Cukup lama Axton tergantung dan ia mulai mual. Kepalanya pusing dan rasanya ingin muntah hingga ia melihat pintu kamarnya di buka.
Ia menyadari sosok itu, tapi ia terlalu pusing untuk mengeluarkan suaranya apalagi memanggil orang tersebut.
“Hei. Apa kau sedang berevolusi menjadi seekor kelelawar?” tanya Giamoco, Kakek Axton.
“Help …,” panggilnya lirih.
Giamoco akhirnya mendekati Axton. Remaja 17 tahun itu memegangi tubuh bagian bawah Kakeknya erat agar tak jatuh hingga akhirnya pemuda itu digeletakkan perlahan di lantai.
Giamoco tersenyum meledek, melihat cucunya memegangi kepalanya yang pusing.
“Kau berhasil membuat ayahmu marah. Jadi, apa aksimu kali ini, Jagoan?” ledeknya sembari memasukkan kedua tangan dalam saku celana kain.
“I hate him, Grand Pa,” desis Axton mulai bangkit dan perlahan merayap menuju ranjang.
Axton merebahkan dirinya di atas kasur empuknya dan menarik dua buah guling untuk mengapitnya.
Ia juga menyelimuti dirinya dengan selimut tebal yang terlipat rapi di sana sebelum akhirnya ia bongkar.
“Axton. Sudah cukup main-mainnya. Sebaiknya kau ikut Kakek. Jangan lupa, kau lahir di keluarga mafia. Ibumu yang orang biasa saja tahu konsekuensinya. Dia berhasil melewati kehidupan berat ini dan aku menyukai aktingnya selama tinggal bersama keluarga Giamoco. Dia wanita yang tangguh,” ujar Giamoco sambil mengangguk-anggukkan kepala seperti memuji kehebatan ibu Axton.
“Kau benar. Ibuku wanita tangguh, tapi jiwanya tertekan. Ayah mengabaikannya bahkan ia sampai tak tahu jika isterinya sakit,” geram Axton memalingkan wajah dengan selimut dalam cengkeramannya.
Giamoco tersenyum, “Kau juga tak tahu kalau ibumu sakit, ‘kan? Apa bedanya kau dan ayahmu?”
DEG.
Ucapan menohok dari sang Kakek sukses membuat nafas Axton tercekat. Pemuda itu terlihat tak nyaman dengan kondisinya sekarang dan Giamoco tersenyum tipis melihat tingkah cucunya.
“Bersiaplah. Kita akan pergi ke Rusia. Aku ingin mengunjungi kawan lamaku di Krasnodar,” ucap Giamoco sembari berjalan mendekati pintu kamar Axton siap keluar.
“Aku tak mau.”
“Aku memaksa, Adry,” ledeknya.
“Jangan memanggilku Adry! Aku tak suka nama itu!” bentaknya.
“Hahahahaha … 10 menit atau aku akan melemparkanmu keluar jendela,” balasnya sembari menutup pintu.
“Arrghhh! Menyebalkan! Kakek dan ayah menyebalkan! Aku yakin jika mereka berkomplot hari ini untuk menghukumku. Awas saja,” gerutu Axton sembari menendang guling yang tadi mengapitnya.
Axton segera bersiap, bahkan ia membiarkan jendela terbuka dengan angin dingin menyelimuti kamarnya yang menjadi dingin seperti dirinya.
Akhirnya, Axton pergi dengan Giamoco malam itu ke Rusia. Axton bahkan enggan berpelukan bahkan menyapa Ayahnya yang sedari tadi memandanginya.
Axton memalingkan wajah dari jendela mobil karena tak ingin melihat ayahnya. Giamoco hanya menghela nafas melihat sikap Axton yang tak pernah akur dengan sang ayah sejak kematian Iva, ibunya.
Sepanjang jalan, Axton diam saja melipat kedua tangan di depan dada. Ia masih memasang wajah masam bahkan sampai tiba di Rusia.
