Malam telah merambat jauh ketika Zeino bisa melepaskan penat di atas peraduannya. Kehadirannya kembali ke rumah setelah seharian di kediaman Zefanya menuai tanya dari mama dan kakak perempuannya yang ternyata belum pulang.
“Dari mana saja, kamu? Katanya tadi cuma sebentar. Kamu besuk orang satu rumah sakit?” tegur Melisa.
“Tadi juga jalan sama temen,” jawab Zeino dengan gaya santainya.
“Maen mulu, deh. Gimana? Kapan wisuda?” sindir kakak perempuannya itu.
Lagi-lagi pertanyaan yang sama. Kapan wisuda. Zeino akan memainkan kunci motor di tangan setiap kali medapat kalimat tanya itu.
“Baru juga telat satu semester, udah kayak mau di DO aja,” gumamnya.
Dengan muka datarnya, Zeino membalas,“habis revisi ini, bisa sidang.”
“Baru mau sidang semester ini? Bisa-bisa wisudanya semest
Zefanya akhirnya diantar Zeino ke butik Kartika yang berada di pusat perbelanjaan setelah menghabiskan satu porsi bakmi pedas yang dibawanya. Gadis itu merasa suntuk sendirian di rumah. Sedangkan Zeino harus kembali ke kampus sehingga ia tak ikut menemani Zee yang terlihat masih bermasalah dengan hati itu.Berlembar - lembar kertas HVS putih menjadi wadah melampiaskan resah Zefanya. Dia hanya duduk di pojok sambil memainkan pensil, mengoret-ngoret garis tipis membentuk karikatur. Kartika yang setelah pulang kerja mampir untuk memeriksa laporan keuangan usahanya itu, berkali mencoba menenangkan hati anak gadisnya.“Belum tentu juga Zeino malu atau ga anggap kamu pacar.” Kartika berpendapat dan berusaha netral.“Jelas-jelas dia bilangnya ‘temen’, Bun," sungut Zee tanpa menghentikan kegabutannya.“Bunda memang baru beberapa kali ketemu dan ngobrol sama dia, tapi menur
Pertanyaan tanpa basa – basi yang disertai tatapan menyelidik itu membuat Zefanya berdoa agar Zeino menjawab jika mereka teman, bukan pacar. Terdengar labil ‘kan? Padahal baru saja ia mengeluh pada Kartika jika ia kesal hanya diakui sebagai teman oleh Zeino pada orangtuanya.Perubahan keinginan itu karena adanya Mauren di dekat mereka. Zefanya tak mau tantenya itu mencibirinya, sebagaimana dulu ia pernah berkata jika nanti kedua keponakan yang tak dianggapnya itu akan mencari anak orang kaya untuk mengangkat derajat hidup mereka.“Ya, palingan nanti juga kayak ibunya. Ditawarkan ke anak orang kaya. Pansos ‘kan ngetrend dari dulu,” ujar Mauren suatu ketika.“Oh kerja di hotel. Berharap ketemu jodoh orang kaya, ya?” Sindiran Mauren ketika Zefanya mampir menjenguk Nenek Ruwina minggu lalu.Sikap meremehkan dari adik bungsu mendiang ayahnya itu yang selalu menjad
Sesuai janjinya, Zeino mengantarkan Zefanya pulang. Bahkan tak hanya sampai pintu pagar, kali ini ia menyempatkan mampir untuk sekedar menyapa Kartika sekaligus menyerahkan kembali anak gadis yang dibawanya menikmati senja.Zeino menolak tawaran tuan rumah yang akan membuatkannya minuman hangat. Ia berasalan sudah malam, tentunya Zee dan Kartika butuh istirahat karena besok harus kembali bekerja. Pemuda itu menyempatkan diri mengusap puncak kepala pacarnya sebelum berlalu.Tepat setelah telapak tangan Zeino lepas dari helaian rambutnya, Zee membuka jaket yang masih membalut tubuhnya.“Kak, ini jaketnya. Terima kasih. Oh ya, yang blazer kemaren masih di kamar, belum di-laundry.”Zeino mengambil uluran benda berwarna hitam itu sambil berkata,” simpan aja dulu. Nanti-nanti aja diambil.”Keduanya lalu beriringan menuju halaman. Zee melepas kepergian Zeino dengan senyum dan lambaian tangan. Set
Sudah hampir dua minggu Zeino menunaikan tugas yang dia putuskan dan paksakan sendiri. Zefanya tak bisa berbuat apa-apa. Gadis itu tak menemukan cara agar layanan antar – jemput itu berhenti. Tidak ada menu unsubcrib atau tombol stop yang bisa ia tekan.Seperti biasa, jam pulang kerja yang selalu membuat Zefanya berdebar. Karena tak seperti pada saat dijemput yang pasti 1 jam sebelum waktu masuk kerja, jam pulang kadang tidak menentu. Ada saja yang membutuhkan waktu tambahan.Beberapa kali ia harus menunggu tamu VIP yang terlambat datang. Pernah juga dia harus mengikuti training setelah jam kerja. Selain pekerjaan tambahan dan acara rutin karyawan hotel tentunya. Hal tersebut membuat Zeino menunggu.Memang pacarnya itu tak marah-marah atau menggerutu seperti sebelumnya. Dia bersikap lebih sabar dan mau menerima penjelasannya. Kadang Zefanya segera mencuri waktu ke loker agar bisa mengabari jika ia tak bisa pulang tepat waktu. S
