“Abang jahat,” ucap Vivi pelan, amat pelan. Kalimat yang dia lontarkan barusan terdengar seperti ucapan yang berusaha diredam, tetapi keluar begitu saja. Dan ... entah mengapa hatiku berdenyut nyeri mendengarnya.
Aku terpaku di tempat, menatap Vivi dengan hampir tak berkedip. Ucapan yang terkesan merutuk itu sangat membebaniku.
“Seharam itu, ya mencintai Abang? Sampe tega bohong pacaran sama Kak Sela?” Dia menembakkan lagi satu pertanyaan yang nyelekit. Kali ini matanya telah berkaca.
Aku terkejut, ternyata dugaanku benar tentang dia yang mendengar ucapan Sela tadi. Akh, sial. Terbongkar juga akhirnya kebohonganku. Jadi, benar ternyata pepatah soal bangkai yang disembunyikan lama-lama akan tercium itu ada.
Paling malas kalau sudah begini, aku yang sudah ketahuan bohong, tak mampu meminta maaf, pula. Parah banget. Bukannya ngomong dengan berani, aku malah mematung bagai orang terbodoh di muka bumi saat perempuan muda di hadapanku me
Hari mulai gelap, tetapi aku masih berjibaku dengan map-map berisi dokumen yang masih belum selesai dikerjakan.Harusnya dua jam lalu aku sudah pulang, tapi lihat saja sendiri seberapa banyak tumpukkan tugas yang wajib selesai hari ini.Berkat adanya keterlambatan salah satu karyawan pagi ini, akhirnya aku harus lembur.Tak apa, jarang-jarang dapat lembur lagi. Mending begini, daripada di kosan, sendirian, tak ad aaktivitas berarti. Yang ada malah dijudesin si Vivi.Hubungan di antara kami sejak hari ia mengetahui kebohonganku pun akhirnya renggang. Benar-benar sudah macam musuh saja. Setiap kali bertatap muka tanpa sengaja, kami menghindar satu sama lain. Dia marah, sementara aku ... malu.“Gam, ini yang terakhir. Selamat lembur, ya. Aku pulang duluan, bye ....”Sela langsung pergi setelah menyimpan map kuning di atas mejaku. Tanpa perasaan bilang bye segala. Mau manas-manasin, apa? Atau mau mengolok?Kulihat jam di tanga
Perut kenyang, tapi hati tidak tenang. Setelah mengetahui kenyataan bahwa Vivi benar-benar memblokir nomorku, hatiku dirundung nyeri tanpa alasan.Masih berada di balik tembok, aku membuang napas secara kasar, tetapi pelan. Menatap pesan chat yang masih centang satu abu-abu.“Oh, ya? Ha ha ha.”Bahkan terdengar tawanya begitu kencang seolah ia begitu bahagia bercakap dengan seorang laki-laki yang tak kutahu siapa itu. Mungkin Rama. Sebab yang kutahu hanya dia yang dekat dengan Vivi begitu akrab.“Sudahlah. Harusnya aku tahu diri. Sebab Vivi memblokirku jelas ada alasan kuat. Dia membenciku.” Aku bergumam tak berguna. Lantas, segera menggeser tampilan layar ke menu utama. Setelahnya itu ponsel langsung masuk kantong.Daripada terus berdiri di balik tembok sambil nguping, lebih baik aku masuk ke kosan untuk tidur. Ya, ini lebih baik. Bahkan sangat baik.Akan tetapi, nyatanya tak semudah saat lidah berkata. Setelah diam-
Seberapa keras mencoba tancap gas, keduanya tak terlihat lagi. Jadi, bekalku kali ini hanyalah berdasarkan informasi yang kudapat dari Cing Romlah beberapa saat lalu.Begini alasan aku tertinggal.“Aduh, kenapa pula ini motor susah nyala!” Penuh emosi aku pencet starter kuat-kuat. Sayang, motor yang baru saja kubayar pajaknya ini masih belum menyala.Sial!Lagi, aku mengumpat tak sopan. Andai ada bapak atau ibu di sini, sudah pasti habislah aku dipukul sendal oleh mereka.Aduh, maklum saja, aku sedang terburu-buru mau menyusul Vivi. Tak enak hati rasanya, dan aku juga sangat tidak rela. Tidak sedikitpun!“Heh, Gam, mau ke mana rusuh amat?” Suara lantang itu terdengar dari arah teras. Siapa lagi kalau bukan Cing Romlah.“Mau susul Vivi!” sahutku agak kesal. Ya, bayangkan saja kenapa aku sampai kesal begini? Sudah tahu motor susah menyala, malah tanya hal yang kuyakin pasti Encing tahu.Jemariku berhenti menstarter. Gegas pasang standar dua, kemudian menyalakan motor dengan cara manual
“Vi! Vivi!” Bahkan teriakan yang menggema itu tak aku gubris sama sekali.Dengan wajah datar, aku mencoba fokus berjalan mengelilingi pagar pembatas untuk mencari jalan keluar. Vivi membisik, malu katanya. Setidaknya aku merubah posisi pangkuan.Ah, aku lupa. Seolah tersadar dari perilaku tak terkontrolku, segera aku berhenti sejenak. Menurunkan Vivi, kemudian berganti dengan genggaman tangan. Kupegang erat-erat takut dia kabur.Sorakan di samping kami terdengar semakin bergejolak. Aneh, orang-orang yang ada di sini begitu bersemangat, tak sayang energi apa? Dari tadi cuit-cuit terus.Kupercepat langkah, rasanya tak tahan dengan gurauan mereka. Jangan tanya lagi bagaimana perasaanku saat ini. Pastinya bahagia, dag dig dug tak karuan. Sumpah, puas sekali setelah berhasil menggagalkan acara nembak barusan.Andaikan di sini tidak sedang ramai. Andai saja hanya ada Vivi dan kami duduk berhadapan di tempat sepi, mungkin detak jantungku yang entah bagaimana kondisinya saat ini pasti terdeng
