadanya.

Pangeran menatap cincin perak yang tersemat di jari manisnya. Senyum dan rona Cinderella malam itu masih melekat jelas di kepalanya. Charming tersenyum.

“Charming,” suara Sang Raja mengalihkan Charming beberapa saat. “Aku turut berduka. Bahkan seluruh negeri ini berduka atas kehilanganmu. Tetapi, Putraku, kau adalah pria dewasa sekarang. Dua puluh tahun, Charming. Kau tidak bisa membiarkan hatimu berlabuh dan terpuruk terlalu lama pada wanita yang baru kau kenal beberapa hari lalu, yang sekarang ia takkan kembali lagi—”

“Ia akan kembali,” potong Pangeran. “Cinderellaku akan kembali.”

“Charming,” nada suara Raja mulai menimbun emosi. “Berhenti bersikap kekanakan.”

Sang Pangeran tak menggubris.

“Tidak ada yang pernah tahu kapan takhtaku akan jatuh padamu, dan kau tidak bisa terus-menerus memikirkan wanita desa itu! Masih banyak putri kerajaan di luar sana yang pantas kau pinang!”

“Jika memang berpindah hati semudah yang Ayah ucapkan, lantas mengapa Ayah tidak berhenti memikirkan Ibu dan menikah lagi?” Pangeran bangkit dari kursi makan dengan gusar, gerak tubuhnya menyenggol alat-alat makan di atas meja hingga berdenting.  Ia melepas serbet yang masih tersangkut di tubuhnya, dan berjalan ke luar ruang makan, meninggalkan Ayahnya sendirian dengan luapan emosi yang tak dapat ia luapkan.

“Charming!”

Kekanakan. Memang benar Charming adalah pria kekanakan. Lantas apa? Jika Charming diizinkan memilih, ia takkan memilih hidup sebagai bangsawan. Kehilangan kebebasan masa kecil seorang anak laki-laki, diharuskan menguasai ilmu Geografi, Matematika, Bahasa, Politik, teknik berdiplomasi, berlatih pedang, bahkan memanah bersama Charles.

“Charles.”

Sang Pangeran menghela napas berat, membiarkan kedua matanya menyapu halaman depan istana. Dipandanginya pemandangan negeri dari serambi atas istana. Ia merindukan orang-orang terpenting dalam hidupnya yang terenggut satu per satu. Ibu, Charles, lalu Cinderella. Kini tinggal Ayah satu-satunya orang terpenting di hidupnya, dan ia baru saja membuat pria bijaksana itu membendung amarah. Benar-benar putra raja yang berbakti.

Mengusik lamunan Pangeran, sebuah kereta kuda sederhana baru saja berhenti di depan gerbang istana. Tiga orang di dalamnya sempat berdebat dengan dua penjaga gerbang, tetapi pada akhirnya kedua penjaga membukakan gerbang setelah diberi unjuk sebuah surat.

Charming memicingkan matanya, ia tampak mengenali ketiga wanita yang baru saja turun dari kereta. Begitu ia sadar, matanya membulat. “Keluarga Cinderella,” tukasnya. Charming bergegas menuruni tangga dan menghampiri tiga orang itu secara langsung, tanpa mengingat ayahnya terlebih dulu.

“Pangeran!” sapa kakak tiri pertama Cinderella kegirangan, ia mengangkat gaunnya dan hendak berlari memeluk Charming ketika Ibu Tiri menggetok kepalanya. “Ouh! Mengapa Ibu memukul kepalaku?” protesnya berbisik.

“Psng wjh brdukamu, Drizella,” bisik Ibu Tiri dengan artikulasi tak jelas sehingga Charming tidak mendengarnya.

“Ada kabar baik soal Cinderella?” tanya Sang Pangeran tanpa kalimat pembuka.

Ketiga wanita itu serempak memasang wajah sedih yang mendalam. Ibu Tiri mengambil satu langkah mendekat pada Pangeran. Wajahnya yang cantik murung bukan buatan. Ia kemudian memandang Charming dengan mata berkaca-kaca. “Pangeran, kami datang kemari hendak menyerahkan wasiat yang Cinderella tinggalkan sebelum … sebelum ….” Ibu Tiri tampak menarik napas seolah tak sanggup mengucapkan kepedihan yang menyayat hati. “Sebelum Cinderella memutuskan untuk merenggut nyawanya sendiri.”

Lalu Anastasia—kakak tiri kedua—maju untuk menyerahkan surat mendiang Cinderella, sementara mata Drizella berkedip-kedip nakal, lalu kembali memasang wajah sedih.

“Terima kasih,” ujar Pangeran. “Jika berkenan, mungkin Nyonya Tremaine, Drizella, dan ….”

