Sepeninggalan Erik dan Antony. Ivan dan Axton dipuaskan oleh para wanita yang ada di ruangan itu. Terlihat Axton begitu menikmati tiap belaian yang memanjakannya.
Ivan juga tak henti-hentinya mengerang dalam kenikmatan yang diberikan oleh para wanita dewasa yang kini duduk di pinggulnya, menggoyangkan miliknya kuat.
“Akan kutorehkan namamu di tubuhku, Sayang,” ucap Axton memegangi pinggul wanita berambut pirang yang kini sudah tak berbusana sedang duduk dalam pangkuan Axton di sofa.
“Oh, kau akan mentato tubuhmu dengan namaku?” tanya Vira dengan peluh sudah membanjiri kulit mulusnya.
“Yes! Kau wanita pertama yang mengambil keperjakaanku. Itu harus diabadikan,” jawab Axton meraih wajah Vira dan menciumnya ganas.
“Oh, dia benar-benar cepat belajar,” ucap wanita berambut cokelat memuji kemampuan bercinta Axton.
“Aku mau jadi pacarnya. Aku tak peduli jika dia 10 tahun lebih muda dariku,” sahut wanita berambut hitam mendekap punggung Axton dan menenggelamkan wajahnya di tengkuknya.
“Hei! Axton milikku! Cari saja pemuda lainnya!” bentak wanita rambut pirang mendorong wajah wanita berambut hitam hingga dia jatuh terlentang.
“Hei, hei, jangan berebut. Axton milik kalian semua. Aku bisa menjadwalkan kencan dengan kalian, Nona-nona,” jawab Axton dengan terengah-engah karena sudah tak sanggup menahan semburannya lagi.
“Aku harus jadi kekasihmu yang pertama, Axton. Aku harus menjadi prioritas,” ucap Vira memegang wajah Axton dan pemuda 17 tahun itu mengangguk pelan sembari menggigit bibir bawahnya.
“Oh, Axton. I love you,” ucapnya terlena dengan wajah tampan Axton yang baginya sangat mengairahkan.
Hingga tiba-tiba, wanita berambut pirang itu terkejut saat Axton mendorongnya dan membalik tubuhnya.
Axton kembali memposisikan dirinya dengan gagah dan menyodokkan miliknya ke liang wanita itu dari belakang.
Wanita itu tertegun saat Axton begitu bersemangat menggempurnya hingga ia mencengkeram kuat sandaran sofa menahan kenikmatan itu.
“Oh, dia sangat kuat! Liatlah bagaimana dia menggoyangkan pinggulnya. Aku ingin merasakannya,” ucap wanita berambut merah melihat Axton memegangi kuat pinggul si wanita pirang dan terus menyodokknya kuat.
“Axtoonnn!” teriak wanita itu saat ia sudah tak bisa menahannya lagi begitu pula Axton.
Axton mengeluarkan miliknya di punggung wanita yang sedang menggelinjang hebat di sofa saat Axton menekan tubuhnya agar tak banyak bergerak.
“Wow! Dia keluar banyak sekali,” ucap wanita yang berdiri dan melihat cairan milik Axton menggenangi punggung wanita itu.
Axton langsung duduk dengan nafas tersengal sembari memegangi kepalanya kuat karena merasa pusing.
Ini pertama kalinya ia bercinta dengan dengan seorang wanita yang tak dikenal bahkan tanpa pengaman dan kehilangan keperjakaannya.
Para wanita lainnya membantu si wanita pirang membersihkan cairan Axton di punggungnya dengan jijik.
Axton yang tergolek lemas di hampiri oleh wanita berambut pirang untuk membersihkan kejantanannya yang mulai mengerut dengan penuh perhatian. Axton meliriknya dengan nafas mulai tenang.
“Hei, aku Casandra. Boleh aku minta nomor teleponmu, Tampan?” bisiknya menatap Axton penuh godaan.
Axton tersenyum merekah dan berbisik di telinganya. Wanita itu segera mengambil lipstick dari dalam tasnya dan menuliskannya di tisu lalu melipatnya.