Para lelaki yang badannya basah kuyup karena keringat, terlihat masih membahas kebobolannya gawang Zeino yang menyebabkan kekalahan tim mereka. Sebagai hukuman, mereka harus menanggung biaya sewa lapangan dan semua makan dan minum kedua tim sore itu. Begitulah kesepakatan taruhan antar tim setiap minggunya.Dito tentu saja menjadi yang paling semangat mengungkit-ngungkit kejadian terpecahnya konsentrasi Zeino. Aksi saling sindir pun terjadi. Kekalahan tim mereka itu sebenarnya tak terlalu serius, hanya saja sepertinya teman-teman Zeino menemukan hal baru untuk mem-bully pemuda itu.“Bangkrut bandar, kalo tiap minggu ditungguin. Bisa bobol terus,” ledek Dito yang tahu pasti jika lengahnya Zeino karena sempat bermain mata dengan Zee.“Baru dilirik doang, belum yang lain.” Shandy tak mau kalah menggoda pemuda yang tak berkutik itu.“Ya mana tahu kita, kali aja yang lain udah.” Terbahak ketiga pemuda yang itu ka
Belakangan ini sepertinya Dewi Aphrodite, Si Dewi Cinta, sedang memusatkan perhatian pada percintaan Zee dan Zeino. Apa-apa yang menjadi buah pikiran gadis itu langsung terjawab dalam waktu yang tak terlalu lama. Seperti kegalauannya tentang status teman atau pacar, terjawab dengan tindakan Zeino di depan Melisa.Mungkin mantra Sang Dewi juga yang membuat Zeino lebih sabar saat menunggu Zee pulang kerja. Dan baru saja ia menyinggung tentang bertandang ke rumah pacarnya itu, satu hal lagi yang belum pernah terjadi selama sejarah masa jadian mereka, tiba-tiba Zeino mengatakan jika mamanya sedang menunggu mereka di rumah.Zee tak langsung mengiyakan ajakan Zeino. Gadis itu meminta waktu sebentar untuk ke kamar kecil. Tindakannya itu membuat Lulu, Rayesa dan Lampita berpura-pura ingin melakukan hal yang sama.“Sebentar ya, Kak. Aku ke toilet dulu,” pamit Zee.“Eh, ikut dong, kebelet juga nih.” Lulu pura-pura meringis se
Setelah kepergian Utari dan Talita, Zeino menekan kendali jarak jauh di kunci mobil yang berada di tangannya. Zee bersiap untuk menaiki kendaraan itu. Tapi ketika melihat Zeino membuka bagasi lalu mengeluarkan tas olahraganya, gadis itu menahan langkah. Ia mengeryit, tak menangkap arti tindakan Zeino.“Pulangnya nanti aja, ya.” Kalimat yang meluncur dari bibir Zeino makin menambah lipatan garis halus di kening Zee.“Zee!” Zeino menghentikan langkahnya ketika menyadari gadis yang datang bersamanya masih diam di tempat.“Ayo!” ajak Zeino sambil memberi isyarat agar Zee mengikutinya kembali masuk ke rumah.Gadis, yang sekarang tertular loading lamanya Lampita itu, menyeret langkah mengikuti pemuda yang menyandang tas olahraga. Setelah dekat, keduanya beriringan memasuki bangunan yang baru saja mereka tinggalkan.Sesampainya di ruang tamu, Zeino tetap mengayunkan langkah. Ia tak berhenti. Hal i
Gadis dengan rasa ingin tahu itu gugup. Jantungnya bergedup kencang. Seiring adrenalin memacu aliran darah dari perut ke kakinya, ia merasakan kupu-kupu beterbangan di sana. Bertambah tercegat liur di tenggorokannya ketika telapak tangan kanan Zeino meraup pipinya tanpa melepaskan pandangan mata. Waktu seakan berhenti berputar.Sejenak jaringan saraf di otak Zee juga berhenti memberi perintah pada sensor geraknya. Bahkan saat perlahan wajah Zeino makin mengurangi jarak. Ia masih terpaku. Kedua matanya bisa melihat sepasang bibir penuh Zeino yang khas hanya berjarak sebatas angin dengan bibirnya. Gadis itu tahu apa yang akan terjadi setelah ini, tapi ia seperti patung.Keduanya saat ini layaknya aktor dan aktris di dalam drama korea atau film romansa di mana adengan romantis setelah mengungkapkan kata suka itu akan diselingi oleh suara musik mendayu. Pose keduanya akan seperti slow motion atau diambil dari segala penjuru sebelum kedua bintang