Masih tak percaya bahwa aku telah memacari anak ibu kost, berkali-kali kutampar pipi sendiri di kamar mandi, tapat menghadap cermin. “Aduh, sakit! Berarti bukan mimpi? Mati aku!”Bagai orang kurang waras, aku bermonolog sendiri. Demi apa pun, hingga saat sekarang semua seperti sebuah mimpi semata, tetapi lagi-lagi semua pikiran itu dipatahkan oleh kenyataan yang lumayan memberatkan pikiran.Sepulang dari menjemput paksa Vivi dan kami membuat komitmen bersama, yang kulakukan sekarang hanyalah bisa menyesali itu semua sambil mengguyur diri dengan gayung berisi air di kamar mandi.Sebelumnya di kafe, aku dan Vivi telah sepakat akan menjalani kisah cinta yang baru kami jalani dengan rahasia. Bukan apa, aku sungguh belum siap jika Nyak Marni tahu tentang hubungan ini. Juga yang lebih menakutkan untukku sekarang adalah ... Fadlan. Bodoh sekali tadi sore aku begitu lupa akan sosok sahabatku yang juga mencintai Vivi. Saran dari Sela, akhirnya aku lakukan. Aku mengkhianati sahabatku diam-dia
“Agam?! Tega, amat ngerebut Vivi dariku! Padahal sudab kupercayakan dia padamu, kenapa malah dia kamu curi dariku! Dasar teman makan teman!”Fadlan terlihat begitu marah. Ia berlari ke arahku dengan tangan yang telah terkepal kuat “Lan! Lan! Ampun, Lan! Bukan maksudku—” BUAKH!“Alah, persetan! Pengkhianat! Mati aja!”Aku berusaha menutupi wajahku yang kini jadi sasaran bogem mentah Fadlan. Tidak! Jangan pukul lagi! Kumohon!“Fadlan! Fadlan maafkan aku—”Seketika momen menegangkan itu lenyap ketika sepasang mata ini terbelalak lebar.Deg!“Astagfirullah. Ternyata hanya mimpi.”Kuelus dada yang gemuruhnya masih saja terasa. Peluhku bercucuran mulai dari dahi hingga dagu. Ada rasa yang kurang enak setelah mimpi itu hadir dalam tidur.Kehadirannya dalam mimpi apakah sebuah tanda jika kesalahanku memang fatal? Demi apa pun, sekarang aku takut. Takut jika suatu waktu hal ini bisa menghancurkan persahabatan kami.Bangkit dari posisi rebahan. Kulirik jam ternyata sudah hampir subuh. Kali in
Mendengar beberapa suara mendekat ke arah kami, aku yang sedang merasakan debaran hati dari dekapan kecil Vivi, segera melepas pegangan tangannya dan segera bergeser agak menjauh.Benar saja ada beberapa orang datang, mereka penghuni kosan sini yang pastinya baru pulang dari masjid. Terlihat dari masih lengkapnya mereka memakai sarung plus peci.Vivi bedeham kecil, merapikan anak rambutnya dengan tangan dan mundur ke sampingku, memberi jalan pada yang akan lewat.“Weh, Gam, mau ke mana subuh-subuh udah mau cabut aja?” Bang Agus bertanya, sebagian ikut menghentikan langkah, sebagian lagi permisi lewat begitu saja.“Ini, Bang. Nyak Marni minta dijemput. Hari ini pulang,” jawabku jujur.Bang Agus mangut-mangut serius.“Oh, begitu. Ya sudah kalau begitu hati-hati di jalan. Saya ke belakang duluan,” ucapnya kemudian beranjak. Aku hanya mengangguk seraya mengucap terima kasih.Kulihat punggung mereka mulai menghilang dari pandangan. Kembali aku menatap mata Vivi.“Untung enggak ketahuan mer
“Nyaak!” Vivi berlari ketika sudah melihat Nyak Marni dari kejauhan. Bagai kucing melihat majikan, ia begitu amat senang. Melompat ke dalam pangkuan memeluk penuh rindu.Aku menyusul di belakangnya. Nyak Marni tampak semakin berisi saja sepulang dari rumah saudara jauhnya itu. Aku jamin di sana pasti sangat subur makanan.Vivi melepas pelukannya ketika aku sudah tiba di hadapan mereka.“Nyak, maaf telat.” Aku menyalami tangannya sebagai sambutan selamat datang sekaligus meminta maaf.“Iya, bikin emosi lu, Gam. Padahal gue udah hubungin sebelim azan subuh, bisa-bisanya telat begini.” Nyak Marni memasang muka masam.Sungguh. Tak enak sekali rasanya diomeli begini, tetapi aku juga tak bisa membantah karena memang di sini aku yang salah.“Udah Nyak, jangan diomelin. Udah bagus masih jemput. Lagian, Bang Agam telat gara-gara Vivi mau ikut,” bela Vivi.Aku sangat tersentuh karena ia membelaku, meski sebenarnya dia tak perlu mengatakan itu hanya demi melindungiku dari ocehan ibunya yang agak