“I will call you, Handsome,” ucap wanita itu meninggalkan ciuman di pipi Axton.
Axton tertegun dan tersenyum lebar. Ia melihat wanita berambut merah yang tak disadarinya ada di sana sedari tadi, kini beranjak darinya sembari membuang tisu yang ia gunakan untuk membersihkan kejantanannya.
Tiba-tiba, “AXTON! IVAN! APA KALIAN BAIK-BAIK SAJA?! BUKA PINTUNYA!”
“Oh, Erik!” pekik Axton tertegun.
Semua orang kembali berpakaian dengan tergesa termasuk Axton. Saking terburu-buru, ia tak memakai celana dalam karena benda itu sudah hilang entah kemana.
Axton asal memakai pakaiannya karena tak mau melihat Erik dan orang-orang yang datang bersamanya memergokinya bercinta.
Axton khawatir jika kakek dan ayahnya nanti mencoretnya dari daftar warisan keluarga. Axton menjanjikan kemewahan untuk calon kekasihnya nanti. Ia harus menjadi anak baik untuk mewujudkannya.
“Ivan! Ivan! Are you oke?” tanya Axton menghampirinya di mana Ivan terlihat juga berantakan sepertinya.
“Well, yeah. Oh, Axton. Kepalaku pusing dan ah … shit! Junior-ku sakit,” rintihnya telanjang.
Axton melirik para wanita yang tadi bercinta dengannya dan mereka hanya meringis. Axton hanya menghela nafas dan membantu Ivan berpakaian.
“Oke, oke, kalian ingat sandiwara kita ‘kan? Ingin menjadi kekasih kami, jangan sampai kami berdua dicoret dari calon penerus kursi dewan. Oke?” ucap Axton menunjuk semua wanita yang ada di ruangan itu.
Para wanita itu mengangguk dan wanita berambut hitam yang mendampingi Axton membuka pintu dengan tenang.
“Oh, hai,” sapanya dengan logat Inggris kental.
“Apa yang terjadi? Kenapa pintunya ditutup dan ….” tanya Theresia yang pada akhirnya ucapannya terputus saat melihat Axton dan Ivan bersulang wine terlihat mabuk.
“Axton! Ivan!” teriak Robert lantang mengejutkan semua orang di ruangan itu.
“Oh, hai, Paman. Ini … ugh, wine ini enak sekali. Apa namanya? Apa kita punya ini di rumah? Aku suka rasanya,” sahut Ivan berlagak mabuk sedang duduk di karpet dengan Axton bersamanya memegang gelas wine dan tertawa entah apa yang lucu.
“Kalian mabuk?” tanya Erik cemas.
“Kau kenapa kabur? Kau juga. Pengecut,” tunjuk Ivan ke arah Erik dan Antony yang berdiri dengan wajah panik di belakang Theresia.
Theresia menatap para wanita yang tak berani menatapnya. Mereka menundukkan wajah dan terlihat gugup.
“Oke. Sudah selesai bersenang-senangnya. Waktunya makan malam,” ucap Theresia meminta para wanita itu keluar.
Para wanita itu mengangguk dan segera keluar dari ruangan tersebut. Saat wanita berambut pirang mengambil tasnya, mata Axton terbelalak saat melihat celana dalamnya ada di tas wanita itu.
“Ingin milikmu kembali, temui aku,” bisik Vira sembari menutup tasnya. Ia sengaja menunjukkan pada Axton di mana celana dalamnya berada.
Axton mendesis karena merasa dipermainkan. Para wanita itu pergi meninggalkan Axton dan Ivan.
Seketika, ruangan yang tadinya begitu penuh orang kini hanya di tempati dua pemuda yang telah kehilangan keperjakaannya.
Namun, Axton dan Ivan terlihat gugup seketika saat Theresia mendekati mereka berdua dengan sorot mata tajam. Jantung keduanya berdebar kencang tak karuan saat Theresia seperti mencurigai mereka berdua.
“Hm … kalian tahu siapa wanita-wanita itu?” tanya Theresia menaikkan kedua alisnya saat ia membungkukkan tubuhnya di depan dua pemuda yang berwajah tegang tersebut.
