Selama di Swiss, Axton dan Mister menjadi pengusaha legal yang bergerak dibidang perkebunan. Awalnya, mereka menikmati rutinitas tersebut, termasuk Axton yang bersekolah di sana. Namun, sudah 8 bulan berlalu, Axton mulai bosan, begitupula dengan Mister.
"Mister. Ini tidak menyenangkan. Sekolah tidak seru. Sudah tak ada lagi gadis di kelasku yang bisa kuajak kencan," ucapnya kesal yang berbaring di atas rumput samping peternakan sapi milik Giamoco.
"Aku juga merasa demikian, Axton. Aku seperti tukang kebun dan peternak hewan. Kakekmu benar-benar tahu bagaimana menyingkirkan kita. Yah, kabar baiknya, aku tak mengamuk selama di sini bersamamu," sahutnya seraya duduk sembari memegang ranting kayu yang ia dapat dekat pohon tempat ia menggembala sapi.
"Apa kau tahu, perkembangan para mafia di luar sana?" tanya Axton menoleh, tapi Mister menggeleng. Saat keduanya semakin merasa bosan, tiba-tiba ....
"Axton! Mister! Segera masuk ke dalam! Di luar tidak aman.
makasih sudah sabar menunggu^^ semoga gak ada tipo. lele padamu
Mata Paul terbelalak. Ia shock melihat Axton menembak mati Mister tepat di keningnya. Axton meneteskan air mata tanpa isak tangis keluar dari mulutnya. Ia menurunkan tangannya yang menggenggam pistol tersebut dengan pandangan kosong. "Axton!" panggil Paul berusaha bangun dengan susah payah. Ia langsung mendatangi Axton dengan tergopoh. "Kau gila?! Apa kau sadar yang kaulakukan?" tanyanya dengan nafas tersengal. "Mister bilang, dia tak bisa disembuhkan. Tak perlu kutembak, suatu saat nanti ia pasti akan mati. Aku ... hanya mempercepat kematiannya. Ia pasti bisa menerima kematiannya di alam sana," jawabnya dengan pandangan tertunduk. Mulut Paul menganga lebar. Ia merasa jika yang bicara barusan seperti bukan Axton yang ia kenal. Pemuda itu berbalik dan kembali masuk ke kamar lalu menutup pintu. Semua penjaga yang tergeletak di lantai dengan tubuh penuh luka ikut terkejut, tapi mereka tak bisa melakukan apapun. Semua sudah berakhir.
Keesokan harinya, Giamoco berhasil menyulut emosi Axton karena permintaannya tak diindahkan. Axton kembali ke kamarnya dengan nafas menderu, ia mengunci dirinya di dalam sana. Giamoco meminta kepada seluruh penjaga agar mengawasi pergerakan Axton selama di rumah jika ia tak ada. Gerry, Jeff, dan Paul dibuat kerepotan karena ancaman pemuda itu. Ternyata diam-diam, Axton menyelinap keluar dari kamarnya melalui jendela. Ia mengunci pintu kamarnya dari dalam dan sengaja menyalakan musik untuk mengelabui para penjaga. Usaha Axton berhasil. Ia menggendong sebuah tas ransel, memakai pakaian serba hitam, topi, kacamata, masker wajah, dan sarung tangan karet. Axton yang sudah mempelajari strategi bertarung, bertahan, menyelinap, dan menggunakan senjata berkat ajaran di Camp Militer serta mendiang Mister, membuatnya tak kesulitan melakukan hal mudah ini. SYUUT! TAP! Axton berhasil memanjat pohon cemara yang memiliki jarak paling dekat d
Axton terlihat begitu bersemangat untuk menyelesaikan misinya. Raganya terasanya panas dengan keinginan membunuh begitu tinggi. Ia mengendarai bus untuk membawanya ke target berikutnya. Sayangnya, tempat tinggal Clara sedikit jauh, begitupula para wanita Leighton lainnya. Tujuan Axton kini ke Connecticut. Clara anak seorang pengusaha penangkapan dan pengalengan ikan di kota tersebut. Hanya saja, kabar menyebutkan jika keluarga Clara mengalami kebangkrutan. Axton memanfaatkan keterpurukan wanita itu yang sedang berjuang agar bisa menguasai pangsa pasar ikan di Amerika, dengan menikahi seorang duda beranak dua yang kaya raya. Sore itu, Axton tiba di kota New Heaven. Pemuda itu mencari kediaman Clara yang disinyalir memiliki sebuah mansion dekat pantai di mana keluarganya mulai merintis usaha baru berupa Resort. Dengan mudah, Axton menemukan Resort tersebut karena papan iklannya memenuhi beberapa jalanan besar yang ia lewati. Seringai A
