Share

YIC-2. Meet Them

Cukup lama Axton tergantung dan ia mulai mual. Kepalanya pusing dan rasanya ingin muntah hingga ia melihat pintu kamarnya di buka.

Ia menyadari sosok itu, tapi ia terlalu pusing untuk mengeluarkan suaranya apalagi memanggil orang tersebut.

“Hei. Apa kau sedang berevolusi menjadi seekor kelelawar?” tanya Giamoco, Kakek Axton. 

Help …,” panggilnya lirih.

Giamoco akhirnya mendekati Axton. Remaja 17 tahun itu memegangi tubuh bagian bawah Kakeknya erat agar tak jatuh hingga akhirnya pemuda itu digeletakkan perlahan di lantai.

Giamoco tersenyum meledek, melihat cucunya memegangi kepalanya yang pusing.

“Kau berhasil membuat ayahmu marah. Jadi, apa aksimu kali ini, Jagoan?” ledeknya sembari memasukkan kedua tangan dalam saku celana kain.

“I hate him, Grand Pa,” desis Axton mulai bangkit dan perlahan merayap menuju ranjang.

Axton merebahkan dirinya di atas kasur empuknya dan menarik dua buah guling untuk mengapitnya.

Ia juga menyelimuti dirinya dengan selimut tebal yang terlipat rapi di sana sebelum akhirnya ia bongkar.

“Axton. Sudah cukup main-mainnya. Sebaiknya kau ikut Kakek. Jangan lupa, kau lahir di keluarga mafia. Ibumu yang orang biasa saja tahu konsekuensinya. Dia berhasil melewati kehidupan berat ini dan aku menyukai aktingnya selama tinggal bersama keluarga Giamoco. Dia wanita yang tangguh,” ujar Giamoco sambil mengangguk-anggukkan kepala seperti memuji kehebatan ibu Axton.

“Kau benar. Ibuku wanita tangguh, tapi jiwanya tertekan. Ayah mengabaikannya bahkan ia sampai tak tahu jika isterinya sakit,” geram Axton memalingkan wajah dengan selimut dalam cengkeramannya.

Giamoco tersenyum, “Kau juga tak tahu kalau ibumu sakit, ‘kan? Apa bedanya kau dan ayahmu?”

DEG.

Ucapan menohok dari sang Kakek sukses membuat nafas Axton tercekat. Pemuda itu terlihat tak nyaman dengan kondisinya sekarang dan Giamoco tersenyum tipis melihat tingkah cucunya.

“Bersiaplah. Kita akan pergi ke Rusia. Aku ingin mengunjungi kawan lamaku di Krasnodar,” ucap Giamoco sembari berjalan mendekati pintu kamar Axton siap keluar.

“Aku tak mau.”

“Aku memaksa, Adry,” ledeknya.

“Jangan memanggilku Adry! Aku tak suka nama itu!” bentaknya.

“Hahahahaha … 10 menit atau aku akan melemparkanmu keluar jendela,” balasnya sembari menutup pintu.

“Arrghhh! Menyebalkan! Kakek dan ayah menyebalkan! Aku yakin jika mereka berkomplot hari ini untuk menghukumku. Awas saja,” gerutu Axton sembari menendang guling yang tadi mengapitnya.

Axton segera bersiap, bahkan ia membiarkan jendela terbuka dengan angin dingin menyelimuti kamarnya yang menjadi dingin seperti dirinya.

Akhirnya, Axton pergi dengan Giamoco malam itu ke Rusia. Axton bahkan enggan berpelukan bahkan menyapa Ayahnya yang sedari tadi memandanginya.

Axton memalingkan wajah dari jendela mobil karena tak ingin melihat ayahnya. Giamoco hanya menghela nafas melihat sikap Axton yang tak pernah akur dengan sang ayah sejak kematian Iva, ibunya.

Sepanjang jalan, Axton diam saja melipat kedua tangan di depan dada. Ia masih memasang wajah masam bahkan sampai tiba di Rusia.

Jemputan sudah menunggu di Bandar Udara Internasional Krasnodar keesokan harinya oleh orang suruhan dari rekan bisnis Giamoco.

“Hallo, Mr. Axton. Nice to meet you,” sapa lelaki yang mengajaknya bersalaman.

Axton menyambut jabat tangannya dan kembali melipatnya di depan dada. Lelaki itu melirik Tuan Giamoco dan Kakek Axton hanya menghela nafas.

Mereka mengendarai Hummer membelah jalanan berselimut salju di kanan-kiri aspal hitam itu.

Pemandangan dengan warna putih dan salju di hari yang menjelang siang, tak membuat wajah Axton terukir senyuman semenjak meninggalkan Amerika.

Hingga akhirnya, mereka tiba di sebuah mansion mewah yang memiliki halaman seluas mansion Giamoco di Amerika. 

Axton yang menyukai kemewahan terlihat tertarik akan hunian tersebut. Ia melihat sekeliling di mana terlihat lelaki berpakaian hitam berwajah tegas seperti para bodyguard yang menjaga rumah kakeknya.

Axton turun dari mobil dan melangkahkan kaki melihat sekeliling di mana terlihat banyak kamera CCTV di sana.

Ia perlahan melangkah ke teras tanpa didampingi kakeknya hingga ia tak sadar, ada seorang wanita di depannya.