Jemputan sudah menunggu di Bandar Udara Internasional Krasnodar keesokan harinya oleh orang suruhan dari rekan bisnis Giamoco.
“Hallo, Mr. Axton. Nice to meet you,” sapa lelaki yang mengajaknya bersalaman.
Axton menyambut jabat tangannya dan kembali melipatnya di depan dada. Lelaki itu melirik Tuan Giamoco dan Kakek Axton hanya menghela nafas.
Mereka mengendarai Hummer membelah jalanan berselimut salju di kanan-kiri aspal hitam itu.
Pemandangan dengan warna putih dan salju di hari yang menjelang siang, tak membuat wajah Axton terukir senyuman semenjak meninggalkan Amerika.
Hingga akhirnya, mereka tiba di sebuah mansion mewah yang memiliki halaman seluas mansion Giamoco di Amerika.
Axton yang menyukai kemewahan terlihat tertarik akan hunian tersebut. Ia melihat sekeliling di mana terlihat lelaki berpakaian hitam berwajah tegas seperti para bodyguard yang menjaga rumah kakeknya.
Axton turun dari mobil dan melangkahkan kaki melihat sekeliling di mana terlihat banyak kamera CCTV di sana.
Ia perlahan melangkah ke teras tanpa didampingi kakeknya hingga ia tak sadar, ada seorang wanita di depannya.
Axton menatap wanita yang mungkin sekarang seumuran dengan ibunya itu dengan kedipan mata berulang kali karena wanita berambut cokelat itu sedang menatapnya seksama.
“Kau pasti Adrian Axton, cucu dari Giamoco. Apa tebakanku benar?” tanya wanita itu membungkuk dan wajahnya kini berada tepat di hadapannya.
“Am … yes,” jawab Axton gugup karena merasa jika wanita tersebut sedikit menyeramkan.
“Hmm, welcome to Krasnodar, Axton. Masuklah bersamaku, di luar dingin. I hate snow,” ucapnya sembari merangkul bahunya dan mengajaknya masuk ke dalam, tapi lewat pintu yang lain.
Axton bingung dan menurut saja. Entah kenapa aura dan aksen dari wanita berambut cokelat itu sedikit menyeramkan baginya, membuatnya yang memiliki sifat pemberontak tak berkutik seketika.
“Kau tunggulah di sini. Pelayan akan membawakanmu cemilan,” ucap wanita itu mendudukkan Axton paksa di sofa cokelat dekat perapian.
“Ah, oke,” jawabnya menurut.
Axton melepaskan mantel bulunya yang menjaga tubuhnya selalu hangat di tengah udara dingin Rusia. Axton melihat sekeliling di mana terdapat foto keluarga di sana.
Ia melihat foto dari wanita itu yang berdiri berdampingan dengan seorang lelaki. Terlihat wajah tegas tanpa senyuman di foto tersebut, terutama si wanita berambut cokelat yang menyambutnya.
Tak lama, muncul seorang pemuda yang kira-kira umurnya lebih tua darinya juga dibawa masuk oleh lelaki yang mirip dengan foto yang tadi ia lihat.
Axton menatap lelaki yang kira-kira seumuran ayahnya itu seksama saat mendudukkan paksa lelaki berambut cokelat di depannya yang menatapnya tajam dan kini duduk di seberangnya.
“Kalian sepertinya akan menjadi kawan akrab. Mengobrollah dan nikmati sajian sampai nanti kami memanggil untuk bergabung. Maaf, urusan orang dewasa,” ucap lelaki itu tersenyum sembari menutup pintu.
Axton menatap lelaki yang duduk menyenderkan tubuhnya di sofa sembari menyilangkan kedua kaki. Entah kenapa, sikapnya begitu angkuh seperti mengintimidasinya, Axton gugup seketika.
“Hai, aku ….”
