“Axton! Axton!” teriak Erik memanggil kawannya di luar mansion saat semua orang ikut mencari keberadaan Axton yang tiba-tiba menghilang.
“Periksa dari kamera CCTV,” perintah Lawrence cepat kepada bodyguard yang menjaga kediamannya.
Para bodyguard dan semua orang sibuk mencari keberadaan Axton. Antony melihat jejak kaki yang menuju ke halaman samping mansion.
“Tuan Antony,” panggil Red asisten kepercayaannya.
Antony tak menjawab dan terus mengikuti jejak itu hingga ia menemukan sebuah sepatu fantovel yang tersangkut di sebuah tumpukan salju di atas rumput taman.
“Itu … sepatu Axton?” tanya Red saat Antony memungut sepatu itu dan melihat sekeliling.
Antony diam sejenak seperti berpikir hingga ia kembali berjalan dan membawa sepatu yang diyakini milik Axton.
Hingga akhirnya, Antony kehilangan jejak sepatu dan kaki di atas salju. Ia berdiri di samping sebuah mobil bak dan tertarik pada sebuah terpal yang menutupi bak itu.
SREKK!
“Hiks … hiks ….”
“Axton,” panggil Antony lirih.
Axton meringkuk di dalam mobil bak itu sembari mendekap tubuhnya. Antony naik ke atas mobil bak dan berjongkok, perlahan mendekati kawannya itu.
Red diam saja saat melihat Antony memakaikan sepatu milik Axton yang terlepas.
“Well, Cinderella found. Yey!” ucap Antony dengan kaku.
“Hiks, selera humormu payah, Tony,” ucap Axton sembari mengusap ingus yang keluar dari hidungnya.
“Yah, kau orang ke seratus ribu yang mengatakan hal itu. Aku tak terkejut,” jawabnya santai dan kini duduk di samping sahabatnya itu.
Red mundur perlahan dan menyingkir. Ia merasa jika Tuannya akan berbicara dari hati ke hati kepada kawan barunya itu.
“Axton, hah! Kukira kau menghilang kemana,” ucap Erik ngos-ngosan saat mendapati Axton dan Antony berada di bak mobil.
Erik berjalan mendekati keduanya dan ikut duduk di samping Antony. Perlahan Axton duduk karena dua sahabat barunya itu duduk memandanginya.
“Sudahlah, hal seperti itu biasa terjadi. Kau hanya ditampar, aku pernah ditendang oleh ayahku dan aku tak kabur,” ucap Ivan tiba-tiba ikut bergabung sembari memakaikan mantel bulu dari belakang tubuh Axton.
“Woah, kau ditendang? Sakit tidak?” tanya Axton bertanya sembari merapatkan mantel bulunya.
“Rusukku mengalami retak. Sejak itu, aku tinggal bersama pamanku, Robert. Yah, sepertinya ayah-ayah kita tak bisa bersikap lembut. Itulah faktanya, tapi mereka sengaja melakukannya agar kita kuat secara fisik dan mental. Kita hidup di keluarga mafia, Sobat. Dunia kita kejam dan kita hidup di lingkungan orang-orang kejam,” ucap Ivan sembari mencengkeram pinggir bak mobil itu.
Axton, Antony dan Erik mengangguk setuju.
“Jadi, apa yang akan kita lakukan sekarang? Kau tak berencana membuat camping di sini ‘kan?” tanya Ivan melirik Axton dan pemuda itu hanya terkekeh.
“Hei, pemilik rumah ini seperti nenek sihir. Katanya dia seram dan cerewet. Ayahku dan kakekku yang bilang. Sebaiknya kita cari tempat lain untuk mengobrol, bagaimana? Aku tahu tempat bagus,” ucap Ivan berbisik.
“Kita tak akan diperbolehkan keluar,” sahut Antony.
“Aku mau pergi keluar untuk melihat Opera. Jika kalian tertarik, aku akan menurunkan kalian di bar dekat tempat itu. Pukul 12 malam, aku akan menjemput kalian. Tertarik?” tanya Lawrence tiba-tiba muncul bersama dengan isterinya, Theresia.
“Oh, sungguh?! Ya kami ikut!” jawab Axton semangat.
Lawrence lalu mengajak keempat pemuda itu untuk ikut bergabung bersama mereka di mobil Limousine.
Mereka terlihat begitu bersemangat dan bergegas mengikuti Theresia serta Lawrence masuk ke mobil mewah itu.
“Eh, aku belum pamit kepada kakek jika akan pergi,” ucap Axton saat sudah masuk ke dalam mobil.
“Oh, aku sudah bilang pada kakekmu dan paman kalian juga. Jangan khawatir,” jawab Theresia pelan menatap Axton, Ivan dan Erik.