Axton dan Ivan menggeleng cepat, Theresia tersenyum licik.
“Mereka pelacur. Aku harap kalian memeriksa kesehatan setelah ini. Jangan sampai kabar memalukan tersebar karena calon penerus dewan tewas terkena penyakit HIV AIDS. Oh, malangnya …,” ucapnya menyindir dengan wajah pura-pura iba.
Mulut Axton dan Ivan menganga seketika. Theresia terkekeh penuh kemenangan saat berbalik dan berjalan ke arah orang-orang yang menunggunya di pintu.
Axton dan Ivan saling melirik, mereka terlihat pucat seketika. Giamoco dan Robert mendatangi dua pemuda yang memalingkan wajah tak berani melihat dua orang tua itu.
“Kita pulang,” ucap Robert dan Giamoco serempak.
“Aw! Aw! Aw! Grand Pa sakit!” teriak Axton saat Kakeknya mencubit keperkasaannya dengan wajah datar.
“Kau bahkan tak memakai celana dalam! Memalukan!” geramnya menatap Axton tajam.
“AAAAA! Grand Pa sakit! Kau akan kehilangan keturunan terhebat dalam sejarah mafia jika sampai milikku hancur!” teriaknya sembari melepaskan cubitan telunjuk dan jempol Kakeknya di celananya yang mengenai keperkasaannya.
“Keturunan terhebat ya? Kau memberikan keturunan terhebat? Dengan sikapmu yang seperti ini, Kakek tak yakin, Axton. Bahkan Kakek tak yakin kau layak jadi penerus kursi dewan,” ucapnya sembari melepaskan cubitannya.
Axton memegangi miliknya yang terasa nyeri. Ivan dan Robert terlihat miris dengan sikap dingin Giamoco pada cucunya.
“Aku layak! Bahkan sangat layak! Memang kenapa jika aku kehilangan keperjakaanku di tangan seorang pelacur, hah?”
PLAK!
Semua orang tertegun saat Giamoco menampar pipi Axton kuat hingga Axton jatuh tersungkur. Tamparan Giamoco lebih kuat dan menyakitkan ketimbang ayahnya.
“Kau, sangat, tidak layak menjadi penerusku, Axton,” geram Giamoco penuh penekanan menatap tajam cucunya.
Nafas Axton menderu hingga kedua tangannya mengepal. Semua orang menatap Axton dan Giamoco seksama tak berani mencampuri urusan antara cucu dan kakek tersebut.
“I HATE YOU! KAU SAMA SAJA DENGAN AYAH! MEMUAKKAN!” teriaknya lantang dan mendorong sang Kakek kuat hingga Giamoco hampir jatuh, tapi segera ditangkap oleh Robert.
Axton pergi begitu saja meninggalkan ruangan dengan nafas menderu dan langkah gusar.
Antony, Erik dan Ivan menatap kepergian Axton yang terlihat begitu marah hingga wajahnya merah padam.
“AXTON!” teriak Giamoco menggelegar, tapi Axton malah berlari kencang meninggalkan semua orang hingga ia tak terlihat lagi saat berbelok di tikungan.
“Kejar dia!” perintah Theresia ikut terkejut karena Axton kabur dari kediamannya.
