Asap dan debu memenuhi udara saat Sinta merangkak naik dari lorong sempit yang tersisa. Tubuhnya penuh luka, nafas tersengal. Di belakang, reruntuhan rumah sakit tua itu kini menjadi kuburan bisu bagi entitas-entitas gelap yang pernah menghantuinya. Langkah kakinya limbung, tapi tekadnya kuat. Ia berhasil sampai ke pintu darurat lantai dasar yang entah bagaimana masih bisa terbuka. Udara malam yang dingin langsung menyergap kulitnya saat ia melangkah keluar. Langit sudah mulai terang—fajar menyingsing. Ia selamat. Tapi tidak utuh. Sinta berdiri memandangi bangunan tua yang mulai retak, dindingnya runtuh perlahan. Seperti sosok tua yang akhirnya menyerah pada usia dan dosa-dosa masa lalu. Tiba-tiba, ponsel di saku celananya menyala. Ajaibnya, baterainya masih tersisa. Satu pesan masuk. Dari: Nomor Tidak Dikenal Isi pesan: "Catatan itu bukan akhir. Itu hanya permulaan." Jantung Sinta berdegup kencang. Ia membuka buku catatan milik Dr. Anton. Di halaman terakhir, ada simbol yang
Sinta terbangun dengan tubuh yang terasa remuk. Asap dan debu masih memenuhi ruangan bekas ledakan spiritual barusan. Tapi kini, suasananya berbeda. Terlalu hening. Terlalu gelap. Bahkan langkah kaki Dr. Anton pun tak terdengar lagi.Ia mencoba berdiri, meski tubuhnya gemetar. "Dr. Anton...?" panggilnya lirih.Tak ada jawaban.Ia melangkah perlahan, melewati reruntuhan dan sisa-sisa dinding yang gosong. Dan di sanalah ia melihatnya—Dr. Anton tergeletak, tubuhnya tak bergerak, namun di sekelilingnya terbentuk lingkaran simbol kuno yang bercahaya samar. Seolah... dia sedang melindungi sesuatu. Atau menahan sesuatu.Tiba-tiba, suhu ruangan turun drastis. Nafas Sinta membeku di udara. Dari arah lorong gelap yang retak, terdengar suara-suara aneh—gumaman dalam bahasa yang tak dikenali, seperti doa yang dibalikkan. Dan perlahan, dia muncul.Sosok itu... tinggi, tubuhnya diselimuti kain putih kusam seperti kain perban yang membungkus mayat. Kepalanya tertunduk, rambut panjang menjuntai, menu
Sejak malam itu, hidup Sinta tak lagi sama. Ia duduk terpaku di depan cermin ruang praktiknya. Sorot matanya kosong. Simbol merah di telapak tangannya belum juga hilang. Sudah dicuci, digosok, bahkan dioles minyak kayu putih—tetap saja membara seperti luka bakar yang tak pernah sembuh. Di luar, langit mulai mendung, padahal belum waktunya hujan. Klinik itu terasa lebih sepi dari biasanya. Seperti ada ruang-ruang kosong yang menghisap suara. Sinta terbangun dari lamunannya saat suara ketukan terdengar. Namun kali ini bukan dari pintu… tapi dari lemari arsip di sudut ruangan. Deg. Ia berdiri pelan. Langkahnya hati-hati, mendekati lemari tua itu. Ketukan terdengar lagi. Pelan, tapi pasti. Seolah seseorang—atau sesuatu—berusaha keluar dari dalam. Tangannya gemetar saat menyentuh gagang lemari. Ia menariknya… Kosong. Tapi ada sesuatu yang jatuh dari dalam lemari: sebuah foto tua, buram, nyaris sobek di bagian bawah. Dalam foto itu, terlihat seorang perempuan dengan perut buncit—sam
Sudah tiga hari sejak Sinta berhasil keluar dari rumah sakit tua itu. Ia kini dirawat di sebuah klinik kecil, jauh dari kota. Tubuhnya masih lemah, namun pikirannya terus dibayang-bayangi oleh sosok Dr. Anton, simbol-simbol di lantai, dan bayangan anak kecil yang terakhir ia lihat di kaca.Dokter dan perawat di klinik itu tak banyak bicara. Mereka hanya bilang Sinta ditemukan oleh warga sekitar dalam keadaan linglung tak jauh dari bangunan rumah sakit tua yang sudah puluhan tahun dianggap angker."Yang penting kamu selamat, Neng," kata seorang perawat tua sambil mengelus pelan tangannya. "Tapi sebaiknya... lupakan tempat itu."Tapi bagaimana bisa?Sinta tahu, tidak semua roh berhasil diselamatkan. Ia masih ingat dengan jelas raut wajah anak perempuan kecil yang menangis di ruang bawah tanah, suara-suara lirih pasien lama yang minta tolong, dan... sosok gelap yang hampir menyeretnya ke dunia lain.Malam itu, Sinta terbangun lagi. Napasnya memburu. Ia melihat sekeliling kamar. Semuanya
Tangga spiral yang mereka lewati makin sempit dan berkarat, dengan tiap langkah menimbulkan suara decit seperti rintihan. Bau menyengat seperti daging busuk memenuhi udara. Sinta menutup hidung dengan lengan, namun tetap saja, baunya meresap. Dr. Anton menyalakan lentera minyak tua yang tergantung di dinding batu. Cahaya kekuningan menyorot permukaan dinding yang penuh simbol kuno. Lambang-lambang itu bukan sekadar ornamen—itu adalah segel, penjaga batas antara dunia manusia dan dunia lain. “Di sinilah semua dimulai,” ujar Dr. Anton pelan. “Ruang inisiasi pertama. Di balik dinding ini, ada altar tempat kami membuka gerbang itu pertama kali.” Sinta memandang sekeliling. Udara makin dingin, dan lantai di bawahnya tampak seperti dipenuhi darah beku. “Siapa yang pertama kali menjadi tumbal?” tanya Sinta dengan suara rendah. “Anak-anak pasien. Kami diberi izin oleh pihak yang... membiayai eksperimen ini. Mereka dianggap tidak punya masa depan, tidak punya keluarga,” jawab Dr. Anton de