Ketiga anak lelaki itu mengangguk senang. Antony diam saja dan Theresia menatapnya seksama di mana diantara anak lainnya, hanya Antony yang paling pendiam.
Mobil pun melaju meninggalkan mansion di hari menjelang malam.
“Hmm, bersabarlah Giamoco. Kau seperti tak pernah muda saja,” ucap Robert menepuk pundak sahabatnya dengan senyum tipis.
Perjalanan dirasa cukup panjang bagi keempat anak itu. Mobil mereka tak menuju ke pusat kota melainkan ke bukit entah kemana.
Keempat anak itu mulai curiga saat terlihat sebuah tempat seperti gudang di pemberhentian akhir mobil mereka.
Dan benar saja, mobil berhenti di sebuah gudang besar di mana banyak lelaki berpakaian abu-abu seperti menunggu kedatangan mereka.
“Ini bukan tempat opera,” ucap Antony melirik Theresia dan Lawrence tajam.
“Anak pintar, tapi di sinilah tujuan akhir kita,” jawab Theresia sembari keluar dari dalam mobil bersama dengan Lawrence.
Keempat anak itu saling melirik karena curiga dengan tujuan mereka datang ke tempat tersebut.
Saat mereka mengangguk sepakat untuk kabur, tiba-tiba empat lelaki berbaju abu-abu itu menarik mereka paksa keluar dari mobil.
“Lepaskan!” teriak Axton mencoba memberontak, begitupula dengan Ivan, Erik dan juga Antony.
BUAKK!
“UGH!”
“GO! GO! GO! RUN!” teriak Ivan saat berhasil memukul dan menendang para lelaki yang berusaha membawa mereka masuk ke sebuah ruangan di dalam gudang tersebut.
Keempat pemuda itu lari sekencang-kencangnya melarikan diri.
“Mam! Mereka kabur!” pekik salah seorang bodyguard yang berdarah di hidungnya karena dipukul kuat oleh Antony Boleslav.
“Hah, dasar. Ya sudah biarkan saja,” jawab Theresia malas dan tetap masuk ke gudang.
“What? Bagaimana jika mereka ditangkap orang jahat?” tanya bodyguard lainnya yang mulutnya berdarah terkena tendangan dari kaki Ivan.
“Hem, kita orang jahatnya. Siapa orang di luar sana yang lebih jahat dari kita? Biarkan saja. Kamera dan pengawas sudah bersiaga di sekitar tempat ini hingga 3 km jauhnya. Kita lihat saja, seberapa tangguh keempat berandalan itu,” jawab Lawrence santai dan ikut masuk ke ruangan menyusul isterinya.
Para bodyguard yang berjaga di tempat itu kebingungan dan pada akhirnya menurut dengan ucapan bosnya dengan membiarkan keempat pemuda itu kabur entah kemana.
Keempat remaja itu berlari kencang bahkan tak menoleh ke belakang karena takut ditangkap. Bayangan buruk di pikiran mereka akan penyiksaan keji yang akan dilakukan oleh Thresia dan Lawrence mulai menghasut jiwa mereka.
Hingga tiba-tiba, DUAKK!! BRUKK!!
"Agh!" rintih Erik saat kakinya tak sengaja menabrak dahan pohon yang melintang di depannya.
Hutan yang gelap, membuat pandangan mereka sedikit kabur di cuaca dingin kota Krasnodar di malam yang semakin larut.
"Erik! Kau tak apa? Ayo, cepat bangun! Gawat jika sampai tertangkap mereka," teriak Axton mendatangi Erik dan menarik tangannya kuat agar segera berdiri.
"Agh, aduh. Sepertinya aku keseleo," jawabnya merintih.
"Dasar lemah! Jangan menyusahkan! Beruntung kakimu tak patah," tegur Ivan yang ikut menghentikan laju larinya.
"Berhenti menghinaku, Ivan! Aku sudah cukup bersabar denganmu, tapi tidak lain kali!" balas Erik membentak, tapi malah membuat kaget Axton dan Antony.
Axton yang mengira jika Erik lelaki lemah dan murah senyum, ternyata cukup galak jika harga dirinya disenggol meskipun dari kakaknya. Suasana tegang seketika.
"Oh, berani melawanku? Kau akan berakhir dengan babak belur di hutan ini, Erik. Dan kali ini, aku tak akan sungkan. Tak ada paman Charles dan Robert yang akan melerai kita," jawab Ivan mendatangi saudara lain ibu itu dengan senyum mengejek.
"Kau kira aku takut, hah? Coba saja, Mulut besar," balas Erik menghina.
"Harggghhh!" teriak Ivan lantang meluncurkan kepalan tangan kanannya ke wajah Erik penuh kebencian.
"Arrghh!" balas Erik berteriak dengan kepalan tangan yang sama, siap membalas serangan kakaknya.