Axton menatap wanita yang mungkin sekarang seumuran dengan ibunya itu dengan kedipan mata berulang kali karena wanita berambut cokelat itu sedang menatapnya seksama.

“Kau pasti Adrian Axton, cucu dari Giamoco. Apa tebakanku benar?” tanya wanita itu membungkuk dan wajahnya kini berada tepat di hadapannya.

“Am … yes,” jawab Axton gugup karena merasa jika wanita tersebut sedikit menyeramkan.

“Hmm, welcome to Krasnodar, Axton. Masuklah bersamaku, di luar dingin. I hate snow,” ucapnya sembari merangkul bahunya dan mengajaknya masuk ke dalam, tapi lewat pintu yang lain.

Axton bingung dan menurut saja. Entah kenapa aura dan aksen dari wanita berambut cokelat itu sedikit menyeramkan baginya, membuatnya yang memiliki sifat pemberontak tak berkutik seketika.

“Kau tunggulah di sini. Pelayan akan membawakanmu cemilan,” ucap wanita itu mendudukkan Axton paksa di sofa cokelat dekat perapian.

“Ah, oke,” jawabnya menurut.

Axton melepaskan mantel bulunya yang menjaga tubuhnya selalu hangat di tengah udara dingin Rusia. Axton melihat sekeliling di mana terdapat foto keluarga di sana.

Ia melihat foto dari wanita itu yang berdiri berdampingan dengan seorang lelaki. Terlihat wajah tegas tanpa senyuman di foto tersebut, terutama si wanita berambut cokelat yang menyambutnya.

Tak lama, muncul seorang pemuda yang kira-kira umurnya lebih tua darinya juga dibawa masuk oleh lelaki yang mirip dengan foto yang tadi ia lihat. 

Axton menatap lelaki yang kira-kira seumuran ayahnya itu seksama saat mendudukkan paksa lelaki berambut cokelat di depannya yang menatapnya tajam dan kini duduk di seberangnya.

“Kalian sepertinya akan menjadi kawan akrab. Mengobrollah dan nikmati sajian sampai nanti kami memanggil untuk bergabung. Maaf, urusan orang dewasa,” ucap lelaki itu tersenyum sembari menutup pintu.

Axton menatap lelaki yang duduk menyenderkan tubuhnya di sofa sembari menyilangkan kedua kaki. Entah kenapa, sikapnya begitu angkuh seperti mengintimidasinya, Axton gugup seketika.

“Hai, aku ….”

“Boleslav. Aku Antony Boleslav. Kau pasti Adrian Axton,” ucapnya tegas to the point hingga Axton tertegun karena pemuda di depannya itu mengenalnya.

“Oh, ya. Hai Boleslav. Senang mengenalmu,” jawab Axton makin gugup.

“Panggil saja Antony dan jika kau ingin menjadi temanku, panggil aku Tony.”

“Ahh … oke, Tony. Kau panggil saja aku Axton. Aku tak suka di panggil Adrian apalagi Adry. Aku seperti ….” ucapan Axton terputus saat pemuda bernama Antony mengulurkan tangannya mengajak berjabat tangan.

Axton segera menyambut jabat tangan itu dan tersenyum lebar meski ia masih canggung dengan keadaan ini. 

Ia tak pernah bertemu pemuda yang menurutnya cukup tampan dan memiliki aksen bicara Rusia yang tegas sampai hari ini.

“Oh, kalian sudah berkenalan. Baguslah. Aku akan pergi lagi, aku sempat khawatir jika kalian akan baku hantam tadinya,” ucap Giamoco tiba-tiba muncul bersama dengan wanita dan lelaki yang tadi membawa mereka masuk ke ruang perapian.

“Maaf, Kakek. Mereka itu siapa? Fotonya ada di dinding ruangan ini?” tanya Axton menunjuk foto besar di dinding ruangan.

“Aku Emma Madison Theresia dan dia suamiku, Lawrence,” jawab wanita berambut cokelat mengenalkan dirinya dan lelaki yang membawa Antony masuk tadi.

Axton dan Antony mengangguk bersamaan di mana mereka tak sadar masih berjabat tangan.

“Baik, kami kembali berbisnis. Kalian … bisa melepaskan jabat tangan itu. Kakek sudah bisa melihat keakraban kalian,” ucapnya terdengar seperti meledek dua remaja yang baru menyadari jika sedari tadi masih bersalaman.

Axton dan Antony melepaskan jabat tangan lalu saling memalingkan wajah, terlihat malu akan sikap mereka barusan.

Giamoco, Theresia dan Lawrence tersenyum tipis sembari keluar dari ruangan lalu menutup pintu. Axton dan Antony kembali duduk di mana keduanya terlihat canggung.

“Orang tua yang menyebalkan,” gerutu Axton.

“Aku setuju,” sahut Antony kembali dengan posisi dudukknya dengan kaki menyilang sambil mengangguk pelan.

Axton tersenyum lebar, “Kita akan menjadi kawan akrab, Antony Boleslav.” Antony mengangguk pelan dengan senyum tipis.

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Lucania Carmen
Awal persahabatan A & A ...
goodnovel comment avatar
Novita Sitanggang
aku nyebrang ksini dulu le tunggu yg dsana up lgi walupun dsini senior 13 demon heads yg sudah end pi aku suka
goodnovel comment avatar
Lily Lele
tengkiyuw nak
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status