“Boleslav. Aku Antony Boleslav. Kau pasti Adrian Axton,” ucapnya tegas to the point hingga Axton tertegun karena pemuda di depannya itu mengenalnya.
“Oh, ya. Hai Boleslav. Senang mengenalmu,” jawab Axton makin gugup.
“Panggil saja Antony dan jika kau ingin menjadi temanku, panggil aku Tony.”
“Ahh … oke, Tony. Kau panggil saja aku Axton. Aku tak suka di panggil Adrian apalagi Adry. Aku seperti ….” ucapan Axton terputus saat pemuda bernama Antony mengulurkan tangannya mengajak berjabat tangan.
Axton segera menyambut jabat tangan itu dan tersenyum lebar meski ia masih canggung dengan keadaan ini.
Ia tak pernah bertemu pemuda yang menurutnya cukup tampan dan memiliki aksen bicara Rusia yang tegas sampai hari ini.
“Oh, kalian sudah berkenalan. Baguslah. Aku akan pergi lagi, aku sempat khawatir jika kalian akan baku hantam tadinya,” ucap Giamoco tiba-tiba muncul bersama dengan wanita dan lelaki yang tadi membawa mereka masuk ke ruang perapian.
“Maaf, Kakek. Mereka itu siapa? Fotonya ada di dinding ruangan ini?” tanya Axton menunjuk foto besar di dinding ruangan.
“Aku Emma Madison Theresia dan dia suamiku, Lawrence,” jawab wanita berambut cokelat mengenalkan dirinya dan lelaki yang membawa Antony masuk tadi.
Axton dan Antony mengangguk bersamaan di mana mereka tak sadar masih berjabat tangan.
“Baik, kami kembali berbisnis. Kalian … bisa melepaskan jabat tangan itu. Kakek sudah bisa melihat keakraban kalian,” ucapnya terdengar seperti meledek dua remaja yang baru menyadari jika sedari tadi masih bersalaman.
Axton dan Antony melepaskan jabat tangan lalu saling memalingkan wajah, terlihat malu akan sikap mereka barusan.
Giamoco, Theresia dan Lawrence tersenyum tipis sembari keluar dari ruangan lalu menutup pintu. Axton dan Antony kembali duduk di mana keduanya terlihat canggung.
“Orang tua yang menyebalkan,” gerutu Axton.
“Aku setuju,” sahut Antony kembali dengan posisi dudukknya dengan kaki menyilang sambil mengangguk pelan.
Axton tersenyum lebar, “Kita akan menjadi kawan akrab, Antony Boleslav.” Antony mengangguk pelan dengan senyum tipis.
Saat Axton dan Antony menghabiskan waktunya di ruang perapian dengan membahas hal-hal tentang dunia remaja, keduanya spontan menoleh ke arah jendela saat sebuah mobil datang ke kediaman itu.Mereka berjalan mendekati jendela dan terlihat dua orang pemuda yang memakai pakaian sama, tapi parasnya berbeda. Axton dan Antony saling melirik.Dua pemuda itu berjalan menuju ke mansion dengan seorang lelaki tua merangkul kedua pundak mereka.Axton dan Antony kembali duduk di sofa karena merasa jika dua pemuda itu akan ikut bergabung bersama mereka.CEKLEK!“Wow, masih dalam posisi yang sama. Baiklah, ini tamu terakhir kita pada hari ini. Perkenalkan, lelaki berambut pirang ini adalah Ivan Benedict dan yang berambut cokelat adalah Erik Benedict,” ucap Tuan Lawrence memperkenalkan.“Kalian … bersaudara?” tanya Axton menebak.Lelaki bernama Erik mengangguk, tapi Ivan memalingkan wajah. Axton melihat jika du