Mata Axton dan Antony melebar seketika. Mereka panik, tapi tak tahu bagaimana menyikapi hal ini. Keduanya malah berdiri mematung dan menonton perkelahian adik kakak tersebut.
"Punya popcorn, Tony. Sepertinya akan seru," tanya Axton dengan pandangan terkunci pada sosok dua remaja di depannya.
"Ada banyak ranting dan daun kering. Mau?" jawabnya dengan wajah datar ikut terpaku dengan aksi saling jotos di depannya.
"No, thanks. Aku mendadak kenyang," jawab Axton malas.
Perkelahian sengit itu ternyata terjadi cukup lama hampir 15 menit lamanya. Meski kaki Erik keseleo, tapi ia tak menunjukkan dirinya lemah di hadapan sang Kakak. Malah diam-diam, Axton dan Antony bertaruh."Aku menjagokan Ivan," ucap Antony setelah memperhatikan teknik berkelahi pria berambut pirang itu."Yah, karena hanya ada dua orang, tersisa Erik saja. Oke, aku Erik walaupun aku yakin dia akan kalah. Hempf, taruhan ini sungguh tak adil. Tak adakah kandidat lain?" gerutu Axton yang merasa jika ia akan rugi banyak.Antony tersenyum. Ia melirik Axton yang terus menyoraki Erik agar menang melawan kakanya.Namun, baik Axton ataupun Antony, mereka sudah melihat jika Erik tak sanggup bertarung lagi karena sudah berdarah hebat di hidung dan mulutnya."Sudahlah, menyerah saja, Erik. Kau tak kasihan dengan ketampananmu?" tanya Axton meringis iba membayangkan sakit di wajah sahabat barunya itu."Diam! Lelaki sejati tak akan mundur dari pertarungan
Selama di dalam ruangan, Axton, Erik, Antony dan Ivan saling mengobrol akrab. Erik diobati lukanya oleh Antony yang ternyata cukup ahli dalam merawat luka."Aduh, agh," rintih Erik saat Antony membersihkan noda darah dengan kapas berisi air hangat dalam baskom."Berhenti mengeluh atau obati sendiri," tegas Antony menatapnya tajam.Erik kembali diam dan kali ini menahan sakit di wajahnya yang babak belur. Sedang Ivan, terlihat cuek meski wajahnya juga lebam dan berdarah.Ia duduk di kursi meja makan dan menaikkan kedua kakinya di atas meja, menikmati sajian biskuit cokelat dengan lahap."Jadi ... kita akan di sini berapa lama?" tanya Axton penasaran yang masih betah dengan posisinya di atas karpet beruang kutub."Entahlah. Setidaknya tempat ini lebih baik ketimbang berada di luar," sahut Ivan sembari mengunyah biskuit di mulutnya."Em ... jujur. Sebenarnya, aku merasa kita ini cocok. Lihatlah tadi, meski kita ketakutan saat melawan anj
"What? Camp militer? Tempat pelatihan super kejam dengan Instruktrur bernama Zeno?" pekik Axton panik. "Ya. Begitulah. Kenapa? Kalian takut?" ledek Lawrence. Keempat pemuda itu saling memandang terlihat gugup. "A-aku belum menyelesaikan sekolahku. Aku akan ke sana begitu lulus sekolah nanti. Akademis legal itu penting, Tuan Lawrence," dalih Axton dan diangguki oleh Ivan, Erik dan Antony yang ternyata satu pemikiran. Lawrence menahan senyumnya. Keempat pemuda itu terlihat pucat entah mereka membayangkan seperti apa tempat yang dikatakan Camp Militer itu. "Hem, kau benar. Legalitas itu penting, meski kita ini mafia. Well, kalau begitu sebaiknya kalian membersihkan diri. Dokter akan segera datang untuk memeriksa kalian. Aku khawatir kalian terkena rabies dari anjing yang menyerang tad. Selain itu, kulihat kaki Erik semakin bengkak. Kembalilah ke dalam, di luar dingin," ucap Lawrence dan keempat pemuda itu mengangguk pah
Terlihat orang-orang berseragam hitam khas The Shadow sudah menunggu di sebuah kapal kecil untuk mengangkut orang-orang tersebut.Erik dipapah masuk ke dalam kapal dan terlihat, ia menatap orang-orang yang tak ia kenali meski menggunakan seragam The Shadow.Mereka bicara dalam bahasa Inggris."Kalian The Shadow? Siapa yang merekrut?" tanya Erik to the point menatap para lelaki yang umurnya lebih dewasa darinya."Nyonya Theresia," jawab salah seorang pria tegas."Di mana anggota yang lain?" tanya Erik seakan tidak puas."Kau ada masalah dengan itu, Anak muda?" tegasnya."Anak muda? Hah, anak muda di depanmu ini adalah pendiri The Shadow. Jaga mulutmu, Anak baru," balas Erik menghina.Kening para lelaki berseragam hitam itu berkerut. Red yang berdiri di belakang Erik mengangguk seperti membenarkan. Para lelaki itu terkejut."Maafkan kami, Tuan. Anda pasti Erik Benedict.