“Axton! Axton!” teriak Erik memanggil kawannya di luar mansion saat semua orang ikut mencari keberadaan Axton yang tiba-tiba menghilang.“Periksa dari kamera CCTV,” perintah Lawrence cepat kepada bodyguard yang menjaga kediamannya.Para bodyguard dan semua orang sibuk mencari keberadaan Axton. Antony melihat jejak kaki yang menuju ke halaman samping mansion.“Tuan Antony,” panggil Red asisten kepercayaannya.Antony tak menjawab dan terus mengikuti jejak itu hingga ia menemukan sebuah sepatu fantovel yang tersangkut di sebuah tumpukan salju di atas rumput taman.“Itu … sepatu Axton?” tanya Red saat Antony memungut sepatu itu dan melihat sekeliling.Antony diam sejenak seperti berpikir hingga ia kembali berjalan dan membawa sepatu yang diyakini milik Axton.Hingga akhirnya, Antony kehilangan jejak sepatu dan kaki di atas salju. Ia berdiri di samping sebuah mobil ba
Perkelahian sengit itu ternyata terjadi cukup lama hampir 15 menit lamanya. Meski kaki Erik keseleo, tapi ia tak menunjukkan dirinya lemah di hadapan sang Kakak. Malah diam-diam, Axton dan Antony bertaruh."Aku menjagokan Ivan," ucap Antony setelah memperhatikan teknik berkelahi pria berambut pirang itu."Yah, karena hanya ada dua orang, tersisa Erik saja. Oke, aku Erik walaupun aku yakin dia akan kalah. Hempf, taruhan ini sungguh tak adil. Tak adakah kandidat lain?" gerutu Axton yang merasa jika ia akan rugi banyak.Antony tersenyum. Ia melirik Axton yang terus menyoraki Erik agar menang melawan kakanya.Namun, baik Axton ataupun Antony, mereka sudah melihat jika Erik tak sanggup bertarung lagi karena sudah berdarah hebat di hidung dan mulutnya."Sudahlah, menyerah saja, Erik. Kau tak kasihan dengan ketampananmu?" tanya Axton meringis iba membayangkan sakit di wajah sahabat barunya itu."Diam! Lelaki sejati tak akan mundur dari pertarungan
Selama di dalam ruangan, Axton, Erik, Antony dan Ivan saling mengobrol akrab. Erik diobati lukanya oleh Antony yang ternyata cukup ahli dalam merawat luka."Aduh, agh," rintih Erik saat Antony membersihkan noda darah dengan kapas berisi air hangat dalam baskom."Berhenti mengeluh atau obati sendiri," tegas Antony menatapnya tajam.Erik kembali diam dan kali ini menahan sakit di wajahnya yang babak belur. Sedang Ivan, terlihat cuek meski wajahnya juga lebam dan berdarah.Ia duduk di kursi meja makan dan menaikkan kedua kakinya di atas meja, menikmati sajian biskuit cokelat dengan lahap."Jadi ... kita akan di sini berapa lama?" tanya Axton penasaran yang masih betah dengan posisinya di atas karpet beruang kutub."Entahlah. Setidaknya tempat ini lebih baik ketimbang berada di luar," sahut Ivan sembari mengunyah biskuit di mulutnya."Em ... jujur. Sebenarnya, aku merasa kita ini cocok. Lihatlah tadi, meski kita ketakutan saat melawan anj
"What? Camp militer? Tempat pelatihan super kejam dengan Instruktrur bernama Zeno?" pekik Axton panik. "Ya. Begitulah. Kenapa? Kalian takut?" ledek Lawrence. Keempat pemuda itu saling memandang terlihat gugup. "A-aku belum menyelesaikan sekolahku. Aku akan ke sana begitu lulus sekolah nanti. Akademis legal itu penting, Tuan Lawrence," dalih Axton dan diangguki oleh Ivan, Erik dan Antony yang ternyata satu pemikiran. Lawrence menahan senyumnya. Keempat pemuda itu terlihat pucat entah mereka membayangkan seperti apa tempat yang dikatakan Camp Militer itu. "Hem, kau benar. Legalitas itu penting, meski kita ini mafia. Well, kalau begitu sebaiknya kalian membersihkan diri. Dokter akan segera datang untuk memeriksa kalian. Aku khawatir kalian terkena rabies dari anjing yang menyerang tad. Selain itu, kulihat kaki Erik semakin bengkak. Kembalilah ke dalam, di luar dingin," ucap Lawrence dan keempat pemuda itu mengangguk pah
Terlihat orang-orang berseragam hitam khas The Shadow sudah menunggu di sebuah kapal kecil untuk mengangkut orang-orang tersebut.Erik dipapah masuk ke dalam kapal dan terlihat, ia menatap orang-orang yang tak ia kenali meski menggunakan seragam The Shadow.Mereka bicara dalam bahasa Inggris."Kalian The Shadow? Siapa yang merekrut?" tanya Erik to the point menatap para lelaki yang umurnya lebih dewasa darinya."Nyonya Theresia," jawab salah seorang pria tegas."Di mana anggota yang lain?" tanya Erik seakan tidak puas."Kau ada masalah dengan itu, Anak muda?" tegasnya."Anak muda? Hah, anak muda di depanmu ini adalah pendiri The Shadow. Jaga mulutmu, Anak baru," balas Erik menghina.Kening para lelaki berseragam hitam itu berkerut. Red yang berdiri di belakang Erik mengangguk seperti membenarkan. Para lelaki itu terkejut."Maafkan kami, Tuan. Anda pasti Erik Benedict.