Sebuah mansion mewah yang bertempat di Boston, Amerika Serikat. Sebuah hunian yang memiliki halaman luas dengan pintu gerbang hitam yang kokoh dan cet tembok warna putih mendominasi rumah tersebut.Terlihat di ruang tengah, seorang lelaki tua sedang menghisap cerutu ditemani lelaki berumur 40 tahunan menikmati hangatnya perapian di tengah musim dingin yang menyelimuti Amerika pada hari itu di mana natal akan segera tiba.“Grand Pa!” panggil seorang anak lelaki berumur 17 tahun yang terlihat ceria sembari memakai topi Santa Claus.“Oh hallo, Axton. Wow kau terlihat keren sekali. Mau kemana?” tanya Kakek itu dengan senyum merekah.“Kencan,” jawabnya santai.Sontak dua pria dewasa itu tertegun akan ucapan Axton barusan. Axton sudah terlihat rapi dengan setelan ekslusif miliknya yang pernah dipakai ketika acara ulang tahun pernikahan ayah ibunya kala itu.“Di luar salju sedang lebat, banyak temp
Cukup lama Axton tergantung dan ia mulai mual. Kepalanya pusing dan rasanya ingin muntah hingga ia melihat pintu kamarnya di buka.Ia menyadari sosok itu, tapi ia terlalu pusing untuk mengeluarkan suaranya apalagi memanggil orang tersebut.“Hei. Apa kau sedang berevolusi menjadi seekor kelelawar?” tanya Giamoco, Kakek Axton.“Help …,” panggilnya lirih.Giamoco akhirnya mendekati Axton. Remaja 17 tahun itu memegangi tubuh bagian bawah Kakeknya erat agar tak jatuh hingga akhirnya pemuda itu digeletakkan perlahan di lantai.Giamoco tersenyum meledek, melihat cucunya memegangi kepalanya yang pusing.“Kau berhasil membuat ayahmu marah. Jadi, apa aksimu kali ini, Jagoan?” ledeknya sembari memasukkan kedua tangan dalam saku celana kain.“I hate him, Grand Pa,” desis Axton mulai bangkit dan perlahan merayap menuju ranjang.Axton merebahkan dirinya di atas ka
Saat Axton dan Antony menghabiskan waktunya di ruang perapian dengan membahas hal-hal tentang dunia remaja, keduanya spontan menoleh ke arah jendela saat sebuah mobil datang ke kediaman itu.Mereka berjalan mendekati jendela dan terlihat dua orang pemuda yang memakai pakaian sama, tapi parasnya berbeda. Axton dan Antony saling melirik.Dua pemuda itu berjalan menuju ke mansion dengan seorang lelaki tua merangkul kedua pundak mereka.Axton dan Antony kembali duduk di sofa karena merasa jika dua pemuda itu akan ikut bergabung bersama mereka.CEKLEK!“Wow, masih dalam posisi yang sama. Baiklah, ini tamu terakhir kita pada hari ini. Perkenalkan, lelaki berambut pirang ini adalah Ivan Benedict dan yang berambut cokelat adalah Erik Benedict,” ucap Tuan Lawrence memperkenalkan.“Kalian … bersaudara?” tanya Axton menebak.Lelaki bernama Erik mengangguk, tapi Ivan memalingkan wajah. Axton melihat jika du
Sepeninggalan Erik dan Antony. Ivan dan Axton dipuaskan oleh para wanita yang ada di ruangan itu. Terlihat Axton begitu menikmati tiap belaian yang memanjakannya.Ivan juga tak henti-hentinya mengerang dalam kenikmatan yang diberikan oleh para wanita dewasa yang kini duduk di pinggulnya, menggoyangkan miliknya kuat.“Akan kutorehkan namamu di tubuhku, Sayang,” ucap Axton memegangi pinggul wanita berambut pirang yang kini sudah tak berbusana sedang duduk dalam pangkuan Axton di sofa.“Oh, kau akan mentato tubuhmu dengan namaku?” tanya Vira dengan peluh sudah membanjiri kulit mulusnya.“Yes! Kau wanita pertama yang mengambil keperjakaanku. Itu harus diabadikan,” jawab Axton meraih wajah Vira dan menciumnya ganas.“Oh, dia benar-benar cepat belajar,” ucap wanita berambut cokelat memuji kemampuan bercinta Axton.“Aku mau jadi pacarnya. Aku tak peduli jika dia 10 tahun lebih muda dari
“Axton! Axton!” teriak Erik memanggil kawannya di luar mansion saat semua orang ikut mencari keberadaan Axton yang tiba-tiba menghilang.“Periksa dari kamera CCTV,” perintah Lawrence cepat kepada bodyguard yang menjaga kediamannya.Para bodyguard dan semua orang sibuk mencari keberadaan Axton. Antony melihat jejak kaki yang menuju ke halaman samping mansion.“Tuan Antony,” panggil Red asisten kepercayaannya.Antony tak menjawab dan terus mengikuti jejak itu hingga ia menemukan sebuah sepatu fantovel yang tersangkut di sebuah tumpukan salju di atas rumput taman.“Itu … sepatu Axton?” tanya Red saat Antony memungut sepatu itu dan melihat sekeliling.Antony diam sejenak seperti berpikir hingga ia kembali berjalan dan membawa sepatu yang diyakini milik Axton.Hingga akhirnya, Antony kehilangan jejak sepatu dan kaki di atas salju. Ia berdiri di samping sebuah mobil ba