Axton diberikan kamar sendiri oleh sang Kekek. Namun, malam itu, Axton tak bisa tidur dan memilih untuk tidur bersama Giamoco.TOK! TOK!"Grand Pa. Apa kau sudah tidur?" tanya Axton setelah mengetuk pintu, tapi tak ada jawaban.Axton mendesah panjang dan kembali ke kamar dengan lesu. Namun, saat ia memasuki kamar, betapa terkejutnya ketika sang Kakek sudah berada di kamarnya sedang berbaring."Sejak kapan kau di sini, Grand Pa?" tanya Axton bingung.Giamoco hanya tersenyum. Ia mengayunkan tangan kirinya, memanggil cucu semata wayangnya untuk ikut berbaring di sampingnya.Dengan senyum merekah, Axton segera menghampiri sang Kakek dan bermanja-manja di sampingnya. Giamoco tersenyum sembari mengelus kepada Axton lembut."Jujur, Adry. Kakek sebenarnya marah padamu. Kau dengan begitu mudahnya menyerahkan benda berhargamu pada wanita tak dikenal. Terlebih, mereka itu pelacur. Aduh," keluh Giamoco mengelus dahinya
Malam natal terasa begitu hangat bagi Axton yang selama ini berselisih dengan sang ayah semenjak kepergian Iva, sang ibu untuk selama-lamanya.Axton menghabiskan natal bersama kakek dan ayahnya, menyusuri kota Boston dengan membeli banyak barang untuk kesenangan mereka pribadi.Hingga akhirnya, mereka dalam perjalanan pulang ke rumah setelah udara dingin di malam yang larut mulai mengusik. Axton tertidur lelap di paha sang ayah."Dia terlihat senang sekali malam ini, Leighton," ucap Giamoco tersenyum saat melihat cucunya tidur dengan mantel barunya."Ya. Aku merindukan pelukan dan senyumannya saat bersamaku, Ayah. Aku tak menyangka, jika Axton bisa menerimaku lagi. Aku rasa, sudah cukup bagiku untuk mencari wanita pengganti Iva. Axton prioritasku," jawab Leighton sembari mengelus lembut kepala sang anak dengan senyum terkembang.Giamoco ikut tersenyum dan bernafas lega. Namun, saat mobil melaju di persimpangan jalan di mana jalanan sudah sepi, tiba
Pagi itu. Kediaman Giamoco, Boston, Amerika. Mereka bicara dalam bahasa Inggris. "Tuan Muda, Tuan Muda," panggil seorang lelaki. "Emph. Oh, hai, Jeff," jawab Axton mulai terbangun dari tidurnya. Jefferson. Tiga dari salah satu asisten kepercayaan Giamoco, sedang berjongkok di samping Axton. Axton terlihat masih mengantuk. Namun, ia mulai membuka kelopak matanya perlahan hingga terlihatlah warna hitam kecokelatan pada pupil matanya. Jeff tersenyum. "Good morning, Sir. Ayo, kita sarapan. Di luar sangat dingin dan Anda malah tidur di lantai," ucap Jeff ramah sembari memegangi lengan Tuan mudanya yang perlahan duduk meski matanya masih sayu. Jeff membantu Axton melepaskan mantel baru yang dipakainya, kado natal pemberian sang kakek. Jeff melipatnya dan meletakkan mantel tebal warna biru tua terang di samping Tuan mudanya. Namun, saat Axton mulai berdiri dan siap melangkah, ia memeg
Axton terlihat tegang. Namun tiba-tiba, ia malah menghadap dua Asisten kakeknya dengan senyum terkembang. "Aku bisa melewati polisi-polisi itu. Kalian bisa gunakan peluang untuk mengevakuasi kakek," ucapnya dengan mata berbinar. "What? Jangan gegabah, Tuan Axton. Itu berbahaya," jawab Paul dengan suara tertahan. "Di mana kamar kakek? Nomor berapa? Lalu kamar ayah?" tanya Axton serius dan pada akhirnya, Paul memberitahukannya. Axton langsung keluar dari balik dinding dan berjalan di koridor. Jeff dan Paul terkejut karena Tuan muda mereka nekat menerobos. Axton melihat dua polisi seperti mencari sesuatu di tiap pintu yang mereka sambangi. Axton melihat, dua pintu lagi, ruangan tempat kakeknya berada akan di buka. Axton berjalan perlahan terlihat gugup meski ia berusaha untuk tetap tenang. Hingga akhirnya .... "Pak polisi! Hei! Can you help me, please?" panggil Axton dengan lantang. Dua polisi itupu