Sepeninggalan Erik dan Antony. Ivan dan Axton dipuaskan oleh para wanita yang ada di ruangan itu. Terlihat Axton begitu menikmati tiap belaian yang memanjakannya.Ivan juga tak henti-hentinya mengerang dalam kenikmatan yang diberikan oleh para wanita dewasa yang kini duduk di pinggulnya, menggoyangkan miliknya kuat.“Akan kutorehkan namamu di tubuhku, Sayang,” ucap Axton memegangi pinggul wanita berambut pirang yang kini sudah tak berbusana sedang duduk dalam pangkuan Axton di sofa.“Oh, kau akan mentato tubuhmu dengan namaku?” tanya Vira dengan peluh sudah membanjiri kulit mulusnya.“Yes! Kau wanita pertama yang mengambil keperjakaanku. Itu harus diabadikan,” jawab Axton meraih wajah Vira dan menciumnya ganas.“Oh, dia benar-benar cepat belajar,” ucap wanita berambut cokelat memuji kemampuan bercinta Axton.“Aku mau jadi pacarnya. Aku tak peduli jika dia 10 tahun lebih muda dari
“Axton! Axton!” teriak Erik memanggil kawannya di luar mansion saat semua orang ikut mencari keberadaan Axton yang tiba-tiba menghilang.“Periksa dari kamera CCTV,” perintah Lawrence cepat kepada bodyguard yang menjaga kediamannya.Para bodyguard dan semua orang sibuk mencari keberadaan Axton. Antony melihat jejak kaki yang menuju ke halaman samping mansion.“Tuan Antony,” panggil Red asisten kepercayaannya.Antony tak menjawab dan terus mengikuti jejak itu hingga ia menemukan sebuah sepatu fantovel yang tersangkut di sebuah tumpukan salju di atas rumput taman.“Itu … sepatu Axton?” tanya Red saat Antony memungut sepatu itu dan melihat sekeliling.Antony diam sejenak seperti berpikir hingga ia kembali berjalan dan membawa sepatu yang diyakini milik Axton.Hingga akhirnya, Antony kehilangan jejak sepatu dan kaki di atas salju. Ia berdiri di samping sebuah mobil ba
Perkelahian sengit itu ternyata terjadi cukup lama hampir 15 menit lamanya. Meski kaki Erik keseleo, tapi ia tak menunjukkan dirinya lemah di hadapan sang Kakak. Malah diam-diam, Axton dan Antony bertaruh."Aku menjagokan Ivan," ucap Antony setelah memperhatikan teknik berkelahi pria berambut pirang itu."Yah, karena hanya ada dua orang, tersisa Erik saja. Oke, aku Erik walaupun aku yakin dia akan kalah. Hempf, taruhan ini sungguh tak adil. Tak adakah kandidat lain?" gerutu Axton yang merasa jika ia akan rugi banyak.Antony tersenyum. Ia melirik Axton yang terus menyoraki Erik agar menang melawan kakanya.Namun, baik Axton ataupun Antony, mereka sudah melihat jika Erik tak sanggup bertarung lagi karena sudah berdarah hebat di hidung dan mulutnya."Sudahlah, menyerah saja, Erik. Kau tak kasihan dengan ketampananmu?" tanya Axton meringis iba membayangkan sakit di wajah sahabat barunya itu."Diam! Lelaki sejati tak akan mundur dari pertarungan
Selama di dalam ruangan, Axton, Erik, Antony dan Ivan saling mengobrol akrab. Erik diobati lukanya oleh Antony yang ternyata cukup ahli dalam merawat luka."Aduh, agh," rintih Erik saat Antony membersihkan noda darah dengan kapas berisi air hangat dalam baskom."Berhenti mengeluh atau obati sendiri," tegas Antony menatapnya tajam.Erik kembali diam dan kali ini menahan sakit di wajahnya yang babak belur. Sedang Ivan, terlihat cuek meski wajahnya juga lebam dan berdarah.Ia duduk di kursi meja makan dan menaikkan kedua kakinya di atas meja, menikmati sajian biskuit cokelat dengan lahap."Jadi ... kita akan di sini berapa lama?" tanya Axton penasaran yang masih betah dengan posisinya di atas karpet beruang kutub."Entahlah. Setidaknya tempat ini lebih baik ketimbang berada di luar," sahut Ivan sembari mengunyah biskuit di mulutnya."Em ... jujur. Sebenarnya, aku merasa kita ini cocok. Lihatlah tadi, meski kita ketakutan saat melawan anj