Axton diberikan kamar sendiri oleh sang Kekek. Namun, malam itu, Axton tak bisa tidur dan memilih untuk tidur bersama Giamoco.TOK! TOK!"Grand Pa. Apa kau sudah tidur?" tanya Axton setelah mengetuk pintu, tapi tak ada jawaban.Axton mendesah panjang dan kembali ke kamar dengan lesu. Namun, saat ia memasuki kamar, betapa terkejutnya ketika sang Kakek sudah berada di kamarnya sedang berbaring."Sejak kapan kau di sini, Grand Pa?" tanya Axton bingung.Giamoco hanya tersenyum. Ia mengayunkan tangan kirinya, memanggil cucu semata wayangnya untuk ikut berbaring di sampingnya.Dengan senyum merekah, Axton segera menghampiri sang Kakek dan bermanja-manja di sampingnya. Giamoco tersenyum sembari mengelus kepada Axton lembut."Jujur, Adry. Kakek sebenarnya marah padamu. Kau dengan begitu mudahnya menyerahkan benda berhargamu pada wanita tak dikenal. Terlebih, mereka itu pelacur. Aduh," keluh Giamoco mengelus dahinya
Malam natal terasa begitu hangat bagi Axton yang selama ini berselisih dengan sang ayah semenjak kepergian Iva, sang ibu untuk selama-lamanya.Axton menghabiskan natal bersama kakek dan ayahnya, menyusuri kota Boston dengan membeli banyak barang untuk kesenangan mereka pribadi.Hingga akhirnya, mereka dalam perjalanan pulang ke rumah setelah udara dingin di malam yang larut mulai mengusik. Axton tertidur lelap di paha sang ayah."Dia terlihat senang sekali malam ini, Leighton," ucap Giamoco tersenyum saat melihat cucunya tidur dengan mantel barunya."Ya. Aku merindukan pelukan dan senyumannya saat bersamaku, Ayah. Aku tak menyangka, jika Axton bisa menerimaku lagi. Aku rasa, sudah cukup bagiku untuk mencari wanita pengganti Iva. Axton prioritasku," jawab Leighton sembari mengelus lembut kepala sang anak dengan senyum terkembang.Giamoco ikut tersenyum dan bernafas lega. Namun, saat mobil melaju di persimpangan jalan di mana jalanan sudah sepi, tiba
Pagi itu. Kediaman Giamoco, Boston, Amerika. Mereka bicara dalam bahasa Inggris. "Tuan Muda, Tuan Muda," panggil seorang lelaki. "Emph. Oh, hai, Jeff," jawab Axton mulai terbangun dari tidurnya. Jefferson. Tiga dari salah satu asisten kepercayaan Giamoco, sedang berjongkok di samping Axton. Axton terlihat masih mengantuk. Namun, ia mulai membuka kelopak matanya perlahan hingga terlihatlah warna hitam kecokelatan pada pupil matanya. Jeff tersenyum. "Good morning, Sir. Ayo, kita sarapan. Di luar sangat dingin dan Anda malah tidur di lantai," ucap Jeff ramah sembari memegangi lengan Tuan mudanya yang perlahan duduk meski matanya masih sayu. Jeff membantu Axton melepaskan mantel baru yang dipakainya, kado natal pemberian sang kakek. Jeff melipatnya dan meletakkan mantel tebal warna biru tua terang di samping Tuan mudanya. Namun, saat Axton mulai berdiri dan siap melangkah, ia memeg