Ruangan itu gelap, pengap, dan dipenuhi suara isakan lirih anak-anak. Sinta memeluk tubuhnya sendiri, tubuhnya menggigil, tapi bukan karena dingin. Ia tahu, ini bukan lagi sekadar tempat eksperimen... ini ruang penyiksaan jiwa. Langkah kecil mendekat. Bayangan anak perempuan tadi kini berdiri di hadapannya. Tapi kini tak sendiri. Di belakangnya, muncul sosok-sosok anak lainnya—semua dalam keadaan menyedihkan: ada yang memakai baju pasien robek, ada yang tubuhnya terbakar, bahkan ada yang menggenggam organ tubuhnya sendiri. Sinta menahan napas. Air mata mengalir tanpa sadar. "Apa yang kalian inginkan...?" Anak perempuan itu menjawab dengan suara datar, "Kami ingin dibebaskan. Tapi pintu itu... tak pernah bisa ditutup dari dalam." Tiba-tiba suara berat memecah suasana. "Dan karena itu, kamu harus melakukannya." Sinta menoleh cepat. Dr. Anton berdiri di balik jeruji, wajahnya lebih pucat dari sebelumnya, dan sorot matanya… penuh luka. "Kamu belum tahu semuanya, Sinta. Anak-anak in
Sudah seminggu berlalu sejak kejadian di ruang bawah tanah rumah sakit itu. Sinta kembali ke aktivitasnya seperti biasa. Namun ada yang berubah. Pandangannya sering kosong, pikirannya melayang ke suara-suara yang hanya ia yang dengar. Rumah sakit tempatnya magang kini tampak lebih terang, lebih bersih. Renovasi besar-besaran dilakukan setelah insiden kerusakan misterius yang, menurut laporan resmi, akibat korsleting dan gempa mikro. Tapi Sinta tahu... itu lebih dari sekadar gempa. Suatu sore, ia duduk di taman belakang rumah sakit. Angin sejuk berembus lembut, membawa aroma daun kering. Ia membuka catatan kecilnya, mencoba menuliskan ulang semua yang terjadi. Tapi setiap kali pena menyentuh kertas, tangan Sinta bergetar. "Dr. Anton..." gumamnya. Sosok itu menghilang tanpa jejak. Tidak ada yang mengenalnya. Tidak ada catatan. Bahkan arsip rumah sakit tidak mencantumkan nama itu sebagai mantan staf. Seolah pria itu hanya hidup di antara dimensi—seperti yang ia sendiri katakan. Sint
Sinta terbangun dengan peluh dingin membasahi dahinya. Cahaya redup dari lampu gantung yang berayun pelan di langit-langit ruangan tua itu menambah suasana ngeri. Ruangan itu berbeda dari sebelumnya. Dinding-dindingnya penuh dengan coretan kuno dan bercak darah yang sudah mengering. Bau anyir masih terasa kuat.Suara langkah kaki samar terdengar dari kejauhan. Sinta berdiri perlahan, masih merasa lemas. Namun matanya tak bisa lepas dari satu dinding yang dipenuhi arsip dan kertas tua yang tertempel dengan paku karatan. Ia mendekat, meneliti satu per satu tulisan di sana."Proyek Pemisahan Jiwa - Lantai 13," baca Sinta pelan.Matanya melebar. Di bawah judul itu, tertulis nama-nama dokter dan pasien yang tak asing. Salah satunya: Dr. Anton Wirajaya. Nama yang ia dengar terakhir kali disebut oleh sosok misterius yang menyelamatkannya tadi."Dr. Anton adalah kepala proyek ini. Ia melakukan eksperimen pemisahan jiwa dengan bantuan entitas tak dikenal," gumam Sinta membaca catatan yang terc
Sinta terbangun sekali lagi, kali ini di sebuah ruangan yang terasa berbeda. Hangat, namun asing. Ia melihat sekeliling—dinding putih kusam, sebuah kasur tipis, dan jendela kecil dengan teralis besi. Udara lembab memenuhi ruangan. Ini bukan rumah sakit. Bukan pula lantai 13. Tapi… tempat ini tetap terasa salah.Pintu terbuka perlahan, dan masuklah seorang perempuan tua, mengenakan kain lusuh dan membawa lampu minyak kecil. Wajahnya keriput, tapi matanya tajam menatap Sinta.“Kamu masih hidup, Nak. Tapi kamu sudah melihat terlalu banyak,” ucap perempuan itu dengan suara lirih, namun dalam.Sinta ingin bicara, tapi tenggorokannya terasa kering. Ia hanya mampu mengangguk perlahan.Perempuan itu duduk di ujung ranjang dan berkata pelan, “Lantai 13 itu bukan sekadar mitos. Itu gerbang. Tempat roh-roh penasaran dan entitas lama yang terperangkap. Dimas, Reza, Ardi… mereka bukan satu-satunya korban. Sudah ada puluhan jiwa yang hilang di sana. Termasuk anakku.”Sinta menatapnya, kaget. “Anak