"What? Camp militer? Tempat pelatihan super kejam dengan Instruktrur bernama Zeno?" pekik Axton panik. "Ya. Begitulah. Kenapa? Kalian takut?" ledek Lawrence. Keempat pemuda itu saling memandang terlihat gugup. "A-aku belum menyelesaikan sekolahku. Aku akan ke sana begitu lulus sekolah nanti. Akademis legal itu penting, Tuan Lawrence," dalih Axton dan diangguki oleh Ivan, Erik dan Antony yang ternyata satu pemikiran. Lawrence menahan senyumnya. Keempat pemuda itu terlihat pucat entah mereka membayangkan seperti apa tempat yang dikatakan Camp Militer itu. "Hem, kau benar. Legalitas itu penting, meski kita ini mafia. Well, kalau begitu sebaiknya kalian membersihkan diri. Dokter akan segera datang untuk memeriksa kalian. Aku khawatir kalian terkena rabies dari anjing yang menyerang tad. Selain itu, kulihat kaki Erik semakin bengkak. Kembalilah ke dalam, di luar dingin," ucap Lawrence dan keempat pemuda itu mengangguk pah
Terlihat orang-orang berseragam hitam khas The Shadow sudah menunggu di sebuah kapal kecil untuk mengangkut orang-orang tersebut.Erik dipapah masuk ke dalam kapal dan terlihat, ia menatap orang-orang yang tak ia kenali meski menggunakan seragam The Shadow.Mereka bicara dalam bahasa Inggris."Kalian The Shadow? Siapa yang merekrut?" tanya Erik to the point menatap para lelaki yang umurnya lebih dewasa darinya."Nyonya Theresia," jawab salah seorang pria tegas."Di mana anggota yang lain?" tanya Erik seakan tidak puas."Kau ada masalah dengan itu, Anak muda?" tegasnya."Anak muda? Hah, anak muda di depanmu ini adalah pendiri The Shadow. Jaga mulutmu, Anak baru," balas Erik menghina.Kening para lelaki berseragam hitam itu berkerut. Red yang berdiri di belakang Erik mengangguk seperti membenarkan. Para lelaki itu terkejut."Maafkan kami, Tuan. Anda pasti Erik Benedict.
Axton diberikan kamar sendiri oleh sang Kekek. Namun, malam itu, Axton tak bisa tidur dan memilih untuk tidur bersama Giamoco.TOK! TOK!"Grand Pa. Apa kau sudah tidur?" tanya Axton setelah mengetuk pintu, tapi tak ada jawaban.Axton mendesah panjang dan kembali ke kamar dengan lesu. Namun, saat ia memasuki kamar, betapa terkejutnya ketika sang Kakek sudah berada di kamarnya sedang berbaring."Sejak kapan kau di sini, Grand Pa?" tanya Axton bingung.Giamoco hanya tersenyum. Ia mengayunkan tangan kirinya, memanggil cucu semata wayangnya untuk ikut berbaring di sampingnya.Dengan senyum merekah, Axton segera menghampiri sang Kakek dan bermanja-manja di sampingnya. Giamoco tersenyum sembari mengelus kepada Axton lembut."Jujur, Adry. Kakek sebenarnya marah padamu. Kau dengan begitu mudahnya menyerahkan benda berhargamu pada wanita tak dikenal. Terlebih, mereka itu pelacur. Aduh," keluh Giamoco mengelus dahinya