“Anastasia,” ujar kakak tiri kedua Cinderella.

“Dan Anastasia, ingin beristirahat di istana barang sebentar saja?”

Drizella memekik, “Oh! Tentu saj—aw!”

Ibu Tiri mencubit lengan bawah Drizella cukup keras. Senyum lebar yang agak menyeramkan tersemat di bibir tipis wanita tua itu. “Terima kasih banyak, Pangeran Charming. Kau memang anak muda yang baik.”

Charming tersenyum dan mempersilakan mereka semua untuk masuk. Drizella melewatinya, begitu pula Anastasia, yang tersenyum begitu manis padanya. Ketiganya lalu duduk di ruang perjamuan istana yang teramat megah, menunggu sang Raja tiba. Sementara Charming hanya dapat duduk canggung bersama mereka dengan surat mendiang Cinderella di pangkuannya.

Raja tiba dan perbincangan pun dimulai. Mereka membahas perihal Cinderella, segala kenangan, dan berujung pada pinang-meminang yang memaksa Pangeran Charming untuk menentukan keputusan. Disebabkan sudah tidak mungkin lagi bagi Cinderella untuk kembali, Charming harus menentukan langkah selanjutnya yang akan ia lakukan.

“Cinderella menyampaikan beberapa pesan dalam surat itu, Pangeran,” jelas Ibu Tiri agak mendayu. “Dipersilakan jika Yang Mulia Pangeran berkenan membacanya sekarang.”

Charming tampak ragu untuk membaca surat dari gadis yang dicintainya di depan orang banyak, tetapi apa boleh buat, sepertinya ia memang harus membacanya di sini. Dibukanya surat berkertas lapuk itu dengan lembut, lalu matanya bergerak perlahan membaca kata demi kata dalam surat mendiang itu.

“ … Meminta maaf karena harus meninggalkanmu … aku memiliki penyakit kelamin … tidak ingin menyakitimu dan merusak keturunan kita …,” Charming membaca kata demi kata dengan menyuarakan bagian-bagian penting saja. Beberapa kali ia berkerut kening bingung pada kalimat-kalimat yang menurutnya aneh di surat itu. Ia terus melanjutkan membaca surat hingga tiba pada kalimat terakhir. “… Aku ingin kau menikahi salah satu dari kedua kakak tiriku dan membahagiakan mereka demi diriku.” Charming berkerut kening lagi. “Aku mencintaimu. Tertanda, Cinderella.” Lalu Charming melihat kecupan dengan gincu merah di sudut terbawah kertas surat. Ia bukan lagi berkerut kening, melainkan menautkan kedua alis kepalang heran.

“A-ah, itu darah dari bibirnya! Ya, Cinderella tidak pernah menggunakan pemerah bibir,” tukas Drizella cepat-cepat.

Anastasia menyenggolnya dan berbisik kecil, “Sudah kukatakan! Mana ada mendiang seseorang yang bunuh diri pakai kecupan bibir!”

“Sst! Diam! Lagipula awalnya kau yang ingin mengecup suratnya, kan?!”

“Apa?! Hei, ini semua idemu!”

“Berisik! Idemu soal penyakit kelamin juga payah!”

“Enak saja! Setidaknya itu masuk akal!”

“Diam kau!”

“Kau yang diam!”

“Kau—!”

Ujung tongkat panjang Ibu Tiri mengantam ubin istana dengan keras. Anastasia dan Drizella terdiam tak berbantah. Ibu Tiri tersenyum kembali. “Maaf, aku benci serangga,” bohongnya pada Raja dan Pangeran tanpa mencurigakan.

Charming masih terdiam. Kepalanya dibuat pening, ditambah kejanggalan gaya menulis Cinderella yang bukan seperti dirinya yang polos dan lugu, lalu … kecupan? Astaga. Bahkan Charming merasa bibir Cinderella tidak selebar itu.

Charming berdeham. “Baik. Aku akan memberi keputusan. Akan tetapi, beri aku waktu untuk berpikir. Mungkin sekitar—”

Teriakan nyaring menggema dari arah hutan. Charming menoleh cepat ke arah jendela, bahkan seluruh orang yang ada di ruangan itu, termasuk Ibu Tiri. Burung-burung di puncak pepohonan terbang, terkejut oleh teriakan tersebut. Jantung Charming berdetak cepat, itu seperti teriakan perempuan.

“Sekitar berapa lama, Yang Mulia Pangeran?” tanya Ibu Tiri mengembalikan situasi. “Tak usah hiraukan, barangkali itu hanya pekik burung gagak.”

Suasana kembali normal.

“Sekitar satu minggu, Nyonya Tremaine.”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status